Sebenarnya sekarang saya ingin sekali merutuk tentang mutu
tulisan-tulisan saya yang, bahkan menurut saya sendiri pun, kurang baik. Ah,
saya tak tega mengatakan ‘jelek’ pada diri sendiri. Mungkin inilah pengaruh
yang ditimbulkan oleh aktivitas jalan-jalan di blog barusan, mengunjungi
beberapa pemilik #7HariMenulis.
Namun menulis adalah proses, kan? Kalau rajin menulis dan
rajin baca, nanti juga tulisan akan jadi lebih baik. Well, saya harap ini bukan
pemakluman diri sendiri.
Oke. Lupakan.
Kali ini saya ingin membahas satu hal: helping others do
what’s right.
Beberapa hari lalu di kantor diselenggarakan sosialisasi
SE-37/MK.01/2012. Dalam acara tersebut diputar sebuah video yang mengisahkan
bagaimana menciptakan sebuah budaya positif. Ada sekian banyak cara, tapi yang
paling nancep di otak saya adalah poin helping others do what’s right.
Kebanyakan orang hanya fokus pada diri sendiri. Yang penting
gue bener, bodo amat gimana orang lain. Yang penting gue dipuji atasan, salah
sendiri yang lain gak bener kayak gue. Hingga tidak peduli pada lingkungan di
sekitarnya. Hingga tidak memperhatikan orang lain. Hingga lupa bahwa ia hidup
tidak sendiri. Hingga lupa bahwa jika hanya ia yang benar dan orang lain salah,
maka itu tetaplah salah. Atau jika ia dan yang lain benar namun ada seorang
yang salah, maka itu tetaplah salah. Menggunakan istilah lain, tidak berjalan
seirama.
Dalam sebuah gerakan tari Saman, jika sepuluh penari menoleh
ke kanan sedangkan seorang menoleh ke kiri, tetap salah kan? Tidak seirama kan?
Dan jelas terlihat tidak indah.
Melakukan sesuatu tentu ada tujuannya. Sesederhana
makan agar kenyang dan minum agar tidak haus (meskipun makan dan minum tidak
semata agar kenyang dan tidak haus). Begitupun helping others do what’s right. Tujuannya
agar seirama, sama-sama melakukan what’s right. What’s right-what’s right tadi,
jika semuanya dilakukan, tujuan besar pun akan tercapai.
Terlalu muluk?
Sebuah contoh. Di kantor, ada larangan merokok di dalam area
gedung, baik di toilet, pantry, tangga
darurat, maupun basement. Tujuan besarnya? Sebuah budaya positif berupa menjaga
kedisiplinan (ini ketentuan dari ‘Yang di Atas’). Jadi dalam konteks ini, what’s
right adalah tidak merokok di area gedung. Saya bukan perokok sehingga saya
sudah do what’s right.
Tapi kan yang berkantor di gedung ini bukan hanya saya. Saya
hanya satu dari sekian ribu orang. Dan dari sekian ribu orang tersebut, tidak
mungkin semuanya do what’s right. Di ruangan saya ada beberapa bapak-bapak yang
merokok. Bahkan seringkali, mereka merokok di dalam ruangan. Apakah mereka do
what’s right? Jelas tidak.
Solusinya, kalau memang bapak-bapak yang merokok tadi kurang
memiliki kesadaran dan kedisiplinan pribadi, maka saya yang harus helping other
do what’s right (dan sebenarnya saya juga memperjuangkan hak saya untuk mendapatkan udara yang bersih): mengingatkan dan melarang mereka merokok.
Masalahnya, ternyata tidak helping others bukan hanya
disebabkan oleh terlalu fokus pada diri sendiri. Sebab lain adalah butuh nyali
yang tidak kecil untuk bisa melakukan hal tersebut. Apalagi jika yang berbuat
salah adalah teman baik kita, orang yang lebih tua dari kita, bahkan atasan
kita. Meskipun ditempeli label ‘berkewajiban menegur’, nyatanya itu adalah
kewajiban yang paling berat, setidaknya buat saya pribadi.
Sering saya terlalu banyak berpikir bagaimana menyusun
kalimat untuk menegur dalam rangka helping others tadi. Tetapi mungkin karena
terlalu banyak berpikir, pada akhirnya saya tidak bisa mengeluarkan sepatah
kata pun untuk menegur. Saya lalai dalam helping other’s do what’s right.
Sekarang saya jadi bertanya-tanya: kalau banyak pegawai yang
berpikir seperti saya, kapan sebuah budaya positif—dalam hal ini disiplin—akan tercapai?
050213
0 comments:
Post a Comment