Sepi. Pengap. Gelap.
Itulah tiga kata yang akan saya ungkapkan kalau ditanya
bagaimana kesan ketika mengunjungi museum. Nggak semua museum sih…. Ada banyak
museum di DKI Jakarta, tapi di sini saya akan mengulas tiga museum, yaitu
Museum Sumpah Pemuda, Museum Kebangkitan Nasional, dan Museum Joang 45.
1.
Museum Sumpah Pemuda
Museum ini terletak di Jl. Kramat Raya No. 106, Jakarta
Pusat. Ada tujuh ruangan di dalam bangunan utama museum dan tiga ruangan yang
terpisah dari bangunan utama, dengan ruangan yang paling besar adalah ruangan
dengan dekorasi patung yang menggambarkan suasana ketika W.R. Supratman
memainkan lagu Indonesia Raya dengan biolanya. Beberapa koleksi yang ada di
Museum Sumpah Pemuda adalah panji-panji dari organisasi kepemudaan berbagai
daerah, biola W.R. Supratman, benda-benda perlengkapan kepanduan, buku-buku
sejarah, dan diorama suasana Kongres Pemuda II. Selain itu, di beberapa ruangan
terpasang komputer layar sentuh yang berisi keterangan tentang museum dan
sejarahnya.
Di halaman belakang museum terdapat pahatan dinding
berukuran besar yang indah dengan taman kecil di depannya. Sayang, ketika saya
berkunjung ke sana air mancur yang terpasang tidak dinyalakan.
Berbarengan dengan kunjungan saya, ada serombongan anak SD berusia
sekitar 9 tahun berjumlah kurang dari sepuluh orang dan dua orang dewasa,
mungkin guru pendamping. Saya baru membaca semua keterangan di dinding tentang
koleksi yang ada di dua ruangan ketika mereka semua, anak-anak SD itu, selesai
mengunjungi seluruh museum dan keluar. Mungkin anak berusia 9 tahun belum
tertarik membaca penjelasan koleksi museum dan lebih senang melihat sepintas
koleksi lalu foto-foto.
2.
Museum Kebangkitan Nasional
Lokasi Museum Kebangkitan Nasional ada di Jl. Abdurrahman
Saleh No. 26, Jakarta. Letaknya dekat dengan haltebus Transjakarta Kwitang.
Menurut tulisan di gerbang depan gedung dan brosur museum, museum ini menempati
gedung bekas STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen)—sekolah
kedokteran untuk kaum pribumi.
Bangunan induk Museum Kebangkitan Nasional berbentuk
persegi melingkar, dengan halaman dan beberapa ruangan di tengahnya, dan dibagi
menjadi ruang pengenalan, ruang sebelum pergerakan nasional, ruang awal
kesadaran nasional, ruang pergerakan nasional, dan ruang pendidikan STOVIA.
Menurut saya, ruang pengenalan sampai ruang pergerakan
nasional sangat menjemukan. Menempati mayoritas bangunan induk, ruangan-ruangan
tersebut kebanyakan hanya berisi foto-foto yang dibingkai dan disertai sedikit
penjelasan. Tak jarang beberapa foto yang berbeda memiliki penjelasan yang sama
persis. Ruangan yang besar juga tidak dimanfaatkan dengan maksimal. Hanya
sedikit ruangan yang di tengahnya diletakkan maket atau diorama. Selebihnya
hanya berisi foto yang dipasang di dinding.
Saya sangat bersyukur ketika memasuki ruang pendidikan
STOVIA, yang didukung oleh ruang asrama, dosen, dan peragaan kelas STOVIA. Di
dinding ruangan dipasang penjelasan besar dengan gambar yang memenuhi
dinding—menurut saya sangat menarik—mengenai STOVIA, dan beberapa diorama
patung.
Di antara ruang pergerakan nasional dan ruang pendidikan
STOVIA ada beberapa ruangan lain. Ada satu ruangan dengan tulisan ‘Ruang Audio
Visual’ yang terletak di sebelah kiri kanopi. Ketika saya coba untuk membuka
pintunya, ternyata ruang tersebut dikunci *penonton kecewa*. Selain itu, ada
juga ruangan yang terkunci tapi di pintunya bertuliskan Ruang Asrama STOVIA.
Saya coba mengintip ke dalam ruangan tersebut, hanya ada beberapa lemari dan
rak kaca yang tidak ada isinya.
3.
Museum Joang 45
Museum Joang 45 berlokasi di Jl. Menteng Raya No. 31,
Jakarta Pusat. Bangunannya cukup kecil jika dibandingkan dengan dua museum
sebelumnya, tapi menurut saya ini adalah museum yang paling bagus.
Jika dua museum sebelumnya hanya dibiarkan beralaskan
lantai dengan pencahayaan seadanya dan sirkulasi udara dari ventilasi, di
Museum Joang 45 ini lantainya sudah beralaskan karpet tebal, pencahayaan
terang, dan memiliki pendingin ruangan yang berfungsi dengan baik. Selain
menyediakan beberapa komputer layar sentuh, ada juga ruangan audio visual yang
memutar film dokumenter koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia.
Beberapa koleksi museum ini adalah maket, pakaian, dan
tandu yang dipakai untuk menandu Jenderal Soedirman saat beliau memimpin perang
dalam kondisi sakit. Selain itu, dalam brosur juga disebutkan ada koleksi mobil
REP-2 yang pernah digunakan Bung Hatta sebagai Wakil Presiden RI. Namun saya
tidak tahu di mana koleksi tersebut diletakkan, karena saya tidak melihatnya :|.
Jadi,
dari
tiga museum yang saya kunjungi, Museum Kebangkitan Nasional adalah museum yang
paling ‘memprihatinkan’—karena gelap dan pengap—dan membosankan. Sedangkan
Museum Joang 45 adalah museum yang paling bagus dan menarik.
Yang
saya herankan adalah, bagaimana pembagian dana operasional perawatan dari dinas
terkait ke tiap museum? Sampai-sampai museum yang sini bagus banget, yang sana
menyedihkan banget. Yang sana sepi banget, yang sini lumayan rame.
Padahal
kalau museum ditata dengan apik, pengunjung juga jadi tertarik untuk
berkunjung. Lebih dari itu, mereka jadi betah berlama-lama di museum karena
nyaman. Dan menurut saya, lebih asyik belajar sejarah di museum daripada dari
buku.
040213
Photos are mine
Photos are mine
0 comments:
Post a Comment