Monday, September 18, 2017

Karena Makan Bukan Hanya Urusan Perut: Resensi 'Kelas Memasak Lillian'


Judul buku                          : Kelas Memasak Lillian
Pengarang                          : Erica Bauermeister
Penerbit di Indonesia           : Penerbit Bentang
Tahun terbit                        : 2009
Tebal buku                          : x + 234 halaman


Masakan ibu, kabarnya, menuruti peringkat teratas sebagai masakan ternikmat. Sebabnya hanya satu, menurut saya: karena ia istimewa.

“Bauermeister mengungkapkan betapa di balik kenikmatan dan keistimewaan makanan, tersimpan sebuah kisah menawan – Publishers Weekly”


*****

Berkisah tentang Lillian, seorang pemilik kedai makan yang membuka kursus memasak berjudul Sekolah Bahan-Bahan Pokok, beserta delapan muridnya dengan kisahnya masing-masing yang melatari alasan mereka bergabung dalam kursus dan akhirnya dapat menemukan keindahan dan makna kehidupan lewat makanan.

Tom, misalnya. Setelah menikah dengan Charlie—wanita galak yang menjadi seniornya di restoran tempatnya bekerja paruh waktu, tetapi mengajarinya banyak hal tentang memasak—, ia mengetahui bahwa Charlie terkena kanker payudara. Charlie tetap bersikap menyenangkan dan positif meskipun ia tak lagi sama: tak bisa lagi berdiri di pancuran saat mandi, serta kulitnya harus terus diolesi losion sebab obat-obatan menyedot kelembapannya. Sembilan bulan setelah kepergian Charlie, seorang teman mengajak Tom ke restoran milik Lillian untuk makan malam. Di sana, ia melihat selembar kertas berisi pengumuman bahwa Sekolah Bahan-Bahan Pokok akan kembali dibuka. Tom menyukai segalanya tentang restoran Lillian—suasana, atmosfer, rasa, dan kebetulan-kebetulan lain—, dan ia memutuskan menjadi murid pada kursus yang memberi warna baru dalam kehidupannya.

Atau tentang Chloe, yang sangat kikuk—itu pengakuannya. Tak ada yang salah dengan hal tersebut, kecuali kekikukan itu merepotkan Chloe dalam menjalani pekerjaannya sebagai pembersih meja di restoran. Ia sering sekali menjatuhkan barang, termasuk pajangan serangkaian alat makan yang sangat spektakuler. Barangkali sebab itu, ia tak bertahan lama bekerja di suatu restoran. Bombay Grill, Green Door, Babushka, dan Satoro’s menjadi tempat kerja Chole berikutnya; yang sayangnya tak mampu meredakan kikuknya dan keseringannya menjatuhkan barang. Suatu hari ia bertemu Lillian di Satoro’s, diundang ke restorannya, dan Lillian mampu menimbulkan kepercayaan diri Chloe bahwa ia bisa ‘sembuh’ dari kebiasaannya. Begitulah: Chloe terkesan, dan menjadi murid Lillian.

Selain kisah tiap muridnya dan bagaimana tangan Lillian secara sederhana dan tidak menggurui mampu memberi warna pada kedelapan orang itu, saya menyukai ungkapan pengarang saat menggabungkan hal-hal tak kasat mata dengan sesuatu yang nyata.

Misalnya, bagaimana menggambarkan aroma yang nikmat? Atau bunyi yang khas saat suatu bahan dimasukkan ke dalam penggorengan?

Bauermeister memiliki kekhasan tersendiri untuk semuanya.

“Lillian mengambil jeruk dan mendekatkannya ke hidung lalu menghirup baunya. Baunya seperti sinar matahari, tangan-tangan yang lengket, daun-daun hijau yang berkilauan, dan langit biru tak berawan.”

“Batang cokelat keras berbentuk bulat itu dibungkus plastik kuning bergaris-garis merah. Cokelat terlihat berkilau dan hitam saat Lillian membukanya. Cokelat itu mengeluarkan bunyi keras saat diparutkan ke bagian parutan yang tajam, lalu jatuh melayang-layang pelan ke atas meja. Selanjutnya, keluarlah bau kamar belakang berdebu dan dipenuhi aroma cokelat yang pahit manis dan surat-surat cinta lama, bagian bawah laci meja antik, dan daun-daun terakhir musim gugur, almon, kayu manis, dan gula. Serpihan cokelat itu pun masuk ke dalam susu.”

“Waktu potongan-potongan bawang bombai mulai menghilang ke dalam mentega, Lillian segera menambahkan irisan jahe. Kemudian, muncullah sebuah aroma baru, sebagian seperti ciuman, sebagian seperti tamparan main-main. Setelah itu, bawang putih dimasukkan, seperti sofa lembut yang hangat di bawah jahe, diikuti garam dan merica.”

Deskripsinya, bagi saya, terlampau manis. Saya berkali-kali dibuat jatuh cinta lewat banyak penggambaran dalam novel ini. Namun barangkali saya memang terlalu mudah jatuh cinta; karena selain deskripsi tadi, saya pun senang dengan penceritaan laku Lillian yang begitu bijaksana dan mampu menyesuaikan dengan latar belakang maupun cerita masa lalu tiap muridnya. Lillian, melalui masakannya, mampu meyakinkan banyak orang—setidaknya delapan siswanya—bahwa makanan tak hanya sekedar dimasak asal-asalan untuk selanjutnya masuk mulut dan dicerna. Proses mengolah hidangan sampai tersaji di meja adalah suatu seni yang istimewa dan personal. Seseorang sepatutnya memasukkan bahan makanan, bumbu, dan rempah sesuai dengan hal atau pengaruh apa yang ingin ia timbulkan, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain yang turut merasakan masakannya.

Simak apa yang membuat Lillian begitu menghargai sebuah proses memasak, bahkan sejak awal rantai prosesnya.

“”Ya, betul, Chloe. Ini adalah pelajaran terpenting pertama.” Eskpresi Lillian tenang. “Kalau kalian pikir-pikir,” lanjutnya, “setiap kali kita membuat makanan, kita mengganggu sebuah siklus kehidupan. Kita mencabut sebuah wortel atau membunuh seekor kepiting—atau mungkin hanya membunuh jamur yang tumbuh di seiris keju. Kita membuah makanan dengan bahan-bahan itu dan saat melakukannya, kita memberikan kehidupan pada sesuatu yang lain. Ini sebuah persamaan yang mendasar dan kalau kita berpura-pura ini tidak terjadi, kemungkinan kita ketinggalan pelajaran penting lainnya, yaitu menghormati kedua belah pihak dalam persamaan itu. Jadi, kita mulai dari sini.”

*****



Saya teringat pada sebuah tayangan teve Jepang. Seorang lelaki tengah mengolah seekor ikan yang baru saja dipancingnya. Tiga laki-laki lain mengerubunginya, dan bertanya, “bagaimana cara khusus agar olahan ikan menjadi enak?”

“Dengan banyak bersyukur, karena kamu telah menerima nyawa makhluk lain yang mati dan menjadi makananmu.”



17092017
Belum mengerjakan PR untuk besok Rabu :(








Wednesday, September 6, 2017

Mendengarkan Kisah Totto Chan, Langsung dari Tetsuko Kuroyanagi


Pernah mendengar atau mengetahui ‘Totto chan’?

Nama tokoh dalam sebuah novel ini begitu populer beberapa tahun lalu, setelah novel tersebut dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia. Judul novelnya adalah Totto chan: Gadis Cilik di Jendela. Sampul bukunya, meskipun sudah beberapa kali cetak ulang dan mengalami beberapa pergantian desain, tetap berwarna merah muda dengan gambar seorang anak perempuan mengenakan rok dan topi bulat lebar. Di Jepang, buku ini disebut-sebut sebagai buku yang menempati peringkat satu dengan penjualan tertinggi, yaitu 5.810.000 eksemplar.

Saya pernah membaca novel ini. Namun taksampai tamat, hanya beberapa bab awal saja. Keputusan saya untuk menutup dan mengembalikan buku tersebut—iya, bukunya bukan milik saya sendiri—pun sederhana saja: ceritanya terlalu berlebihan. Bagi saya, dalam kehidupan nyata mustahil ada bocah seajaib Totto chan, dan guru sesabar Pak Kobayashi.

Kalau saya lanjutkan membaca bukunya, saya hanya menjadi korban bualan si penulis buku.

Begitu pikir saya.

*****

Nippon TV—yang sering disingkat NTV, sebuah stasiun teve Jepang, memiliki gelaran akbar tahunan yang cukup terkenal: 24 jikan terebi alias siaran teve 24 jam. Dihelat sejak tahun 1978, acara ini merupakan gerakan amal yang bertujuan untuk mengumpulkan donasi dari masyarakat, kemudian disalurkan untuk berbagai kegiatan. Pada gelaran ke-40 di tahun 2017 ini, sampai akhir acara pada tanggal 27 Agustus 2017, terkumpul donasi sejumlah 129.020.958 yen.

Durasi siaran langsung selama 24 jam memberikan keseruan tersendiri, sebab ada banyak sekali rangkaian program yang dipersiapkan, yang didukung oleh penampilan banyak pesohor: pelaku seni peran, atlet, komedian, seniman, penyiar teve, bahkan politisi. Salah satu mata acara yang ditayangkan kali ini adalah pagelaran busana yang dirancang oleh para mahasiswa dari salah satu akademi mode di Tokyo. Busana yang kemudian akan dikenakan oleh beberapa pengisi acara ini, merupakan hasil desain ulang atas gaun-gaun milik Tetsuko Kuroyanagi.

Beberapa bulan sebelumnya, Tetsuko, yang berusia 84 tahun, datang sebagai ‘pengajar spesial’ di kelas mahasiswa akademi mode tersebut. Sesi khusus rupanya dipersiapkan oleh pengajar spesial ini: sesi tanya jawab tentang kegamangan atau apapun yang membuat para mahasiswa galau.

Tetsuko mempersilakan mahasiswanya untuk bertanya. Beberapa mengangkat tangan tinggi-tinggi, seakan berebutan agar ditunjuk.

Setelah diberi kesempatan, seorang mahasiswa mengutarakan, “Saya agak tidak percaya diri, terlebih ketika saya mulai membandingkan karya saya dengan karya orang lain. Kalau sudah begitu, saya menjadi kecil hati dan minder.”

Tetsuko mengangguk, dan langsung menjawab, “Membandingkan diri sendiri dengan orang lain adalah suatu masalah besar, dan menurut saya bukanlah hal yang bijaksana. Sesungguhnya komparasi merupakan sesuatu yang paling membosankan.”

Pembawa acara menyela Tetsuko, “apakah Anda memiliki pengalaman saat kecil yang membuat Anda berpikir demikian?”

“Jelas,” jawab Tetsuko lugas, “saya yakin tak ada seorang pun yang pernah DO saat kelas 1 SD. Saya keluar dari sekolah setelah tiga bulan masuk SD.”

Tahun 1940, saat baru masuk sekolah, Tetsuko dikenal sebagai bocah yang nakal. Ini sebab ia sering membuka-menutup tutup meja di tengah pelajaran berlangsung, ataupun memanggil grup orkestra jalanan ke dalam kelas dan malah turut serta berjoget bersama. Tak ayal, tiga bulan setelah masuk SD, ia di-DO dari sekolahnya. Namun baginya, hal tersebut merupakan suatu titik balik yang besar.

“Di sekolahnya yang baru, Totto chan bertemu dengan guru yang sangat luar biasa. Barangkali, kalau saat itu Totto chan tidak bertemu dengan Pak Guru Kobayashi, saya tidak akan berada di posisi ini hari ini.”

Sampai pada titik ini, saya masih belum menemukan korelasi antara Tetsuko, si pencerita, dengan Totto chan.

Sekolah baru Totto chan bernama Sekolah Tomoe, yang ruang kelasnya dibuat dari gerbong kereta yang taklagi digunakan. Takketinggalan, foto ruang kelas saat itu pun ditayangkan di teve. Juga, foto Tetsuko bersama kawan-kawannya dan Pak Guru Kobayashi, yang juga merupakan Kepala Sekolah Tomoe. Di hari pertama sekolah, Pak Guru Kobayashi mendengarkan Tetsuko yang bercerita selama empat jam penuh. Sekolah ini sangat mengutamakan karakter siswanya: tempat duduk dapat dipilih sesuka hati, tak ada pembagian jam pelajaran yang kaku, tiap pagi pelajaran dimulai dengan siswa yang dapat memilih sendiri tema belajarnya dari beberapa hal yang dituliskan oleh guru di papan tulis. Siang harinya, jam belajar diisi dengan berjalan-jalan.

Senakal apapun Tetsuko, Pak Guru Kobayashi tak pernah marah. Ia hanya terus mengulang sebuah kalimat.

Tetsuko mengenang, “setiap kali bertemu, beliau selalu berkata pada saya, ‘kamu anak baik.’ Bagi saya, itu sungguh merupakan ungkapan bahwa karakter, bagi manusia, merupakan sesuatu yang lebih penting daripada apapun. Bahwa itulah yang harus dikedepankan. Pemahaman itu timbul sejak saya bertemu Pak Kobayashi. Sungguh saya merasa beruntung pernah bertemu beliau. Seseorang pasti memiliki keistimewaan, apapun itu. Kitalah yang menciptakan dunia kita.”
Sembari menunjuk mahasiswa penanya, Tetsuko berkata, “selama kau masih bisa tersenyum, tak ada masalah.”

*****

Saya mengulangi beberapa kali tayangan hasil unduhan dari internet ini. Beberapa menit sesudahnya, barulah saya memahami bahwa si pencerita kali ini, Tetsuko, adalah pelaku langsung kisah tersebut. Totto chan adalah nama kecil Tetsuko (saya tidak begitu ingat apakah ini ada dalam novel atau tidak). Hal-hal yang menurut saya terlalu mustahil ada dalam novel, ternyata benar adanya. Tentu setelah melihat foto-foto yang ditampilkan, saya menjadi lebih memercayai kisah Totto chan.

Pak Guru Kobayashi dan Totto chan, mereka berdua luar biasa. Dibutuhkan ketelatenan yang luar biasa untuk dapat menanamkan suatu prinsip hidup kepada seorang anak; serta diperlukan keteguhan yang tak kalah besar untuk memegang sebuah prinsip hidup sampai seorang anak menjadi dewasa.








Ya Tuhan semoga saya punya keinginan untuk belajar olah gambar >.<

Tuesday, September 5, 2017

Bintang dan Manusia

Suatu benda yang banyak bergerak tak ayal menimbulkan gesekan yang makin banyak pula. Manusia pun demikian: semakin banyak beraktivitas, semakin banyak energi dan panas yang dikeluarkan.

Fitrahnya, manusia akan memandang seseorang yang luar biasa dengan tatapan iri. Namun, si luar biasa itu pun tak tahan dengan betapa berenerginya dan panasnya dirinya.

Bintang, yang berjarak ribuan tahun cahaya dari bumi, pun tampak sebagai suatu wujud yang bersinar luar biasa indah.

“Duhai, betapa aku ingin sekali bersinar seperti bintang.”

Barangkali tak sedikit orang yang berkeluh kesah demikian. Namun siapa sangka, bagi bintang, hal tersebut bukanlah sesuatu yang mudah. Bayangkan, ia harus menyala sampai suhu jutaan derajat. Belum lagi, sampai energinya sendiri habis, ia harus terus bersinar.

Sejujurnya, hal itu cukup menyiksa.

Mereka—manusia-manusia luar biasa itu—tidak sedang mencoba menjadi sok keren. Kalau kau coba sendiri, kau pun akan merasakan betapa menyiksanya untuk menjadi seperti mereka: berenergi dan bersinar. 


-terjemahan bebas dari Zenshikou, Takeshi Kitano al. Beat Takeshiー


Sunday, August 27, 2017

Membincang Gairah Berbisnis


Sekitar tiga tahun lalu, seorang kawan berkirim pesan pada saya.

“Kira-kira apa ya yang ngetren tahun depan?”

Saya nggak punya kemampuan membaca masa depan, nggak bisa baca kartu tarot, nggak ngerti cara baca garis tangan, dan nggak minat melanjutkan pembicaraan aneh yang terlalu mendadak ini, jadi saya jawab singkat: entah.

Beberapa hari setelahnya, saya baru tahu kalau kawan saya itu tengah berencana memulai bisnis dengan berjualan, makanya ia bertanya demikian pada saya. Saat itu, saya sampaikan bahwa bisnis apapun terkait perempuan hampir pasti nggak ada matinya, jadi silakan dipertimbangkan hal tersebut. Sayangnya, teman saya mementahkan usulan saya dengan banyak argumen, salah satunya adalah karena ia laki-laki. Saya cuma nggumun, memangnya kalau laki-laki lalu nggak boleh jualan daster atau jilbab? Asdfghjkl.

Lantas saya mengajukan usulan lagi. Saya katakan, bahwa gaya hidup sehat sedang digandrungi saat ini. Diet ala ini atau ala itu lah, smoothies kekinian, dan macam-macam lainnya saya sebutkan juga. Jual saja minuman-minuman sehat begitu, saran saya, yang lagi-lagi ditolak. Kali ini penolakannya didasari alasan bahwa ia bukan pelaku gaya hidup tersebut. Dua penolakan ini bikin saya keki juga, dan akhirnya sebodo amat dengan rencana kawan saya ini.

Seperti kawan saya, saya rasa tidak sedikit karyawan atau pekerja kantoran yang antenanya di otaknya langsung berkedip saat mendengar kata ‘bisnis’. Bisnis menjadi sesuatu yang seksi untuk diperbincangkan di kalangan pekerja kantoran; selain sebab bisa menambah sumber penghasilan, juga sebab hal ini bisa menyinggung kebanggaan sebagai seorang manusia.

Lha ya siapa yang nggak muntab kalau setiap hari disuguhi: terlalu lama berada di zona nyaman akan menghambat pertumbuhan pribadi Anda. Terlalu nyaman dengan jadwal harian berangkat pagi pulang malam dari Senin sampai Jumat lalu akhir bulan terima gaji merupakan salah satu tanda bahwa Anda sudah berada dalam zona nyaman. Keluarlah dari zona nyaman, carilah zona baru Anda!

Atau sebab saban hari dicekoki teori Pak Robert Kiyosaki tentang empat kuadran yang disadur dan diamini oleh hampir seluruh manusia di muka bumi. Karyawan menempati posisi kuadran kiri atas, yang seringkali digambarkan dengan “Anda menggunakan seluruh waktu dalam hidup Anda hanya untuk bekerja demi orang lain”. Gambar di kuadran ini seringnya adalah: laki-laki berjas dan berdasi, menenteng tas, tengah tertunduk lesu; atau mbak-mbak dengan tangan menopang dagu di depan meja kerja dengan wajah muram. Pak Robert mengajak orang-orang di kuadran ini untuk sebisa mungkin menyeberang ke kuadran sebelah kanan, yang berisi pemilik bisnis dan investor, ben duit mili nang dompetmu masiyo kowe gak kerjo. Agar uang mengalir ke dompetmu walau kau tak bekerja.

Barangkali karena ingin mencari zona baru, mengikuti sabda Pak Robert, mendapat hidayah, atau sebab hal-hal lain, banyak karyawan yang menjajal berbisnis. Di akhir kisah, ada yang benar-benar beralih menjadi pemilik bisnis (kawan saya yang lain akhirnya mengundurkan diri dari kantor sebab bisnis pakaiannya sudah beromset miliaran), ada yang masih harus berusaha membagi waktu antara kerja kantor dan bisnis (kawan saya yang lain sering menghilang dari mejanya untuk menerima telepon dari kliennya), ada yang tekor dan kapok (kawan saya yang lain sudah mencoba enam bisnis berbeda-beda yang seluruhnya bangkrut), dan ada yang tak kemana-mana sebab tak kunjung memulai (kawan yang saya ceritakan di awal tulisan sampai sekarang belum memulai bisnis apapun). Namun ini adalah akhir kisah. Saya nggak akan mengulasnya lebih dalam, karena judul tulisan kali ini adalah ‘Membincang Gairah Berbisnis’, bukan ‘Membincang Akhir Perjalanan Para Pebisnis’.

Gairah berbisnis tentunya merupakan sesutau yang mutlak harus dimiliki oleh siapapun yang ingin berbisnis. Kalau nggak ada gairah, tersandung kerikil saja bisa menyebabkan mutung, alias ngambek. Adik-adik yang sedang belajar bersepeda pun demikian: ia ingin lancar bersepeda, maka ia harus memiliki niat dan gairah agar lulus bersepeda—kalau perlu sampai bisa lepas stang. Kalau si adik ini belajar bersepeda cuma karena dipaksa bapaknya padahal ia sendiri nggak mau dan nggak ingin bisa bersepeda, maka begitu ia jatuh dan terluka, ia nggak akan berusaha untuk meraih sepedanya lagi.

Dari hasil pengamatan ngawur saya, ada beberapa tipe orang terkait gairah berbisnis ini, terutama bagi pekerja kantoran:

1.       Orang yang gairah bisnisnya menyala-nyala dan terus begitu
Tipe ini adalah orang yang sejak awal memang berniat untuk berbisnis, langsung bertindak, dan terus memperbesar aksinya.
Kawan saya yang masuk tipe 1 ini sudah saya kenal tujuh tahun lalu, saat kami masih berstatus mahasiswa. Dalam perbincangan kami yang sebenarnya tak sering-sering amat, ia beberapa kali mengungkapkan keinginannya untuk berbisnis dan apa yang melatarinya, meskipun tak ada bayangan apa yang harus ia lakukan.
Tiga tahun berselang, beranda akun facebooknya mulai sering berisi barang-barang dagangannya. Empat tahun berselang, akun facebooknya berganti nama menjadi nama produk dagangannya. Lima tahun berselang, ia menambah lini produk. Tahun ini, ia mengundurkan diri dari kantor.

2.       Orang yang gairah bisnisnya berkobar di dalam hatinya
Tipe ini adalah orang yang semangatnya luar biasa dalam berbisnis, tetapi ia tidak mengungkapkannya kepada teman-temannya. Ia tak banyak berkoar kalau ini bisnis yang ia tekuni, itu bisnis yang ingin dilakoni. Semangatnya lebih tampak pada aktivitasnya di dunia maya.
Siapa sangka kalau kawan saya yang termasuk tipe 2 ini penghasilannya dari bisnis sudah jauuuh melampaui gaji dari kantor?

3.       Orang yang gairah bisnisnya tinggi di permulaan, menurun kemudian
Tipe ini adalah orang yang pada awal bisnisnya dimulai, ia begitu bersemangat menjalankannya. Banyak konsumen yang sudah ia rebut hatinya lewat produknya yang apik, pemasaran yang menarik, dan pelayanan yang ciamik. Namun apa daya, teriakan-teriakan konsumen loyalnya akan permintaan produk baru tak sanggup membawanya kembali ke dunia bisnis. Semangatnya menguap, sampai ia akhirnya menutup bisnisnya.
Kawan saya yang masuk tipe 3 ini bercerita, kalau ia memulai bisnisnya gara-gara baby blues. Keinginan itu langsung ia wujudkan dengan mencari pemasok dan klien. Tak lama, produknya mulai dipasarkan dan mulai dilirik pembeli. Saat produknya mulai dikenal, anaknya yang dulu menjadi penyebabnya memulai bisnis mulai beranjak besar dan membutuhkan perhatian lebih. Kawan saya tak sanggup membagi waktunya. Lebih-lebih, ada satu prinsip hidupnya yang kembali menyeruak yang menyebabkannya tak lagi ingin memasarkan produknya. Gairahnya redup seketika. Sekarang bisnisnya tak ada kabar, dan ia sedikitpun tak ingin kembali menekuninya.

4.       Orang yang gairah bisnisnya hanya ada di awang-awang
Orang yang masuk tipe ini, kemungkinan besar, adalah orang yang terlalu banyak membaca buku motivasi bisnis. Sayangnya, kegemarannya hanya membaca, bukan bertindak. Akibatnya, ia mengerti banyak teori-teori dan rencana, tapi minim aksi. Padahal, kata pepatah, yang paling penting adalah bertindak.
Atau, bisa jadi, orang yang masuk tipe ini adalah orang yang tidak tahu harus mulai dari mana. Wacananya seabrek: dagang ini sedang ngetren-usaha ini sedang laku-yang ini lagi sepi; tapi ia tidak ke mana-mana. Ikut seminar bisnis sana-sini; tapi tidak ke mana-mana. Intinya sama juga, minim aksi.
Tapi tipe 4 ini jangan diremehkan juga. Tidak menutup kemungkinan esok atau lusa ia mendapat ilham untuk langsung mewujudkan apa yang selama ini ada di awang-awang tadi. Saya kira ini bisa jadi jauh lebih besar efeknya, sebab sebelumnya ia telah memiliki rencana dan teori di kepalanya.

Pesan saya—yang tak tahu apa-apa ini, jadi boleh diabaikan—, bagi yang gairah bisnisnya sedang sangar-sangarnya, silakan dijaga. Jangan sampai padam. Itu yang membuat bisnis berkembang, dan jadi tak gampang patah arang. Buat yang belum punya, silakan dicari, tetapi nggak usah dipaksakan. Kakek saya pernah bilang kalau memaksakan sesuatu akan berdampak kurang baik bagi kita sendiri. Saya dulu pernah memaksakan diri untuk memanjat pohon kersen yang dahannya sudah agak lapuk, dan berakibat dahan tersebut patah. Untungnya saat itu kedua tangan saya sempat berpegangan pada pokok pohon jadi saya tak ikut jatuh ke tanah bersama dengan si dahan tadi.



27 Agustus 2017
-sebentar lagi final Kejuaraan Dunia Bulutangkis 2017, semoga Owi/Butet dan Ahsan/Rian menang, amin- 


Saturday, August 12, 2017

Begitulah Kita Mengulang Kenangan (2)


Semua berpakaian putih-merah. Lengkap dengan dasi merah. Beberapa meletakkan topinya di atas meja. Saat itu kita masih hijau. Benar-benar hijau—mungkin hanya pakaian, kulit, bola mata, gigi, lidah, dan rambut yang tak hijau. Anak-anak lainnya, sejauh yang bisa kulihat, tampak komat-kamit, mungkin merapal puisi atau lirik lagu untuk tampil nanti. Di saat-saat pemilihan siswa teladan seperti itu, seluruh kemampuan memang harus dikeluarkan. Kurasa karena ada nama sekolah yang dipertaruhkan di situ. Sementara aku duduk di bangku kedua-dari-belakang menunggu giliran, kau berdiri di depan kelas, membacakan sebuah puisi yang sangat sering kudengar karena itu adalah puisi paling populer di kalangan anak sekolah dasar. 
Begitulah kita pertama kali bertemu.

Senior yang cukup menyebalkan, dengan gaya sok dan suara yang menggelegar hampir memecahkan kaca. Warna seragam mereka sudah putih-biru, sedangkan aku dan teman-temanku masih mengenakan putih-merah. Lengkap dengan atribut aneh—yang tak mungkin dikenakan di hari-hari biasa—seperti rambut dikuncir entah berapa banyak dan topi juga tas berbahan kantong plastik. Juga kegiatan yang menurutku menyebalkan: meminta tanda tangan seluruh teman sekelas dan beberapa senior—karena kupikir aku tidak mungkin mengingat semua nama teman sekelas dengan cepat hanya dengan meminta tanda tangannya. Dibayang-bayangi pelototan dan nyinyiran senior, kulakukan juga kegiatan itu. Atas alasan itulah aku memintamu menuliskan nama dan menorehkan tanda tangan di buku kegiatanku. Tapi kurasa kita pernah bertemu sebelumnya. Sosok anak yang sedang membacakan sebuah puisi di depan kelas setahun lalu itu melintas di pikiranku. Kubaca namamu dan lebih kuperhatikan wajahmu. Aku tak salah ingat. 
Begitulah kita pertama kali berkenalan.

Sore yang kelam. Selain aku, di rumah hanya ada orang-orang aneh yang hanya bisa kudengar suaranya dan kulihat fisiknya tapi tak bisa kusentuh karena mereka hanyalah aktor dan aktris di televisi. Dering telepon membuatku terpaksa meninggalkan orang-orang yang kuanggap aneh tapi tetap saja kutonton itu. Di ujung sana, seseorang menanyakan namaku. Kujawab bahwa akulah yang ia cari, tapi ia tak mau menjawab ketika kutanyakan siapa dirinya. Lantas dari suara dan gaya bicara, aku tahu bahwa ia adalah kau. Beberapa detik basa-basi dan beberapa menit membicarakan hal-hal yang menurutku sangat menyenangkan membuatku lupa pada kesendirianku dan orang-orang aneh tadi. Aku bersyukur kau tidak menghubungiku hanya untuk sekedar menanyakan PR dan tugas sekolah. 
Begitulah kita pertama kali bercakap lewat telepon.

Metode berpindah-kelas. Membutuhkan lebih banyak tenaga karena harus mengangkat tas dan semua isinya—buku-buku yang banyak dan berat—ke kelas lain setiap ganti mata pelajaran. Tak ada jaminan di mana tempat duduk yang kosong karena semua tergantung seberapa cepat seseorang mengemasi tasnya, berlari menuju kelas lain, dan memilih tempat duduk yang strategis. Saat kau masuk kelas, hanya ada empat bangku yang masih kosong. Dua bangku yang bersebelahan, satu bangku di sebelah temanku-yang-paling-pintar di baris paling depan, dan satu bangku di sebelahku di baris kedua dari belakang. Kau lantas duduk di sebelahku. Tak ada yang menarik dari penjelasan guru biologi di depan kelas karena beliau hanya menampilkan tayangan teks berbahasa Inggris sedangkan beliau sendiri tak tahu artinya sehingga lebih sering membuka kamus yang mana hal itu sangat memakan waktu. Lalu akhirnya kita mulai bercakap-cakap. Tentang jurusan apa yang ingin diambil ketika kuliah dan kenapa, universitas mana yang ingin dituju dan alasannya, juga apa yang ingin dilakukan sekian tahun lagi. 
Begitulah kita pertama kali membincangkan masa depan.

Gelak tawa hadir di antara makanan yang hampir tandas dan minuman yang hampir habis. Ia, gelak tawa itu, bisa saja hadir karena semua dinyatakan lulus, bisa juga hadir karena semua waktu yang dilewati sangat menyenangkan. Beberapa hari lagi, wajah-wajah yang ditemui di dalam kelas tak lagi sama, kota yang dituju tak lagi sama, tempat yang dipijak tak lagi sama. Saat kau menghampiri dan menyalamiku, kau tersenyum indah sekali. Seingatku itulah senyum terbaikmu yang pernah kulihat—sampai aku ikut tersenyum juga. Kurasa aku merekam senyummu itu dengan baik di kepalaku. 
Begitulah kita pertama kali berpisah.

Tak pernah ada pertemuan lagi selepas senyum itu.

“Entahlah, kenapa saat itu, ia menganggap lucu kata-kata itu. Mungkin itulah sebabnya, sering kita kangen pada saat-saat pertemuan pertama. Kita memang ingin selalu mengulang kenangan.” – Agus Noor: Cerpen Kunang-kunang di Langit Jakarta


**


Seorang kawan kita meriuhkan media sosial sebab suatu kabar yang ia dengar. Kawan kita yang lain, yang juga merupakan kawan baikmu beberapa tahun lalu sebelum kalian menjadi sangat sibuk dan begitu asyik dengan urusan sendiri, tak mendengar apapun tentangmu. Jelas, aku lebih mempercayainya dibanding kawan kita yang pertama tadi. Kuminta ia mengklarifikasi terlebih dahulu kabar yang ia dapat sebelum membagikannya kepada kami. Namun harus kuakui bahwa kemudian ada sedikit penyesalan setelah itu, sebab aku tahu bahwa kabar itu benar adanya. Sementara aku (dan beberapa kawan lain, barangkali) masih membuat pembelaan agar tak bertemu denganmu atas alasan yang sangat klise, kau mungkin sedikit berang atas tingkah laku kami yang egois. Pada hari itu, aku menyadari bahwa perpisahan tanpa pamit adalah hal yang menyakitkan, pun menyesakkan. Aku menyalahkan diriku sendiri sejak saat itu, dan terus begitu, sebab sampai sekarang aku belum juga berkunjung ke pusaramu. 
Begitulah kita selamanya berpisah.

Monday, May 29, 2017

Jasa Unik yang Ditawarkan Seorang Kakek di Osaka, Jepang



Setiap hari, sebanyak 860.000 orang naik dan turun kereta di Stasiun JR Osaka. Pak Toshio Arima, 66 tahun, selalu berhenti di depan pintu Chuo-Minami, setelah berjalan tertatih-tatih dari rumahnya di Distrik Kita, Osaka. Di sana, ia akan mengalungkan karton bertuliskan 'Bagi Anda yang sedang dirundung masalah, mari berbincang dan lepaskan sedikit beban.'

Orang-orang hanya melihat sekilas atau menunjuk-nunjuk, kebanyakan malah hanya lewat begitu saja. "Saya sering dibilang, 'kakek itu sedang apa sih?', tetapi bagi saya tidak apa-apa. Justru saya senang karena hal itu bisa membuat orang lain tersenyum."

Berdiri dan berbincang. Ia mulai melakukan hal itu bulan Mei tahun lalu. Sebelumnya, saat ia menjadi relawan untuk membantu anak-anak yang kurang mampu secara finansial, pelopor kegiatan tersebut berkata, 'Bagaimana kalau Bapak juga melakukan sesuatu yang bermanfaat?' Kalimat tersebut tertancap di hatinya, dan itulah pemicu kegiatannya.

Setelah berpikir, yang terbersit di kepalanya adalah 'menjadi kawan bicara'. Barangkali poin tersebut muncul karena sejak dulu ia tertarik dengan para manula yang seakan tak lagi mendapat tempat di masyarakat.

Bagaimana caranya?

Pak Toshio memutuskan untuk berdiri sambil menggantungkan karton di lehernya. Di atas kartonnya, ia menulis 'Bapak-bapak, Ibu-ibu, silakan bercerita pada saya tentang masa muda Anda.'

Dua bulan pertama, tak ada seorang pun yang mendekatinya. Yang ada justru orang-orang yang meletakkan uang di hadapannya. Merasa hal itu tidak sesuai dengan harapannya, ia kemudian memotong rambut dan mengubah penampilannya. Selain itu, ia juga terpikir untuk melakukan sesuatu. Di kartonnya, ia menambahkan tulisan 'gratis'. "Kalau saya dekil, siapa yang mau menghampiri?"

Maka ia terkejut ketika seorang wanita sepuh berusia 95 tahun mulai berbincang dengannya. Wanita itu bercerita tentang serangan udara di Osaka.

"Saya mendengarkannya sambil tersenyum, lalu ia bercerita dengan mata berbinar-binar."

Setelah ada satu orang yang berbincang dengannya, angka itu terus bertambah. Seorang pria 81 tahun yang ingin bertemu cucu semata wayangnya. Seorang pria 77 tahun yang merupakan maniak kereta jalur Hanshin. Seorang bocah penggemar sepak bola. Sampai kemudian ada yang menjadi 'pengunjung tetap', yang justru membuatnya tak kuasa menghentikan aktivitasnya.

Pak Toshio tak sekalipun bertanya nama dan alamat kawan bicaranya. Begitu perbincangan dimulai, tak jarang hal itu akan berlangsung selama beberapa jam. Bahkan ada orang yang tak kunjung beranjak meskipun hari telah berganti malam. Berdiri berlama-lama tak ayal membuat kakinya sakit. Akhirnya ia memutuskan tidak melakukan kegiatannya setiap hari. "Sekarang cuma dari hari Kamis sampai hari Minggu saja."

Musim panas tahun lalu, orang-orang berusia muda mulai banyak yang menjadi kawan bincangnya. Topiknya menjadi sangat beragam, misalnya tentang pekerjaan, percintaan, sampai liburan. Pak Toshio pun mulai mempelajari topik-topik literatur, seni, dan religi; semata agar ia bisa memberikan respons yang baik. Bahkan ia pun dengan bangga menyatakan bahwa dirinya adalah pembelajar.

"Anak-anak muda zaman sekarang terbagi ke dalam dua golongan, yaitu mereka yang serius dan bersungguh-sungguh, serta mereka yang sama sekali tidak demikian," bebernya.

Tentang dirinya sendiri, "saya adalah orang yang mampu hidup sendirian dengan mudah", ungkapnya. Pak Toshio lahir di Perfektur Wakayama. Setelah drop out dari perguruan tinggi, ia menjadi karyawan yang gila kerja. Suatu saat, ia ambruk saat tengah bekerja. Tak lama, ia langsung dihadapkan pada perceraiannya dengan istrinya. Saat itu usianya 37 tahun. Selama beberapa bulan, ia menjadi tuna wisma di Tokyo. Setelah itu, sampai akhir tahun pada dua tahun lalu, ia menumpang tinggal di penginapan-bergaya-Jepang tempatnya bekerja. Saat ini, ia bertahan hidup dengan uang pensiunnya.

'"Menurutmu, apa definisi hidup?" Pak Toshio mulai berbicara. "Yang terpenting adalah kita siap memahami lawan bicara kita. Dengan begitu, kita bisa memberikan nasehat atau masukan. Manusia itu, dengan bercerita pada orang lain saja, maka masalahnya sudah 50% terselesaikan. Mungkin memang tidak benar-benar selesai, tapi setidaknya beban pikiran sudah sedikit berkurang.

Sampai sekarang, tak kurang dari 200 orang telah ia simak kisahnya. Saat ini, ia sangat menaruh perhatian terhadap tingginya angka depresi pada remaja berusia belasan tahun, dan bertanya-tanya apakah masyarakat sudah sedemikian ‘sakit’nya.

Saat anak-anak muda yang berbincang dengannya pulang, Pak Toshio selalu berseru lantang, “Semangat ya!”


Diterjemahkan dari artikel berjudul  話し相手します」 大阪駅前に立つおじさん、何者?di tautan ini

Wednesday, April 26, 2017

ホリーさん、めざませてくれてサンキュー

心を触れるあるメッセージ

昨日人生で初めてkindleをインストールしました。まだ本二冊だし、しかもサンプルばかりだった。
芥川龍之介のと村上春樹の本。
村上春樹のはあの「村上さんのところ」。

四目のメッセージに着き、目覚ませちゃった。

発信人は17歳のイギリス人のホリー。
言葉使いが素敵で、使った文法や単語が結構上達の状態で、メッセージの内容も分かりやすい。まるで日本人が書いてるメッセージだと思う。
村上へ感謝を伝え、村上とサインイベントで会って忘れられない経験になってについてのメッセージです。そういうしっかりしてる部分が素晴らしいだと思います。

しかも、17歳の学生より。その女性はただ三年間の日本語勉強で、あいう素敵なメッセージを書ける。

これで鏡を見て、自分と比較するしかないでしょ。
日本語勉強歴はもう5年間半で、全く上達してない。一歩でも進めなかった。一言でもしゃべれなかった。

情けないね、自分。


2017-04-26

Wednesday, February 22, 2017

新しいような新しくないような

今日から7日後、新しいような新しくないような日々がまた始まる。

交通渋滞に慣れた感、仕事場でのつまらなかった感、同僚や上司との関係の懐かしかった感、朝から晩までの繰り返し方が新しくないような。


ここ二年間の全く仕事しない、自分の行動が自由で決め、昼間では買い物したりカフェで美味しい食べ物を味わえ、宿題しながら笑いが止まらない日々がもう二度と来ない新しいような。


不安がいっぱいです。


リズムに乗れたかどうかの不安。

周りに合わせるかどうかの不安。
人生を楽しめるかどうかの不安。
笑顔ができるかどうかの不安。

頑張らなきゃ。きっと何とかなる。


正直、


まだ何も知らない明日に不安を感じるのは不安ではなく、自分の小ささである。

Thursday, February 16, 2017

Uji Adrenalin di Wahana-wahana Fuji-Q Highland!


Jargon ‘taman hiburan terkondang se-Jepang di kaki Gunung Fuji’ nampaknya tak salah digaung-gaungkan oleh Fuji-Q Highland. Wahana-wahananya kerap dijajal pesohor-pesohor Jepang dan menjadi lokasi syuting banyak program televisi. Layak memang, sebab roller coaster dan rumah hantunya—wahana paling masyhur di taman ini—jelas-jelas memegang rekor dunia.

Begitu mengetahui bahwa Fuji-Q Highland ada dalam jadwal perjalanan kami, saya langsung menetapkan satu wahana yang HARUS saya naiki, apapun yang terjadi. Nama wahananya adalah Eejanaika. Salah satu wahana roller coaster ini sukses membuat artis dalam salah satu acara televisi yang saya tonton bergetar lututnya, dan saya menertawakannya. Saya bahkan sedikit sesumbar, “sesangar apa sih Eejanaika ini? Paling-paling artisnya yang lebay.” Selain Eejanaika, roller coaster lainnya adalah Fujiyama (disebut sebagai 'King of Coaster', memiliki panjang 2.045 meter, kecepatan maksimum 130 km/jam, dan ketinggian maksimum 79 meter)—yang sayangnya sedang dalam perbaikan saat kami berkunjung, Takabisha, dan Dodonpa (disebut-sebut sebagai roller coaster paling menyenangkan di dunia dengan kecepatan maksimum 172 km/jam)—yang sayangnya juga sedang ditutup dan baru dibuka pada bulan Juli 2017.

Berbekal selembar tiket masuk terusan, kami diberi waktu sekitar enam jam untuk memuaskan diri menjelajahi Fuji-Q Highland. Mengenai tiket ini, laman situs https://www.fujiq.jp/en/ menayangkan harga 5.700 yen untuk tiket terusan sehari bagi pengunjung dewasa; sedangkan harga 4.800 yen dapat diperoleh bagi pengunjung dalam kelompok berjumlah lebih dari 15 orang. Namun entah mengapa, pada tiket yang dibagikan kepada kami kemarin tertera tulisan 3.800 yen. Tiket ini sendiri sebenarnya dapat dibeli terpisah. Tiket masuk saja tersedia dengan harga 1.500 yen; dan tiket untuk tiap wahana dijual dengan harga bervariasi, mulai dari 100 yen sampai dengan 1.000 yen.

Terdapat dua pintu masuk ke area taman bermain ini. Karena tempat parkir terletak di dekat pintu 1, jadi kami masuk lewat pintu tersebut. Alur menuju pintu 1 ini cukup unik. Kami disambut oleh toko oleh-oleh yang menjual beragam buah tangan khas Fuji-Q Highland. Keluar dari toko, suasananya sedikit berubah; rasanya tidak sedang berada di Jepang. Deretan toko berarsitektur Eropa berdiri dan menjual berbagai macam kue, penganan, maupun pernak-pernik. Rupanya, ini adalah taman pertama di dunia yang dibuat dengan mengusung tema karakter populer dari Prancis, yaitu Gaspard dan Lisa. Taman ini pun memiliki nama tersendiri: La Ville de Gaspard et Lisa. Di ujung taman bahkan dibangun replika Menara Eiffel, yang semakin menguatkan suasana Prancis.

Di depan pintu masuk menuju kios oleh-oleh

Setelah melewati kota Gaspard dan Lisa, tampak pintu masuk dengan enam gerbang otomatis. Dari sini, rombongan besar telah berpencar. Kami, rombongan Indonesia, bergabung dengan rombongan Kamboja. Saya berjalan di belakang, menurut saja pada pimpinan rombongan di depan. Rupanya wahana pertama yang dituju adalah Takabisha. Saat kami sampai, panjang antrean di depan kami mungkin sekitar 15 meter. Kami menunggu sambil bercanda, sampai kemudian melewati dinding di dekat pintu wahana. Di dinding tersebut tergantung sebuah pigura yang berisi sertifikat rekor dunia. Rupanya, Takabisha memegang rekor dunia sebagai ‘roller coaster tercuram di dunia pada 1210’. Saya tak pernah tahu tentang Takabisha sebelumnya, dan angka 121 ini sama sekali tak memberikan efek apapun bagi saya.

Pintu masuk 1

Setelah menunggu sekitar 20 menit, akhirnya tiba juga giliran kami. Begitu masuk, kami diminta melepas kacamata, syal, topi, gelang, dan apapun yang berpotensi jatuh. Seluruh barang dititipkan di loker yang dilengkapi kunci. Setelah loker dikunci, anak kunci disimpan dengan mengaitkan karet di pergelangan tangan. Kami yang berjilbab bahkan diberi tambahan jaket bertudung untuk dikenakan. Tudungnya dilengkapi tali di bagian tepi wajah, sehingga dari kepala sampai pinggang tertutup jaket. Hal ini untuk berjaga-jaga agar kerudung tak terjatuh atau bahkan terbang ke suatu tempat~

Ada 2 atau 3 ‘mesin’ tersedia, dan satu mesin berkapasitas 8 orang. Kami yang bersembilan –satu orang kawan dari Indonesia memilih untuk berjalan-jalan di Thomas Land saja—jadinya dipisah ke dalam dua gelombang. Saya duduk di barisan belakang, di kursi nomor dua dari kiri. Menjelang berangkat, mbak-mbak dan mas-mas petugas memastikan bahwa pengaman telah dikaitkan dengan baik dan kencang. Kemudian tak lupa mereka juga melepas keberangkatan kami dengan senyum dan kata-kata yang indah.

Takabisha meluncur. Lambat. Keadaan lorong gelap. Belok ke kiri. Tak lama kemudian terowongan berakhir, dan Takabisha langsung menukik ke atas. Saya masih sesumbar ‘ternyata gini doang’, lalu sesumbar saya hilang dalam sekejap saat Takabisha memelintir dan turun dengan kecepatan yang tak terkira. Saat itu kepala saya rasanya hampir terlepas dari leher, bernafas tak bisa normal, dan jantung saya entah tertinggal di mana. Saya cuma bisa banyak-banyak mohon ampun pada Tuhan. Mata saya tak sedetikpun membuka. Setelah itu Takabisha naik lagi, berputar lagi, turun, naik lagi, berputar lagi, dan meliuk-liuk sebelum kemudian masuk kembali ke terowongan. Saya menarik nafas. Keluar dari terowongan, Takabisha naik dengan kecepatan yang pelan, bahkan cenderung tersendat-sendat. Saya menyempatkan diri membuka mata. Rupanya inilah perjalanan menuju puncak yang dibangga-banggakan oleh Takabisha. Bentuk rel mungkin siku-siku 900  sehingga rasanya seperti duduk biasa dengan punggung di bawah. Kondisi ini berlangsung sampai hampir 20 detik. Di puncak tertinggi, Takabisha berhenti sejenak. Menggantung. Kemudian ia menghempaskan tubuh saya, dan jantung saya yang sebelumnya sudah tidak saya ketahui di mana tempatnya kembali menghilang. Saya tak henti-henti baca istighfar; sementara orang di samping saya berteriak-teriak. Lantas saya berpikir, ‘barangkali dengan berteriak, jantung saya dapat kembali ke tempatnya dan mata saya dapat terbuka,’. Detik berikutnya saya ikut-ikutan berteriak, yang kemudian saya anggap itu adalah keputusan yang salah: berteriak sungguh menghabiskan nafas dan saya jadi butuh energi lebih untuk mengambil nafas. Akhirnya saya pasrah saja, terus-terusan memohon ampun sambil menjalani serangkaian pelintiran dan tukikan yang mengocok isi perut saya.

Penderitaan saya berakhir setelah menempuh 1.004 meter dalam waktu sekitar 3 menit.

Turun dari Takabisha, seluruh tubuh saya rasanya seperti tak lagi memiliki sendi. Belum lagi perut saya yang jadi sangat mual. Kawan saya bahkan berkomentar kalau wajah saya pucat. Lantas saya bersumpah, Takabisha adalah roller coaster pertama dan terakhir dalam hidup saya.

Tulisan di plang yang saya pegang itu artinya 'saya dikerjai Takabisha'

Perjalanan kembali dilanjutkan. Pimpinan rombongan mengarah ke wahana Eejanaika.

Saya menyerah.

Tak mungkin saya naik Eejanaika. Yang mengerikan dari Takabisha barangkali hanya kecuramannya saja. Namun di Eejanaika, curamnya lintasan berpadu dengan kursi yang dapat berputar. Roller coaster ini bahkan memegang rekor sebagai ‘roller coaster dengan jumlah total putaran terbanyak di dunia’. Kecepatan maksimalnya yang mencapai 126 km/jam pun melebihi Takabisha yang ‘hanya’ 100 km/jam.

Dengan berat hati; saya dan 2 kawan perempuan saya akhirnya berpisah dari rombongan. Kami memilih berkelana sendiri, menuju wahana selanjutnya: korsel alias komidi putar. Hahaha. Namun, saat naik korsel pun, gerakan kuda yang naik-turun juga membuat saya mual. Efek Takabisha rupanya belum habis.

Setelah naik korsel bersama dengan beberapa anak kecil dan sepasang kekasih, kami memutuskan untuk beristirahat di tempat duduk di samping Eejanaika. Sekitar satu jam kami habiskan dengan makan—sambil mendengarkan teriakan berisik penumpang Eejanaika—dan salat.

Lepas istirahat, kami kembali memulai petualangan dengan naik bianglala. Bianglala bernama Shining Flower dengan ketinggian 50 meter ini mampu membuat kami memandang seluruh area Fuji-Q Highland dari ketinggian. Gunung Fuji bahkan terlihat dengan jelas! Tak lupa, Takabisha juga masuk ke pandangan dan membuat kami berceloteh, ‘Demi apa tadi kita naik wahana itu!’. Dalam waktu 11 menit di dalam gondola yang berputar pelan, kami telah memutuskan akan naik wahana apa selanjutnya.

Gunung Fuji dari dalam gondola Shining Flower. Rel mengular yang berputar-putar di tengah gambar adalah lintasan Takabisha

Kaki kami lantas mengarah ke wahana bernama Cool Jappaan, sebuah wahana yang meluncurkan pengunjungnya dari ketinggian 30 meter ke air. Di sini, kami juga diminta menitipkan tas ke dalam loker. Kemudian kami naik ke dalam semacam perahu berkapasitas sekitar 20 orang. Perahu lalu mulai melaju mengikuti rel, dan di akhir kami seakan diajak menantang menubruk air. Basah? Tenang, perahu ini dilengkapi dengan penutup bening—bentuk keseluruhan perahu jadi mirip kapsul—sehingga tak perlu khawatir cipratan air akan membasahi tubuh.

Turun dari Cool Jappaan, kami membuka peta Fuji-Q Highland. Ingin hati masuk rumah hantu, tapi rupanya nyali ini tak cukup besar. Akhirnya mata saya melihat deretan wahana yang diletakkan di bawah judul ‘horor’. Salah satunya adalah wahana bernama Ge-Ge-Ge no Youkai Yokocho, Youkai Kobanashi atau Mizuki Shigeru’s Ge-Ge-Ge Haunted Mansion. Letaknya ternyata persis di depan Cool Jappaan. Kami memutuskan untuk masuk ke dalamnya.

Di depan pintu masuk, ada sekitar 6 orang yang mengantre. Sebenarnya saya sedikit heran dengan wahana ini: apakah rumah hantu bisa sekecil ini? Ukurannya, barangkali hanya sekitar 5x10 meter. Hantu macam apa yang menghuni bangunan kecil ini?

Keheranan saya belum terjawab saat pintu terbuka. Seorang petugas yang saya taksir usianya sudah lebih dari 60 tahun mempersilakan kami masuk ke dalam sebuah ruangan. Ia meminta kami untuk melihat layar televisi yang terpasang di atas. Ia lalu meninggalkan kami, masuk ke dalam ruangan lain. Tak lama kemudian, lampu menjadi remang-remang, dan televisi menyala. Animasi Ge-Ge-Ge diputar. Saya tak sepenuhnya paham, tapi di akhir tayangan, tokoh-tokohnya berpesan pada kami— para pengunjung, untuk berhati-hati dalam memasuki rumah hantu ini. Setelah tayangan selesai, lampu kembali menyala, dan si petugas tadi muncul, lalu mengarahkan kami untuk masuk ke dalam sebuah ruangan.

Ruangannya kecil saja, sekitar 2,5x6 meter. Hanya tampak kursi-kursi dan semacam meja kecil yang menghadap dinding. Kami lantas diminta duduk satu per satu di kursi yang telah disediakan. Di atas meja, rupanya, telah tersedia seperangkat headphone. Petugas menyuruh kami memasang headphone. Mulai terdengar suara tokoh anime yang mengetes apakah bagian kanan dan kiri headphone telah dipasang dengan benar. Setelah itu, lampu dipadamkan. Ruangan benar-benar gelap.

Jangan-jangan kami diajak menonton film animasi yang disorotkan ke dinding?

Suara-suara tokoh anime kembali terdengar. Hantu-hantu muncul di telinga kanan lantas menghilang di telinga kiri. Beberapa tokoh lari tunggang-langgang. Tak ada apapun yang disorot ke dinding. Tak ada tayangan. Rupanya di wahana ini kami hanya diminta mendengarkan kisah seram dari cerita Ge-Ge-Ge, sebagaimana mendengarkan sandiwara radio.

Saya keluar wahana dengan ekspresi datar; lebih tepatnya, tak tahu harus berekspresi bagaimana. Wahana ini jelas-jelas tak sesuai dengan ekspektasi saya. Untungnya, di pintu keluar, terdapat kios kecil yang menjual berbagai barang bertema Ge-Ge-Ge. Saya memutuskan untuk membawa pulang satu map bergambar Ge-Ge-Ge.

(Catatan: ketika menulis tulisan ini, saya baru mengerti cara baca dan arti kanji kobanashi pada Ge-ge-ge no Youkai Yokocho, Youkai Kobanashi. Kobanashi dapat diartikan kisah pendek yang menarik. Barangkali kalau saya bisa membaca kanji tersebut saat melihat peta, saya mengurungkan niat masuk ke Rumah Ge-Ge-Ge.)

Setelah itu, mata Nisya, kawan saya, tertumbuk pada permainan sepeda di samping Cool Jappaan. Sepeda yaang dikayuh di atas lintasan rel yang letaknya antara 1,8 sampai 6,3 meter di atas tanah ini nampaknya cukup menarik untuk dimainkan. Kami akhirnya masuk ke wahana, menitipkan tas, lalu naik ke atas sepeda. Pengamannya hanya semacam sabuk yang diikatkan ke bagian perut. Seram juga rasanya, seperti melintas di atas seutas tali (rel ding); apalagi di bawah pengayuh tak ada tempat lagi untuk kaki bersandar. Rel ini dibuat mengelilingi sebidang taman kecil berisi beberapa patung hamster berbentuk Hamtaro dan kawan-kawannya. Ada juga beberapa mainan dan bangku-bangku taman untuk duduk-duduk. Usut punya usut, wahana bernama Dokidoki Mori no Kakurenbo atau Hide and Seek in the Woods ini rupanya dikategorikan sebagai atraksi untuk anak-anak.

Saat naik sepeda-sepedaan tadi, saya melihat patung kucing keberuntungan (patung berbentuk kucing sedang duduk yang biasanya ada di depan toko atau kedai, dianggap membawa keberuntungan) berukuran besar yang tak jauh dari lokasi kami. Saya mengusulkan agar kami menaiki atraksi tersebut. Dua kawan saya setuju, jadi kami langsung berpindah dengan sedikit berlari mengingat waktu yang hampir habis.

Wahana yang kami naiki ini bernama Nagashimasuka, mirip dengan wahana arung jeram di Dufan, Taman Impian Jaya Ancol. Karena akan basah-basahan, jadi pengunjung disarankan membeli ponco plastik seharga 100 yen yang kuponnya dapat dibeli di mesin penjual di samping pintu masuk. Kupon ini hanya bisa dibeli terpisah, jadi kami tetap harus mengeluarkan uang 100 yen meskipun ada tiket terusan yang kami miliki. Kupon tadi kemudian ditukarkan dengan ponco yang diberikan oleh mbak-mbak petugas. Setelah menitipkan barang di loker dan mengaretkan kunci di pergelangan tangan, kami mengenakan ponco. Setelah siap, kami dipersilakan menaiki ‘perahu’ berkapasitas 4 orang, yang bentuknya lingkaran dengan pegangan di tengah. Tak ada penutup di atas ‘perahu’, tidak seperti pada Cool Jappaan. Masalah yang muncul di pikiran saya selanjutnya adalah: sarung tangan saya berbahan wol yang tentu akan basah jika terkena air dan ia akan menjadi jauh lebih dingin dalam kondisi demikian. Akhirnya saya melepas sarung tangan, dan itu adalah pilihan yang sangat menyedihkan. Sepanjang perjalanan diombang-ambingkan air serta meluncur dari ketinggian 18 meter, air acapkali masuk lewat samping dan mengenai tangan—rasanya seperti disiram air es; belum lagi pegangan yang terbuat dari besi juga terasa sangat dingin. Nagashimasuka tak pelak membuat tangan saya serasa membeku.

Nagashimasuka menjadi wahana terakhir yang kami jelajahi di Fuji-Q Highland. Keluar dari Nagashimasuka, waktu sudah menunjukkan pukul 16.10. Sisa waktu kami tinggal 50 menit. Kami berlari menyeberang ke gedung di seberang, berjudul Kids’ Studio-Character Shop. Beragam pernak-pernik bergambar berbagai karakter tersedia di sini. Ada Doraemon, Pokemon, One Piece, Hello Kitty, dan lain sebagainya. Saya melihat-lihat dengan cepat dan menjatuhkan pilihan pada pasel One Piece seukuran kartu pos (belum saya buka, nih. Ada yang mau?).

Dari kios ini, kawan saya meminta agar kami mampir sebentar ke rumah hantu yang letaknya persis di belakang Nagashimasuka. Rumah hantu yang diklaim sebagai rumah hantu terseram dan terpanjang di dunia ini juga menjadi salah satu wahana yang menjadi andalan di Fuji-Q Highland—sebagaimana Eejanaika. Tiketnya pun dijual terpisah seharga 500 yen, dan tiket terusan tidak dapat dipergunakan. Saking kondangnya, untuk bisa masuk, pengunjung bahkan harus rela antre sekitar 1 jam. Dengan panjang rute 900 meter, diperlukan waktu sekitar 50 menit untuk mengkhatamkan rumah hantu ini. Kami yang memang sudah tidak bernyali semenjak turun dari Takabisha benar-benar hanya mampir foto di depan gedung wahana yang bernama Super Scary Labyrinth of Fear ini.

Setelah kembali ke bus, selama lima belas menit pertama kami semua masih sibuk mengisahkan pengalaman masing-masing, kemudian suara-suara itu perlahan terdengar makin sayup, lalu habis sama sekali. Hampir semuanya tertidur, barangkali kelelahan. Enam jam di Fuji-Q Highland benar-benar menguras tenaga kami.


Peta Fuji-Q Highland (dari pamflet; peta di situs web tidak sama dengan pamflet). Wahana yang kami naiki: no. 1 (Takabisha), no. 20 (korsel), no. 19 (Shining Flower), no. 12 (Cool Jappaan), no. 15 (Mizuki Shigeru's Ge-Ge-Ge Haunted Mansion), no. 37 (Hide n Seek in the Woods), dan no. 7 (Nagashimasuka).
Maafkan gambar yang seadanya ini T.T



Ditulis 7 Februari 2017
Foto: dokumen pribadi