Friday, March 6, 2015

Dek, Lagunya Bisa Diganti Ndak?


Pagi ini, dalam rangka mewujudkan tubuh sehat dan bugar, saya memutuskan untuk lari pagi di kampus. Ketika bersiap-siap, saya ditemani oleh lagu mbak Rihanna - Take a Bow, yang disetel oleh salah satu teman kos. Karena kamar saya yang paling dekat dan memang dia memutar dengan volume kencang, saya sangat bisa mendengar lagu tersebut.

Don’t tell me you’re sorry cause you’re not…

Saya keluar kos sekitar pukul 6. Setelah selesai lari sekalian sarapan, saya kembali sekira pukul 7.30. 

Mbak Rihanna masih menyanyi, lagu yang sama.

Saya pergi mandi, cukup lama, bahkan sampai sempat nyanyi-nyanyi juga di kamar mandi.

Ketika saya kembali ke kamar, masih saja mbak Rihanna menyanyi Take a Bow seolah tidak mengenal bosan.

Satu jam berlalu, namun tidak ada lagu lain yang terdengar selain “Don’t tell me a sorry cause you’re not.”

Duh Gusti, mesakne kupingku….

Kenapa seseorang bisa memutar lagu yang sama selama sekian jam? Karena menyenangi liriknya (atau menghayati liriknya, dalam kasus teman kos ini mungkin dia habis putus cinta lantaran dibohongin oleh pacarnya sehingga sangat klik dengan lagu ini), atau lainnya?

Sebuah teori yang disebut sebagai mere exposure effect yang pertama kali diungkapkan oleh Robert Zajonc menyatakan bahwa seseorang semakin menyukai sesuatu setelah berulang kali melihat atau mendengarnya. Dan prinsip inilah yang digunakan dalam industri musik untuk membuat pendengar menyukai sebuah lagu, seperti lagu All About That Bass-nya Tante Meghan Trainor. Lagu dibuat dengan lirik yang repetitif dan sering diputar di manapun: radio, pusat perbelanjaan, atau di Seven Eleven dan Indomaret, sehingga menjadi earworm dan secara tidak sadar jadi bergaung terus di kepala kita.

Repetisi adalah kunci menuju aspek partisipatif dalam musik. Repetisi inilah yang mampu mengubah sebuah frase yang pada awalnya terdengar aneh menjadi terdengar lebih indah dan komunikatif setelah didengarkan kembali. Dalam sebuah karya musik, repetisi pada akhirnya membuat pendengar cenderung tidak tahan untuk tidak ikut menyanyi. 

Jadi, semakin sering mendengar suatu karya musik akan semakin suka, dan karena suka, maka semakin ingin sering mendengarnya. Cukup masuk akal untuk sebuah fakta “memutar satu lagu yang sama selama sekian jam”.

Kembali ke repetisi. Kalau kata Profesor Elizabeth Margulis, penulis buku On Repeat: How Music Plays the Mind, repetisi musikal membuat pikiran kita membayangkan atau menyanyikan bagian yang kita harapkan akan muncul selanjutnya. Inilah yang disebut sebagai partisipasi virtual oleh Profesor Elizabeth. Seiring dengan perkembangan teknologi dalam musik, repetisi menjadi tidak mungkin untuk diacuhkan. Itulah mengapa musik menjadi sangat berarti bagi kita.

Saya ingin menutup tulisan ini (yang merupakan rangkuman artikel dari internet yang dibumbui curhatan gara-gara lagu mbak Rihanna) dengan kalimat dari salah satu artikel di situs aeon.co, “…and the 347 times that iTunes says you have listened to your favourite album isn’t evidence of some pathological compulsion—it’s just a crucial part of how music works its magic.”

Jadi, sampai di sini, tidak ada bukti bahwa teman kos saya memiliki pathological compulsion

Nah, kalau sampai saya tuntas meramban artikel dan menyelesaikan tulisan ini sementara dia tetap memutar lagu Take a Bow, saya jadi cenderung tidak mengindahkan teori-teori di atas dan berpikiran bahwa dia memang habis putus cinta lantaran dibohongin pacarnya. 











Sumber:
Pic http://www.deviantart.com/art/Muusic-160724635