Friday, June 24, 2016

Satu Kisah Patah Hati


Seorang penulis sekaligus penyair sekaligus sastrawan sekaligus budayawan—dan beberapa sekaligus lagi yang hampir tak terhingga—pernah mengungkapkan suatu pernyataan dalam sebuah wawancara. Bahwa patah hati akan membuat seseorang jadi produktif menulis. Pernyataan tersebut kemudian, oleh wartawan dan disetujui oleh editor, dijadikan judul berita dan dimuat dalam sebuah koran. Tentu bukan jadi judul utama berita di halaman muka karena bagian itu sudah memiliki penghuni tetap—politikus brengsek, pejabat korup, pelaku kriminal yang kisahnya dinantikan kelanjutannya oleh pembaca setia koran tersebut. Tulisan hasil wawancara tersebut tersempil begitu saja di halaman ketiga dari belakang, di bagian bawah.

Tadi pagi, saat membeli nasi pecel di ibu-ibu penjual nasi banyak macam—ia tak hanya berdagang pecel—di ujung pertigaan jalan, ibu itu mengambil selembar kertas koran yang ukurannya telah menjadi lebih kecil dari ukuran kertas koran sebenarnya. Kertas koran yang kalau dibentangkan panjangnya bisa mencapai 70 sentimeter itu dipotong-potong menjadi delapan bagian. Ibu penjual nasi tentu saja tak hanya memotong selembar kertas koran. Mungkin anaknya di rumah sudah memotongkan kertas koran sepuluh eksemplar, yang kemudian ditumpuk dengan hasil potongan yang lalu-lalu sehingga sudah menjadi setinggi dua bolpoin yang ditegakkan dan ditumpuk. Salah satu bagian dari sekian eksemplar tersebut diambil oleh ibu penjual dan dilapisi daun pisang, diisi nasi, sayur-mayur, serta bumbu pecel. Itu nasi pecel untuk saya. Saya menambahkan dua potong tempe goreng dan satu telur dadar di atasnya sebelum ibu penjual dengan cekatan melipat kertas lantas membungkusnya dan menyerahkannya kepada saya.

Setelah menghabiskan pecel sembari menonton televisi, saya beranjak ke tempat sampah dan membuang daun pisang yang mengalasi nasi pecel saya tadi. Kertas korannya tetap saya pegang, lalu saya kembali ke depan televisi. Teve saya matikan, koran bekas bungkus nasi pecel mulai saya baca. Begitulah ungkapan penulis serbabisa itu lantas sampai di tangan saya.

Lantas saya sedikit merenung. Tak sedikit orang-orang di sekitar saya yang mengalami patah hati. Beberapa di antaranya bahkan sampai patah tulang, sebab mencoba lompat dari jendela kamar. Tapi tak ada yang mengalahkan cerita satu kawan saya. sebenarnya tak terlalu nyambung juga dengan wejangan si penulis, tetapi karena masih ada sedikit sangkut-pautnya, baiklah saya ceritakan saja kisah kawan saya.

Kawan saya yang satu ini bebalnya keterlaluan. Sebenarnya ia pandai saja, tetapi mengenai cinta, ia sungguh bebal.

Pernah suatu kali ia jatuh cinta pada orang yang sama selama sepuluh tahun. Selama sepuluh tahun itu, tak sekalipun hatinya beranjak pada orang lain yang bahkan ada di depan hidungnya. Kepala dan hatinya setiap hari selalu disesaki orang yang merebut hatinya itu. Saking sesaknya, ia jadi bersikap dingin pada orang-orang yang ingin mendekatinya. Senyumnya murah, tetapi bisa mendadak mahal pada orang-orang itu. Hatinya baik, tetapi bisa tiba-tiba buruk pada orang-orang itu.

“Kau tampak seperti orang jahat kalau terus begitu,” sekali waktu pernah saya mengingatkannya demikian.

“Aku cuma tak ingin goyah. Juga tak ingin memberikan harapan awal pada mereka.”

Saya lantas terdiam.

Kawan saya ini,  hanya pernah bertemu empat tahun dengan cintanya itu. Saya masih menganggap tak ada yang aneh kalau ia jadi cuek pada orang lain selama empat tahun itu. Karena kalau saya jadi dia, saya juga bisa jadi begitu. Selepas empat tahun itu, mereka berpisah. Ada jarak sejauh sekitar 850 kilometer yang memisahkan.

Kawan saya, yang pemalu ini, tak pernah bertanya nomor ponsel atau surel atau apapun pada pujaan hatinya itu—sejak awal mereka bertemu sampai tak pernah bertemu. Dengan kata lain, pada enam tahun sisanya ia mencintai orang yang tak pernah berkabar dengannya dan tak tahu ada di mana. Ia tak pernah tahu bagaimana perubahan wajah orang yang entah kenapa selalu bisa ia rindukan itu; mungkinkah keriput dengan cepat menghampirinya, apakah ia orang yang suka menumbuhkan kumis dan jambang, atau apakah rahangnya makin menegaskan bentuk wajahnya. Ia juga tak punya ide apakah 850 kilometer di seberang sana, tambatan hatinya itu sudah memiliki kekasih atau belum.

“Kalau sudah, kau menghabiskan waktu memikirkan orang yang tak memikirkanmu. Rugi.” Kata saya padanya.

“Kalau belum?” sahutnya. Sejak tadi matanya tak beralih dari novel grafis kisah Dalai Lama—yang sebenarnya sudah ia khatamkan berjuta-juta kali—dan tangannya tak henti memindahkan keripik kentang dari bungkus ke mulutnya.

Saya mencari-cari jawaban. Atau mungkin ia tak pernah peduli apakah cintanya di sana itu sudah memiliki kekasih atau belum.

Bagi saya, mencintai orang yang tak ada wujudnya di depan kita dan tak pernah berkomunikasi adalah serupa mencabut pagar balkon dengan tangan kosong: itu mustahil, dan saya bodoh kalau terus mencobanya. Itulah bodohnya kawan saya ini, yang tetap saya sayangi apa adanya walaupun ia keterlaluan bebalnya.

Suatu hari, saat hari masih dini dan matahari baru muncul beberapa jam lagi, saya memperoleh kabar dari kawan jauh saya. Ada berita tentang orang yang selalu dicintai oleh kawan saya selama sepuluh tahun tanpa henti. Dua pekan sebelumnya ia tiba-tiba pingsan dan dilarikan ke rumah sakit. Dokter bilang, ada suatu cairan yang harus diambil dari otaknya. Ia dioperasi. Namun tak kunjung sadar.

Ketika hari mulai agak terang, saya berlari ke tempat kawan saya. wajahnya pias mendengar kabar itu. Saya ajak ia duduk, dan saya menyeduhkan teh untuknya. Kawan saya hanya diam saja, mulutnya rapat. Matanya bergerak-gerak cepat. Kedua tangannya mencengkeram celana yang ia kenakan.

“Aku harus ke sana.” Katanya, tiba-tiba.

“Tiket pesawat. Pesankan.” Lanjutnya. Ia lalu berdiri, berjalan menuju lemarinya. mengambil tas ransel, lalu menyambar beberapa helai pakaian dari dalam lemari.

Ponsel saya berbunyi. Saat membaca pesan yang masuk, saya segera tahu bahwa saya harus menyampaikannya pada kawan saya ini.

Kawan saya lunglai. Ia jatuh terduduk. Kedua tangannya menutupi wajahnya, lalu saya dengar senggukan-senggukan kecil yang makin lama makin membesar. Beberapa saat kemudian, bersamaan dengan tangannya yang terbuka dan wajahnya yang terangkat, senggukan itu berubah menjadi raungan yang kencang.

Kawan saya kehilangan orang yang ia cintai selama sepuluh tahun. Hatinya, yang penuh sesak oleh sosok itu, juga dibawa pergi orang tersebut.


240616 

Thursday, June 9, 2016

Anggap Saja Epilog (Bagian 1)

Rangkaian tulisan mengenai memori saya saat mengunjungi Jepang (khususnya wilayah Kansai): tentang manusianya, makanannya, dan peristiwanya, memang sudah saya nyatakan habis. Sejak awal saya memang tidak ingin menuliskan apa saja yang saya lakukan setiap harinya, tempat apa yang saya kunjungi, bagaimana transportasinya, dan lain-lain. Dan saya punya alasan remeh untuk tidak melakukan itu: terlalu mainstream. Namun beberapa hari belakangan saya agak sedih karena mulai lupa kesan pribadi saya terhadap tempat-tempat yang saya kunjungi. Karena foto yang saya ambil tidak akan pernah menceritakan dengan baik apa yang saya rasakan, maka saya memutuskan untuk mengisahkan ini. Anggap saja seperti epilog di akhir sebuah buku cerita.

1.       Melewatkan Landmark Kobe: Kobe Port Tower dan Meriken Park
Masjid Kobe
Masjid Kobe, tampak samping (dok. pri)

Terletak di belakang gedung NHK, Masjid Kobe merupakan masjid pertama di Jepang. Kami sengaja pergi ke masjid Kobe dengan tujuan awal yaitu mencari restoran halal. Memang ada satu restoran India dengan stiker halal di kaca jendelanya, namun membayar 1.200 yen untuk seporsi makan siang di hari pertama kami terasa begitu berat. Akhirnya kami langsung ke masjid yang sangat dekat dengan restoran tersebut.
Masjid Kobe terdiri dari dua lantai. Lantai pertama adalah tempat sholat utama. Selain itu, terdapat juga ruang sekretariat masjid. Saat kami datang, pintu masjid terbuka, namun tidak ada siapapun, baik di tempat sholat maupun di ruang sekretariat. Akhirnya kami mengikuti kertas petunjuk yang ditempel di pintu: jamaah wanita di lantai atas. Luas tempat sholat di lantai atas ini sekitar setengah luas lantai bawah. Terdapat dua kipas angin berdiri yang langsung kami nyalakan. Karpet tebal yang mengalasi lantai masjid langsung membuat tiga dari kami pulas. Di luar tempat sholat, masih di lantai atas, terdapat sebuah lorong yang memiliki tiga ruangan berjejer: tempat wudu, toilet, dan tempat mesin cuci. Di seberang lorong tersebut terdapat sebuah ruangan yang dapat dipakai untuk kegiatan pengajian atau seminar, yang untuk menggunakannya harus seizin pengurus masjid.
Seusai sholat dan beristirahat, ketika kami turun, kami bertemu seorang pria berjenggot yang mengenakan gamis dan peci putih. Beliau, yang ternyata berasal dari Malaysia, adalah muazin yang sempat kami saksikan mengumandangkan azan Asar beberapa menit sebelumnya. 

Kitano Meister Garden
Dari Masjid Kobe, kami harus naik bis City Loop untuk melanjutkan perjalanan. Sungguh tidak ada niat untuk mengunjungi Kitano Meister Garden, namun karena halte bis CityLoop ada di area di belakang gedung ini, jadilah kami terpaksa masuk. Terdiri atas tiga lantai, Kitano Meister Garden, menurut saya, adalah sebuah galeri sekaligus toko seni. Beragam benda yang dijual di lantai satu dan dua, mulai dari makanan, minuman, rajutan, hingga keramik. Yang unik dari bangunan ini adalah lantainya dibuat dari kayu, sehingga berderit-derit kecil setiap ada pengunjung yang lewat. Sedangkan lantai tiga digunakan sebagai tempat pameran yang tidak kami kunjungi karena tidak ada tenaga tersisa untuk menaiki tangga.

2.       Kyoto yang Tak Ada Habisnya
Kiyomizu Temple
Terletak di bukit sehingga harus menapaki jalan menanjak sejauh sekitar 700 meter, Kiyomizudera adalah sebuah tempat yang pertama kali masuk dalam daftar kunjungan saya karena ia muncul dalam film Detective Conan: Meikyuu no Juujiro. Kami berangkat cukup pagi, sekitar pukul 07.30. Jalan menuju Kiyomizudera masih sepi, jejeran toko di dekat kuil pun belum buka seluruhnya, baru beberapa saja. Yang paling saya senangi adalah tiket masuknya yang sangat cocok untuk digunakan sebagai pembatas buku: terbuat dari kertas semacam karton dengan gambar depan Kiyomizudera dan bagian belakangnya berisi tulisan semacam kata mutiara.  
Komplek Kiyomizudera cukup besar, dan karena terletak di bukit, masih banyak ditumbuhi pohon. Saya sempat mengikuti tiga siswa sekolah yang tampaknya sedang berwisata juga. Mereka memasuki semacam gerbang kayu yang jalannya masih dipenuhi batu-batu kecil dan sejauh saya melihat hanya berisi pohon, juga tidak ada petunjuk bahwa akan ada sesuatu di dalam sana. Saya bertanya kepada tiga anak tersebut, “ini di dalam ada apa ya?”. Salah satu dari mereka menjawab,”kami juga tidak tahu, baru kali ini datang ke sini.” Daripada saya jalan terus dan ternyata tidak ada apa-apa di ujung sana, saya akhirnya meninggalkan tiga anak tersebut yang masih terus berjalan masuk ke arah pohon-pohon. Rute yang akhirnya saya ambil melewati kolam ternyata membawa saya kembali ke depan kuil. Karena sebelumnya saya dan teman-teman berjanji untuk bertemu di dalam, akhirnya saya kembali masuk.
Yang saya sayangkan, saya lupa melihat ke arah tenggara untuk melihat sebuah pemadangan yang khas: seharusnya menara Kyoto tampak dari beranda bangunan utama Kiyomizudera.

Yasaka Shrine
Komplek Yasaka Shine tidak begitu besar. Saat kami datang, sepertinya sedang ada sembahyang di bangunan bagian belakang. Terdengar rapalan-rapalan kalimat dibacakan. Beberapa lelaki berkepala botak berpakaian putih, mungkin biksu, nampak mondar-mandir.
Di bangunan tengah, di sekelilingnya terdapat kertas-kertas yang digantung di batang-batang bambu, seperti festival Tanabata. Satu keluarga datang mendekat, terdiri dari seorang laki-laki bertampang Eropa namun berbicara dalam Bahasa Jepang dengan seorang perempuan berwajah Jepang, seorang anak laki-laki, dan seorang anak perempuan. Dua bocah ini kemudian masing-masing menulis pada selembar kertas yang telah disediakan. Keduanya menulis hal yang sama seperti yang telah didiktekan oleh ibunya: semoga aku bisa memperoleh sabuk hitam. Namun si bocah perempuan, yang sepertinya adik dari bocah laki-laki, berulang kali bertanya pada ibunya bagaimana cara menulis kalimat tersebut, dan pada akhirnya mencontek tulisan kakaknya (meskipun awalnya ia salah menulis hiragana ‘o’ pada ‘obi’-sabuk- menjadi ‘a’).

Kyoto Imperial Palace
Kami berjalan kaki dari Kyoto Rose Café menuju Kyoto Imperial Palace yang ternyata hanya berjarak satu blok. Sebelumnya, kami telah mendaftar untuk mengikuti tur keliling istana melalui website resmi sankan.kunaicho.go.jp. Tur ini gratis, namun untuk mengikutinya peserta diwajibkan mendaftar sebelumnya, bahkan jauh hari sebelumnya, karena jumlah peserta dibatasi. Dari beberapa jenis tur, kami memilih tur berbahasa Inggris di Kyoto Imperial Palace.
Beberapa puluh menit sebelum tur dimulai, kami mendatangi kantor pengelola untuk mendapatkan surat izin masuk. Petugas mencocokkan data di paspor dengan data di formulir aplikasi, mengonfirmasi jumlah peserta yang didaftarkan, kemudian menuliskan selembar surat izin masuk untuk kami. Lebih dari 50 wisatawan menjadi peserta dari tur ini. Begitu masuk, kami masih harus memperlihatkan surat izin kepada petugas loket untuk memperoleh brosur Kyoto Imperial Palace berbahasa Inggris, lalu dipersilakan menunggu di sebuah ruangan dengan kursi-kursi panjang berjajar ke belakang. Terdapat dua penjual cenderamata di pojok depan ruangan, sementara di bagian belakang teradapat satu mesin penjual minuman, satu kran air minum (kami mengisi ulang wadah minum di sini), dan sebuah lemari loker. Tur diawali dengan menonton sebuah video yang menayangkan rute dan tempat-tempat yang akan dilalui dari televisi layar datar yang dipasang di bagian depan ruangan. Tak berapa lama, pemandu tur datang: seorang wanita berumur, mengenakan celana hitam dan kemeja putih, mencangklong pengeras suara berukuran kecil.
Di depan tiap bangunan, pemandu berhenti dan menjelaskan beberapa hal, misalnya sejarah, material yang digunakan dalam membuat bangunan, fungsi bangunan, dan terkadang menunjukkan beberapa foto yang memperlihatkan bagaimana bentuk asli bangunan sebelum direnovasi. Awalnya saya selalu berada di dekat pemandu agar bisa mendengarkan penjelasannya, tetapi lama-lama saya lelah harus berkonsentrasi lebih untuk memahami Bahasa Inggrisnya, selain itu juga karena saya ingin banyak mengambil gambar. Berada di dekat pemandu yang langsung bergerak meninggalkan lokasi begitu penjelasan usai membuat saya tidak leluasa memotret. Tur berlangsung selama kurang lebih 60 menit, diakhiri dengan ucapan terima kasih dari pemandu dan tepuk tangan meriah dari peserta tur.
Oikeniwa Garden, salah satu taman di dalam kompleks Kyoto Imperial Garden (dok. pri)
Uniknya, ada seorang petugas keamanan yang berjaga mengikuti rombongan selama tur. Ia tidak akan berpindah tempat sampai peserta terakhir pergi. Sekali waktu, rombongan sudah cukup jauh di depan, saya menjadi yang paling belakang karena ingin memotret lebih banyak. Namun akhirnya saya tidak jadi lama-lama di situ karena merasa tidak enak hati pada petugas keamanan tersebut.

Fushimi Inari Shrine
Gerbang masuk Fushimi Inari Shrine (dok.pri)

Rencana awal kami adalah kami naik bis menuju halte Tofukuji, dari sana berjalan kaki menuju Fushimi Inari. Namun menurut petugas di Kyoto Imperial Palace yang saya tanyai, keduanya berjarak sangat jauh (sangat jauh untuk ukuran orang Jepang berarti sangat sangat jauh untuk ukuran kami), jadi lebih baik kami naik kereta.
Benar saja kata petugas tersebut. Dari stasiun Fushimi Inari jalur Keihan, kami hanya perlu berjalan kaki sekitar satu kilometer untuk sampai di Fushimi Inari. Selain Kiyomizudera, tempat ini juga merupakan tempat yang masuk daftar wajib kunjungan saya. Bukan karena ia muncul di film Detective Conan, namun karena tempat ini sungguh populer.
Deretan torii berwarna merah menyala benar-benar luar biasa. Dan dibutuhkan tenaga yang luar biasa pula untuk bisa melewati seluruh rute torii karena jalannya menanjak ke arah puncak bukit. Kami—yang tenaga dan semangatnya tidak cukup luar biasa—hanya berjalan sampai tengah, masih cukup jauh dari puncak bukit, kemudian kembali lagi ke gerbang awal.

Tenryuji
Saat menyusun jadwal perjalanan, saya memperoleh informasi bahwa Tenryuji adalah jalan masuk menuju Sagano. Dari keterangan tersebut, yang saya pahami adalah kami harus masuk Tenryuji untuk bisa masuk Sagano.
Ada dua jenis tiket untuk masuk ke Tenryuji, yaitu masuk ke bangunan utama kuil dan masuk ke taman bergaya Jepang. Kami memilih yang kedua dengan membeli tiket seharga 500 yen. Taman gaya Jepang sebenarnya bagus, namun ya begitu-begitu saja: kolam, tanaman, batu besar, dan batu kecil yang dibentuk beralur menyerupai aliran air. Namun, taman Tenryuji ini agak berbeda dan tampak lebih bagus dari taman gaya Jepang lainnya karena latar belakangnya: bukit yang dipenuhi pohon-pohon berdaun hijau dan oranye di beberapa bagian serta hamparan langit biru cerah.
Setelah taman gaya Jepang, terdapat taman dengan bermacam bunga yang sayangnya tidak sedang berbunga kecuali tanaman hydrangea—yang di Indonesia dikenal dengan Bunga Panca Warna—, itupun warna bunganya kebanyakan masih hijau.
Di dekat pintu keluar taman, mulai tampak rimbunan pohon bambu, yang menandakan bahwa Sagano sudah ada di depan mata.

Sagano Bamboo Forest
Masuk sebagai salah satu daftar wajib kunjungan versi saya karena sepertinya memiliki daya magis dan misterius, maka bagaimanapun saya harus ke lokasi ini. Sebenarnya hanya sebuah hutan bambu yang juga banyak ditemukan di dekat rumah kakek saya di Trenggalek, namun jenis bambu yang berwarna hijau cerah, batang panjang, tumbuh lurus ke atas, dan tidak bergerombol membuat hutan bambu ini unik.
Sayangnya, saya tidak menemukan cara agar bisa mendapatkan gambar yang bagus di sini. Itu yang pertama. Hal kedua yang saya sayangkan adalah kami datang berbarengan dengan beberapa rombongan wisatawan, entah dari Tiongkok atau Taiwan, yang tak habis-habisnya (dan sangat berisik), sehingga mengurangi daya magis Sagano.
Ketika pulang, kami mengikuti satu-satunya jalan yang selalu dirimbuni pepohonan sehingga sangat adem. Begitu sampai di jalan raya, saya baru menyadari bahwa Sagano dapat dimasuki langsung dari jalan raya, tidak perlu masuk terlebih dahulu ke Tenryuji.

Kinkakuji
Saya akan memberikan satu tips untuk dapat menikmati keindahan Kinkakuji: datanglah pagi-pagi saat loket baru dibuka. Kalau tidak, maka akan bernasib seperti saya yang datang sekitar pukul 12 siang: sesak nafas. Memang bukan dalam arti sesungguhnya, namun melihat begitu banyaknya wisatawan yang berkerumun di depan pagoda berwarna emas membuat saya merasa ingin segera meninggalkan tempat tersebut, tidak peduli betapapun bagusnya. Hanya ada satu lokasi yang bagus untuk mengambil gambar pagoda yaitu dari depan, tetapi tempatnya sangat sempit, sehingga pengunjung terlihat berjubel dan tidak teratur. Ketika menyusuri jalan setapak ke arah keluar, keadaannya ternyata tidak kalah menyedihkan: jalan tidak cukup lebar, agak menanjak dengan beberapa anak tangga, banyak orang berhenti di pinggir, dan tak sedikit pengunjung yang tetap mengembangkan payungnya sehingga berpotensi mengenai kepala orang lain.
Saya baru bisa bernafas lega ketika telah mecapai pintu keluar Kinkakuji.

Kyoto Botanical Garden
Salah satu sudut Kyoto Botanocal Garden (dok. pri)

Di sinilah saya bertemu dengan Kakek Internasional. Begitu masuk, tampak aneka bunga warna-warni bermekaran di jalan utama yang menyambut pengunjung. Namun kami tak langsung berkeliling, hal pertama yang kami lakukan justru mencari tempat duduk untuk makan bekal makan siang. Setelah itu, kami menuju ke gedung pusat informasi pengunjung untuk salat. Harapan kami, kami akan menemukan tempat perawatan bayi yang dapat ditumpangi untuk salat seperti di Kyoto Imperial Palace. Ternyata, tempat perawatan bayi di sini menyatu dengan toilet sehingga tidak dapat digunakan untuk tempat salat. Saya meminta teman saya untuk bertanya kepada petugas—dan akhirnya saya dipanggil juga karena petugas tersebut tidak dapat berbahasa Inggris. Setelah petugas tersebut berunding dengan rekannya, kami akhirnya diperbolehkan salat di depan perpustakaan di lantai dua yang kebetulan sedang tutup sehingga tidak mengganggu siapapun.  
Setelah salat, saya sempatkan mampir ke kafetaria yang juga sekaligus tempat penjualan cenderamata untuk membeli kartu pos. Penjualnya memberikan kami bonus tiga buah kipas untuk kami—dua teman sedang menunggu di luar sehingga tidak memperoleh kipas. Di hari-hari berikutnya, kipas ini adalah senjata yang sangat bermanfaat di tengah musim panas yang sangat menyengat.
Kami berkeliling di taman hingga jam operasional tutup, yaitu pukul 17.00, dan hanya mengelilingi beberapa area saja, seperti taman sakura, taman lotus, taman maple, taman mawar, taman gaya eropa, dan taman gaya jepang, dan taman gaya Amerika. Satu hal yang kami sadari, kami tidak menemukan rombongan keluarga yang menggelar tikar dan makan bersama seperti di Kebun Raya Bogor—mungkin situasinya akan berbeda kalau kami datang ketika musim semi.

JR Kyoto Station
Sungguh tidak ada niat untuk mengajak teman-teman pergi ke Stasiun JR Kyoto. Ini hanya rencana saya sendiri saja untuk membeli tiket Hankyu Railway Pass 5 hari di BicCamera. Saya membebaskan teman-teman untuk pergi terserah ke manapun, namun ternyata mereka memilih untuk menemani saya (peluk!). Pada akhirnya, saya memang sendirian membeli tiket, dan meminta mereka untuk menunggu saja di Daiso di gedung seberang.
Setelah saya memperoleh tiket, saya menyusul teman-teman ke Daiso (Tuhan, Daiso adalah sebuah tempat penuh keajaiban!), kemudian kami kembali ke depan stasiun. Di depan stasiun terdapat sebuah gedung bertuliskan Aqua Fantasy yang mempertunjukkan atraksi air mancur menari di atap gedungnya dengan pendaran lampu berwarna-warni dan iringan musik yang cukup familiar.
Oh iya, saat hari masih terang dan kami belum berpencar, kami bertemu dengan dua orang laki-laki yang usianya sepertinya tidak berbeda jauh dengan kami dan berwajah Melayu di depan stasiun. Salah seorang di antaranya mengenakan kaos jersey sepak bola Timnas Indonesia yang berwarna merah, sehingga tak diragukan lagi mereka adalah orang Indonesia.


--- bersambung ---