Monday, June 8, 2015

Selamat Berbahagia, Dien


"Cung, akhir Mei kamu ada acara nggak?"
"Mmm… Nggak ada kayaknya. Kenapa? Mau main ke Solo?"
"Hehe. InsyaAllah temenmu ini akan menggenapkan separuh diennya Cuung."

Saya masih ingat jelas percakapan via whatsapp tersebut, meskipun saya rutin mengosongkan riwayat percakapan—hape saya masih keluaran lama yang sering sekali memberi peringatan bahwa memori penuh kalau saya tak
menghapus riwayat percakapan.

Cung adalah panggilan kami berdua. Saya memanggil dia Cung, dia memanggil saya Cung. Untuk urusan ini, saya tidak terlalu ingat bagaimana awalnya dan apa asbabun nuzul-nya. Mungkin karena kami sama-sama berasal dari Jawa Timur. Saya Gresik, dia Malang (di daerah saya, ‘cung’ biasa digunakan untuk memanggil anak kecil). Dua kota (eh Gresik itu kabupaten ding, bukan kota) yang sangat berkebalikan dalam hal cuaca dan suhu udara, namun tidak berbeda jauh dalam hal bahasa. Karena logat yang sama-sama “lumayan kasar” itu, tak sulit bagi kami untuk berkomunikasi.

Perjumpaan kami sangat sederhana: kami satu kelompok ketika orientasi mahasiswa baru. Kalau bahasa di kampus kami: satu kelompok pas Dinamika. Setelah Dinamika usai, kami masih ditakdirkan bersama karena ternyata kami ada di kelas yang sama.

Sejak itu, tak terhitung berapa kali saya duduk sebangku, mengerjakan tugas, pergi ke suatu tempat, atau diskusi banyak hal dengannya. Namun begitu, meskipun sering belajar bersama, saya tak pernah bisa menyaingi keenceran otaknya. Saya yang memang dari sononya malas mikir dan bodoh ini, cuma manut sama buku. Kalau bukunya bilang A, ya A. Kalau bukunya bilang jurnalnya adalah Account Receivable pada Sales revenue, ya itulah yang saya ikuti. Tapi tidak dengannya. Ia selalu bertanya, kok jurnalnya begini padahal logikanya begitu, kok jumlahnya bisa sekian padahal seharusnya angka yang ini tidak dimasukkan dalam perhitungan, dan sebagainya. Dan lucunya, dia bertanya begitu pada saya. Kalau sudah begitu, saya hanya menjawab, "lha itu bukunya bilang begitu." Kemudian ia cuma diam dan cemberut. Esoknya, dia s
udah kembali dengan jawaban atas pertanyaannya.

Tak jarang saya mampir di kamar kosnya dan berlama-lama di sana. Cerita kami seakan tak pernah habis. Salah. Lebih tepatnya, ceritanya tak pernah habis. Ia, yang sanguinis dan aktif berorganisasi, memiliki banyak teman dan mengenal banyak orang. Jadwalnya selalu penuh. Seratus delapan puluh derajat berbeda dengan saya yang lebih sering di kosan dan cuma nonton drama Jepang ini. Dan seperti kebanyakan manusia sanguinis, ia sangat menyenangkan namun sedikit menyebalkan: tidak ingat hal-hal kecil namun manis, sebut saja macam tanggal ulang tahun. Jangankan ulang tahun saya—yang belum lama masuk di kehidupannya—, ulang tahun ayah, ibu, kakak, dan adiknya saja dia tak ingat.

Tahun-tahun berikutnya, kami tak pernah lagi sekelas. Ia bahkan pindah kos ke tempat yang lebih jauh. Namun toh kami masih sering belajar bersama—tentu saja ia yang mengajari saya. Kami juga tak putus keluar bersama. Seperti ketika saat itu kami berencana membeli kado untuk seorang sahabat kami, Dhiqi. Rencananya kami akan membeli kado di Taman Puring. Karena menggunakan angkutan umum adalah sesuatu yang tidak bersahabat dan sangat membuang waktu, kami putuskan untuk meminjam motor salah satu temannya. Kekhawatiran bahwa tidak ada di antara kami yang mengetahui jalan kami tepis dengan berpikir, toh nanti kami bisa mengekor metromini yang melewati Taman Puring. Bisa ditebak, perjalanan itu hanya berakhir dengan muter-muter entah di mana, sampai hari gelap dan saya terlalu takut untuk berkendara di Jakarta dengan motor pada malam hari. Akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Malam itu kami dan dua sahabat lain, Fika dan Ima, memberi kejutan pada the birthday boy, namun saya tidak ingat apa yang kami berikan sebagai kado.

Ketika sudah memasuki masa-masa bekerja, intensitas pertemuan kami menjadi jauh berkurang. Padahal cuma Kramat-Rawamangun alias Jakarta Pusat-Jakarta Timur, tapi rasanya itu sudah jauh sekali. Memang jarak bukan satu-satunya masalah. Audit sana-sini, pengajian rutin, dan bazar ini-itu yang diurusnya juga membuat jadwal akhir pekannya penuh, sehingga harus bertanya agendanya jauh-jauh hari agar bisa sekedar ngobrol ngalor ngidul atau pergi ke pameran buku.

Akhir Januari lalu, menjelang saya pindah ke Solo, kami berjanji untuk menyempatkan diri, bertemu di Thamrin City. Btw, saat itu saya sudah hampir tiga tahun di Jakarta namun belum pernah sekalipun pergi ke tempat tersebut. Tidak banyak yang saling kami ceritakan, lebih banyak malah cuma guyon yang tak jelas. Hanya sebuah pesan di akhir pertemuan tersebut: mari tetap saling berkabar.

Dan akhir Maret, itulah kabar darinya yang saya terima. Bahwa ia akan menikah di akhir Mei.

24 Mei 2015, saya datang ke Malang, menyaksikan senyum leganya setelah selesai ijab qabul, melihat ekspresi bahagianya saat menjalani prosesi adat di pelaminan, menertawai wajah malu-malunya saat bersuapan dengan suaminya, dan memandang wajahnya yang berkali-kali lipat lebih cantik dari biasanya. Hari itu ia menikah dengan seorang senior di kantor.

Ya ampun Cung, sejak lama kamu menggalaukan masalah jodoh dan ternyata jodohmu sudah di situ, duduk di ruangan yang sama denganmu, sejak tiga tahun lalu. Haha.

Selamat atas pernikahanmu, Dwi Maulid Diana. Selamat menjalani kehidupan yang sama sekali baru dengan suamimu Indra Pratama. Futari tomo itsumo shiawase ni naru you ni.



080615
Paling kiri adalah Dhiqi. Sahabat saya yang kerja di DJP tapi nggak pernah nraktir. Bye.

Thursday, June 4, 2015

Sesuatu yang Tergantung di Paku di Pintu Kamar


Ada sesuatu yang tergantung di paku di pintu kamar kosku.

Pintu kamar kosku berwana coklat tua—warna standar untuk sebuah benda bernama pintu. Mulanya ia polos saja permukaannya, tidak ada stiker antikorupsi, stiker try out ujian, atau stiker bacalah basmalah. Hanya polos saja.

Beberapa hari pertama, aku masih tak menemukan masalah dengan pintu kamar kosku yang polos.

Sampai kemudian hujan turun dengan cukup luar biasa sehingga aku harus mengenakan mantel hujan sepulang dari kantor.  Ketika aku sampai di kos dan melepas mantel, muncullah masalah tersebut: di mana aku harus meletakkan mantel ini sampai ia kering? Aku tidak mungkin membawanya masuk ke dalam kamar karena aku tak mau kamarku basah. Aku tidak bisa menjemurnya di luar karena tempat jemuran di rumah kos ini adalah sebuah tempat lapang yang terbuka tanpa atap, yang tentu saja juga ikut ketumpahan air hujan. Aku juga tidak bisa meletakkannya begitu saja di depan kamar, karena bisa jadi ia tidak kunjung kering dan malah meninggalkan bau apek yang sangat kubenci.

Kemudian tiba-tiba aku teringat pada seikat paku yang kuletakkan di bawah jendela—aku tak ingat untuk apa menyimpan seikat paku di sana, namun aku tak pernah berkeinginan untuk membuangnya, siapa tahu ia jadi berguna seperti saat ini. Lantas aku mencari sesuatu yang padat, berat, dan tidak mudah hancur—aku teringat pada batu yang ada di pinggir tempat jemuran, yang aku juga tak pernah tahu siapa yang meletakkannya di situ dan mengapa tak pernah ada yang membuang batu tersebut.

Aku memaku pintu kamar kosku. Mantelku kupasangkan pada gantungan baju, kemudian kugantung di paku di pintu kamar kosku.

Sejak saat itu, pintu kamar kosku tidak polos lagi. Memang tetap tidak ada stiker apapun, namun telah ada sebuah paku yang menancap di tengah-tengahnya.

Bagiku, keberadaan paku di pintu kamar itu sangat bermanfaat. Tadi sudah kusebutkan bahwa ia bisa membuat mantelku menjadi kering dengan menggantungnya di sana. Kadang, ketika teman kosku telah kembali dari luar kota atau apa, mereka meletakkan sekotak bakpia, sekotak pie susu, sebungkus kuku macan, seplastik kue sagu, dua buah bros, atau sebutir apel di dalam plastik dan menggantungnya di sana. Tak jarang, ketika mereka baru pulang malam hari dan malam itu aku tidur cepat, maka ketika pagi harinya aku akan menemukan sebuah kejutan kecil yang indah dan cukup membahagiakan dengan kehadiran barang-barang tadi.

Kadang juga, kalau aku terlalu malas bertemu atau bicara dengan siapapun dan pergi ke manapun sementara perutku sedang lapar, aku melakukan ini: memanfaatkan layanan antar makanan dari sebuah kafe di dekat kosku yang bisa dilakukan cukup dengan SMS—tidak perlu telepon, karena aku sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun. Nanti mereka akan masuk ke dalam kos, menghampiri kamarku, mengambil uang pas yang kuletakkan dalam sebuah plastik bening dan kugantung di paku di pintu kamar, lalu sebagai gantinya mereka akan menggantung makanan atau minuman—atau keduanya—yang kupesan di pintu kamar.

Di lain waktu, aku sedang ingin menyenangkan diri sendiri dengan mendengarkan musik keras-keras melalui headphone. Dan orang yang mendengarkan musik melalui headphone dengan volume keras, mustahil dia akan diam saja. Mayoritas orang-orang itu akan ikut bernyanyi—meskipun mereka tahu suara mereka tidak cukup indah untuk didengarkan—dengan suara keras. Bahkan mungkin jika ada rombongan geng motor lewat dengan menyalak-nyalakkan motor mereka, niscaya para pengguna headphone tadi tidak akan mendengar apapun selain suara musik yang mereka setel. Begitu pun aku: ikut menyanyikan lagu Bokura no Eien milik band asal Jepang, Weaver, keras-keras, tak mau kalah dengan suara Yuji sang vokalis. Paginya, aku menemukan buku kumpulan cerpenku yang kupinjamkan pada salah satu teman kosku sudah tergantung dalam kantong plastik di pintu kamarku dengan kondisi terlipat sebab sudah semalaman di sana. Aku tak bisa marah pada teman kosku karena kurasa itu juga salahku yang terlalu asyik sendiri.

Kejutan-kejutan kecil yang silih berganti mampir kepadaku melalui paku di pintu kamar membuat hidupku menjadi lebih berwarna. Ketika bangun tidur, aku sering menerka-nerka apakah akan ada sesuatu yang tergantung di pintu kamarku. Apaagi jika malam sebelumnya aku tidur cepat, maka aku bisa menghabiskan beberapa menit untuk menerka-nerka hal yang belum pasti itu—baiklah, kuakui aku memang senang pada hal remeh-temeh macam itu.

Atau jika aku sedang pulang dari kantor, di atas motor aku sering membayangkan aku akan menemukan sesuatu di pintu kamarku. Lebih-lebih jika aku tahu bahwa beberapa hari sebelumnya ada temanku yang pergi ke luar kota, maka lamunanku bisa semakin menjadi-jadi. Terkadang apa yang kubayangkan bisa benar-benar terjadi, namun beberapa kali juga ia meleset.

Seperti ketika Duma, temanku di kamar paling pojok, kembali dari Balikpapan. Sehari setelahnya, ketika pulang, aku membayangkan seplastik besar kuku macan akan mampir di pintu kamarku, menungguku dengan sabar. Dan ketika aku pulang, memanglah ia sudah berada di sana. Langsung aku berlari ke kamar Duma dan berterima kasih atas dirinya yang sudah repot-repot mengisi tasnya dengan seplastik besar penganan kesukaanku itu.

Karena kejutan-kejutan yang juga bisa kutemui sepulang kantor itulah, aku seringkali mendapati diriku mengendap-endap masuk kos. Kamarku terletak di ujung, setelah belokan lorong pertama. Dari lorong, aku akan berjalan pelan-pelan, kemudian dengan lebih pelan lagi aku mengintip melalui lorong, untuk melihat apakah ada kejutan untukku di hari itu atau tidak.

Jika aku melihat sesuatu tergantung di pintu kamarku, aku langsung berteriak senang dan berlari ke arah kamarku, meskipun aku tak tahu apa yang digantung disana. Namun jika tak ada apapun, aku berjalan biasa saja ke kamar, melepas sepatu, dan masuk kamar.

***

Kemarin seorang teman kosku baru saja kembali dari Medan. Kupikir tak terlalu berlebihan jika aku membayangkan ketika aku pulang nanti aku bisa menikmati sepotog dua-potong bolu keju yang lezat itu. Atau alih-alih sepotong bolu, tidak tertutup juga kemungkinan bahwa aku akan menemukan selembar kertas yang ditempel di pintu, bertuliskan: ada pancake durian di kulkas, silakan ambil. 

Kalau benar ada tulisan seperti itu nanti, maka hari ini aku menjadi manusia paling bahagia di muka bumi karena tadi siang aku sudah meneguk segelas besar es durian di kedai dekat kantor—aku memang penyuka durian.

Seperti biasa, aku mengendap-endap  dari lorong sebelum belokan menuju kamarku. Ketika kuintip, aku melihat ada sesuatu tergantung di pintu kamarku.
“Ah, mungkin aku benar-benar bisa membuka stan ramalan di sebuah pasar malam kalau tebakanku sering tepat begini.” Pikirku.

Namun entah mengapa hari itu aku tidak berteriak, aku hanya berlari menuju kamarku demi mengambil apa yang tergantung di pintu.

Sebuah undangan pernikahan.

Tertulis nama teman kosku yang baru kembali dari Medan itu, dan nama seorang laki-laki yang tidak kuketahui.

Kubuka undangan tersebut untuk melihat tanggal berapa aku bisa menghadiri pernikahannya. Namun ternyata mataku lebih tertarik pada nama mempelai prianya.

Di situ ada satu nama lengkap yang sangat kukenal—bertolak belakang dengan nama pendek yang asing di amplop undangan. Nama orang tuanya juga. Asal daerahnya juga. Aku pernah kesini! Aku bahkan pernah diajak menginap di rumah itu dan mengobrol banyak dengan orang tuanya!

Aku memasang headphone, menyalakan lagu dengan volume maksimal, kemudian mengambil paku di bawah jendela kamar dan batu di tempat jemuran, pergi ke kamar teman kosku yang akan menikah tersebut, dan lantas memenuhi pintu kamarnya dengan paku. Rasanya seperti memaku tubuh temanku itu.

Tidak kudengar suara batu yang bertemu dengan paku berulang-ulang. Yang kudengar hanyalah suara Yuji, vokalis Weaver, yang menyanyikan lagu Kanseitou.

Dua minggu lagi kekasihku akan menikah dengan teman kosku ini.



280515

Kisah Ganjil Bertemu Malaikat


Kisah ganjil—baik yang benar-benar ganjil maupun yang sepertinya ganjil—selalu ada dalam setiap buku cerita. Selalu ada. Setidaknya satu. Sebanyak-banyaknya dapatlah dikatakan ada tiga kisah. Kalau lebih dari tiga, maka buku itulah yang ganjil—atau sepertinya ganjil.

Seorang anak kecil bertemu dengan malaikat. Bocah yang sangat menyayangi ayahnya itu pergi mengendap-endap dari rumah menuju sebuah tempat di ujung kota demi bertemu malaikat. Berdasarkan cerita yang sering diulang-ulang oleh ayahnya, di tempat itu ia dapat bertemu malaikat dan meminta apapun yang ia ingin, namun tentu saja bukan hal remeh macam mainan atau permen. Ketika ayahnya sedang tertidur—mungkin akibat obat yang baru saja diminum, ia menemui malaikat dan menyampaikan permohonannya: angkatlah penyakit ayahnya, sembuhkanlah, dan timpakanlah penyakit itu pada ibunya yang entah berada di mana sebab pergi bersama laki-laki lain, meninggalkan ia dan ayahnya—yang entah sakit apa sejak dua tahun lalu, bahkan dokter mana pun tak ada yang tahu penyakit apa yang menjangkiti ayahnya.

Kisah ganjil mengenai pertemuan dengan malaikat itu  saya baca beberapa waktu lalu, di sebuah sobekan kertas bekas rujak yang saya beli di tukang rujak di pinggir komplek. Ketika itu saya sedang kekenyangan setelah melahap rujak—rujak yang saya bicarakan di sini adalah rujak cingur, makanan kegemaran saya nomor dua setelah gado-gado—, dan iseng saya ambil kertas alasnya—yang saya tebak pasti berasal dari sebuah buku karena ada nomor halaman di ujung bawah—, saya buang kertas nasinya. Di situlah sebuah kisah berjudul Bertemu Malaikat pertama kali saya baca.

Kisah Bertemu Malaikat itu ganjil, tentu saja menurut saya. Menurut orang lain, bisa saja tidak. Mungkin saja bagi orang lain, yang disebut kisah ganjil adalah kisah mengenai sepasang sepatu di etalase sebuah toko bermerek yang sedang bercakap-cakap mengenai nasib mereka: hanya dipandangi dari luar dengan tatapan mata yang seringkali susah ditebak apa artinya oleh sebagian besar orang—karena mereka terlalu saying jika harus membeli sepatu yang senilai dengan gaji sebulan—yang kemudian beberapa hari atau minggu kemudian posisi mereka akan tergeser, tergantikan oleh sepatu-sepatu lain yang juga tak kalah menawan namun tetap hanya dipandangi saja oleh sebagian besar orang-orang yang lewat di depan toko. Sepasang sepatu itu, dan teman-temannya, meskipun merasa bahwa mereka adalah yang paling indah dan menarik, ternyata tak lebih hanya berperan sebagai penghias etalase.

Menurut saya yang hobi membacanya pas-pasan ini—omong-omong, bolehkah saya menyebut sesuatu yang saya sukai dengan kadar pas-pasan sebagai hobi?—, kisah Bertemu Malaikat menjadi ganjil lantaran saya baru pertama kali membaca kisah seperti itu. Itu sebab pertama. Sebab kedua adalah, karena saya sendiri belum pernah bertemu dengan malaikat.

Saya percaya bahwa malaikat itu ada. Mungkin lantaran sejak kecil saya sudah pergi langgar dan belajar mengaji pada ustad setiap sore. Di langgar, saya diajari banyak hal, termasuk tentang malaikat itu. Bahwa saya harus mempercayainya. Dan entah mengapa, meskipun ada beberapa hal yang begitu saya percayai ketika kecil namun ketika saya dewasa saya tak lagi meyakininya, tetapi masalah malaikat ini lain. Sampai sekarang, saya percaya bahwa malaikat itu ada.

Namun sama seperti saya percaya bahwa udara itu ada meskipun saya tak bisa melihat wujudnya, saya pun percaya akan keberadaan malaikat meskipun saya belum pernah bertemu dengan malaikat. Sebab saya belum pernah bertemu, maka saya menganggap ganjil kisah Bertemu Malaikat itu.

***

Siang ini, meskipun matahari bersinar dengan sangat terang—pakaian yang saya jemur bahkan bisa kering hanya dalam waktu dua jam, dan ini adalah rekor bagi saya—namun udara tidak terlalu panas. Biasanya di bulan Juni begini, kipas angin tidak pernah mati di siang hari. Namun beberapa hari terakhir, saya sampai merasa bahwa kipas angin itu hanya sebuah benda pajangan di atas meja. Saya tak pernah lagi menghidupkannya.

Namun bagi saya, udara yang tidak panas ini terasa ganjil. Sama ganjilnya dengan kisah Bertemu Malaikat. Namun kali ini, saya tak tahu apa alasan konkretnya. Saya hanya merasa bahwa ada yang ganjil dengan udara beberapa hari terakhir.

Rasa-rasanya ini pertama kalinya dalam hidup saya, udara menjadi seperti ini di musin kemarau. Rasa-rasanya juga, ini terjadi setelah saya membaca kisah Bertemu Malaikat. Bisa saja toh, karena saya merasa kisah itu ganjil, kemudian ada malaikat yang tidak terima lantas ingin semacam mengerjai saya.

***

Adik saya berteriak dari depan, katanya ada seseorang mencari saya. Selepas berkata demikian, ia langsung kabur entah kemana. Mungkin sudah ditunggu kawan-kawannya untuk ngopi di warung pojok jalan seperti biasa.

Tamu saya kali ini adalah seorang laki-laki. Tubuhnya tinggi, tidak begitu besar, namun kokoh. Mungkin ia rajin berolahraga. Pipinya agak tirus, ada jambang tipis yang sepertinya lantaran baru dicukur, serta rambut pendek yang hitam lebat.  Saya tidak mengenal wajahnya, dan ketika ia menyebutkan namanya, saya juga rasanya tidak pernah memiliki ingatan sedikitpun mengenai nama tersebut. Namun saya persilahkan juga ia masuk, karena katanya ia mengenal saya. Selain itu, ia bilang ada yang perlu dibicarakan, dan itu akan memakan banyak waktu sehingga saya akan kasihan jika lututnya nanti gemetar sebab terlalu lama berdiri.

Toh kalaupun di tengah percakapannya nanti saya menemukan ada yang ganjil, atau ia orang yang ganjil, saya bisa pura-pura masuk untuk mengambilkan penganan dan kembali ke ruang tamu dengan membawa senapan angin yang saya gantung di ruang tengah dekat dapur.

Ia mulai bercerita dengan mimik serius. “Saya adalah malaikat.” Katanya.

Ya Tuhan, saya sedang berhadapan dengan orang ganjil. Jika dalam satu menit dia masih begini, saya akan mengusirnya secara halus. Kalau cara itu tidak mempan, maka saya akan menggunakan cara tadi, yaitu pura-pura masuk mengambilkan penganan.

“Jangan mengusir saya ataupun pura-pura masuk untuk mengambilkan penganan.” Lanjutnya cepat, yang membuat saya kaget dan sejenak tidak bisa berpikir bagaimana dia bisa tahu apa yang akan saya lakukan.

“Saya malaikat,” ulangnya, “dan ini tidak ganjil. Banyak yang sebenarnya sudah bertemu dengan malaikat, hanya saja mereka tidak pernah menceritakannya kepada orang lain.”

Saya tidak tahu apakah harus mempercayai omongan dia atau tidak. Saya bahkan tidak tahu harus bereaksi seperti apa atas tiap kata yang ia keluarkan dari mulutnya. Saya percaya bahwa malaikat itu ada, namun saya tidak percaya bahwa orang di depan saya adalah malaikat.

“Silakan jika Anda tidak percaya apa yang saya katakan.”

Saya memilih untuk mengangguk saja sebagai respon atas perkataannya.

“Begini saja,” akhirnya saya bersuara juga. Saya sendiri kaget bahwa saya akhirnya berkata-kata juga, namun sepertinya mulut saya bekerja lebih cepat daripada otak saya—meskipun saya ragu apakah hal tersebut bisa terjadi.

“Bagaimana saya bisa percaya bahwa Anda adalah malaikat?” Tanya saya.

Orang di depan saya tidak mengubah posisi duduknya. Ia hanya memutar-mutar pergelangan tangannya sebentar.

“Nanti ketika adik Anda pulang ke rumah, ia akan mendapati bahwa luka di kakinya yang terkena pecahan kaca beberapa waktu lalu telah sembuh.”

Saya hanya diam. Kejadian itu menimpa adik saya beberapa waktu lalu, semestinya memang sekarang sudah cukup membaik kondisinya. Lagipula luka itu seingat saya tidak terlalu parah, kalaupun sembuh mungkin hanya menimbulkan bekas.

Ketika saya tersadar, di depan pintu sudah ada adik saya. Saya bahkan tidak menyadari sejak kapan ia ada di situ.

“Luka saya tiba-tiba sembuh kak. Bahkan tak ada bekas sama sekali.” Katanya datar. Saya bingung dengan ekspresinya, ia memang tipe orang yang tidak terlalu baik dalam menampilkan ekspresi wajahnya.

Saya melihat kakinya. Tak ada bekas apapun di situ. Seakan-akan insiden ia terkena pecahan kaca karena ia lengah saat mengelap kaca jendela bongkar pasang dan kaca itu meluncur dengan suksesnya ke kakinya adalah hal yang tidak pernah terjadi.

Saya menyuruh adik saya masuk.

“Jadi untuk apa Anda kesini?” Saya bertanya pada orang di depan saya, yang mengaku malaikat.

“Saya hanya ingin mengabarkan bahwa jatah waktu anda di dunia tidak akan lama. Nanti sore anda akan meninggalkan keluarga dan dunia ini.” Tidak ada intonasi dalam suaranya.

Saya mencoba tetap tenang. “Bagaimana cara saya akan mati nanti sore?”

“Terpeleset lalu terjatuh.” Singkat.

Sepertinya saya akan mati konyol karena keteledoran saya.

Setelah orang yang mengaku malaikat tadi pamit, saya sebenarnya masih tidak tahu harus bagaimana. Saya tidak percaya perkataannya, tapi fakta bahwa luka adik saya sembuh sama sekali juga cukup mengganggu pikiran saya.

Baiklah, pikir saya. Saya hanya cukup membuktikan apakah perkatannya benar atau tidak. Kalau saya akan mati karena terpeleset lalu terjatuh, saya cukup berhati-hati melangkah agar tidak terpeleset. Dengan begitu, saya bisa tahu apakah ucapannya benar atau tidak, termasuk mengenai apakah ia benar-benar malaikat atau bukan.

***

Baru saja saya tidak menyadari bahwa ada sesuatu di sekitar pagar depan rumah. Ketika saya mendorong pagar, kaki saya menginjak sesuatu yang ternyata tumpahan minyak—entah minyak apa—tersebut, saya oleng, dan terpeleset. Terjatuh. Lalu gelap.

Bertemu Malaikat bukan lagi sebuah kisah ganjil bagi saya.



290515