Tuesday, November 19, 2013

Kampung Betawi yang Kurang Betawi


Kampung Betawi | 16-17 Nov | Kawasan Kota Tua ow.ly/qQuDX #jktevent

Berbekal twit @infojakarta pada beberapa hari lalu itu, saya memutuskan untuk mengisi akhir pekan saya dengan mengunjungi kawasan Kota Tua. Atau lebih tepatnya, dengan mengunjungi Kampung Betawi di kawasan Kota Tua. Yang paling saya incar memang embel-embel 'Kampung Betawi'-nya, karena banyak yang masih ingin saya ketahui dari Betawi.

Turun di Halte Transjakarta Stasiun Kota, saya, bersama kawan saya Novi, jalan kaki sedikit ke arah Kota Tua, melewati Museum Mandiri dan Museum Bank Indonesia. Di gerbang selatang kawasan Kota Tua ini, kami disambut spanduk bertuliskan Kampung Betawi, yang membuat saya yakin saya menjejakkan kaki di tempat yang sesuai dengan harapan saya.

Dari gerbang selatan, sampai Cafe Batavia, tidak ada banyak perbedaan suasana dengan Kota Tua pada akhir pekan lainnya. Hanya keberadaan sebuah panggung kosong di sebelah barat Cafe Batavia dengan backdrop bertuliskan Kampung Betawi dan pelataran Museum Sejarah Jakarta yang ditutup melingkar dengan seng hijau yang membuat pemandangan berbeda. kami memutari pagar seng dan sampai di pelataran depan kantor pos. Tetap saja tidak ada yang berbeda. 

Tidak ada tanda-tanda keberadaan sebuah Kampung Betawi di Kota Tua.

Akhirnya kami memutuskan untuk makan pecel yang penjualnya bertebaran di depan Museum Wayang. Ini berarti kami harus kembali lagi mengitari pagar seng.

Sampai di depan panggung, saya melihat ada terop di kawasan depan rumah akar--sebuah rumah tua yang dindingnya dipenuhi akar tumbuhan. Saya pikir mungkin itulah lokasinya, jadi kami menuju ke sana.

Di sepanjang jalan tersebut, selain ada terop dengan banyak meja--tapi banyak yang kosong, ada juga beberapa booth berbentuk tenda. Di antaranya adalah booth dari Taman Arkeologi Onrust, Museum Wayang, Museum Tekstil, Museum Sejarah Jakarta, dan Sudin Kebudayaan Kota Administratif  Jakarta Barat. 



Di depan booth Museum Wayang, ada dua orang bapak-bapak tengah sibuk membuat sesuatu dengan memegang kerangka dari bambu tipis. Saya mendekat dan bertanya, kemudian mereka menjelaskan bahwa mereka sedang membuat wayang janur. Ketika saya bertanya bolehkah saya ikut membuat dan diperbolehkan, akhirnya saya mendudukkan diri di atas tikar yang sudah disediakan. Saya meneruskan membuat wayang--yang sebelumnya sudah mereka buat seperempat jadi--dengan membelit-belitkan janur pada kerangka yang ada.

Menurut penjelasan mereka--ah, saya lupa bertanya nama dua orang itu--, wayang yang saya buat itu adalah wayang Bima. Sedangkan janur yang digunakan, bukan janur segar yang masih berwarna hijau, melainkan sudah direbus dahulu sekitar setengah jam, dijemur, kemudian dipotong-potong lebarnya sesuai yang diperlukan.

"Kalau mampir ke Museum Wayang bisa juga bikin beginian, mbak. Tapi kalau di sana bayar 15 ribu. Nah kalau ada acara-acara begini, baru gratis." Saya mengangguk-angguk sambil bertanya dalam hati kenapa dulu saya tidak menemukan aktivitas membuat wayang janur ketika saya berkunjung ke Museum Wayang.

Ketika saya membuat wayang itu, lama-lama booth Museum Wayang menjadi ramai. Banyak yang kemudian ikut duduk di tikar, membelit-belitkan janur pada kerangka bambu. Dengan bantuan bapak-bapak itu, akhirnya wayang Bima saya berhasil selesai dalam waktu sekitar 15 menit.

Seusai mendapatkan wayang yang kemudian saya tenteng-tenteng dengan bangga itu, saya kemudian mampir ke booth Museum Tekstil yang terletak di sebelah booth Museum Wayang. Ada kain putih dengan corak batik yang belum selesai, beberapa canting, dan pemanas listrik berisi lilin. Setelah menunggu agak lama, petugas Museum Tekstil muncul dan langsung kami 'todong' untuk mengajari kami membatik. Kami diberi selembar kain putih berukuran persegi yang sudah digambari motif berberntuk bunga. Kain tersebut kemudian dipasang di alat berbentuk lingkaran yang biasa digunakan untuk menyulam--apa sih ya namanya >.<. Setelah lilin dipanaskan, barulah kami mulai membatik. 

Beda tangan memang beda hasil. Punya kami berantakan sekali, ketebalan lilinnya tidak rata. Sementara batik milik petugas tadi jadinya bagus dan rapi :(. Menurut salah satu petugas, di Museum Tekstil ada program membatik. Untuk pengunjung yang ingin ikut dalam sekali kunjungan, biayanya 40 ribu. Sedangkan untuk yang ingin belajar lebih intensif, ada juga program khusus dengan beberapa kali tatap muka. Keterangan lebih lanjut dapat ditanyakan ke pihak Museum Tekstil :).

Setelah itu, kami bermaksud melihat Toko Merah. Tetapi mata kami rupanya lebih tertarik pada apa yang ada di belokan sebelah kanan setelah rumah akar--Toko Merah ada di belokan sebelah kiri. Di ujung jalan, terpasang sebuah panggung yang lebih besar daripada panggung di depan Cafe Batavia. Di depannya berjejer banyak kursi tamu, dan ada tiga set rumah tradisional Betawi yang berdiri tegak. Saya tidak tahu persis apakah memang set rumah Betawi ini permanen atau dipasang khusus untuk acara ini saja.

Di atas panggung tadi ada sekelompok orang berpakaian tradisional Betawi tengah memainkan sebuah lagu dengan seperangkat alat musik khas Betawi. Banyak orang menonton sambil duduk di trotoar, kursi tamu, maupun berdiri saja.

Puas berjalan-jalan, kami bermaksud langsung kembali ke kos. Namun ketika lewat depan Museum Wayang, terdengar suara dari arah lapangan depan kantor pos. Beberapa yang dapat saya tangkap adalah, "...akan segera dimulai." Penasaran, saya pun menuju ke sana.

Ternyata sudah banyak orang yang berkumpul di lapangan, membentuk lingkaran, menyisakan area kosong di tengah dan menampakkan beberapa set gubuk dan tanaman-tanaman. Saya edarkan pandangan, dan baru saya sadari maksud dari spanduk di ujung Museum Sejarah Jakarta yang kira-kira bertuliskan: "Rekonstruksi Penyerangan Sultan Agung Banten Tahun 1628-1629." Didukung oleh puluhan pemain teater berpakaian ala pribumi dan kompeni, rekonstruksi sejarah itu berlangsung di bawah gerimis langit Jakarta. 


Satu yang saya sayangkan dari rekonstruksi ini. Pemain harus mengkaver sedemikian luas area terbuka tanpa pengeras suara. Saya yang berjarak sekitar tujuh meter sudah tidak dapat mendengar lagi dialog mereka--padahal mereka sudah berteriak-teriak. Saya menyerah, dan memutuskan untuk pulang.



Membawa pulang sebuah wayang Bima dari janur, sudah mencoba membatik, dan mendapatkan sebuah buku bergambar tentang Peter Elbervert serta stiker dari Museum Sejarah Jakarta tidak serta-merta membuat saya senang dengan perjalanan saya kali ini. 

Kampung Betawi, yang ingin saya kunjungi, hanya bisa saya temukan berupa set rumah tradisional, pemain beserta alat musik tradisional, dan rekonstruksi teater. Kalaupun memang ada kesenian tradisional lain yang ditampilkan, tidak adanya keterangan jadwal acara membuat saya kekurangan informasi. Terop yang sudah dilengkapi meja namun sepi penyewa, mungkin bisa menjadi bukti bahwa tidak banyak pihak yang mengetahui digelarnya acara ini. Sudin Kebudayaan Jakarta Barat, kalau memang berniat membuat  sebuah acara bertitel Kampung Betawi di tahun mendatang, dapat lebih bekerja keras untuk menyebarluaskan informasi acara dan merancang apa saja yang akan ditampilkan dalam acara tersebut.



Di dalem berisik banget, 19 Nov 2013


Monday, November 11, 2013

Kota Santri Abad 19: Kota Perdagangan Regional dan Internasional


Judul Buku: Kota Gresik 1896-1916: Sejarah Sosial Budaya dan Ekonomi
Penulis: Oemar Zainuddin
Penerbit: Ruas
Tahun Terbit: April 2010
Tebal Buku: viii + 160 halaman


Ketika disebut kata “Gresik”, sebuah kabupaten di sebelah utara Jawa Timur, mungkin yang langsung muncul dalam pikiran adalah nasi krawu, Sunan Giri, dan Maulana Malik Ibrahim. Saya pun, yang menghirup udara selama delapan belas tahun di sana, mungkin juga akan menyebutkan hal yang sama ketika Gresik disebut. Atau kalau pun bisa menambah sedikit, hanya deretan nama makanan dan kerajinan khas—pudak, otak-otak, jubung, nasi romo, masin, damar kurung, kopiah—yang mampu saya sebutkan.

Namun siapa sangka, pada abad 19-an, Gresik ternyata terkenal akan industri penyamakan kulitnya. Dengan pusat-kisah industri penyamakan kulit, penulis buku ini, Oemar Zainuddin, mengisahkan juga bagaimana kehidupan sosial budaya dan ekonomi masyarakat Gresik pada tahun 1896-1916.

Sebagian wilayah Gresik yang terdiri dari tanah tandus, gersang, dan bukit kapur membuat sektor pertanian tidak dapat berkembang dengan baik. Mayoritas masyarakat Gresik hidup sebagai pengrajin dan pedagang. Profesi ini diuntungkan oleh posisi geografis Gresik yang terletak di pantai utara Jawa sehingga memungkinkan dibangunnya pelabuhan Gresik—yang kemudian menjadi pelabuhan internasional saat itu—atas jasa Sunan Giri, salah satu wali penyebar agama Islam yang bermukim di daerah Giri, Gresik.  

Dalam buku ini digambarkan bagaimana Industri penyamakan kulit yang terletak di Desa Kebungson, Gresik, mulai berkembang pada akhir abad 19 dan mencapai puncaknya pada awal abad 20. Dalam rentang waktu 1896-1916, industri ini telah mampu menyuplai kulit ke 24 daerah di pulau Jawa, di antaranya Batavia, Semarang, Surakarta, dan Malang. Bukti kejayaan para pemilik industri penyamakan kulit di Gresik dapat dilihat di Kampung Kemasan, di mana masih berdiri sebelas rumah megah yang sudah berusia lebih dari seabad.

Hal lain yang juga menarik untuk disimak adalah bagaimana tokoh-tokoh industri penyamakan kulit Kampung Kemasan ikut berperan dalam pelestarian kebudayaan Gresik. Oemar Zainuddin, yang juga merupakan keturunan ketiga keluarga H. Oemar, saudagar pelopor industri kulit di Kampung Kemasan, menuliskan beberapa kesenian dan budaya yang sering digelar keluarga H. Oemar, yaitu Pencak Macan, Tradisi Jomblang, Tradisi Bedug Teter, Tradisi Tayung Raci Sidayu, dan Tradisi Mulutan. Keunikan tiap tradisi digambarkan dengan cukup jelas dalam buku ini.

Dilengkapi dengan foto surat, iklan, nota dagang, dan dokumen lawas yang disimpan dengan baik oleh keluarga H. Oemar, penulis cukup dapat menceritakan peran dan perkembangan industri penyamakan kulit di Gresik. Hal yang disayangkan adalah tidak adanya subbab dalam buku ini, sehingga pembahasan tiap bab, meskipun masih dalam kerangka judul bab, agak kurang tertata penceritaannya dan terasa melebar.

Di tengah sulitnya mencari referensi tentang sejarah kota Gresik, buku ini mampu mengisahkan apa yang terjadi di kota tersebut pada tahun 1896-1916. Termasuk memberi pengetahuan bahwa pusat kota Gresik pada saat itu ada di wilayah Kelurahan Bedilan, Pekelingan, Pulau Pancikan, Gapura Sukolilo, Karangpoh, dan Kroman—beberapa di antaranya bahkan baru saya ketahui saat membaca buku ini. 

Dengan buku ini, selamat datang di Gresik Kota Santri!


11 11 13
Wanna go home right now. And happy birthday, Tegoshi Yuya!