Thursday, February 7, 2013

#7HariMenulis

Ini hari kedelapan. Sudah lewat tujuh hari. Tapi tetap boleh menyertakan tagar ini kan?

Saya nggak pernah disuruh menulis dengan tenggat waktu sesingkat ini. Tiap harinya selama tujuh hari saya cuma punya waktu 24 jam untuk bikin satu tulisan. Karena saya bukan jurnalis yang pasti sering dapat tenggat waktu untuk artikelnya ataupun orang yang rajin nulis, jadi buat saya ini berat.

#7HariMenulis berat.

Biasanya untuk menyelesaikan sebuah cerpen yang panjangnya sekitar dua halaman, saya butuh waktu berhari-hari. Selain lama mikirnya, waktu pengendapannya juga lama untuk diedit kembali. Di #7HariMenulis ini, saya dipaksa cuma mengendapkan cerpen dalam beberapa jam. Bahkan untuk cerpen terakhir, saya mengerahkan kemampuan saya sama seperti ketika besoknya ujian Hukum Administrasi Keuangan Negara—saya benar-benar baca materi (lebih tepatnya: soal latihan IMMSI) tiga jam sebelum ujian.

Sebelumnya saya tidak pernah menulis resensi buku. Pernah sih, waktu masih sekolah. Itupun karena saya adalah murid baik yang masih ogah dihukum lantaran lalai menyelesaikan tugas. Tapi di #7HariMenulis akhirnya saya merilis resensi pertama saya. Masih berantakan karena saya melakukan tiga hal sekaligus: membaca contoh resensi buku karya orang lain, membolak-balik buku yang saya resensi, dan mengetik tulisan. Mungkin saya berhasil membuang 5700 kalori dari aktivitas tersebut *berharap terlalu tinggi*.

Di hari kelima saya kehabisan ide mau menayangkan apa untuk hari keenam. Cerpen sudah terlalu mainstream (ada tiga cerpen yang saya tayangkan dalam lima hari), saya sendiri juga malas berimajinajis berimajinasi. Jadilah tulisan ala kadarnya seperti ini. Tulisan hari keenam tersebut baru saya tayangkan lepas siang hari. Paginya, saya membuka beberapa blog yang ikut main dalam #7HariMenulis. Tapi saya justru agak menyesal. Blog-blog yang saya buka, semua tulisannya bagus. Saya sempat minder *pukpuk diri sendiri*.

Di hari kedelapan ini, ada yang hilang. Biasanya saya berpikir ‘mau nulis apa’ pada pagi hari. Tapi hari ini tidak. Kan nggak ada yang nyuruh. Nggak ada yang maksa. Ya nggak nulis dong *pentung*.

Tujuh hari belakangan jumlah kunjungan ke blog saya meningkat. Nggak banyak-banyak banget sih, tapi ya lumayan lah buat seneng-senengan dan gaya-gayaan. Haha.

Tujuh hari belakangan, seperti yang pernah saya ungkapkan di sini, saya mampu menulis #onedayonepost. Meskipun cuma tujuh hari. Well, tambah tulisan ini jadi delapan sih. Lumayan laaaaah.

Tujuh hari belakangan hidup saya jadi lebih berwarna. Sebelumnya juga berwarna sih, tapi jadi nambah satu warnanya.

#7HariMenulis aja udah bikin hidup saya berwarna. Tapi saya nggak mau ngebayangin jadi seberwarna apa hidup saya kalau saya ikutan #31HariMenulis.

Mungkin malah jadi モノクロ :)



070213

Wednesday, February 6, 2013

Cerita Malam Ini

Malam, dengan segala keluarbiasaannya, adalah satu keadaan ciptaan Tuhan yang kusenangi. Bahkan hanya dengan gelapnya, aku tetap suka itu. Dan seringkali, malam adalah satu-satunya waktu agar aku bisa lebih dekat dengan anakku.

Tadi ia bercerita bahwa ibu gurunya di kelas membahas tentang cita-cita. Ia lantas bertanya apa cita-citaku ketika kecil.

"Dulu, cita-cita ibu ada setumpuk. Tingginya lebih tinggi dari semua gunung dan untuk bisa sampai ke sana, jalannya lebih berat dari menjelajah semua tempat di manapun."

Ia bertanya ragu. Aku mengangguk dengan mantap dan meyakinkan.

"Sekali waktu, dulu sekali, ibu ingin menjadi guru olah raga."

"Oh iya, ibu kan sering menemaniku pergi berenang."

"Bukan, ibu tak bisa berenang, hanya menungguimu berenang sampai selesai. Ibu bercita-cita begitu karena dulu guru olah raga ibu ternyata tidak bisa olah raga. Guru ibu itu cuma menyuruh muridnya berlari, menendang bola ketika sepak bola, memantulkan bola ketika basket, menggerakkan kaki ketika berenang, dan bergerak dengan benar ketika senam. Ia tidak pernah memberi contoh sama sekali, hanya berteriak dari pinggir lapangan. Padahal pasti ia dibayar. Jadi waktu itu, ibu membayangkan menjadi seorang yang punya banyak uang hanya dengan berteriak-teriak saja. Enak, kan?"

Ia protes. Ia bercerita bahwa Pak Kusno, guru olah raganya di sekolah, tidaklah seperti apa yang kuceritakan. "Pak Kusno," kisahnya, "selalu berlari lebih dulu, berenang lebih dulu, dan melakukan semuanya lebih dulu sebelum kami melakukannya."

Kukatakan bahwa karena itulah aku tak ingin lagi menjadi guru olah raga. Aku menyerah pada satu cita-citaku.

Aku melanjutkan ceritaku. Bahwa dulu aku pernah ingin menjadi pedagang baju. "Setiap hari ibu bisa berganti-ganti baju yang bagus tanpa harus beli. Orang lain tidak akan tahu bahwa baju yang ibu jual ternyata sudah pernah ibu pakai sebelumnya."

Kembali ia melontarkan protes. "Mbak Rini bajunya sering robek-robek dan sudah jelek. Padahal ia berjualan baju."

Sejenak terlintas wajah Rini yang seminggu dua kali berkeliling kampung untuk menawarkan baju yang dijualnya.

Aku mengelus kepalanya. "Karena memang tidak boleh. Tidak ada yang mau membeli baju yang sudah kita pakai. Kalaupun ada, harganya jadi murah. Bisa-bisa sama seperti harga sebungkus-besar permen."

Ia mengangguk-angguk. Kami terdiam sesaat.

"Ibu, pernahkah ibu bercita-cita jadi dokter, insinyur, polisi, atau pilot?"

Aku tersenyum. "Tidak," jawabku singkat.

"Kenapa?"

"Besok ibu ceritakan, karena ini panjang sekali jawabannya. Sekarang giliranmu bercerita. Apa cita-citamu?"

"Aku ingin jadi seperti ayah."

Bibirku terkunci tapi mataku bertanya kenapa.

"Ayah kan uangnya banyak. Jadi bisa pergi jalan-jalan. Sekarang juga lagi jalan-jalan kan, kata ibu sebentar lagi pulang. Saking banyaknya uang ayah, sampai rumah kita dibangun lagi biar bagus. Makanya sekarang aku dan ibu tinggal dulu sama nenek. Kalau uangku banyak, aku bisa pergi ke markas Power Ranger, terus minta jam tangannya yang bisa berubah itu. Pasti keren."

Aku mengecup keningnya. "Sekarang tidur dulu. Besok sekolah."

Ia mengangguk. Kurapatkan selimutnya, kutepuk-tepuk punggungnya.

Bulan lalu suamiku dijadikan tersangka dalam kasus korupsi dan sekarang ditahan di sebuah rumah tahanan, 1000 kilometer jaraknya dari tempat tinggalku sekarang.



060213

Tuesday, February 5, 2013

Helping Others Do What's Right

Sebenarnya sekarang saya ingin sekali merutuk tentang mutu tulisan-tulisan saya yang, bahkan menurut saya sendiri pun, kurang baik. Ah, saya tak tega mengatakan ‘jelek’ pada diri sendiri. Mungkin inilah pengaruh yang ditimbulkan oleh aktivitas jalan-jalan di blog barusan, mengunjungi beberapa pemilik #7HariMenulis.

Namun menulis adalah proses, kan? Kalau rajin menulis dan rajin baca, nanti juga tulisan akan jadi lebih baik. Well, saya harap ini bukan pemakluman diri sendiri.

Oke. Lupakan.

Kali ini saya ingin membahas satu hal: helping others do what’s right.

Beberapa hari lalu di kantor diselenggarakan sosialisasi SE-37/MK.01/2012. Dalam acara tersebut diputar sebuah video yang mengisahkan bagaimana menciptakan sebuah budaya positif. Ada sekian banyak cara, tapi yang paling nancep di otak saya adalah poin helping others do what’s right.

Kebanyakan orang hanya fokus pada diri sendiri. Yang penting gue bener, bodo amat gimana orang lain. Yang penting gue dipuji atasan, salah sendiri yang lain gak bener kayak gue. Hingga tidak peduli pada lingkungan di sekitarnya. Hingga tidak memperhatikan orang lain. Hingga lupa bahwa ia hidup tidak sendiri. Hingga lupa bahwa jika hanya ia yang benar dan orang lain salah, maka itu tetaplah salah. Atau jika ia dan yang lain benar namun ada seorang yang salah, maka itu tetaplah salah. Menggunakan istilah lain, tidak berjalan seirama.

Dalam sebuah gerakan tari Saman, jika sepuluh penari menoleh ke kanan sedangkan seorang menoleh ke kiri, tetap salah kan? Tidak seirama kan? Dan jelas terlihat tidak indah.

Melakukan sesuatu tentu ada tujuannya. Sesederhana makan agar kenyang dan minum agar tidak haus (meskipun makan dan minum tidak semata agar kenyang dan tidak haus). Begitupun helping others do what’s right. Tujuannya agar seirama, sama-sama melakukan what’s right. What’s right-what’s right tadi, jika semuanya dilakukan, tujuan besar pun akan tercapai.

Terlalu muluk?

Sebuah contoh. Di kantor, ada larangan merokok di dalam area gedung,  baik di toilet, pantry, tangga darurat, maupun basement. Tujuan besarnya? Sebuah budaya positif berupa menjaga kedisiplinan (ini ketentuan dari ‘Yang di Atas’). Jadi dalam konteks ini, what’s right adalah tidak merokok di area gedung. Saya bukan perokok sehingga saya sudah do what’s right.

Tapi kan yang berkantor di gedung ini bukan hanya saya. Saya hanya satu dari sekian ribu orang. Dan dari sekian ribu orang tersebut, tidak mungkin semuanya do what’s right. Di ruangan saya ada beberapa bapak-bapak yang merokok. Bahkan seringkali, mereka merokok di dalam ruangan. Apakah mereka do what’s right? Jelas tidak.

Solusinya, kalau memang bapak-bapak yang merokok tadi kurang memiliki kesadaran dan kedisiplinan pribadi, maka saya yang harus helping other do what’s right (dan sebenarnya saya juga memperjuangkan hak saya untuk mendapatkan udara yang bersih): mengingatkan dan melarang mereka merokok.

Masalahnya, ternyata tidak helping others bukan hanya disebabkan oleh terlalu fokus pada diri sendiri. Sebab lain adalah butuh nyali yang tidak kecil untuk bisa melakukan hal tersebut. Apalagi jika yang berbuat salah adalah teman baik kita, orang yang lebih tua dari kita, bahkan atasan kita. Meskipun ditempeli label ‘berkewajiban menegur’, nyatanya itu adalah kewajiban yang paling berat, setidaknya buat saya pribadi.

Sering saya terlalu banyak berpikir bagaimana menyusun kalimat untuk menegur dalam rangka helping others tadi. Tetapi mungkin karena terlalu banyak berpikir, pada akhirnya saya tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun untuk menegur. Saya lalai dalam helping other’s do what’s right.

Sekarang saya jadi bertanya-tanya: kalau banyak pegawai yang berpikir seperti saya, kapan sebuah budaya positif—dalam hal ini disiplin—akan tercapai?


050213

Monday, February 4, 2013

Tiga Kata untuk Tiga Museum

Sepi. Pengap. Gelap.

Itulah tiga kata yang akan saya ungkapkan kalau ditanya bagaimana kesan ketika mengunjungi museum. Nggak semua museum sih…. Ada banyak museum di DKI Jakarta, tapi di sini saya akan mengulas tiga museum, yaitu Museum Sumpah Pemuda, Museum Kebangkitan Nasional, dan Museum Joang 45.

1.    Museum Sumpah Pemuda 
  Museum ini terletak di Jl. Kramat Raya No. 106, Jakarta Pusat. Ada tujuh ruangan di dalam bangunan utama museum dan tiga ruangan yang terpisah dari bangunan utama, dengan ruangan yang paling besar adalah ruangan dengan dekorasi patung yang menggambarkan suasana ketika W.R. Supratman memainkan lagu Indonesia Raya dengan biolanya. Beberapa koleksi yang ada di Museum Sumpah Pemuda adalah panji-panji dari organisasi kepemudaan berbagai daerah, biola W.R. Supratman, benda-benda perlengkapan kepanduan, buku-buku sejarah, dan diorama suasana Kongres Pemuda II. Selain itu, di beberapa ruangan terpasang komputer layar sentuh yang berisi keterangan tentang museum dan sejarahnya.


 Di halaman belakang museum terdapat pahatan dinding berukuran besar yang indah dengan taman kecil di depannya. Sayang, ketika saya berkunjung ke sana air mancur yang terpasang tidak dinyalakan.
 Berbarengan dengan kunjungan saya, ada serombongan anak SD berusia sekitar 9 tahun berjumlah kurang dari sepuluh orang dan dua orang dewasa, mungkin guru pendamping. Saya baru membaca semua keterangan di dinding tentang koleksi yang ada di dua ruangan ketika mereka semua, anak-anak SD itu, selesai mengunjungi seluruh museum dan keluar. Mungkin anak berusia 9 tahun belum tertarik membaca penjelasan koleksi museum dan lebih senang melihat sepintas koleksi lalu foto-foto.

2.    Museum Kebangkitan Nasional
  Lokasi Museum Kebangkitan Nasional ada di Jl. Abdurrahman Saleh No. 26, Jakarta. Letaknya dekat dengan haltebus Transjakarta Kwitang. Menurut tulisan di gerbang depan gedung dan brosur museum, museum ini menempati gedung bekas STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen)—sekolah kedokteran untuk kaum pribumi.
 Bangunan induk Museum Kebangkitan Nasional berbentuk persegi melingkar, dengan halaman dan beberapa ruangan di tengahnya, dan dibagi menjadi ruang pengenalan, ruang sebelum pergerakan nasional, ruang awal kesadaran nasional, ruang pergerakan nasional, dan ruang pendidikan STOVIA.
  Menurut saya, ruang pengenalan sampai ruang pergerakan nasional sangat menjemukan. Menempati mayoritas bangunan induk, ruangan-ruangan tersebut kebanyakan hanya berisi foto-foto yang dibingkai dan disertai sedikit penjelasan. Tak jarang beberapa foto yang berbeda memiliki penjelasan yang sama persis. Ruangan yang besar juga tidak dimanfaatkan dengan maksimal. Hanya sedikit ruangan yang di tengahnya diletakkan maket atau diorama. Selebihnya hanya berisi foto yang dipasang di dinding.
  Saya sangat bersyukur ketika memasuki ruang pendidikan STOVIA, yang didukung oleh ruang asrama, dosen, dan peragaan kelas STOVIA. Di dinding ruangan dipasang penjelasan besar dengan gambar yang memenuhi dinding—menurut saya sangat menarik—mengenai STOVIA, dan beberapa diorama patung.
  Di antara ruang pergerakan nasional dan ruang pendidikan STOVIA ada beberapa ruangan lain. Ada satu ruangan dengan tulisan ‘Ruang Audio Visual’ yang terletak di sebelah kiri kanopi. Ketika saya coba untuk membuka pintunya, ternyata ruang tersebut dikunci *penonton kecewa*. Selain itu, ada juga ruangan yang terkunci tapi di pintunya bertuliskan Ruang Asrama STOVIA. Saya coba mengintip ke dalam ruangan tersebut, hanya ada beberapa lemari dan rak kaca yang tidak ada isinya.

3.    Museum Joang 45
   Museum Joang 45 berlokasi di Jl. Menteng Raya No. 31, Jakarta Pusat. Bangunannya cukup kecil jika dibandingkan dengan dua museum sebelumnya, tapi menurut saya ini adalah museum yang paling bagus.
  Jika dua museum sebelumnya hanya dibiarkan beralaskan lantai dengan pencahayaan seadanya dan sirkulasi udara dari ventilasi, di Museum Joang 45 ini lantainya sudah beralaskan karpet tebal, pencahayaan terang, dan memiliki pendingin ruangan yang berfungsi dengan baik. Selain menyediakan beberapa komputer layar sentuh, ada juga ruangan audio visual yang memutar film dokumenter koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia.
 Beberapa koleksi museum ini adalah maket, pakaian, dan tandu yang dipakai untuk menandu Jenderal Soedirman saat beliau memimpin perang dalam kondisi sakit. Selain itu, dalam brosur juga disebutkan ada koleksi mobil REP-2 yang pernah digunakan Bung Hatta sebagai Wakil Presiden RI. Namun saya tidak tahu di mana koleksi tersebut diletakkan, karena saya tidak melihatnya :|.


Jadi,
dari tiga museum yang saya kunjungi, Museum Kebangkitan Nasional adalah museum yang paling ‘memprihatinkan’—karena gelap dan pengap—dan membosankan. Sedangkan Museum Joang 45 adalah museum yang paling bagus dan menarik.

Yang saya herankan adalah, bagaimana pembagian dana operasional perawatan dari dinas terkait ke tiap museum? Sampai-sampai museum yang sini bagus banget, yang sana menyedihkan banget. Yang sana sepi banget, yang sini lumayan rame.

Padahal kalau museum ditata dengan apik, pengunjung juga jadi tertarik untuk berkunjung. Lebih dari itu, mereka jadi betah berlama-lama di museum karena nyaman. Dan menurut saya, lebih asyik belajar sejarah di museum daripada dari buku.



040213
Photos are mine

Sunday, February 3, 2013

Enam Kipas Hari Ini

Hari sudah terang betul, matahari dengan ceria sudah menampakkan diri secara utuh. Meskipun begitu, udara masih terasa dingin, ditambah lagi semalam hujan turun. Dan dingin tak pernah membuat Supri lebih bersemangat. Padahal beberapa jam lalu orang-orang sudah mulai beraktivitas. Tetangga-tetangganya sudah sibuk menyapu halaman, menanak nasi, memberi makan ayam yang sepertinya tak kunjung besar, dan lain-lain.

Supri masih mengantuk, matanya juga masih agak sembap karena semalam ia menangis sebentar. Tapi ia sudah bisa mengingat dengan jelas pesan bapaknya kemarin sore. Kata bapaknya, "Bangun tidurlah sebelum matahari melakukannya. Rejekimu tak akan maksimal kalau kamu bangun setelah hari terang. Kalau bisa, beberapa menit sebelum merbot masjid bangun mempersiapkan azan subuh, kamu sudah bangun. Nanti Tuhan akan memberi rejeki yang banyak buat kamu. Tidak cuma hari itu, tapi selamanya. Asal kamu rutin melakukannya." Saat bapaknya berwasiat begitu, Supri hanya mengangguk-angguk. Pikirnya, ia hanya akan menyenangkan bapaknya sebelum beliau meninggal. Makanya ia mengangguk-angguk saja, seolah setuju dan mengiyakan.

---

Di luar, matahari bersinar terik sekali. Meski demikian, sejak pagi tadi sampai sekarang, hanya tiga kipas dagangan Supri yang terjual. Supri memandang langit-langit stasiun. Kipas angin yang banyak terpasang hanya berfungsi kurang dari separuhnya. Di sini juga banyak sekali orang. Beberapa mengelap wajah dan lehernya dengan punggung tangan, tisu, atau sapu tangan, beberapa mengipas-ngipas dengan telapak tangan atau koran.
Tidakkah mereka kegerahan dan ingin sedikit mengeringkan keringat di tubuhnya dengan kipas yang kujajakan?

Supri duduk selonjor di satu sudut stasiun. Dihitungnya uang perolehannya hari ini. Cuma laku enam kipas hari ini, lebih sedikit dari hari-hari biasanya. Supri melepas topi, dikipas-kipaskan ke lehernya yang cukup basah oleh keringat. Hari ini sangat panas tapi hanya laku enam? Batin Supri. Padahal ia sudah rajin berputar-putar di hampir semua sudut stasiun, menyambangi setiap orang dan menawarkan kipas tangan dengan bermacam-macam bentuk yang dijualnya.

Tiba-tiba Supri ingat pesan bapaknya kemarin. Jangan-jangan hari ini aku cuma bisa menjual enam kipas karena aku tidak bangun sebelum merbot masjid bangun mempersiapkan azan subuh. Atau jangan-jangan kipasku kurang laku karena aku hanya mempermainkan janji, kan kemarin aku hanya mengiyakan untuk menyenangkan hati bapak.

Dalam hati Supri bertekad, besok ia harus bangun mendahului Pak Salim, merbot masjid dekat kontrakannya.

Di balik tembok yang disandari Supri, dua orang ibu-ibu saling bercakap. "Jakarta selalu sepanas ini, orang-orang sudah kebal. Pakai tangan saja sudah bisa kering keringatnya." Timpal satunya, "iya. Atau pakai koran. Nggak usah beli kipas...."


030213

Saturday, February 2, 2013

Rumah Kuburan

Kuburan. Sepi, mencekam, gelap (ketika malam), dan menyeramkan. Auranya tak enak bagiku, dan karena itu aku tak suka kuburan. Tapi sialnya, seratus meter di belakang tembok rumahku ini ada ratusan pasang nisan, belasan pohon kamboja rimbun dengan wangi bunganya yang khas dan kadang terlalu harum, gundukan-gundukan tanah gembur maupun padat, dan kesepian ala kuburan yang entah mengapa menular ke rumahku. Rumahku jadi serasa kuburan.

Tapi menurut Nina, kakakku yang usianya cuma terpaut setahun denganku, rumah kami memang kuburan. Bukan lagi serasa kuburan. Katanya, "aku dan kau saja jarang sekali bertemu. Masih untung kita sering sms-an, jadi masih tau seenggaknya masih hidup apa enggak. Coba lihat ayah dan ibu. Seminggu ini apa kau pernah melihat mereka?" Aku menggeleng. "Nah," lanjutnya, "rumah kita memang kuburan. Yang cuma didatangi sesekali. Tak ada ceritanya peziarah datang setiap hari ke kuburan, kan?"

Aku jadi berpikir ulang. Aku dan Nina memang jarang bertemu. Kami berangkat dini hari dan pulang ketika hari sudah hampir dini lagi. Tapi kami berdua tak pernah terlibat pertengkaran. Kami sering bertukar kabar lewat sms meskipun hanya dengan, "nanti aku pulang malam," yang hampir setiap hari saling kami kirimkan--karena kami selalu pulang, seperti yang sudah kubilang, hampir dini hari.

Tapi anehnya kami tak pernah bertanya satu sama lain tentang di mana ayah atau di mana ibu. Kami hanya merasa pasti mereka ada di suatu tempat, entah dengan siapa. Tidak ingin juga kami mengetahuinya. Toh mereka juga tak pernah membalas sms atau mengangkat telepon dari aku dan Nina. Mereka keuar rumah tak pernah bilang, tiba-tiba saja beberapa minggu kemudian satu dari mereka muncul di rumah. Jadwal mereka di rumah tak pernah tentu dan tak pernah sama. Sehari kemudiam, dengan tanpa memberi kabar, mereka sudah tak ada di rumah.

Tentang rumah yang serasa kuburan itu, aku akhirmya berkata pada ayah ketika ia sedang menyiapkan kopernya untuk pergi entah berapa lama. Kupikir aku tak akan berjumpa dengannya dalam waktu lama, jadi aku memberanikan diri untuk bicara padanya.

"Rumah kita seperti kuburan, Yah." Tidak mungkin kukatakan padanya bahwa rumah kami memang kuburan, seperti kata Nina.

Ayahku masih menekan-nekan pakaian, mungkin agar kopernya bisa muat lebih banyak. "Kenapa?" Tanyanya singkat.

Karena peziarah jarang datang ke kuburan. Karena kuburan selalu dibilang lahannya sudah penuh tapi tetap saja sepi, karena memang isinya orang-orang yang sudah mati.

"Sepi, Yah." Tenggorokanku mendadak kering. Aku tak pernah bisa seperti Nina yang selalu sukses mengungkapkan pendapatnya dengan baik.
"Hmm...."

Ayah menutup ritsleting kopernya. Menaikkan pegangan koper. Menyeret kopernya melewatiku. Tanpa berbicara. Aku benar-benar merasa seperti sampah yang dibuang sembarangan dan tak ada yang mau memperhatikanku apalagi memungutku untuk dibuang ke tempat sampah yang seharusnya.

Esoknya, ketika aku pulang rupanya ada sedikit aktivitas di depan rumah. Aku bertanya pada Nina melalui sms, "ada apa ini?". Kurasa ini adalah satu dari sedikit sms yang tidak mengabarkan bahwa nanti aku pulang malam.
"Bikin pos ronda. Kata ayah biar rame." Balas Nina.

Sekitar dua pekan kemudian, pos ronda yang dibangun dengan menggunakan uang pribadi ayah--Nina bilang begitu, aku sendiri tak tahu ia dapat info dari mana--telah berdiri dengan gagah. Banyak orang sering nongkrong di sana. Beberapa kali aku melihat beberapa remaja tanggung bermain gitar dan bernyanyi-nyanyi ketika aku pulang. Kadang juga pos dikuasai beberapa bapak-bapak yang asyik menyeruput kopi (atau teh? susu?) sambil menonton bapak-bapak lain yang sedang bermain catur. Sesekali pernah juga kulihat orang sedang tidur dengan menyelongsongkan dirinya dalam kain sarung.

Untuk pertama kalinya setelah beberapa waktu, aku mengirim sms pada ayah--setelah berulang kali kuketik dan kuhapus.

"Pos rondanya ramai, Yah, kayak pasar. Tapi rumahnya tetap sepi, kayak kuburan. Selama ini kita memang tinggal di kuburan, kan?"



020213
Izanaizuki

Friday, February 1, 2013

Dari Papua Meneropong Indonesia: Sudut Pandang Lain dari Timur

Judul Buku: Dari Papua Meneropong Indonesia
Penulis: Ans Gregory da Ivy
Penerbit: Grasindo
Tahun terbit: 2009
Tebal: xxii + 189 halaman



Dari beberapa referensi yang pernah saya baca, yang saya tangkap tentang Papua adalah sebuah provinsi dengan akses kesehatan dan pendidikan yang sulit di beberapa kabupaten, PNSnya gemar menghilang pada jam kerja, dan tingkat penyebaran HIV/AIDS yang tinggi. Dengan membaca buku ini, gambaran saya menjadi lebih lengkap plus tambahan beberapa hal dari pokok bahasan yang lain.

Cerita di dalam buku ini mengangkat beberapa masalah ‘lawas’ di Papua, seperti bagaimana pada tahun 2000 sampai bisa muncul angka rata-rata 700 orang meninggal dunia setiap tahun akibat kecelakaan lalu lintas karena pengaruh minuman keras (baca Saya Tidak Suka Miras) . Ada juga kisah betapa PNS merupakan profesi yang diidam-idamkan di Papua khususnya kabupaten Mimika, sampai-sampai ada demonstrasi protes kepada pemerintah yang dilakukan oleh orang-orang yang gagal lolos tes CPNS (baca Aku Ingin Jadi Pegawai Negeri).

Tulisan dalam buku ini membahas beberapa hal, antara lain politik, adat istiadat, persamaan gender, dan sosial. Simak bagaimana Mama Yosepha Alomang, tokoh perempuan suku Amungme di Timika, khawatir bahwa nilai adat-istiadat Papua khususnya suku Amungme suatu saat bisa luntur dan hilang (Adat, Mengapa Harus Dilestarikan?). Juga dalam tulisan Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan, Sekarang Juga! yang membahas usaha Forum Kajian Perempuan Amungsa (FKPA) dalam mengupayakan advokasi untuk mencegah dan mengurangi tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. Hal ini karena menurut data FKPA, selama periode November 2000 sampai dengan Juli 2001, tercatat 31 kasus pelanggaran hak asasi wanita di Timika.

Selain membahas tentang Papua, penulis buku ini juga mengangkat beberapa ulasan atas peristiwa yang terjadi di Indonesia. Contohnya dalam Apakah Kita Masih Punya Hati Nurani? yang menceritakan pengunduran diri Sophan Sophiaan dari keanggotaan dan kedudukan di DPR/MPR karena apa yang dialami Sophan dalam perpolitikan di DPR/MPR sudah tidak sesuai dengan suara hatinya.

Sebagai seorang praktisi public relation dengan latar belakang jurnalis di beberapa harian nasional dan pengalaman bekerja sebagai komunikator di PT. Freeport Indonesia , penulis memotret permasalahan dan menceritakannya dengan bahasa yang mudah dipahami. Meskipun dalam beberapa tulisan ditemui juga pembahasan yang terlalu melebar dan kurang fokus pada permasalahan yang diangkat.

Harapan penulis pada Papua diutarakan dengan menuliskan pendapat Mama Yosepha Alomang, “ … yang saya inginkan dari masyarakat kami di sini adalah seperti masyarakat di Flores sana. Saya lihat mereka hidup tenang, orang tua pergi bekerja di ladang atau sawah, anak-anak pergi sekolah dan pulang ke rumah, kemudian bermain-main dengan teman-temannya. Mereka tidak takut dan tertekan seperti kami di sini. Di sana tidak ada tentara yang kelihatan di jalan-jalan, lengkap dengan senjata seperti di sini. Keadaan seperti itulah yang kami masyarakat inginkan.”

Terlepas dari tulisan-tulisan dalam buku ini yang dimuat di berbagai surat kabar antara tahun 2000 sampai 2006—yang mungkin keadaan di Papua sekarang sudah jauh berbeda, namun menurut saya buku ini dapat membantu pembaca untuk mengetahui bagaimana kondisi Papua dan pandangan orang Papua terhadap Indonesia saat itu.


---

010213