Wednesday, February 23, 2011

Cermin: Meminjam Sajadah

Masjid sepi, jamaah terakhir salat isya sudah meninggalkan masjid lima belas menit lalu. Merbot mematikan semua lampu di bagian dalam masjid, hanya lampu teras yang ditinggalkan menyala. Ia juga mengunci semua pintu dan jendela, mungkin supaya mimbar di tempat imam tak dicuri maling.

Tertatih-tatih, merbot masjid akhirnya meninggalkan masjid juga.

Setelah merbot pergi dan tak ada seorang pun di masjid, seseorang menyelinap masuk lewat jendela masjid—seperti hari kemarin dan kemarin-kemarin, selama puluhan hari. Sepertinya merbot yang sudah berusia 60an tahun alpa mengunci jendela itu, selama puluhan hari juga. Seseorang itu hanya sebentar saja di dalam masjid. Tak sampai lima menit. Lantas keluar lagi lewat jendela yang sama, sambil menenteng sesuatu.

Seseorang yang lain, warga yang rumahnya berada di sebelah masjid, melihat kejadian itu. Selama puluhan hari juga. Tapi toh tiap pagi ketika ia memeriksa masjid, tak ada yang janggal. Semuanya ada di tempatnya. Ia bertanya pada merbot, barangkali merbot lebih paham inventaris masjid. Puluhan hari juga, si merbot mengatakan bahwa barang di masjid tak ada yang hilang.

*****

Malam itu, si warga melihatnya lagi, seperti puluhan hari yang lalu: seseorang masuk lewat jendela-masjid yang sama, berada di dalam masjid tak sampai lima menit, dan keluar dengan membawa sesuatu.

Si warga penasaran. Ia akhirnya mengikuti seseorang itu.

Di emperan sebuah toko, si warga melihat seseorang itu: seorang bocah laki-laki berusia sekitar 8 tahun, menggelar selembar sajadah yang lantas dijadikan alas tidur oleh adiknya: seorang bocah perempuan berusia kira-kira 6 tahun dengan rambut kemerahan dan hidung yang selalu mengeluarkan ingus.

Setiap hari, selama puluhan hari, si bocah laki-laki menyelinap ke dalam masjid, meminjam selembar sajadah untuk alas tidur adiknya, dan sebelum subuh ia mengembalikan sajadah itu lagi ke masjid.




Ruang Hidup, 20 Feb 2011

Salam,
Wahyu Widyaningrum

Tulisan dari 'Setahun Koin Keadilan'

Sebuah tulisan jika ditulis dengan hati, apalagi berdasarkan sebuah kejadian yang nyata, dipercaya mampu menyentuh hati pembacanya. Saya termasuk yang memercayai hal tersebut karena saya baru mengalaminya. Saya membaca sebuah tulisan, satu di antara beberapa tulisan dalam e-book Setahun Koin Keadilan: Sebuah Kenangan dan Penghargaan untuk Orang-orang yang Berkehendak Baik, yang membuat saya terharu *kalau nggak mau disebut menangis :p*.

E-book Setahun Koin Keadilan itu sendiri adalah e-book yang diterbitkan oleh Rumah Langsat pada bulan desember 2010, yang mengupas segala sesuatu tentang gerakan sosial koin keadilan bagi Prita Mulyasari. Ada sekitar 14 tulisan dalam e-book ini, berkisah dari segala sisi.

Tulisan yang saya bicarakan sebelumnya berjudul Pemulung Cilik dan Kejujuran, ditulis oleh Muhammad Zamroni. Saya tampilkan tulisan itu disini, semoga bisa diambil hikmahnya. Sungguh kita patut malu setelah membacanya. Selamat membaca :).


Pemulung Cilik dan Kejujuran
Pemulung cilik itu menunggu cukup lama sebelum mendekati tempat sampah di Langsat yang penuh dengan tumpukan kardus, kaleng, dan bekas celengan. Rupanya dia menunggu kumpulan gelas plastik minuman kemasan yang tercecer untuk diletakkan di tempat sampah itu. Begitu kardus berisi gelas-gelas plastik itu diletakkan di dekat tempat sampah (karena tempat sampah sudah tidak muat), pemulung cilik itu dengan cekatan segera menyortir dan mengumpulkan benda-benda yang sekiranya bisa dia ambil dan dijual kembali, ke dalam karung plastik besar berwarna putih kusam yang ia bawa.

Kardus, kaleng-kaleng, dan bekas celengan plastik yang telah disobek untuk dikeluarkan isinya, berkeping-keping uang logam untuk dihitung di Posko Langsat, menjadi sasaran utamanya. Selain gelas-gelas plastik bekas air minum dalam kemasan yang sepertinya sudah diincarnya sejak tadi tentunya.

Posko Koin Keadilan rupanya juga membawa berkah bagi orang lain. Contoh nyatanya adalah si pemulung cilik yang diceritakan di atas. Terjadi sebuah simbiosis mutualisme.

Tumpukan sampah yang menggunung, rupanya bisa menjadi ladang rezeki bagi orang lain. Tempat sampah Langsat pun kembali kosong dan siap menampung sampah-sampah berikutnya.

Tiba-tiba terdengar bunyi gemerincing. Koinkoin yang tercecer dan masih berada di dalam kaleng, terselip di sela-sela lipatan kardus, atau di dalam celengan yang mungkin lupa terambil oleh relawan, kembali dilemparkan si pemulung cilik ke atas karpet tempat penghitungan koin.

Kami yang melihatnya langsung terdiam, sementara si pemulung cilik seakan tidak mengetahui kami yang memperhatikan gerak-geriknya, masih sibuk mengorek-korek sampah. Tidak satu-dua kali aksinya melempar kembali koin yang ditemukannya di tempat sampah kembali ke posko penghitungan.

Bisa saja si pemulung cilik mengambil dan menyimpan koin-koin yang tercecer itu. Bila dikumpulkan pun, hasilnya cukup lumayan, walau toh tak seberapa bila dibandingkan dengan jumlah yang terkumpul yang saat itu hingga mencapai sekitar 280 juta.

Namun ini tidak dilakukannya. Si pemulung seolah bisa mengerti, mana yang menjadi haknya dan mana yang bukan haknya. Sampah adalah miliknya, namun koin itu bukan, koin itu milik Prita.

Perilaku jujurnya ini juga ditunjukkan sejak awal. Dia memilih menunggu hingga gelas-gelas plastik
yang memang tercecer di seputaran posko, ditaruh dahulu di tempat sampah, meski jika dia mengambil ceceran gelas plastik itu secara langsung pun tidak akan dianggap sebagai masalah. Seolah-olah ia ingin memastikan, bahwa gelas-gelas platik itu benarbenar menjadi haknya, berada di tempat sampah.

Kami yang melihatnya pun tergerak. Bantuan logistik untuk para relawan penghitung koin berupa makanan dan minuman begitu melimpah di Langsat. Seseorang di antara kami menawarkan si pemulung cilik untuk mengambil nasi kotak. Si pemulung menolak, dengan alasan dia sudah mengambil jatah dari sisa-sisa nasi kotak. Sontak kami yang mendengarnya langsung terdiam.

Hampir tengah malam, ketika si pemulung cilik itu kembali ke Langsat untuk meneruskan pengumpulan sampahnya, kami akhirnya harus sedikit memaksa si pemulung cilik untuk tidak menolak pemberian nasi kotak.

Kami memaksanya untuk membawa beberapa nasi kotak, untuk dibawanya pulang, untuk disantapnya bersama keluarganya.

Wednesday, February 16, 2011

Maulid Akbar Majelis Rasulullah saw


Puluhan ribu jamaah menyesaki area Monumen Nasonal-Monas, Jakarta. Mereka datang demi menunjukkan rasa cintanya kepada rasulullah saw. Hari itu, 15 Februari 2011, Majelis Rasulullah saw yang dipimpin oleh Habib Munzir al Musawa menggelar Maulid Akbar.Saya bersama kawan-kawan Ikatan Mahasiswa Nahdliyin (IMAN) STAN sampai di Jl. Medan Merdeka sekitar pukul 8.40. Tapi jalanan yang ramai sekali membuat kami akhirnya turun di gerbang luar Monas dan jalan kaki masuk area Monas. Sekitar lima puluh meter sebelum pagar Monas, orang-orang sudah berkerumun, berebutan masuk. Padahal seingat saya,dulu kondisinya nggak separah ini (saya sudah pernah ikut Majelis Rasulullah satu kali).



Habib Munzir al Musawa

Setelah antre berdesak-desakan sekitar 20 menit, akhirnya kami berhasil masuk. Dan saya menemukan penyebab lamanya antre: ada pemeriksaan oleh Paspampres. Jadi ada semacam ‘pintu’ metal detector. Tapi berhubung yang antre sudah banyak sekali, akhirnya nggak semua orang masuk metal detector itu. Beberapa hanya diperiksa oleh paspampres (ada paspampres wanita juga, khusus memeriksa jamaah wanita) dengan diraba-raba, dibuka tasnya, bahkan tidak dilirik sama sekali (saya termasuk yang tidak diperiksa. Mungkin saya nggak ada tampang teroris, jadi si paspampres acuh saja).

Dan ribetnya masuk area Maulid ini membuat kami baru duduk sekitar pukul 08.25. Super sekali, bukan? Padahal acara dimulai pukul 08.00. Jadi kami ketinggalan zikir-zikir pembuka.

Di tengah-tengah zikir dan pembacaan maulid, Habib Munzir mengatakan bahwa presiden sedang menuju ke monas. Dan barulah saya sadar: Oalah, pantes ada paspampres. Ternyata ada presiden yang rawuh toh.




Yang dikasih lingkaran itu anggota Paspampres, pakai baju batik, corak dan warnanya seragam semua. Saya motretnya pas acara udah selesai.

Habib Munzir berkisah dalam ceramahnya tentang keunggulan akhlak Rasulullah saw,” Suatu hari seorang sahabat mengutus sahabat lain untuk mengantarkan hadiah berupa pakaian dari sutera kepada Rasul. Sahabat yang memberi tidak mengetahui bahwa sutera haram dipakai oleh laki-laki. Sahabat yang mengantar hadiah tadi berkata, “sutera itu haram.”
Lantas si pemberi terkejut, “Astaghfirullah, aku memberi barang haram kepada Rasul? Lalu apa yang beliau lakukan terhadap pemberianku?”
“Beliau merobek-robek pakaian pemberianmu. Tapi sekarang beliau meminta baju yang sedang kau pakai.”
“Apa maksudmu? Saat ini kan Rasulullah sedang meladang di kebun kurma. Mana mungkin beliau meminta pakaian yang sedang kupakai ini?”
“Begitulah kata Rasulullah saw.” Jawab sahabat yang mengantar hadiah tadi. Sungguh menunjukkan akhlak Rasul yang luar biasa.”

Setelah pembacaan maulid dan ceramah selesai, giliran pak Presiden memberikan sambutan. Dari beliau, saya tahu bahwa ada pejabat penting lain yang juga rawuh: Wakil Presiden Budiono, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, Panglima TNI, Kapolri, Mensesneg Sudi Silalahi, dan menteri-menteri lain. Hadir juga K.H. Idris, pimpinan Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri.

Dalam sambutannya, Pak SBY mengungkapkan bahwa selayaknya kita mencontoh kepribadian Rasulullah saw. yang bijak, teduh, penuh pengayoman. Selain itu, beliau juga berkata, “Pemerintahan yang saya pimpin akan terus berjuang untuk mengatasi semua permasalahan dan terus membangun untuk kesejahteraan seluruh rakyat. Banyak yang sudah kita capai, tapi jujur saya akui, masih banyak pula PR yang harus diselesaikan agar masa depan kita lebih baik.”

Maulid Akbar kemudian ditutup dengan doa oleh K.H. Idris Lirboyo yang, subhanallah, meskipun kurang sehat namun beliau menyempatkan diri rawuh di Monas bersama puluhan ribu jamaah Majelis Rasulullah saw.

Acara selesai sekitar pukul 11.30, diakhiri dengan foto-foto arek-arek IMAN. Hehehe



Inilah panggungnya. Yang jamaah wanita ada di sebelah kanan panggung, makanya angle foto saya begini.



Segini banyak jamaah yang datang. Ini saya cuma motret yang jamaah wanita. Kalau yang jamaah laki-laki, bisa sampai ujung tuh. Buanyak banget! Subhanallah...

Semoga di kesempatan lain masih bisa ikut serta. Shallu alannabi Muhammad!

Salam,
Wahyu Widyaningrum




Silakan baca juga:
Al Zaytun, Kemegahan yang Pernah Saya Cita-Citakan

Sunday, February 13, 2011

Ternyata Sudah Satu Semester...

Ternyata sudah hampir satu semester saya menjalani hari-hari dengan manusia-manusia absurd (termasuk saya juga absurd tentunya). Besok Rabu (16Feb2011) sudah mulai UAS. Hampir bisa dipastikan kami jarang ngobrol lagi (ini tidak berlaku di dunia maya, apalagi kalau ada kisi-kisi atau soal-soal sulit). Apa ya? Semoga bisa lebih kompak di semester 6 deh (meskipun agak ragu juga, soalnya semester 6 kami 'hanya' menghadapi 3 mata kuliah. Itu berarti makin jarang ketemu di kelas).

Berikut ini ada beberapa foto yang diambil bersama dosen-dosen kami tercinta, yang dengan penuh keikhlasan dan kerelaan hati mau berbagi ilmu dengan manusia-manusia absurd dari 3T Akuntansi Pemerintahan.



3T Akuntansi Pemerintahan bersama Pak John Ardi Alimin, dosen mata kuliah Hukum Administrasi Keuangan Negara II




3T Akuntansi Pemerintahan dengan Pak Suhariyanto, dosen Akuntansi Pemerintahan II


Belum dapat foto-foto sama dosen yang lain, nih. Hehehe.

Oke, semoga UAS dan KTTA kami semua sukses! Woohoooo....



Salam,
Wahyu Widyaningrum

Wednesday, February 2, 2011

Cerita dari Rantau

Rasanya sudah berabad-abad saya nggak nulis di blog ini. Malu rasanya kalau kosong, jarang diperbarui. Nggak keren aja kayaknya. Haha.Sekalinya saya ngepost, isinya adalah sebuah cerita yang sudah saya tulis lebih dari setahun yang lalu. Curhat sedikit, akhir-akhir ini saya jarang menulis. Padahal sudah menjadwalkan waktu untuk itu, tapi ternyata habis menguap, nggak tau buat apa (kebanyakan sih buat main internet dan ajep-ajep dengerin lagu).

Baiklah. Monggo disimak kisah berikut ini...

Ketika sedang menonton televisi, saya menyaksikan sebuah kenyataan tak terbantahkan yang benar-benar ada di sekitar kita, kisah tentang seorang di perantauan yang menjadi melarat di rantau.Seingat saya acara televisi itu adalah Mata Kamera di tvOne. Tema episode itu kira-kira begini: tentang orang-orang daerah tanpa keahlian khusus yang mengadu nasib di ibukota Jakarta. Dari sekian banyak orang yang diwawancarai secara singkat oleh sang host, ada satu kisah yang membuat saya miris.

Sang host tengah memanggil seorang pemulung yang berjalan di depannya, dan menghentikannya. Setelah si pemulung berhenti, sang host dan kameramen langsung menodongnya untuk wawancara. Si pemulung berusia muda, kira-kira di bawah 25 tahun. Badannya tinggi, lebih tinggi daripada sang host tadi. Dengan kaos oblong kuning, celana tiga per empat warna khaki, sandal jepit, dan topi, si pemulung memanggul sebuah karung yang isinya belum ada setengah.

“Mas, mas. Sebentar mas, ganggu sebentar. Namanya siapa, mas?”
Sayang, saya lupa nama si pemulung.

“Mas asalnya dari mana?”

“Dari Medan.”

“Ooo…jadi, merantau kesini, ya?”
Si pemulung mengangguk.

“Sudah berapa lama jadi pemulung?”

“Mmm…sekitar 9 bulan lah.”

“Dulu waktu pertama kali kesini, kerjanya apa, mas?”

“Nggak dapat kerja, langsung jadi pemulung.”

“Terus di sini tinggal sama siapa? Ada keluarga?”
Si pemulung menggeleng. “Saya nggak punya tempat tinggal.”

“Jadi tinggal dimana, mas, sehari-hari?”

“Ya dimana-mana. Di stasiun, di jalan, di terminal. Gitu.”

“Ooo…. Keluarga di Medan tahu nggak kalau mas jadi pemulung?”

“Nggak ada yang tahu. Sudah 7 bulan nggak komunikasi.”

“Lho, kenapa mas?”

“Nggak ada HP. HP saya sudah dijual.”

“Jadi, dulu mas kesini bawa HP, terus HPnya dijual buat memenuhi kebutuhan hidup, gitu?”

“Iya.”

“Nggak ingin kembali ke Medan, mas?”

“Nggak.”

“Kenapa, mas?”

“Malu, di sini cuma jadi pemulung. Lagi pula nggak ada ongkos.”

Wawancara diakhiri. Sang host mengucapkan terima kasih pada si pemulung atas kesediaannya berbagi kisah dan meluangkan waktu. Kamudian, si pemulung terus berjalan meninggalkan sang host yang masih terus berbicara di depan kamera.

Mungkin bagi banyak orang kisah ini terasa hambar, biasa saja. Tapi tidak bagi saya. Betapa ibukota telah menghipnotis jutaan manusia untuk ikut mengadu nasib di sana, tak peduli bahwa dia tak memiliki bekal untuk bersaing dengan jutaan orang lainnya. Alih-alih pulang kampung membawa pundi-pundi berisi banyak uang, mobil mewah, investasi di real estate terkemuka, dan lain-lain, banyak di antaranya justru menangguk rugi dan hidup dalam keadaan yang lebih parah secara ekonomi dibandingkan dengan ketika masih di kampung halaman.

Seusai menyaksikan tayangan tersebut, saya berjanji pada diri sendiri untuk menuliskan kisah tersebut. Sekedar berbagi, dan mengingatkan pada diri saya sendiri untuk tidak hanya bermodal nekat dalam melakukan sesuatu.



Salam,
Wahyu Widyaningrum