Wednesday, February 6, 2013

Cerita Malam Ini

Malam, dengan segala keluarbiasaannya, adalah satu keadaan ciptaan Tuhan yang kusenangi. Bahkan hanya dengan gelapnya, aku tetap suka itu. Dan seringkali, malam adalah satu-satunya waktu agar aku bisa lebih dekat dengan anakku.

Tadi ia bercerita bahwa ibu gurunya di kelas membahas tentang cita-cita. Ia lantas bertanya apa cita-citaku ketika kecil.

"Dulu, cita-cita ibu ada setumpuk. Tingginya lebih tinggi dari semua gunung dan untuk bisa sampai ke sana, jalannya lebih berat dari menjelajah semua tempat di manapun."

Ia bertanya ragu. Aku mengangguk dengan mantap dan meyakinkan.

"Sekali waktu, dulu sekali, ibu ingin menjadi guru olah raga."

"Oh iya, ibu kan sering menemaniku pergi berenang."

"Bukan, ibu tak bisa berenang, hanya menungguimu berenang sampai selesai. Ibu bercita-cita begitu karena dulu guru olah raga ibu ternyata tidak bisa olah raga. Guru ibu itu cuma menyuruh muridnya berlari, menendang bola ketika sepak bola, memantulkan bola ketika basket, menggerakkan kaki ketika berenang, dan bergerak dengan benar ketika senam. Ia tidak pernah memberi contoh sama sekali, hanya berteriak dari pinggir lapangan. Padahal pasti ia dibayar. Jadi waktu itu, ibu membayangkan menjadi seorang yang punya banyak uang hanya dengan berteriak-teriak saja. Enak, kan?"

Ia protes. Ia bercerita bahwa Pak Kusno, guru olah raganya di sekolah, tidaklah seperti apa yang kuceritakan. "Pak Kusno," kisahnya, "selalu berlari lebih dulu, berenang lebih dulu, dan melakukan semuanya lebih dulu sebelum kami melakukannya."

Kukatakan bahwa karena itulah aku tak ingin lagi menjadi guru olah raga. Aku menyerah pada satu cita-citaku.

Aku melanjutkan ceritaku. Bahwa dulu aku pernah ingin menjadi pedagang baju. "Setiap hari ibu bisa berganti-ganti baju yang bagus tanpa harus beli. Orang lain tidak akan tahu bahwa baju yang ibu jual ternyata sudah pernah ibu pakai sebelumnya."

Kembali ia melontarkan protes. "Mbak Rini bajunya sering robek-robek dan sudah jelek. Padahal ia berjualan baju."

Sejenak terlintas wajah Rini yang seminggu dua kali berkeliling kampung untuk menawarkan baju yang dijualnya.

Aku mengelus kepalanya. "Karena memang tidak boleh. Tidak ada yang mau membeli baju yang sudah kita pakai. Kalaupun ada, harganya jadi murah. Bisa-bisa sama seperti harga sebungkus-besar permen."

Ia mengangguk-angguk. Kami terdiam sesaat.

"Ibu, pernahkah ibu bercita-cita jadi dokter, insinyur, polisi, atau pilot?"

Aku tersenyum. "Tidak," jawabku singkat.

"Kenapa?"

"Besok ibu ceritakan, karena ini panjang sekali jawabannya. Sekarang giliranmu bercerita. Apa cita-citamu?"

"Aku ingin jadi seperti ayah."

Bibirku terkunci tapi mataku bertanya kenapa.

"Ayah kan uangnya banyak. Jadi bisa pergi jalan-jalan. Sekarang juga lagi jalan-jalan kan, kata ibu sebentar lagi pulang. Saking banyaknya uang ayah, sampai rumah kita dibangun lagi biar bagus. Makanya sekarang aku dan ibu tinggal dulu sama nenek. Kalau uangku banyak, aku bisa pergi ke markas Power Ranger, terus minta jam tangannya yang bisa berubah itu. Pasti keren."

Aku mengecup keningnya. "Sekarang tidur dulu. Besok sekolah."

Ia mengangguk. Kurapatkan selimutnya, kutepuk-tepuk punggungnya.

Bulan lalu suamiku dijadikan tersangka dalam kasus korupsi dan sekarang ditahan di sebuah rumah tahanan, 1000 kilometer jaraknya dari tempat tinggalku sekarang.



060213

0 comments:

Post a Comment