Sunday, August 23, 2015

Jepang: Tentang Peristiwa


Tentang peristiwa, saya tak akan menceritakan apa-apa saja yang saya alami secara detil. Hanya beberapa saja--dua saja malah, yang mana peristiwa tersebut tidak dapat ditemui setiap waktu:

1. Gojozaka Pottery Festival
Berlangsung sejak tanggal 7-10 Agustus 2015 di Gojo St., Kyoto, festival ini diadakan setahun sekali, mulai pukul 09.00 sampai 22.00. Di trotoar sepanjang Gojo St., sekitar 400 pengrajin dan pedagang tembikar memamerkan karya dan dagangannya. Tembikar yang dijual pun beragam, baik model, ukuran, warna, maupun harga. Menurut informasi yang pernah saya baca--entah di mana--, kawasan Gojozaka merupakan pusat kerajinan tembikar sejak lama, dan tembikar yang menjadi ciri khas Kyoto diproduksi di Gojozaka.
Selain kios tembikar, ada juga kios makanan seperti jagung bakar dan takoyaki yang sungguh menggoyahkan iman. 
Kami mampir ke festival ini dalam perjalanan pulang penginapan, karena jarak dari lokasi festival ke penginapan tidak lebih dari 20 meter.

2. Nara tokae
Digelar sejak tanggal 5-14 Agustus 2015, Nara tokae adalah sebuah acara yang cantik: lilin-lilin ditata dan dinyalakan sejak pukul 19.00 sampai 21.45. Diselenggarakan sejak tahun 1999, terdapat beberapa lokasi Nara tokae, semisal di Sarusawaike, Koufukuji, dan Kasuga Taisha. Namun atas alasan kemudahan pulang ke penginapan, kami memilih lokasi terdekat dengan stasiun, yaitu di Nara Prefectural Government Office.
Menjelang pukul 19.00, lampu di sekitar lokasi dipadamkan, ratusan lilin dinyalakan di lapangan kecil depan kantor, air mancur di dekat lapangan dihiasi lampu yang didominasi warna biru, dan panggung kecil untuk hiburan disiapkan di dekat pintu masuk gedung. Banyak pengunjung yang mengenakan yukata, yang sebenarnya sudah tampak berlalu-lalang dan memenuhi jalanan sejak sore hari. Lepas pukul 19.30, ketika langit sudah benar-benar gelap, tampak sebuah antrean mengular di pintu masuk gedung. Ternyata itu adalah barisan pengunjung yang mengantre naik lift ke atap gedung untuk sebuah pemandangan spektakuler: pagoda lima tingkat Koufukuji yang bersinar indah di kejauhan. Selain itu, terdapat sebuah teropong untuk dapat melihat wilayah sekitar. Sayangnya, dari atap gedung tersebut lilin-lilin di pelataran kantor tidak dapat terlihat sama sekali--kalau bisa, tentu menghasilkan sebuah potret yang manis.
Meskipun entah mengapa awalnya saya ingin menyaksikan acara ini di Umikido Gazebo, namun ternyata memilih lokasi di kantor pemerintah Perfektur Nara bukan ide yang buruk. Selain karena dapat melihat puncak pagoda Koufukuji yang menakjubkan, juga karena melihat orang-orang yang silih berganti berfoto di dalam jejeran lilin yang ditata berbentuk hati. Saya bahkan diminta tolong untuk mengambilkan gambar dua gadis yang mengenakan yukata dan berpose berhadap-hadapan di dalam 'lilin hati' (dan saya menyesal tidak mengambil gambar mereka dengan kamera saya).  




Jepang: Tentang Peristiwa ini juga menjadi bagian terakhir dari rangkaian tulisan saya tentang Jepang, setelah Jepang: Tentang Manusia dan Jepang: Tentang Makanan (bepergian 8 hari ternyata hanya menghasilkan 3 buah tulisan yang begini). 
Beberapa waktu sebelum berangkat, sebenarnya saya ingin dapat menulis tulisan semacam catatan perjalanan dalam buku Menyusuri Lorong-Lorong Dunia Jilid 2: Kumpulan Catatan Perjalanan karya Sigit Susanto. Di satu sisi, saya menyukai tulisan Sigit dalam buku tersebut karena Sigit mampu mengisahkan perjalanannya dengan baik, rinci, dan runut sehingga saya merasa ikut hadir dalam perjalanan itu; namun di sisi lain panjang tulisan yang luar biasa dan penuh dengan asal-usul baik lokasi, peristiwa, maupun tokoh membuat informasi yang masuk ke pembaca menjadi terlalu padat. Pun demikian, pada akhirnya saya tidak mampu menulis sebuah catatan seperti yang saya ingin-inginkan: ia tidak baik, tidak rinci, tidak runut, dan tidak padat informasi. 
Seusai ini, saya yang tidak tahu harus mengisi blog ini dengan tulisan macam apa lagi, hanya berharap: semoga ada kesempatan lagi untuk bisa bercerita dengan lebih baik.


21 Agustus 2015

Wednesday, August 19, 2015

Jepang: Tentang Makanan



Berbicara tentang makanan Jepang, tentu sebuah hal yang mengasyikkan. Saya sendiri, ingin rasanya mencoba semua makanan yang dijajakan di kedai-kedai atau di toko oleh-oleh. Namun apa daya, saya tak boleh melakukannya. Kami akhirnya bertahan dengan makan buah segar, memasak sendiri, dan makan di restoran halal. Berikut adalah restoran halal yang sempat kami singgahi:

-    Rose Café, Kyoto
Ini adalah tempat yang tidak kami temukan secara sengaja. Awalnya kami hanya berniat membeli bahan-bahan makanan di toko halal di dekat masjid Kyoto, yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari Kyoto Imperial Palace. Saat sedang berjalan, mata saya menangkap sederet tulisan yang tidak asing di depan sebuah kedai: Rose Café. Ini restoran halal! Tanpa pikir panjang, kami langsung masuk ke dalam. Setelah melihat-lihat buku menu, entah mengapa ternyata kami semua memesan menu yang sama: lunch set C yang berisi salad, sup, dan nasi kebab ayam. Saya pikir semua memilih menu tersebut karena ia adalah menu paling murah: 900 yen. Saya sendiri menambah pesanan segelas jus mangga seharga 400 yen. Ketika menu pertama, salad, dihidangkan, tak terbayangkan betapa bahagianya kami dapat makan di restoran (meskipun bukan makanan Jepang). Bahkan sampai semua makanan kami tandas, kami masih memperbincangkan betapa beruntungnya dapat bertemu sebuah kedai halal dalam perjalanan ini. Selepas makan, kami malah gagal berkunjung ke toko halal lantaran kami pergi ke sana sekitar pukul 13.00 pada hari Jumat—toko halal ditutup untuk dijadikan tempat sholat Jumat.

-   Ali’s Kitchen, Osaka
Ali’s Kitchen juga sebenarnya bukan merupakan tujuan kami. Yang ingin kami kunjungi adalah restoran Nazar, sebuah restoran Turki, di kawasan Shinsaibashi. Sayang, saat kami sudah mampu menemukan letaknya, restoran tersebut dalam keadaan tutup. Setelah mengecek kembali situs berisi daftar restoran halal, akhirnya Ali’s Kitchen menjadi tujuan kami karena ia juga terletak di kawasan yang sama. Terletak di lantai B1 gedung Toresu, Ali’s Kitchen cukup penuh pengunjung ketika kami masuk. Untunglah masih ada sebuah meja kosong di ujung ruangan yang muat untuk kami berlima. Di sini, kami memesan menu yang berbeda-beda, namun minuman kami sama: mango lassee (dan saya jatuh hati pada rasanya yang sangat segar). Saya sendiri memesan nasi dengan kari ayam seharga 1000 yen. Ketika kami menunggu makanan disajikan, Ali, pemilik restoran, mengajak kami mengobrol. Ia mengatakan bahwa pegawai KJRI di Osaka, yang jaraknya tidak jauh dari restorannya, sering mampir untuk makan. Ia juga memberi kami bocoran di mana kami bisa memperoleh suvenir murah di sekitar Dotonburi (yang sayangnya tidak ada satupun dari kami yang mengingat lokasinya) dan restoran halal yang menjual masakan Jepang. Kami meninggalkan Ali’s Kitchen dengan sangat berat hati, selain karena tidak tega harus berpisah dengan tempat berpendingin ruangan (musim panas di Jepang cukup melelahkan), juga karena makanan di piring kami masih tersisa banyak (porsinya terlalu besar untuk perut kami T.T).

-   Mr. Halal, Osaka

Tidak seperti dua kedai sebelumnya, Mr. Halal memang sengaja kami kunjungi. Ini merupakan kedai rekomendasi dari Ali, di mana Ali menyatakan bahwa Mr. Halal menyediakan juga masakan Jepang seperti ramen, wagyu beef, dan omurice. Kalau saya, demi omurice, maka saya dengan sangat ikhlas pergi ke tempat ini—entah apa motivasi teman-teman. Kedai sedang sepi saat kami sampai. Ketika buku menu disodorkan, hanya tertulis nama-nama masakan Arab. Sedikit kebingungan, kami bertanya kepada pelayan. Dan beginilah jawaban yang kam terima saat bertanya apakah kami bisa memesan masakan Jepang: maaf, saat ini kami tidak menyediakan masakan Jepang. Saya yang kecewa lantaran gagal makan omurice yang sangat saya dambakan, akhirnya memesan menu Shrimp Creamy (yang ternyata adalah tempura udang, berbeda sekali dengan gambar yang ada di buku menu) seharga 900 yen. Duhai pemilik kedai, janganlah kau cantumkan masakan Jepang kalau kau tak sanggup menghidangkannya karena hanya akan mengecewakan orang-orang seperti kami.

-    Sebuah Restoran Soba, Osaka
Seperti dua tempat pertama, kami juga tidak berencana singgah di restoran soba ini. Pada awalnya saya merencanakan makan di restoran The U-don di bandara internasional Kansai, yang sudah bersertifikat halal. Ketika sampai di lantai 2, kami melihat daftar kedai yang ada, dan menemukan bahwa ada satu lagi kedai yang berlogo halal di bawahnya. Sebab gambar menu yang lebih menarik, kami memutuskan untuk makan di restoran soba ini. Nama restorannya sendiri tertulis dalam kanji yang tidak bisa saya baca, jadi saya tidak mengetahui namanya. Yang bisa saya baca hanyalah kata ‘soba’ yang tertulis dalam huruf hiragana. Restoran yang penuh membuat kami harus menunggu sekitar 15 menit untuk memperoleh tempat duduk. Saya memesan Chicken Katsudon dan Mie Soba (tentu saja saya memilih yang berkuah hangat!) seharga 960 yen yang, lagi-lagi, tidak bisa saya habiskan seluruhnya (saya hanya menandaskan ayam katsu yang sungguh lezat). Pun demikian, lega rasanya, tak ada lagi rasa penasaran akan bagaimana rasa soba.

Untuk sebuah perjalanan singkat, empat di atas rasanya sudah cukup menghibur perut kami di antara konsumsi buah segar dan makanan masakan sendiri. Anehnya, terkadang, ketika sedang berjalan-jalan, mata saya samar-samar melihat gerobak cilok dan es teh di trotoar.


17 Agustus 2015
Dirgahayu Indonesia!


Saturday, August 15, 2015

Jepang: Tentang Manusia


Saya bertemu dengan banyak orang! Ah, tentu saja. Selama saya pergi ke sebuah tempat dimana orang lain juga tiggal disana, tentu saja saya akan bertemu dengan banyak orang. Namun ketika saya berhasil bercakap-cakap dengan banyak orang, selain merupakan sesuatu yang sangat menyenangkan, hal tersebut bagi saya pribadi juga merupakan sebuah prestasi—karena tak jarang saya sangat pelit bicara. Selain petugas stasiun dan polisi baik hati yang tidak membiarkan kami tersesat, perjumpaan saya dengan orang-orang berikut adalah hal yang patut saya kenang:


-      -   Kakak Sepertiga Harga
Ketika baru sampai di bandara internasional Kansai, kami memiliki dua pilihan menuju Kobe: kapal feri atau kereta, dengan harga yang tentu saja berbeda dan pengalaman yang juga tak sama. Saya cenderung memilih feri, jadi saya langsung menuju loket penjualan tiket feri. Namun ternyata harga feri tersebut belum termasuk harga kereta dari bandara Kobe ke Sannomiya, yang merupakan tujuan kami sebenarnya. Setelah berunding plus dan minus, akhirnya kami memutuskan untuk naik feri. Jam keberangkatan bis dari bandara ke dermaga sudah dekat, sehingga Kakak Sepertiga Harga harus berlari-lari kecil meminta agar bis jangan berangkat dahulu. Saat saya bertanya bagaimana dengan paspor—tiket feri dijual dengan harga lebih murah kepada wisatawan asing dengan syarat menunjukkan paspor—, Kakak Sepertiga Harga berkata bahwa karena waktu yang sempit, kami tidak usah menunjukkan paspor. Ia lantas bertanya kemana tujuan kami di Kobe. Saya jawab bahwa yang jelas kami akan berkeliling kota terlebih dahulu. Kemudian ia berkata bahwa kami bisa membeli tiket terusan bis City Loop dengan harga 200 yen dari harga normal 660 yen, dengan diakhiri, “Naisho de ne. Rahasia ya.” serta sebuah senyuman. Tawaran yang langsung saya sambut dengan segera mengeluarkan selembar uang 1000 yen untuk 5 tiket. Ah, kakak. Kepada siapa pula kami akan bercerita bahwa kami memperoleh tiket dengan harga sepertiga dari harga normal?

-     -    Bidadari di Kyoto
Saya bertemu bidadari di Kyoto! Saat kami bergerombol di depan sebuah denah stasiun untuk mencari pemberhentian bis terdekat, Bidadari itu muncul: seorang ibu berusia awal 40-an yang cantik dan baik hati, menginterupsi kami dengan sebuah pertanyaan, “May I help you?” dengan logat Jepang yang sangat kental. Teman saya menjawab dengan Bahasa Inggris yang membuat si Bidadari nampak kebingungan, yang kemudian saya jawab dengan Bahasa Jepang bahwa kami mencari pemberhentian bis. Ia lantas mengantar kami keluar stasiun menuju pemberhentian bis, menunjukkan bis mana yang dapat kami naiki, dan menunggui kami sampai bis tersebut datang. Ia bertanya bagaimana kesan kami terhadap Kyoto, namun karena saat itu kami baru saja tiba dari Kobe, kami sampaikan apa adanya. Ia lantas mengatakan bahwa bepergian dengan bis di Kyoto kadangkala bukanlah ide yang baik karena lalu lintas terkadang sangat padat dan menyebabkan jadwal bis berantakan.  Saat saya bertanya apakah kami bisa menggunakan kartu prabayar yang sudah kami beli sebelumnya, ia menanyakannya kepada orang di sebelahnya. Setelah memperoleh jawaban, ia menyampaikan bahwa kami bisa memakai kartu tersebut. Saat bis datang dan kami sudah duduk, saya melihat ia bahkan menanyakan hal yang sama kepada pengemudi bis. Lantas ia memberikan tanda OK kepada saya: kartu tersebut dapat dipakai. Setelah bis berangkat, teman saya bercerita bahwa si Bidadari tadi baru saja masuk stasiun, sehingga mungkin saja ia tertinggal kereta demi membantu kami. Mendengar itu, saya sedikit menyesal karena tadi saya kurang dalam ketika menundukkan kepala saya saat berterima kasih.

-      -   Nenek 230 Yen
Bis sedang lengang. Saya memberikan uang 10.000 yen kepada sopir untuk membeli 5 tiket terusan bis seharga total 2.500 yen. Namun sopir menjawab bahwa ia hanya menerima uang pas. Saya mengangguk, kembali ke tempat duduk. Lantas saya mengeluarkan dompet, mencari-cari siapa tahu ada uang pas sejumlah 2.500 yen. Tiba-tiba nenek di samping saya mengangsurkan sejumlah uang koin yang saya duga jumlahnya 230 yen—seharga tiket naik bis untuk satu kali— kepada saya. Saya menolak dengan halus, Nenek 230 Yen tetap memaksa dengan berkata, “ tidak apa-apa, ambil saja ini.” Aduh, bagaimana cara saya menolaknya ya? Kemudian saya teringat kartu prabayar yang saya beli hari sebelumnya, dan berkata bahwa saya sudah memiliki kartu itu, lalu basa-basi bertanya apakah saya bisa menggunakan kartu tersebut—yang sudah saya ketahui jawabannya. Nenek 230 Yen menjawab kartu itu dapat dipakai, lantas ia memasukkan kembali koin-koinnya ke dalam dompetnya. Duhai, baik sekali!

-     -    Kakek Internasional
Setiba di gerbang masuk Kyoto Botanical Garden, seorang kakek petugas menyapa kami. “Good afternoon!” Ia lantas menyuruh kami membeli tiket dari mesin di dekat gerbang. Saat kami sedang mengutak-atik mesin untuk membeli 5 tiket, si kakek bertanya kembali, “where are you from?” Kami jawab bahwa kami dari Indonesia. Si kakek kemudian berbicara kepada rekannya sambil tertawa, “atatta. Tebakanku benar.” Saat saya ceritakan bahwa biasanya orang mengira kami berasal dari Malaysia dan bertanya bagaimana si kakek menebak kami berasal dari Indonesia, si kakek hanya berkata, “nantonaku. Bisa saja.” Lanjutnya, “saya orang internasional,” Kakek Internasional berkata dengan penuh kebanggaan. Ketika kami pulang, saya melihat si kakek bercakap-cakap dengan seorang wisatawan asing dalam bahasa asing (saya menduga mereka menggunakan Bahasa Prancis). Kakek Internasional benar-benar internasional!

-      -   Kakek Sopir Galak
Karena kecerobohan saya, tiket bis terusan saya hilang. Akhirnya saya menyiapkan uang 230 yen yang saya taruh di saku celana saya. Saat turun, saya yang tidak tahu harus memasukkan uang di sebelah mana, rupanya salah memasukkan uang. Sopir tidak berkata apa-apa, hanya memencet sebuah tombol dan meletakkan kembali uang saya di atas mesin. Di belakang saya banyak yang mengantre, jadi saya berdiri agak minggir, mempersilakan mereka turun terlebih dulu. Saya yang tetap tidak tahu harus memasukkan uang dimana, tetap saja berdiri di situ. Kemudian sopir menunjuk-nunjuk satu lubang. Saat saya masukkan, mesin menunjukkan uang yang saya masukkan berjumlah 130 yen, alias masih kurang 100 yen. “Makanya, kalau memasukkan uang harus sekaligus!” katanya dengan dialek Kansai yang khas. Saya menunjuk uang 100 yen di atas mesin yang tadi saya masukkan ke tempat yang salah, sambil berkata bahwa itu uang saya. “Mana mungkin ini uangmu. Ini uang penumpang tadi yang cuma memberi 100 yen!” Kemudian saya tetap berdiri, kebingungan. “Lalu bagaimana?” Tanya saya. “Ya sudah! Ya sudah!” Kakek Sopir Galak menunjukkan ekspresi yang tidak enak. Saya lantas turun, dan mengasihani diri saya sendiri. Seandainya saya bertemu Nenek 230 Yen saat itu, mungkin ia akan menyelamatkan saya dari Kakek Sopir Galak.

-     -    Kasir Chang
Sekitar 50 meter dari penginapan, ada minimarket Lawson yang selalu kami sambangi tiap malam demi membeli air mineral kemasan 2 liter seharga 98 yen. Saat saya baru saja mengambil botol saya dan mendekati kasir, di depan saya adalah dua kawan saya yang sedang mencari-cari uang di dalam dompet. Kemudian saya dengar kasir berkata dalam Bahasa Indonesia, “Seratus sembilan puluh enam yen.” Saya lihat di dadanya sebelah kanan tersemat label nama bertuliskan Chang. Saat tiba giliran saya, saya bertanya dalam Bahasa Jepang, bagaimana Kasir Chang bisa berbahasa Indonesia. Dia menjawab, “Saya orang Indonesia. Emm.. lebih tepatnya, keturunan Indonesia.” “Campuran?” Tanya saya. Kasir Chang mengangguk. “Campuran mana?” Kasir Chang menjawab, “Indonesia dan Taiwan.” Setelah saya menerima struk dan uang kembalian, saya berkata pada Kasir Chang dalam Bahasa Indonesia, “Terima kasih.”

-     -    Mbak Aichi
Seorang perempuan Jepang membuka pintu depan penginapan dan bertanya sesuatu kepada teman saya, yang dijawab dengan, “Sorry, I can’t speak Japanese.” Saya kemudian bertanya ada apa, dan ia bertanya dimana ia bisa menemui Kousuke, pemilik penginapan. Saya katakan bahwa Kousuke ada di lantai 4 atau ia akan datang ke lantai 5 jika ada yang memencet bel di meja resepsionis. Tak lama, mbak Aichi masuk lagi bersama Kousuke dan mendapat penjelasan mengenai beberapa hal tentang penginapan, hal yang sama yang kami dapatkan ketika baru datang. Ternyata Mbak Aichi merupakan tamu penginapan juga, ia mendapat tempat tidur di satu dipan yang tersisa. Saat sedang menunggu giliran mandi, saya sempatkan mengobrol dengan mbak Aichi. Sebenarnya saya tidak tahu siapa namanya—bahkan sampai akhir percakapan saya juga tidak menanyakannnya—, namun karena ia berasal dari Perfektur Aichi, marilah kita sebut dia dengan sebutan mbak Aichi. Saya mengobrol cukup banyak dengannya—mulai dari untuk apa dia datang dari Aichi ke Nara, bagaimana kisahnya menjadi seorang juru masak padahal ia mengambil sekolah dengan keahlian membuat kimono dan tidak pernah mengambil kursus memasak apapun, tradisi Obon yang membuat lokasi Obon jadi sangat padat, sampai apakah saya dan teman-teman tidak kepanasan mengenakan pakaian yang tertutup di tengah musim panas. Tentu saja saya tidak memahami semua perkataannya—dia berkata dengan kecepatan yang luar biasa dan menggunakan kosakata yang tidak saya mengerti—, namun beberapa yang saya ingat adalah: ia datang ke Nara demi sebilah pisau seharga 25.000 yen yang sangat dia inginkan dan toko tempat pisau tersebut dijual hanya ada di Nara; dan ia mengetahui hal-hal tentang Islam dengan cukup baik—ia mengetahui bahwa Tuhan dalam Islam hanya ada satu dan tidak ada yang menyerupai-Nya, bahwa perempuan muslim menutup kepalanya, dan bahwa pemeluk Islam tidak boleh mengkonsumsi babi. Ketika saya ungkapkan bahwa makanan yang paling ingin saya makan di Jepang adalah omurice, Mbak Aichi menjawab dengan santai bahwa dengan demikian tidak ada omurice yang dapat saya makan.

-     -    Kakek Berbahasa Inggris
Berbekal informasi dari petugas stasiun bahwa kami bisa menuju Sumiyoshi Taisha dengan bis, kami naik bis dengan cukup percaya diri. Kemudian saya baru ingat bahwa saya tidak menanyakan di halte mana kami harus turun. Akhirnya saya bertanya kepada seorang nenek yang ternyata juga tidak mengerti. Beliau malah bertanya pada seorang kakek yang duduk di depannya. Si kakek juga tak mengerti, ia menyuruh saya bertanya langsung kepada sopir. Setelah saya meminta tolong kepada sopir agar memberitahu nanti saat kami harus turun, saya kembali duduk. Si kakek bertanya dalam Bahasa Inggris, bagaimana kami memperoleh informasi mengenai Sumiyoshi Taisha. Awalnya saya menjawab dalam Bahasa Jepang, namun pertanyaan-pertanyaan berikutnya ternyata juga terlontar dalam Bahasa Inggris. Akhirnya kami bercakap-cakap dengan Bahasa inggris. Yang cukup mengejutkan saya, pelafalan Kakek Berbahasa Inggris ini lebih baik dari yang sering saya dengar. Tak jarang saya sampai harus terbengong beberapa kali demi memahami apa yang dikatakan oleh petugas stasiun dalam Bahasa Inggris—saking anehnya—, namun saya cukup sekali saja mendengar pertanyaan Kakek Berbahasa Inggris seperti, “Where do you learn Japanese?”, “Where will you go after this?”, dan “Where are you from?”.  Kakek sungguh luar biasa! (dan saya agak menyesal tidak bertanya bagaimana Bahasa Inggris si Kakek bisa sedemikian baik).

-     -    Kakek Nishinari
Dengan informasi berupa nomor pintu-keluar stasiun dan alamat, kami mencari penginapan yang sudah kami pesan di Osaka. Tepat di pintu keluar, seorang kakek sedang duduk. Saya menyodorkan ponsel saya yang berisi alamat penginapan sambil bertanya apakah beliau tahu lokasi tersebut. Si kakek menggeleng, “Eigo wakaran. Saya tidak mengerti Bahasa Inggris.” Lantas saya bacakan alamatnya, dan beliau berkata, “Ini daerah Nishinari. Tapi saya tidak tahu tempat itu.” Setelah mengucapkan terima kasih, perhatian saya dan teman-teman teralihkan oleh sebuah mesin penjual minuman seharga 40 yen per botol—harga minuman termurah yang pernah kami lihat adalah 100 yen, jadi kami cukup ndeso melihat harga 40 yen ini. “Apakah kalian mencari hotel?” Kakek Nishinari kembali kepada kami. Saya mengangguk. “Apa nama hotelnya?” setelah saya sebutkan, ia berkata, “kalau hotel itu, ia ada di situ.” Kakek Nishinari menunjuk sebuah plang bertuliskan nama penginapan yang kami cari, yang ternyata hanya berjarak 20 meter dari pintu keluar stasiun. Aha! Kakek Nishinari, terima kasih!

Sebab orang-orang di atas, saya menjadi cukup waras selama berada di sana. Meskipun saya hampir menangis selepas dimarahi Kakek Sopir Galak, namun sepuluh menit kemudian saya bisa tersenyum karena bertemu Kasir Chang. Tentang manusia-manusia, memang selalu ada-ada saja.


15 Agustus 2015
Terlambat sehari untuk mengucapkan Selamat Hari Pramuka!

Tuesday, August 11, 2015

Perjalanan


Perjalanan, katanya, mampu membuat seseorang menemukan dirinya sendiri. 
Tentang diri yang ternyata maunya begini, senangnya begini, tidak suka begini, benci begini. 
Dulu, saya agak menyangsikan pernyataan pertama di atas. 
Sebelumnya saya juga tak jarang melakukan perjalanan, baik jarak dekat maupun jarak jauh, baik sendiri atau bersama entah siapa, namun saya tak pernah merasa ada manfaatnya dari segi pribadi. 
Selain senang karena koleksi foto bertambah, daftar lokasi yang bernah disambangi juga bertambah, serta beberapa hal kecil, saya merasa perjalanan adalah sebuah hal biasa. 
Namun perjalanan kali ini, meskipun belum berakhir, saya merasa ada yang berbeda. 
Perjalanan kali ini tidak sama. 
Beberapa kenyataan yang sungguh berbeda dengan rencana menimbulkan sedikit percikan bahkan letupan, meskipun kecil, dalam kami sendiri. 
Letupan dalam kami yang membuat saya semakin mengerti dan memahami bagaimana saya sebenarnya. 


Ditulis untuk mengusir kantuk.

Menuju Yamatoyagi setelah hari yang pendek namun melelahkan, 
10 Agustus 2015, 17.49 JST