Monday, March 17, 2014

Menyusuri Jejak di Sekitar Cisadane

Sewaktu SMA, pengajar kursus-bahasa-Inggris saya sering bercerita tentang China Benteng. Beliau bercerita begini— bukan bermaksud rasis, “kalau yang kalian lihat selama ini, kan orang Tionghoa itu kulitnya putih, tajir, gitu ya. Nah sebenernya ada lho orang Tionghoa yang item dan nggak tajir. Namanya China Benteng, di Tangerang sana.” Maklum, sebelumnya dia, yang juga seorang Tionghoa, adalah manajer cabang kursus tersebut di Tangerang. 
Cerita itu, dan nama “China Benteng” sangat melekat di benak saya—karena pengajar itu sering menceritakan sesuatu yang sama berulang kali. 

Ketika beberapa hari yang lalu ada email masuk dari milis @jakartabytrain tentang Jakarta by Train Go West Tour, saya curiga jangan-jangan tur ini akan membawa saya ke China Benteng. Setelah mempertimbangkan beberapa hal, akhirnya hari Kamis saya memutuskan untuk bergabung menjadi peserta tur kali ini.

Bersama 16 peserta lain, kami berangkat dari Stasiun Manggarai pukul 09.20. Dengan rute Manggarai-Duri-Tangerang, kami sampai di stasiun Tangerang sekitar pukul 11.00. Sebenarnya tidak selama itu, karena kami juga harus menunggu kereta dari Duri ke Tangerang sekitar 30 menit. 

Setelah bercengkerama di stasiun Tangerang sekitar 40 menit—hujan turun deras sekali begitu kami sampai di stasiun dan sempat ada sedikit teguran dari pihak keamanan karena kami mengambil foto beramai-ramai di sana— akhirnya kami mulai berjalan menuju destinasi pertama kami: Kelenteng Boen Tek Bio. 

Keluar dari stasiun Tangerang, ada dua rute yang dapat ditempuh menuju kelenteng. Pemandu tur kami, yang tidak lain adalah pengelola situs jakartabytrain.com, menyarankan kami untuk belok kanan dan mengambil rute dengan menyusuri Sungai Cisadane. Pilihan rute lainnya adalah belok kiri melewati Pasar Lama, yang tidak kami ambil karena jalanan menuju ke sana pasti becek selepas hujan deras.

Sekitar satu kilometer dari stasiun, tampak sebuah plang bertuliskan Boen Tek Bio di mulut sebuah gang. Kelenteng Boen Tek Bio ada di ujung gang tersebut. Di sepanjang jalan menuju kelenteng, terdapat beberapa warung makan yang menjual bubur, bakso, ataupun mie, dengan tambahan daging babi. Hampir semua mencetak menu mereka dengan huruf besar dan warna terang, mungkin memastikan agar yang akan makan di warung mereka tahu bahwa mereka menyajikan daging babi.

Informasi mengenai kelenteng Boen Tek Bio ini minim sekali. Satu-satunya informasi yang kami dapat dari pemandu tur adalah: kelenteng ini merupakan kelenteng tertua di Tangerang—tidak tahu dibangun pada tahun berapa. Ada satu lagi informasi yang tertulis dengan jelas di bagian depan kelenteng, di atas sebuah lonceng besar: Juli 1940. Entah peristiwa apakah yang ingin ditunjukkan dengan menuliskan bulan dan tahun tersebut. 

Sebenarnya pemandu berencana agar kami bisa masuk ke dalam kelenteng, melihat apakah ada benda-benda yang memiliki nilai sejarah dan juga memperoleh informasi mengenai keberadaan kelenteng tersebut. Namun urung, lantaran saat itu banyak orang sembahyang. 

Kami melanjutkan perjalanan ke Museum Benteng Heritage, yang letaknya hanya seratus meter dari kelenteng Boen Tek Bio. 
 
Tidak ada plang ataupun penunjuk yang memberitahukan bahwa salah satu bangunan di Pasar Lama tersebut adalah sebuah museum. Pun dari luar, bangunannya mirip sebuah rumah biasa. Hanya sebuah plakat bertuliskan “Museum Benteng Heritage” yang terpasang di tembok bagian depan yang berfungsi sebagai penanda. Ukurannya pun tidak cukup besar dan mencolok. Museum Benteng Heritage—meskipun mengusung judul “Benteng”, sebenarnya memiliki tagline Museum Kebudayaan Indonesia-Tionghoa pertama di Indonesia. 

Museum Benteng Heritage

Dengan membayar tanda masuk sebesar Rp 20.000—ini adalah museum dengan harga tiket termahal yang pernah saya kunjungi—, kami menunggu jadwal tur museum yang akan dimulai pada pukul 13.00.

Bersama dua rombongan lain, kami memulai tur museum Benteng Heritage bersama seorang pemandu dari pihak museum. Awalnya dikisahkan bagaimana asal mula nama China Benteng, yaitu karena VOC setelah datang ke Jakarta banyak membangun benteng-benteng di sepanjang Sungai Cisadane sebagai pertahanan dari serangan Kerajaan Banten saat itu, dan banyak masyarakat etnis Tionghoa yang tinggal di sekitar benteng tersebut. Meskipun sekarang tidak ada lagi bekas benteng yang pernah dibangun Belanda tersebut, namun nama China Benteng tetap digunakan.

Gedung Museum Benteng Heritage terdiri dari dua lantai, diperkirakan dibangun pada abad 17. Namun tidak ada foto dari bagian dalam museum karena pengunjung tidak diperbolehkan mengambil gambar. Lantai satu, yang lantainya menggunakan terakota, adalah sebuah ruangan besar dengan banyak meja dan kursi, yang selain digunakan sebagai tempat untuk memberikan penjelasan mengenai restorasi bangunan awal museum, juga sebagai tempat jamuan makan bagi pengunjung yang ingin menikmati kuliner peranakan/Babah Tangerang. Ada juga prasasti Tangga Jamban—namanya nggak enak dibaca, ya :) —yang ditemukan di dekat sungai Cisadane.

Di lantai dua, karena lantainya terbuat dari kayu, maka pengunjung diminta untuk melepas alas kaki saat naik. Lantai kedua berisi benda-benda terkait kebudayaan China, di antaranya adalah sempoa China, yang ternyata berbeda dengan sempoa Jepang yang saat ini lebih luas penggunaannya; replika kapal Laksamana Cheng Ho dan penjelasan mengenai ekspedisi beliau; sepatu mungil yang digunakan untuk membebat kaki wanita bangsawan China pada masa lalu; meja mahjong—yang ternyata memiliki banyak laci rahasia; dan ranjang pengantin—lengkap dengan penjelasan prosesi pernikahan ala masyarakat China Benteng. 

Tur museum selama sekitar satu jam ini berakhir di sebuah toko suvenir di lantai satu sebelah selatan yang menjual berbagai macam barang, mulai dari kecap buatan pabrik di Tangerang yang sudah ada sejak tahun 1930an, buku-buku, kaos, hingga lukisan. Pun demikian, yang paling banyak diserbu pengunjung adalah kecap. Konon, kecap ini rasanya lebih enak daripada kecap yang sering memasang iklan di televisi.

Berakhirnya tur Museum Benteng Heritage tidak membuat Jakarta by Train Go West Tour berakhir. Kami makan siang-agak-sore di  warung ayam bakar, tidak begitu jauh dari Menara Jam Damatex di ujung jalan keluar museum. Seusai makan, kami kembali ke Jakarta dengan kereta dari Tangerang pukul 16.20.

Selain bertemu orang-orang baru—ada seorang peserta yang ternyata juga alumni STAN—dan mengunjungi tempat baru, yang paling membahagiakan adalah saya akhirnya bisa melihat sendiri apa yang dikisahkan berkali-kali oleh pengajar kursus bahasa Inggris saya sewaktu SMA dulu. Yang membuat saya berujar: ooooh, ternyata ini toh yang dulu diceritakan.



Ditemani suara kipas angin di kamar,
15 Maret 2014
 


Ceritakan padaku tentang sesuatu: apa, siapa, bagaimana, mengapa, dan di mana. Suatu saat aku akan menjejakkan kaki dan menghirup udara di tempat itu.