Saturday, September 20, 2014

Haruka: Orang Jahat Lebih Baik Mati


Teater, di benak saya, adalah suatu hal yang tidak akan jauh berbeda dari apa yang saya saksikan saat MOS SMA. Saat itu, di tengah lapangan ada beberapa orang yang sebagian berpakaian putih-dari atas sampai bawah- dan sebagian lagi berpakaian hitam. Mereka meliuk-liuk, terkadang berguling, berlari, melompat, sambil membawa kain panjang. Tidak ada percakapan. Hanya teriakan, lolongan, diselingi rapal yang keras. Sampai pertunjukan selesai, saya tak paham apapun. Sejak saat itu, teater di kepala saya adalah sebuah pertunjukan tanpa dialog yang membosankan dan tak akan pernah saya pahami maksudnya.

Namun sekarang saya hampir yakin bahwa definisi teater di kepala saya salah.

Beberapa jam lalu saya menonton pementasan teater berjudul Haruka yang ditampilkan oleh Teater Niyaniya di Hall The Japan Foundation Jakarta.
Sekitar 100 penonton hadir dalam pertunjukan berdurasi sekitar 50 menit yang menjadi bagian dari rangkaian Jak-Japan Matsuri 2014 ini. Sebagian besar penonton bahkan sudah datang sebelum pukul 19.00, padahal pintu masuk baru dibuka pukul 19.30 dan pertunjukan dimulai pukul 20.00. Dengan bantal duduk yang sudah tertata rapi sebelum pertunjukan, penonton dapat duduk berbaris dengan tidak berdempetan dan lebih nyaman. Dan yang paling saya sukai, penonton wajib melepas alas kaki di luar ruangan hall—ini sangat mendukung untuk dapat duduk bersila dengan nyaman.  

Dengan subjudul Orang Jahat Lebih Baik Mati, pertunjukan ini—menurut hitungan saya, terdiri dari lima babak. Kisah dibuka dengan pertarungan dua kelompok laki-laki dengan membawa katana. Kemudian tokoh utama, Haruka, muncul dengan melakukan sebuah kesalahan yang membuat ayahnya marah dan memukuli ia serta ibunya. Tidak tahan dengan perlakuan kasar ayahnya, Haruka meninggalkan rumah. Di suatu tempat, ia bertemu dengan Kamiko, yang setelah mendapat cerita lengkap, berkata bahwa orang jahat lebih baik mati.
Ketika pulang ke rumah, ibu Haruka memberinya sebuah pisau, yang diharapkan dapat berguna untuk menjaga diri. Saat kemudian ayahnya datang untuk kembali marah dan mengatai Haruka sebagai anak tak berguna, Haruka yang masih mengingat perkataan Kamiko dan mendapatkan pisau dari ibunya, akhirnya melakukan sesuatu. Sesuatu yang ia anggap benar.


 Haruka dan Kamiko

Dengan kisah serta konflik yang apik, kemampuan akting yang baik dari para artis, latar musik yang dimainkan secara langsung, pencahayaan yang mendukung, serta ruangan yang tidak terlalu besar sehingga efek audio terdengar baik, saya merasa pertunjukan teater ini menyenangkan dan tidak mengecewakan. Di akhir pertunjukan, tepuk tangan penonton terdengar berkali-kali lipat lebih meriah daripada di awal pertunjukan.

Sekarang, bagi saya, teater ada bukan untuk tidak dipahami.





 

Kamar kos 00.04, 20 September 2014
I do love Yukidaruma by Tegomass!!


Saturday, August 23, 2014

Of Mice and Men di Sabtu Pagi


Sabtu pagi saya hari ini berbeda dari Sabtu-Sabtu saya yang lalu. Biasanya kalau sedang malas sekali, saya masih meneruskan tidur, atau kalau sedang rajin, saya sudah pegang buku bahasa Jepang sambil sedia kamus, atau kalau sedang rajin sekali, saya sudah berada di tempat lain—bukan di kamar kos. Tapi Sabtu saya kali ini tidak demikian. Saya tidak tidur, tidak pegang buku bahasa Jepang dan kamus, dan masih di kamar kos.

Pagi ini mata saya sudah basah, sudah mbrebes mili. Padahal masih sekitar pukul 9 pagi. Saya sampai merasa cengeng sekali. Apalagi sebab saya mbrebes mili itu adalah sebuah novel. Judulnya Of Mice and Men, karya John Steinbeck. Novel terjemahan terbitan Ufuk Press itu sampai di tangan saya hari Rabu lalu, namun baru saya baca hari Jumat malam—cuma baca satu bab saja waktu itu, kemudian saya tertidur. 

Selain harganya yang amat murah—diskon sekian puluh persen di bukabuku.com sampai harganya hanya sekitar Rp 13.000, saya tertarik membelinya karena sinopsis di bawah identitas buku di situs bukabuku.com.

Begini sinopsisnya:
George yang bertubuh kecil dan Lennie yang jauh lebih besar dan dungu adalah sepasang pengelana. Mereka tak punya apa-apa di dunia ini selain diri mereka sendiri dan sebuah impian. Mereka bermimpi memiliki sebidang tanah sehingga bisa hidup dengan damai. Mereka pun mencari pekerjaan di sebuah peternakan di Kalifornia, dengan harapan akan tinggal cukup lama di sana dan mengumpulkan uang bersama. Tetapi, Lennie, yang baik hati dan bersifat kekanakan, sering mendapat masalah. Ia tak mampu mengendalikan diri, baik emosi maupun kekuatan luar biasa. Ia pun menjadi sasaran kekejaman orang lain. Ketika suatu hari ia mendapat masalah besar lagi, tampaknya George tak akan dapat menyelamatkan sahabat sejatinya seperti sebelumnya. Bagaimanakah akhir petualangan mereka, akankah mereka terpisah?
Of Mice and Men merupakan salah satu buku karya John Steinback yang terkenal dan paling populer.

Membaca sinopsis itu saja, saya sudah ingin membeli novel ini. Namun saya tidak mau tergoda begitu saja dengan kalimat terakhir di atas, meskipun itu juga cukup untuk menjadi sebuah jaminan: Of Mice and Men merupakan salah satu buku karya John Steinback yang terkenal dan paling populer. Saya mencari tahu tentang buku ini, tentu saja dengan bantuan Google. Informasi yang muncul di sana kemudian semakin memperkuat keyakinan saya bahwa buku ini harus saya beli: ia sudah diterjemahkan ke banyak bahasa dan sekian kali cetak ulang, serta sudah pula diangkat ke film.

Ketika novel itu pada akhirnya ada di depan saya, sebaris tulisan di bagian bawah sampul depan semakin membuat saya penasaran. Ia berbunyi demikian: salah satu novel klasik terbaik sepanjang masa.

Jalinan kisahnya sungguh sangat sederhana, namun diceritakan dengan rapi dan baik. Hanya berpusat tentang dua orang laki-laki. Persis seperti sinopsisnya. Namun penggambaran George yang—menurut pengakuannya sendiri—tidak terlalu cerdas, tetapi sangat peduli pada teman perjalanannya, Lennie, yang sedemikian dungu dan sangat polos—ia selalu hanya ingin diizinkan memelihara kelinci—membuat saya semakin jatuh hati pada novel ini. Tokohnya tidak banyak, latar tempatnya pun begitu. Pendeknya, tidak perlu berpikir keras mengingat-ingat nama tokoh dan lokasi.

Dialog-dialog yang sederhana namun sangat indah juga sangat memikat. Lennie begitu senang mendengar kisah yang diceritakan George berulang-ulang sampai ia hafal—Lennie sungguh dungu, ia sering melupakan peristiwa namun ia sering ingat perkataan George.
Lennie merasa senang. “Itu dia, itu dia. Sekarang katakan bagaimana tentang kita sendiri.”
George melanjutkan. “Kita tidak seperti itu. Kita punya masa depan. Kita punya seseorang yang dapat kita ajak bicara yang sangat memperhatikan kita. Kita tidak perlu duduk di bar menghabiskan uang kita karena kita tak punya tujuan pulang. Jika orang lain masuk penjara, tak ada yang membesuk mereka karena tidak ada yang peduli. Kita tidak seperti itu.”
Lennie menyela. “Tetapi kita tidak seperti itu! Mengapa begitu. Karena…karena aku punya kau yang selalu menjagaku, dan kau punya aku yang selalu menjagamu, yah…itulah sebabnya.” Lalu, ia tertawa gembira. “Lanjutkan, George!”
“Kau telah hafal. Kau bisa melakukannya sendiri.”
“Tidak, kau saja. Aku lupa beberapa bagiannya. Ceritakan saja apa yang akan terjadi.”

Akhir kisah yang mengejutkan juga patut menjadi poin lebih untuk novel ini. Akhir kisah perjalanan George dan Lennie inilah yang mempermainkan emosi saya, mengaduk-aduk perasaan saya, dan berhasil membuat saya mbrebes mili pagi-pagi. Siapa yang tega membayangkan seorang Lennie, yang terus menerus bertanya, “Kau tidak akan meninggalkanku, kan, George?”; mengancam “Aku akan pergi ke bukit dan mencari sebuah goa jika kau tidak menginginkan aku.”; atau merengek “Ayo kita lakukan itu sekarang. Ayo kita ambil tempat iitu sekarang.”, pada akhirnya harus bertanggung jawab atas suatu perbuatan yang ia lakukan begitu saja tanpa niat. Setelah sampai di halaman terakhir, saya masih bisa membayangkan sesuatu yang sampai kapan pun tetap menjadi idaman mereka berdua, yaitu sebuah rumah kecil, seekor sapi, dan beberapa ekor ayam—di tanah itu mereka akan punya sebidang kecil padang rumput alfalfa untuk kelinci-kelinci yang akan diurus oleh Lennie atas permintaannya sendiri, dan mereka akan hidup di atas tanah yang subur.

Ah, saya tidak merasa rugi menghabiskan Sabtu pagi saya dengan Of Mice and Men ini. 



230814.
Kamar kos. Ruang tengah berisik sekali, rupanya karena teman kos sedang menonton Super Junior yang tampil di HUT RCTI.

Friday, June 20, 2014

Kartu Pos yang Tak Juga Sampai




Kisah ini diceritakan oleh kakak beberapa tahun silam.

Saat itu aku masih tersengguk-sengguk, kelelahan menangis sebab diikat di sebuah tiang di lantai-dua rumah. Aku terlambat pulang sekolah tanpa izin kepada ibu terlebih dulu, jadi inilah hadiah dari ibu.
Kakak, yang jatuh kasihan padaku namun tidak punya kuasa untuk membebaskanku dari hukuman, duduk di sampingku. Cuaca sangat panas saat itu. Apalagi atap rumah kami terbuat dari seng sehingga suhu di dalam rumah mampu membuat baju basah oleh keringat. Sesekali kakak meniup wajahku.

"Kamu tahu bagaimana bentuk barisan semut yang berjalan?" Tanya kakak tiba-tiba.
Aku mencerna kata-katanya sambil sesenggukan beberapa kali. Sungguh, tersedu seperti ini adalah cara menangis yang paling kubenci sebab aku susah bernafas karenanya.
"Lurus. Satu-satu. Kayak... orang... baris." Jawabku patah-patah.
Kakakku tersenyum. "Kamu tahu kenapa bisa begitu?"
Aku menatap mata kakakku agak lama, "antre?"
Kakak menggeleng.
"Mmm…" Aku ikut menggeleng.
"Mau dengar cerita kakak?"
Aku diam saja.
"Kisah ini diceritakan oleh kakek. Dan kakek bilang, kakek cuma cerita pada kakak. Jadi ini kisah yang langka." 
"Waktu kakek masih hidup?"
Kakak mengangguk. Sekali lagi ia meniup wajahku.
"Mau?"
Aku mengangguk sambil tetap bernafas satu-satu.

*
Sejak dahulu, bangsa semut memang memiliki tradisi berjalan dengan cara berbaris. Satu-satu. Sebagai sebuah tradisi, memang begitulah yang diajarkan oleh induk kepada anak-anaknya turun-temurun sampai beberapa generasi.
Pada generasi kesekian, seekor semut memiliki cara pandang lain terhadap tradisi mereka.
"Berjalan satu-satu begini, bukan berdampingan dua-dua atau berkelompok, sesungguhnya lebih dari sebuah tradisi. Menurutku ia lebih hebat dari itu." Katanya di depan banyak semut dalam koloninya.
"Bagaimana maksudmu?" tanya seekor semut lain.
"Dengan aku berjalan di belakangmu, aku bisa menjagamu. Apapun, sesuatu yang buruk misalnya, bisa datang dari arah manapun kan? Tapi kau tak memiliki daya untuk mengetahui yang ada di belakangmu. Di situ keberadaanku bisa berguna. Setidaknya kamu tidak akan terkena sesuatu atau apapun itu dari belakang, karena ada aku di situ." Semut-semut lain mengangguk-angguk.
"Pun dengan ada di belakang, jangkauan penglihatanku menjadi lebih luas dibandingkan denganmu. Aku bisa melihat medan lebih lebar." Ia berhenti sejenak, "dan yang jelas, aku bisa selalu melihatmu."
Semut-semut bertepuk tangan. Nampaknya mereka setuju dengan nilai lebih dari apa yang selama ini mereka sebut sebagai tradisi.

Seorang tukang kaca sibuk menurunkan kaca dari gerobak ke lantai. Saking cepatnya ia bekerja, ia tak melihat lantai sedikitpun. Yang ia jaga hanyalah supaya kacanya tidak pecah.
Ia bekerja cepat namun hati-hati. Pun demikian, lantaran ia tak melihat lantai dengan saksama, tanpa sadar ia telah memotong barisan serombongan semut. Si tukang kaca meletakkan kacanya di antara semut-semut.
  
"Hei!" Seekor semut berteriak kaget. Jalan di depannya tiba-tiba terhalang sesuatu yang tembus pandang—ia masih bisa melihat teman-teman di depannya yang berjalan menjauhimya.
"Aku mau lewat!" Ia berteriak. Tidak ada celah yang cukup untuk menyelinap. Benda tembus pandang di depannya seperti sudah menempel pada lantai.
Ia mendongak. Benda itu tinggi sekali.
"Lebih baik aku mengambil jalan memutar," pikirnya.
Tampak di depan matanya, teman-temannya sudah semakin jauh. Semut terakhir di barisan itu sudah jauh, ia tak berani membayangkan sudah sampai di mana semut ketua di ujung depan.
"Ini tidak akan terjadi kalau aku berjalan di samping semut terakhir itu. 
Kalau di belakang, pandanganku memang lebih luas. Tapi bukankah kalau berjalan di sampingnya kami bisa memiliki jangkauan pandangan yang sama? Kalau di belakang, aku bisa melindunginya dari bahaya dari arah belakang terlebih dulu. Tapi bukankah kalau aku berjalan di sampingnya, kami bisa menghadapi semuanya bersama? Kalau aku berjalan di sampingnya, aku tidak perlu berdiri di sini sekarang dan berjalan memutar sendirian demi menyusul teman-teman. 
Nanti akan kusampaikan pada teman-teman bahwa tradisi berjalan berbaris ini tidak menguntungkan. Ia tak lebih sebagai sebuah tradisi, tidak ada nilai lebihnya."
Semut tersebut mulai berjalan menyusuri kaca, sendirian.

Tukang kaca meletakkan kaca terakhirnya di lantai. Tugasnya telah selesai, semua kaca di gerobaknya telah ia pindahkan. Namun ia tidak sadar bahwa kaca terakhirnya telah menimpa seekor semut yang sedang berjalan sendiri. Ia hanya melihat serombongan semut terus berjalan berbaris ke arah meja di teras rumah. Ada sepiring putu—dengan gula merah yang meleleh keluar—di sana.

*
“Bagaimana ceritanya?”
Aku sudah cukup tenang. Tangisku sudah reda, keringatku sudah kering. Sejak tadi kakak tak henti meniup wajahku di sela-sela ceritanya.
"Semut. Bagus." jawabku sambil tersenyum.

Kepala ibu muncul dari balik tangga. Tanpa berkata apapun, ia mendekatiku, menyuruh kakak agak menjauh, lalu melepas ikatan tali di tanganku.

Aku menghambur ke pelukan kakak. Aku memaksa ia menunduk. Lantas aku menelungkupkan telapak tanganku di telinga kanannya, berbisik, "aku ingin dengar cerita-cerita kakek lainnya."




Dikawani Sayonara ni Sayonara, beberapa menit setelah menonton JKT48 dengan River-nya di televisi. 
Kartu pos untukku tak juga sampai, meski ada dua lembar prangko 2500 rupiah yang ditempel. Di mana mereka?
19 Juni 2014
pic http://www.deviantart.com/art/ants-55311047

Tuesday, April 1, 2014

Bulan Tiga Tahun Ini

i
Pada suatu malam di Bulan Tiga, ada kejutan kecil yang menyambut saya pulang. Sebuah bungkusan yang besar dan berat. Saya sudah mempunyai dugaan siapa pengirimnya, dan dugaan saya terbukti benar melalui tulisan di kertas ucapan dalam amplop hijau: dari @birokreasi.

Saya menerima hadiah ini, yang kelewat indah: 1Q84 jilid 1 sampai 3 karya Haruki Murakami, Rantau 1 Muara karya Ahmad Fuadi, Pada Suatu Hari Nanti karya Sapardi Djoko Damono, sebuah bonus Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma, dan satu buku yang saya nantikan, Kuda Besi.

Malam itu saya lupa bahwa sejam sebelumnya saya tidak bisa menyelesaikan ujian akhir tingkat Lanjutan Awal II Bahasa Jepang dengan baik. Saya hanya ingat bahwa setelah saya hitung, saya overbudget lima ribu rupiah dari anggaran yang telah ditetapkan oleh @birokreasi.

Sungguh maafkan saya dan terima kasih banyak.


ii
Bulan Tiga. Seseorang mendoakan beberapa hal yang baik untuk saya beberapa hari sebelum hari-H. Beberapa orang tepat pada hari-H. Tiga orang, justru orang-orang yang sangat saya sayangi, mendoakan beberapa hari setelah hari-H—pada hari itu saya lumayan bersedih karena hal ini, namun kemudian saya tidak ambil pusing karena saya yakin cinta dan doa mereka tidak pernah terbatasi oleh hari dan tanggal.

Saya selalu memiliki keyakinan bahwa doa akan kembali kepada pendoa, dan semoga demikian.

Terima kasih. Terima kasih. Terima kasih.


iii
Bulan Tiga, entah tanggal berapa, dengan meniru-niru format biodata orang lain, saya membuat biodata saya sendiri. Saya sedikit membesar-besarkan diri saya. Saya bilang bahwa saya pernah menjadi volunteer pemandu tur untuk mahasiswa Jepang yang sedang berada di Jakarta. Faktanya, teman saya yang lebih banyak bercakap dengan orang Jepang itu. Saya cuma berbicara sedikit saja; lebih banyak mengangguk-angguk sok paham padahal tidak.

Saya bikin biodata karena ingin bisa bergabung menjadi volunteer Liaison Officer di ASEAN Literary Festival.

Karena biodata yang saya besar-besarkan itulah, saya bisa bergabung menjadi volunteer. Tapi bukan sebagai liaison officer, yang saya rasa juga karena panitia tahu saya membesar-besarkan diri. Saya mendapat kesempatan bekerja di main stage, langsung di bawah arahan Event Director.

Tiga hari berada di main stage membuka mata saya.

Bahwa saya suka sekali gaya Khairani Barokka yang lincah namun menghipnosis saat membawakan puisi. Saya terbius oleh alunan musik yang dibawakan oleh Sarampa. Saya salah saat selama ini mengira Afrizal Malna—dari namanya—adalah seorang muda dan ganteng. Saya tidak menyangka bahwa Fajar Merah, anak dari Wiji Thukul, berwajah sangat mirip dengan bapaknya. Saya merasa silau karena Remy Silado tampil di panggung dengan kemeja, sabuk, celana, sepatu, dan gitar yang semuanya berwarna putih. Saya penasaran dengan Saras Dewi yang tampak begitu muda sampai saya mencari tahu profilnya di internet. Saya terpesona oleh lampion-lampion yang dilepas di udara oleh para pengunjung pada Minggu malam.

Dan saya tak akan pernah lupa pantun yang disampaikan oleh Hamba Allah di sela-sela lagu mereka: buat apa naik kereta, kalau tidak sampai ke Mekah. Buat apa jatuh cinta, kalau tidak sampai menikah.



iv
Bulan Tiga, kata banyak orang, adalah musim pancaroba. Saya lihat di kamus, pancaroba berarti peralihan musim. Karena bulan empat, menurut kalender musim dan menurut apa yang diajarkan oleh guru-guru di sekolah, seharusnya sudah memasuki musim kemarau. Jadi bulan ini saya mendengar banyak nasihat untuk makan dan istirahat teratur. Biar tidak sakit, katanya. Sudah saya lakukan nasihat tersebut, saya tambah dengan olah raga yang sayangnya cuma jarang-jarang. Tapi ternyata saya kalah juga. Kuman-kuman mungkin terlampau kuat, usahanya jauh melebihi usaha saya sendiri.

Mari saya beri gambaran seberapa keras usaha kuman-kuman itu. Mereka tidak hanya puas dan berhenti di hidung saya. Setelah beberapa hari berdiam di sana, mereka bergerilya sampai ke telinga saya. Mereka enak saja, tidak perlu susah-susah membuat gorong-gorong dari hidung ke telinga saya. Mereka cukup lewat saluran penghubung. Sebentar, saya cari di google dulu apa nama saluran itu. Saya agak lupa. Nah, sudah ketemu. Saluran eustachius. Mereka bisa lewat situ untuk sampai ke telinga saya. Usaha mereka yang luar biasa sepertinya berhasil, selama beberapa hari telinga kanan saya tidak bisa mendengar. Tepuk tangan dulu lah buat mereka.

Asal mereka tahu, bahwa tepuk tangan yang saya berikan kadang-kadang memiliki maksud terselubung: kali lain, saya tidak akan pernah membiarkan kalian menang. Ada tekad yang kuat dan  sedikit nada balas dendam di sana. Saya orang yang cukup teguh pada janji saya sendiri, jadi saya rasa kuman-kuman itu harus berhati-hati pada tepuk tangan saya tadi.


v
Bulan Tiga. Tanggal Tiga Puluh Satu. Langkah kaki mulai terdengar ramai. Pintu kamar-pintu kamar yang selama tiga hari terakhir selalu terkunci mulai dibuka.

Besok akan semakin banyak makanan di meja tengah. Besok antrean kamar mandi akan padat seperti biasanya. Besok rumah ini akan kembali riuh. Besok akan banyak cerita, entah benar entah rekaan, yang mungkin sudah dipersiapkan sejak entah berapa hari lalu.

Selamat datang, Bulan Empat.



Terima kasih, ini lagu yang tepat: Already Gone – Kelly Clarkson.
31 Maret 2014

Melepas Puisi

Ratusan orang sedang tenang mendengarkan obrolan segar dua orang pembawa acara—sesegar wajah si pembawa acara wanita—ketika belasan orang berkaos merah tiba-tiba masuk dari pinggir lapangan. Mereka masuk dari segala penjuru lalu berpencar, mendatangi sekelompok penonton sambil membawa sesuatu. Setelah sejenak berkata-kata, sambil beberapa kali mereka saling mendekatkan mulut dan telinga—kurasa karena pembawa acara di atas panggung terus berbicara dan pengeras suara berfungsi dengan baik—orang-orang berkaos merah kemudian membagikan beberapa potong kertas berwarna kuning dan mengulurkan beberapa batang spidol. Salah satu dari sekelompok orang yang didatangi mengambil satu spidol dan membagikan kertas yang diterimanya kepada teman-teman sekelompoknya. Dengan segera, si pemegang spidol menulis di atas kertas kuning.

Semua orang berkaos merah melakukan hal yang sama, dalam hitungan waktu yang sama. Bergerak serempak yang mengingatkanku pada liliput-liliput yang muncul di film Willy Wonka si pemilik pabrik cokelat, namun bedanya orang-orang berkaos merah ini wajahnya tidak mirip satu sama lain, tidak menari, dan tidak mengenakan topi runcing seperti liliput Willy Wonka. Pendeknya, aku semakin yakin orang-orang berkaos merah ini adalah manusia biasa. Bukan liliput.

Dua pembawa acara di panggung—yang wanitanya berwajah segar—masih saling ngobrol tanpa sedikitpun terganggu oleh kehadiran orang-orang berkaos merah. Si lelaki bercerita bahwa ia ingin sekali belajar bahasa Perancis dan berguru pada si wanita yang memang lulusan Sastra Perancis. Si wanita menimpali dengan berkata bahwa ia bisa saja berbuat demikian dengan imbalan, yaitu si lelaki yang seorang anggota paduan suara harus mengajarinya bernyanyi. Mereka berdua sepakat, kemudian saling bersalaman, tertawa, dan melanjutkan obrolannya tentang hal lain.

Dua orang laki-laki yang juga mengenakan kaos merah tiba-tiba naik ke panggung. Ada sebentuk benda di tangan mereka. Aku tidak memerhatikan apakah mereka dipanggil untuk naik atau atas inisiatif sendiri naik panggung untuk mengkudeta pembawa acara. Tapi tidak ada ekspresi terkejut sama sekali dari dua pembawa acara tadi, jadi kupikir mereka pasti sudah bekerja sama sebelumnya.

Dan kurasa aku melewatkan sesuatu. Aku terlalu memusatkan perhatian pada panggung, yang sekarang diisi empat orang. Ketika aku menoleh pada ratusan orang yang beberapa di antara mereka masih sibuk menulis-nulis di atas kertas kuning dengan spidol, orang-orang berkaos merah sudah membawa sesuatu yang lain di tangan mereka. Sebentuk benda, sama persis dengan yang dibawa dua orang laki-laki yang barusan naik ke panggung.

Tidak butuh banyak waktu, orang-orang di depan panggung memegang sebentuk benda tadi. Pandangan mereka mengarah ke panggung, menirukan apa yang diperagakan oleh dua laki-laki berkaos merah. Mula-mula mereka meletakkan kertas-kertas kuning di permukaan benda tersebut. Kertas-kertas itu kemudian ditekan-tekan. Hei, mereka menempel!. Samar kulihat, ada tulisan—atau coretan—di kertas kuning itu. Setelah itu, mereka memegang sebentuk benda tadi. Bahannya tipis, kurasa mirip kertas. Diangin-anginkan, ke kiri dan ke kanan. Ia menjadi bervolume dan berbentuk mirip balon.

Lantas beberapa orang, masih menirukan dua laki-laki berkaos merah di panggung, mulai mengeluarkan korek api dan membakar sesuatu di bagian bawah benda berbentuk mirip balon tersebut. Ujung balon kertas diarahkan ke atas. Orang-orang mulai tersenyum, lalu tertawa. Masing-masing memegang kerangka bagian bawah di balon kertas. Sambil tetap tertawa, mereka mengobrol dengan keras atau mengambil kamera dan memotret.

Balon kertas-balon kertas mulai penuh oleh asap. Satu balon kertas dilepaskan dan perlahan-lahan membumbung. Tinggi, terbang ke atas. Bercahaya merah indah di langit hitam pekat. Diiringi tepuk tangan riuh rendah banyak orang.

“Terbanglah puisi-puisiku,” aku bisa mendengar dengan jelas kata-kata dua pembawa acara di panggung. “Terbanglah lampionku,” sambung si pembawa acara wanita berwajah segar—maaf, aku mengulang-ulang frase ini. Wajah pembawa acara itu begitu segar, aku senang sekali melihatnya. Ini pujianku untuknya—.

Satu per satu balon kertas—apa tadi namanya? Lampion?—melayang di udara. Langit dipenuhi titik-titik merah beragam ukuran—tentu karena lampion-lampion itu tidak terbang bersamaan. Orang-orang semakin banyak yang bertepuk tangan dan tertawa, dan titik-titik merah di langit semakin banyak.

“Cantik sekali,” seorang anak perempuan kecil berbaju dan berbando merah muda berteriak sambil menunjuk titik-titik merah tadi.

Kemana lampion dan puisi itu pergi ya?

Aku mendekat ke arah kerumunan orang. Kuambil kertas yang terjatuh, spidol yang tergeletak, lampion yang belum digunakan, dan korek yang terlupakan. Aku mengikuti apa yang tadi mereka lakukan: menulis di kertas kuning dengan spidol, menempelkennya di permukaan lampion, menyalakan sesuatu di bagian bawah lampion, menunggu sampai lampion terisi penuh oleh asap, dan melepaskannya. Aku menerbangkan lampionku.

Kulihat lampionku perlahan mengangkasa, bergabung dengan lampion lain. Menciptakan titik-titik yang semakin cantik.

Malam yang merah, indah, meriah.

Mataku lekat menatap lampionku. Kemana lampion dan puisiku pergi?

Ah, tapi aku tidak bisa berpuisi. Tadi aku hanya menulis ini: あいしてる。 分かる?


















Yeah! Latar lagunya cocok sekali: 内容の無い手紙
27 Maret 2014

Monday, March 17, 2014

Menyusuri Jejak di Sekitar Cisadane

Sewaktu SMA, pengajar kursus-bahasa-Inggris saya sering bercerita tentang China Benteng. Beliau bercerita begini— bukan bermaksud rasis, “kalau yang kalian lihat selama ini, kan orang Tionghoa itu kulitnya putih, tajir, gitu ya. Nah sebenernya ada lho orang Tionghoa yang item dan nggak tajir. Namanya China Benteng, di Tangerang sana.” Maklum, sebelumnya dia, yang juga seorang Tionghoa, adalah manajer cabang kursus tersebut di Tangerang. 
Cerita itu, dan nama “China Benteng” sangat melekat di benak saya—karena pengajar itu sering menceritakan sesuatu yang sama berulang kali. 

Ketika beberapa hari yang lalu ada email masuk dari milis @jakartabytrain tentang Jakarta by Train Go West Tour, saya curiga jangan-jangan tur ini akan membawa saya ke China Benteng. Setelah mempertimbangkan beberapa hal, akhirnya hari Kamis saya memutuskan untuk bergabung menjadi peserta tur kali ini.

Bersama 16 peserta lain, kami berangkat dari Stasiun Manggarai pukul 09.20. Dengan rute Manggarai-Duri-Tangerang, kami sampai di stasiun Tangerang sekitar pukul 11.00. Sebenarnya tidak selama itu, karena kami juga harus menunggu kereta dari Duri ke Tangerang sekitar 30 menit. 

Setelah bercengkerama di stasiun Tangerang sekitar 40 menit—hujan turun deras sekali begitu kami sampai di stasiun dan sempat ada sedikit teguran dari pihak keamanan karena kami mengambil foto beramai-ramai di sana— akhirnya kami mulai berjalan menuju destinasi pertama kami: Kelenteng Boen Tek Bio. 

Keluar dari stasiun Tangerang, ada dua rute yang dapat ditempuh menuju kelenteng. Pemandu tur kami, yang tidak lain adalah pengelola situs jakartabytrain.com, menyarankan kami untuk belok kanan dan mengambil rute dengan menyusuri Sungai Cisadane. Pilihan rute lainnya adalah belok kiri melewati Pasar Lama, yang tidak kami ambil karena jalanan menuju ke sana pasti becek selepas hujan deras.

Sekitar satu kilometer dari stasiun, tampak sebuah plang bertuliskan Boen Tek Bio di mulut sebuah gang. Kelenteng Boen Tek Bio ada di ujung gang tersebut. Di sepanjang jalan menuju kelenteng, terdapat beberapa warung makan yang menjual bubur, bakso, ataupun mie, dengan tambahan daging babi. Hampir semua mencetak menu mereka dengan huruf besar dan warna terang, mungkin memastikan agar yang akan makan di warung mereka tahu bahwa mereka menyajikan daging babi.

Informasi mengenai kelenteng Boen Tek Bio ini minim sekali. Satu-satunya informasi yang kami dapat dari pemandu tur adalah: kelenteng ini merupakan kelenteng tertua di Tangerang—tidak tahu dibangun pada tahun berapa. Ada satu lagi informasi yang tertulis dengan jelas di bagian depan kelenteng, di atas sebuah lonceng besar: Juli 1940. Entah peristiwa apakah yang ingin ditunjukkan dengan menuliskan bulan dan tahun tersebut. 

Sebenarnya pemandu berencana agar kami bisa masuk ke dalam kelenteng, melihat apakah ada benda-benda yang memiliki nilai sejarah dan juga memperoleh informasi mengenai keberadaan kelenteng tersebut. Namun urung, lantaran saat itu banyak orang sembahyang. 

Kami melanjutkan perjalanan ke Museum Benteng Heritage, yang letaknya hanya seratus meter dari kelenteng Boen Tek Bio. 
 
Tidak ada plang ataupun penunjuk yang memberitahukan bahwa salah satu bangunan di Pasar Lama tersebut adalah sebuah museum. Pun dari luar, bangunannya mirip sebuah rumah biasa. Hanya sebuah plakat bertuliskan “Museum Benteng Heritage” yang terpasang di tembok bagian depan yang berfungsi sebagai penanda. Ukurannya pun tidak cukup besar dan mencolok. Museum Benteng Heritage—meskipun mengusung judul “Benteng”, sebenarnya memiliki tagline Museum Kebudayaan Indonesia-Tionghoa pertama di Indonesia. 

Museum Benteng Heritage

Dengan membayar tanda masuk sebesar Rp 20.000—ini adalah museum dengan harga tiket termahal yang pernah saya kunjungi—, kami menunggu jadwal tur museum yang akan dimulai pada pukul 13.00.

Bersama dua rombongan lain, kami memulai tur museum Benteng Heritage bersama seorang pemandu dari pihak museum. Awalnya dikisahkan bagaimana asal mula nama China Benteng, yaitu karena VOC setelah datang ke Jakarta banyak membangun benteng-benteng di sepanjang Sungai Cisadane sebagai pertahanan dari serangan Kerajaan Banten saat itu, dan banyak masyarakat etnis Tionghoa yang tinggal di sekitar benteng tersebut. Meskipun sekarang tidak ada lagi bekas benteng yang pernah dibangun Belanda tersebut, namun nama China Benteng tetap digunakan.

Gedung Museum Benteng Heritage terdiri dari dua lantai, diperkirakan dibangun pada abad 17. Namun tidak ada foto dari bagian dalam museum karena pengunjung tidak diperbolehkan mengambil gambar. Lantai satu, yang lantainya menggunakan terakota, adalah sebuah ruangan besar dengan banyak meja dan kursi, yang selain digunakan sebagai tempat untuk memberikan penjelasan mengenai restorasi bangunan awal museum, juga sebagai tempat jamuan makan bagi pengunjung yang ingin menikmati kuliner peranakan/Babah Tangerang. Ada juga prasasti Tangga Jamban—namanya nggak enak dibaca, ya :) —yang ditemukan di dekat sungai Cisadane.

Di lantai dua, karena lantainya terbuat dari kayu, maka pengunjung diminta untuk melepas alas kaki saat naik. Lantai kedua berisi benda-benda terkait kebudayaan China, di antaranya adalah sempoa China, yang ternyata berbeda dengan sempoa Jepang yang saat ini lebih luas penggunaannya; replika kapal Laksamana Cheng Ho dan penjelasan mengenai ekspedisi beliau; sepatu mungil yang digunakan untuk membebat kaki wanita bangsawan China pada masa lalu; meja mahjong—yang ternyata memiliki banyak laci rahasia; dan ranjang pengantin—lengkap dengan penjelasan prosesi pernikahan ala masyarakat China Benteng. 

Tur museum selama sekitar satu jam ini berakhir di sebuah toko suvenir di lantai satu sebelah selatan yang menjual berbagai macam barang, mulai dari kecap buatan pabrik di Tangerang yang sudah ada sejak tahun 1930an, buku-buku, kaos, hingga lukisan. Pun demikian, yang paling banyak diserbu pengunjung adalah kecap. Konon, kecap ini rasanya lebih enak daripada kecap yang sering memasang iklan di televisi.

Berakhirnya tur Museum Benteng Heritage tidak membuat Jakarta by Train Go West Tour berakhir. Kami makan siang-agak-sore di  warung ayam bakar, tidak begitu jauh dari Menara Jam Damatex di ujung jalan keluar museum. Seusai makan, kami kembali ke Jakarta dengan kereta dari Tangerang pukul 16.20.

Selain bertemu orang-orang baru—ada seorang peserta yang ternyata juga alumni STAN—dan mengunjungi tempat baru, yang paling membahagiakan adalah saya akhirnya bisa melihat sendiri apa yang dikisahkan berkali-kali oleh pengajar kursus bahasa Inggris saya sewaktu SMA dulu. Yang membuat saya berujar: ooooh, ternyata ini toh yang dulu diceritakan.



Ditemani suara kipas angin di kamar,
15 Maret 2014
 


Ceritakan padaku tentang sesuatu: apa, siapa, bagaimana, mengapa, dan di mana. Suatu saat aku akan menjejakkan kaki dan menghirup udara di tempat itu.

Thursday, January 30, 2014

Atticus dan Radley pada Suatu Sore


“Aku suka Atticus. Ini kalimat yang pernah ia ucapkan yang kemudian menjadi favoritku: "Bukankan kau suka berkhayal? Pura-pura saja kau berada di rumah Radley."”

“Siapa Atticus? Pacarmu? Dan siapa Radley? ”

“Lihatlah langit di sebelah sana. Gelap sekali. Sepertinya sebentar lagi hujan turun dengan deras di sana. Rumahmu ada di arah sana kan? Sebaiknya nanti kau pulang membawa payung dan mantel yang selalu kau simpan di lacimu.”

“Aku merasa sangat keren kalau hujan-hujanan. Apalagi kalau setelahnya aku tidak terkena flu atau demam.”

Aku kembali pada buku di tanganku. Aku sadar sepenuh hati bahwa membaca buku memerlukan tempat dan waktu yang tepat: tak boleh ada yang ngobrol di dekatku. Otakku secara otomatis akan menyuruh telingaku untuk menguping, ketimbang fokus melanjutkan bacaan. Dan tentu saja tak boleh ada yang mengajakku ngobrol. Bisa-bisa aku membaca satu paragraf yang sama sampai lima kali.

Seperti kali ini. Ia berbicara lagi.

“Hei, kau belum menjawab pertanyaanku. Siapa Atticus?”

Aku mengulang bacaanku ke kalimat pertama.

“Apakah dia pacarmu?”

Kuhentikan bacaanku.

“Kenapa kau tak memperkenalkannya padaku?”

Mataku mundur, membaca beberapa kata terakhir di kalimat pertama.

“Dan siapa Radley?”

Kuhembuskan nafas, agak keras. Aku menutup buku dan memasukkannya ke tas.

“Mendung. Aku mau pulang.” Aku pergi dengan langkah cepat.

Buru-buru ia memberesi gawainya—ia punya empat buah dan semuanya selalu ia bawa kemanapun— dan memasukkannya ke dalam tas, kemudian menyusulku .

Aku suka berkhayal. Dan sekarang aku berpura-pura melihatnya sedang hujan-hujanan. Tanpa payung, tanpa mantel. Dia keren sekali.













Hey, lusa sudah bulan baru.
もっと 頑張りましょうよ!
300114
pic