Tuesday, February 5, 2013

Helping Others Do What's Right

Sebenarnya sekarang saya ingin sekali merutuk tentang mutu tulisan-tulisan saya yang, bahkan menurut saya sendiri pun, kurang baik. Ah, saya tak tega mengatakan ‘jelek’ pada diri sendiri. Mungkin inilah pengaruh yang ditimbulkan oleh aktivitas jalan-jalan di blog barusan, mengunjungi beberapa pemilik #7HariMenulis.

Namun menulis adalah proses, kan? Kalau rajin menulis dan rajin baca, nanti juga tulisan akan jadi lebih baik. Well, saya harap ini bukan pemakluman diri sendiri.

Oke. Lupakan.

Kali ini saya ingin membahas satu hal: helping others do what’s right.

Beberapa hari lalu di kantor diselenggarakan sosialisasi SE-37/MK.01/2012. Dalam acara tersebut diputar sebuah video yang mengisahkan bagaimana menciptakan sebuah budaya positif. Ada sekian banyak cara, tapi yang paling nancep di otak saya adalah poin helping others do what’s right.

Kebanyakan orang hanya fokus pada diri sendiri. Yang penting gue bener, bodo amat gimana orang lain. Yang penting gue dipuji atasan, salah sendiri yang lain gak bener kayak gue. Hingga tidak peduli pada lingkungan di sekitarnya. Hingga tidak memperhatikan orang lain. Hingga lupa bahwa ia hidup tidak sendiri. Hingga lupa bahwa jika hanya ia yang benar dan orang lain salah, maka itu tetaplah salah. Atau jika ia dan yang lain benar namun ada seorang yang salah, maka itu tetaplah salah. Menggunakan istilah lain, tidak berjalan seirama.

Dalam sebuah gerakan tari Saman, jika sepuluh penari menoleh ke kanan sedangkan seorang menoleh ke kiri, tetap salah kan? Tidak seirama kan? Dan jelas terlihat tidak indah.

Melakukan sesuatu tentu ada tujuannya. Sesederhana makan agar kenyang dan minum agar tidak haus (meskipun makan dan minum tidak semata agar kenyang dan tidak haus). Begitupun helping others do what’s right. Tujuannya agar seirama, sama-sama melakukan what’s right. What’s right-what’s right tadi, jika semuanya dilakukan, tujuan besar pun akan tercapai.

Terlalu muluk?

Sebuah contoh. Di kantor, ada larangan merokok di dalam area gedung,  baik di toilet, pantry, tangga darurat, maupun basement. Tujuan besarnya? Sebuah budaya positif berupa menjaga kedisiplinan (ini ketentuan dari ‘Yang di Atas’). Jadi dalam konteks ini, what’s right adalah tidak merokok di area gedung. Saya bukan perokok sehingga saya sudah do what’s right.

Tapi kan yang berkantor di gedung ini bukan hanya saya. Saya hanya satu dari sekian ribu orang. Dan dari sekian ribu orang tersebut, tidak mungkin semuanya do what’s right. Di ruangan saya ada beberapa bapak-bapak yang merokok. Bahkan seringkali, mereka merokok di dalam ruangan. Apakah mereka do what’s right? Jelas tidak.

Solusinya, kalau memang bapak-bapak yang merokok tadi kurang memiliki kesadaran dan kedisiplinan pribadi, maka saya yang harus helping other do what’s right (dan sebenarnya saya juga memperjuangkan hak saya untuk mendapatkan udara yang bersih): mengingatkan dan melarang mereka merokok.

Masalahnya, ternyata tidak helping others bukan hanya disebabkan oleh terlalu fokus pada diri sendiri. Sebab lain adalah butuh nyali yang tidak kecil untuk bisa melakukan hal tersebut. Apalagi jika yang berbuat salah adalah teman baik kita, orang yang lebih tua dari kita, bahkan atasan kita. Meskipun ditempeli label ‘berkewajiban menegur’, nyatanya itu adalah kewajiban yang paling berat, setidaknya buat saya pribadi.

Sering saya terlalu banyak berpikir bagaimana menyusun kalimat untuk menegur dalam rangka helping others tadi. Tetapi mungkin karena terlalu banyak berpikir, pada akhirnya saya tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun untuk menegur. Saya lalai dalam helping other’s do what’s right.

Sekarang saya jadi bertanya-tanya: kalau banyak pegawai yang berpikir seperti saya, kapan sebuah budaya positif—dalam hal ini disiplin—akan tercapai?


050213

0 comments:

Post a Comment