Monday, October 22, 2012

Esok = Hari (yang) Cemerlang

Sudah Senin lagi. Berarti sudah harus semangat lagi :).


Maa, tulisan ini harusnya dipost hari Minggu, biar semua menyambut Senin dengan riang gembira. Tapi berhubung ini baru ditulis, jadi ya terpaksa baru dipost hari ini. Haha

Jadi ceritanya, saya lagi belajar bahasa Jepang. Dan sekarang sedang dalam tahap belajar kanji. Meskipun kanji itu ngebingungin karena cara bacanya banyak, tapi belajarnya jadi seru. Karena menurut cerita yang saya dengar, kanji dibuat dengan asal-usul. Jadi ada kisah di balik pembuatan kanji tersebut.

Cerita ini adalah tentang salah satu kanji yang bikin belajar jadi seru :).

Saya belajar bahasa Jepang pertama-tama ya dari lagu. Waktu itu, saya lihat di lirik salah satu lagu, kanji ini 明日 dibaca ashita, artinya besok. Ada dua karakter di kanji 明日. Ada 明 dan 日. Saya cuma tahu karakter 日, bisa dibaca hi/bi/nichi, artinya hari. Kalo yang 明 saya nggak tau.

Nah. Beberapa hari lalu, saya lihat entah di mana, ada tulisan ini 明るい dibaca akarui. Artinya terang; cemerlang; riang; gembira; ceria; pandai; paham betul-betul. Hiragananya  るいdibaca ‘rui’, jadi kanji ini 明  aja dibaca ‘aka’.  Selain aka, bisa juga dibaca aki(raka), a(kari), a(keru), a(kasu), a(ku), a(ki), mei, dan myou.

Kembali ke kanji  明日 yang artinya ‘besok’. Setelah saya lihat-lihat, barulah saya sadar. Berarti kanji 明日 dibentuk dari karakter 明 yang artinya ‘terang’ dan 日yang artinya ‘hari’. Kalau digabung, artinya jadi hari (yang) terang. Bukan begitu?

Jadi, esok = hari yang terang/cemerlang.

Tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang esok, karena apa yang kita khawatirkan seringkali hanyalah ketakutan-ketakutan dalam imajinasi kita saja.

Tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang esok, karena kita hidup untuk hari ini. Berbuat yang terbaik untuk hari ini. Kalaupun ada esok, ia tak lain hanyalah sebuah hari yang terang. Yang lebih indah. Yang lebih baik. Bukan hari yang menunggu untuk dikhawatirkan.

Tak ada alasan untuk tidak menyambut esok yang terang dan cemerlang dengan lebih bersemangat.

Minna, ganbatte ne :).

Catatan:
Setelah buka kamus menulis kanji, saya menemukan bahwa 明日 dibaca myounichi, artinya besok. Heran karena saya menemukan 明日 tidak dibaca ashita, saya buka kamus dwibahasa Indonesia-Jepang. Saya cek di laman ‘besok’, tertulisあした (ashita) dan 明日 (myounichi). Saya cek di laman ‘ashita’, tertulis hanya dalam hiragana あした. Di Google translate, saya menemukan kalau 明日 dibaca ashita.
Sampai sekarang saya nggak ngerti apakah 明日 bisa dibaca ashita dan myounichi, ataukan yang benar ashita memang hanya ditulis dalam hiragana. Later I will ask Sensei about it.
Apapun, mari menyambut esok yang terang dan cemerlang dengan lebih bersemangat :).



Smiley dari sini 


22 Oktober 2012
Salam,
Wahyu Widyaningrum


Monday, October 15, 2012

Kenapa Upacara Bendera?

Upacara bendera.

Dulu ketika masih sekolah, bisa dibilang saya agak ogah-ogahan tiap hari Senin. Ya karena ada upacara itu.

Tapi waktu udah kuliah dan kerja, upacara adalah peristiwa langka. Di kampus dulu, seingat saya, upacara cuma digelar pas 17 Agustus aja. It means once in a year. Dari 365 hari, cuma ada sehari yang disediakan buat upacara. Kurang langka apa, coba?

Pas kerja ini, upacaranya lebih sering. 20 Mei, 17 Agustus, 1 Oktober ada upacara. Hari bersejarah sih soalnya. Dan ada tambahan lagi. Yaitu upacara pas Hari Oeang Republik Indonesia. Meskipun lebih sering *bukan setahun sekali seperti pas kuliah*, tapi toh bukan setiap Senin kan?

Saya pribadi, sejak lulus SMA jadi kangen dengan upacara. Kangen banget. Dengerin lagu Indonesia Raya, hormat ke bendera merah-putih, mengheningkan cipta, dan lain-lain. Kecuali sambutan Pembina upacara. Saya nggak kangen dengan prosesi itu *dan emang yang bikin prosesi upacara lama kan ya sambutan pembinanya*.

Karena saya kangen, jadi saya semangat kalo disuruh ikut upacara.

Dan karena saya semangat, saya jadi heran sama orang yang amit-amit susah banget kalo disuruh ikut upacara. Apalagi kalo yang beralasan, “upacara kan panas banget.”

Iya sih, panas. Tapi… kan situ sehari-hari udah ngadem terus di ruangan. Kapan lagi kena sinar matahari yang berfungsi sebagai sumber vitamin D? Nggak banyak lho sumber vitamin D. Yang paling gampang dan gratis ya dari sinar matahari. Kalo nggak percaya, silakan baca di sini deh :)

Ada lagi yang beralasan, “tahun kemarin kan udah.”

Emmmm… kalo gitu nggak usah ada peringatan deh ya. Bukankan upacara dilakukan setiap tahun karena memperingati hari tertentu? Pasti nggak mau dong kalo nggak dibolehin makan siang dengan alasan, “ntar siang nggak usah makan lah, kan tadi pagi udah.”

Jadi, kenapa masih malas ikut upacara bendera?


gambar dari sini


Salam,
Wahyu Widyaningrum

Tuesday, October 2, 2012

Sepotong Apel Merah

Di antara sekian banyak bangku di taman ini, aku paling suka bangku yang berada di dekat patung—aku tak tahu patung ini berbentuk apa, menurutku bentuknya seperti seorang pria yang membawa tongkat pendek yang biasanya dibawa petugas keamanan, tapi kata teman-temanku patung itu sedang membawa pedang—yang paling dekat dengan jalan raya. Aku suka bangku itu karena jika aku menghadap ke luar, aku bisa melihat jalan raya yang bercabang tiga, sedangkan jika aku menghadap dalam, aku bisa melihat seluruh taman dengan sekali pandang, tanpa perlu menoleh-noleh.

Jika sudah menghabiskan koran daganganku, aku sering duduk-duduk di sana. Tentu saja jika bangku itu masih kosong—faktanya, bangku itu memang sepi peminat karena jika pagi, sinar matahari langsung menyorot ke arahnya. Kalau sudah ada orang yang duduk di bangku itu, aku lebih memilih untuk duduk di bangku di bawah pohon beringin di ujung selatan taman.

Tapi sudah beberapa hari aku tak bisa duduk di bangkuku. Seorang anak kecil berseragam sekolah selalu duduk di sana. Ia mengenakan tas bergambar Power Ranger dan selalu membawa wadah bekal makan yang diletakkan di sampingnya begitu ia duduk. Di bangku itu ia duduk sendiri, untuk beberapa lama. Beberapa menit sebelumnya, seorang perempuan berusia tiga-puluhan berjalan kaki menggandeng anak kecil itu. Setelah sampai di bangkuku, wanita—yang kurasa merupakan ibu dari anak kecil berseragam sekolah itu—itu merapikan baju si anak, menepuk-nepuk pundaknya, lalu mengecup keningnya. Kemudian wanita itu berlalu begitu saja ke arah utara, meninggalkan anaknya sendirian.

Beberapa hari lalu, ketika aku pertama kali melihat adegan ibu-anak itu, aku merasa heran. Sampai saat itu aku belum pernah menyaksikan seorang anak kecil ditinggal oleh ibunya untuk duduk sendirian di bangku taman yang letaknya tepi jalan yang ramai. Dan aku juga tak pernah membayangkan akan pernah menyaksikannya. Kurasa orang tua manapun tak ada yang tega meninggalkan anaknya sendirian begitu. Bagaimana jika ada penculik, misalnya? Bukannya aku berharap sesuatu yang buruk terjadi, tapi aku realistis saja. Kisah penculikan sudah terlalu sering menghiasi halaman-halaman koran. Orang lain saja rela membayar seorang pengasuh anak demi tidak meninggalkan anak mereka sendirian.

Saat itu kupikir si ibu akan kembali, tapi aku sadar pikiranku salah ketika beberapa menit selanjutnya anak kecil itu malah didekati oleh seorang pria. Dan sekali lagi pikiranku salah ketika kupikir anak kecil itu akan menunjukkan reaksi takut atau bahkan kabur, tapi ternyata ia justru mencium tangan pria yang mendekatinya dan bahkan kemudian memberikan wadah bekal makan yang sedari tadi ada di sampingnya.

Setelah menerima wadah bekal makan itu, si pria duduk di sebelah anak kecil tersebut. Ia membuka wadah bekal tersebut, mengeluarkan isinya, lalu memakannya. Dari tempatku duduk saat itu aku tak bisa melihat dengan begitu jelas apa yang ia makan. Yang jelas bukan nasi karena ia menggenggam makanannya. Bukan juga gorengan karena warnanya bukan cokelat. Ah, kurasa itu apel merah. Mungkin sudah dibelah, karena ada sisi berwarna putih.

Saat aku sedang meyakinkan diri bahwa memang apel yang dimakan oleh pria itu, mereka berdua berdiri—berarti pria itu makan dengan cepat sekali. Sambil bergandengan, berdua mereka berjalan ke arah utara. Tak ada reaksi aneh yang ditunjukkan baik oleh anak itu—entah teriak, terkejut, atau takut-takut—maupun oleh si pria—mungkin menarik paksa, memukul, atau membentak—, jadi kurasa mereka saling mengenal.

Tapi sejak melihat hal tersebut pertama kali aku tak pernah menyangka bahwa mereka berdua memiliki hubungan ayah-anak, hingga kemarin.

Kemarin, selepas mengisi perut dengan nasi pecel di warung kecil dekat-taman sebelah-barat, aku kembali duduk di bangku di bawah pohon beringin. Anak kecil berseragam sekolah itu telah tiba di taman dan menduduki bangkuku.

Belum sampai sepuluh menit aku duduk, hujan turun. Tidak ada peringatan mendung sebelumnya. Saat air langit mulai menetes, anak kecil itu tampak panik, seperti juga orang lain yang sedang duduk ataupun lalu-lalang. Ia berdiri memeluk wadah bekalnya. Menoleh-noleh, mungkin mencari tempat berteduh. Aku melambai ke arahnya—bangkuku yang ini adalah satu di antara dua bangku di taman ini yang memiliki atap. Ia melihatku, lalu segera berlari ke arahku. Kutepuk-tepuk tempat duduk di sebelahku untuknya, sebelum diduduki oleh orang-orang yang mulai merapat di bangku ini.

Selama hujan turun, ia terus melihat ke arah pertigaan di ujung, sesekali menoleh ke selatan.

“Aku mencari ayah,” jawabnya saat kutanya mengapa sejak tadi ia tak bisa tenang, “aku harus memberikan ini untuk ayah. Titipan dari ibu,” lanjutnya.

Saat itulah aku tahu bahwa pria yang setiap hari datang, membuka wadah bekal dan memakan isinya, dan menggandeng tangan anak kecil di sebelahku adalah ayahnya.

“Titipan?”

Ia mengangguk. “Ayah sudah tidak tinggal serumah dengan aku dan ibu.”

Sejenak kami berdua sibuk dengan diri masing-masing.

“Sarapan?” Mataku mengarah ke wadah bekal yang ia pegang.

“Bukan. Ini apel merah. Ayah suka apel merah.”

Rupanya mataku tak salah lihat waktu itu. Memang apel merah.

“Itu Ayah!” ia menunjuk seberang jalan. Aku mengikuti telunjuknya. Seorang pria bertopi berlari-lari kecil menyeberang jalan. Bajunya basah.

Tiba-tiba anak kecil di sampingku berlari menuju pria itu. Ketika itu aku sadar bahwa hujan telah reda. Lalu kulihat sepasang ayah-anak itu berjalan bergandengan tangan ke arah utara.

---

Hari ini aku melihat anak kecil yang beberapa hari terakhir rutin duduk di bangkuku. Di sampingnya tetap ada wadah bekal makan. Tapi bukan seragam sekolah yang menempel di tubuhnya. Ia mengenakan kaos oblong dan celana selutut. Ia juga tidak menggendong tas punggung bergambar Power Ranger.

“Menunggu ayah?” sebenarnya aku sendiri juga tak tahu kenapa pada akhirnya aku memutuskan untuk mendekatinya dan menanyakan hal itu.

Ia mengangguk.

“Apel merah?”

Sebuah pertanyaan basa-basi. Aku kemarin sudah tahu bahwa yang ada di wadah bekal itu adalah apel merah.

Tapi ia menggeleng.

Ia berkisah, katanya ketika tadi pagi ia bangun tidur, ia menemukan ibunya masih tidur dalam posisi duduk di kursi di depan televisi. Karena ia tak ingin terlambat ke sekolah, ia memanggil-manggil nama ibunya. Tak ada reaksi, ia menggoyang-goyang tubuh ibunya. Tak ada reaksi juga. Ia menangis keras, karena biasanya, ia bilang, bila ia melakukan itu maka ibunya akan langsung bangun dan menenangkannya. Tapi itu tak terjadi. Ibunya tetap bergeming.

“Lalu apa yang kamu lakukan?”

Yang ia tahu, jawabnya, pagi itu ia harus mengantar apel merah untuk ayahnya, seperti hari-hari biasanya. Ia membuka kulkas, mencari apel merah yang memang biasanya disimpan di situ. Tapi tak ada sebutir apel merah pun di kulkas. Apel merah juga tak ada di lemari. Ia mencari di seluruh sudut rumah. Sayang tak ada apel merah tersisa di rumahnya.

“Aku sayang ayah. Ibu juga. Tapi ayah tidak sayang pada ibu. Makanya sebulan lalu ayah tidak tinggal di rumahku dan ibu. Ayah juga tidak mau bertemu ibu, cuma mau makan apel merah yang dipotong ibu saja.”

Jalan pikiran ayah dan ibu dari anak ini tak kumengerti. Pisah rumah, tapi setiap hari masih mau makan apel yang dipotong oleh orang yang tidak ia sayangi. Pisah rumah dan tahu bahwa orang yang ia sayangi tidak menyayanginya, tapi masih saja memotongkan apel untuknya setiap hari. Kurasa aku harus ada di posisi mereka untuk bisa memahami jalan pikiran unik itu.

“Aku kasihan pada ayahku.” Kata bocah di sebelahku melanjutkan cerita, “setiap hari ia memakan apel merah yang dipotong oleh ibu. Kalau hari ini tidak, aku takut ayah jadi marah padaku dan tidak mau bertemu denganku, seperti ayah tidak mau bertemu ibu.”

“Jadi akhirnya aku membawa ini untuk ayah.” Ia membuka wadah bekalnya, “biar nanti ayah yang membeli apel merah sendiri tapi tetap ibu yang memotong apel merah itu untuk ayah.”

Aku kurang paham, tapi aku melongok ke wadah bekal yang telah ia buka. Di dalamnya terdapat sebilah pisau dan sepotong telapak tangan wanita.

***


Lapangan Banteng, 1 Oktober 2012
#Saujana
Dibuat untuk kegiatan kecil-kecilan #Saujana. Kisah-kisah lain dari @staners2008 bisa dibaca di sini