Thursday, September 17, 2020

Kembali Ke Malam Biru (Terjemahan Esai Yoshimoto Banana)




Kemarin, untuk pertama kalinya saya pergi ke Roma.

Tapi rasanya ini bukan yang pertama kali--entah ini pertanda baik atau buruk.

Ketika saya pergi ke luar negeri, ada tempat-tempat yang membuat saya merasa, 'rasa-rasanya saya sudah pernah ke sini'. Lupakan ide tentang kehidupan sebelumnya, jelas bukan. Perasaan bahwa itu bukan yang pertama kalinya saya menjejakkan kaki di tempat tersebut membuat saya merasa aneh dan tidak betah. Hal yang terburuk adalah rusaknya luapan kegembiraan untuk merasa, 'ini pertama kalinya saya ke sini!'

Sementara hal baiknya adalah saya merasa rindu dan bisa lebih rileks. 

Malam itu kami semua letih setelah menuntaskan diskusi yang sangat memompa adrenalin.

Namun ada keseganan untuk mengakhirinya dengan ekspresi lega serupa, 'akhirnya selesai!' yang membuat kami akhirnya tetap ogah-ogahan di bar. Setelah diserang kantuk hebat, kami akhirnya kembali ke apartemen di Roma setelah mengantarkan Amitrano-sensei sampai ke parkiran mobilnya.

Amitrano-sensei (Giorgio Amitrano) adalah penerjemah buku-buku saya ke bahasa Italia, dan kami punya ketertarikan terhadap hal yang sama. Saya mempercayainya. Barangkali ia bahkan bisa menerjemahkan aliran atmosfer yang ada di dalam buku saya.

"Kami akan berjalan-jalan ke arah sana kemudian pulang." Mendengar hal tersebut, ia langsung menyahut, "kalau begitu, ayo berkeliling kota dahulu." Saya, rekan dari agensi bernama D, dan juru bahasa Are-chan menyambut dengan gembira dan berteriak seperti bocah, "kami mencintaimu, Sensei!" Kami berempat pun berangkat.

Roma pada malam hari.

Dari jendela mobil, saya memandang Roma dengan sudut pandang yang sama seperti warga yang tinggal di sana. Roma terasa seperti sebuah kota yang ganjil.

Masa lalu seolah mengambang. Bukan seperti hantu, melainkan seperti arwah.

Reruntuhan bangunan bersejarah dan benteng di kota pada malam hari yang diterangi lampu sungguh memberi energi yang besar. Benda-benda raksasa itu seolah menyatu dengan pemandangan kota.

Di sini, saya merasa yakin cara berpikir saya sedikit berubah.

Kami bersenang-senang dan menjadi riuh.

Dua pria Italia ini menyanyikan lagu berbahasa Italia untuk kami. Suara mereka mengalun, mewarnai Roma di malam hari.

"Orang-orang yang mobilnya lewat di samping mobil kita pasti berpikir kalau kami adalah wisatawan lugu dari Jepang yang berhasil dirayu oleh orang Italia," gurau kami. Begitu memasuki Vatikan, kami segera terdiam karena tergugu-gugu oleh megahnya tempat tersebut.

Sulit dipercaya bangunan semegah itu dibangun oleh manusia.

Saya sampai berpikir ada yang tidak beres dengan mata dan badan saya.

Jalanan di tepi sungai tampak cantik seperti dalam film, orang-orang berlalu-lalang dalam diam di tengah pekatnya malam.

Benteng terlihat gelap, besar, dan menjulang tinggi; langit berwarna hitam.

Saking seringnya melihat pemandangan yang sangat indah, saya berpikir, 'sepertinya saya sudah pernah melihat malam yang seperti ini'. Seolah ada yang terngiang, entah di mana: kekosongan, kegelapan total,  dan kesendirian.

Rupanya itu tergambar dalam lagu populer karya maestro Hara Masumi, judulnya "Aoi Yoru" (Malam Biru).

Tidak pernah terlintas sedikit pun di pikiran saya pertanyaan semacam padahal ia sendiri tak pernah pergi ke Roma, bagaimana bisa?

Sebab yang digambarkan oleh para pekerja seni adalah wewangian dari seluruh malam, dari malam pada suatu waktu, dari malam-malam yang akan datang, dan dari malam yang menyelimuti negeri asing yang jauh dalam mimpi.

Saya menyukai lagu itu, sampai pernah menuliskannya dalam sebuah esai saya. Namun waktu itu saya tidak membayangkan bahwa pada suatu hari di Roma saya akan menyusuri malam pada lagu itu.

Pengalaman yang absurd.

Bagi saya pribadi, semakin bertambahnya hal-hal indah pada laci kehidupan saya akan menghubungkan keindahan yang baru saya ketahui dengan keindahan lainnya. Dan itu membuat saya menganggap bahwa suatu saat akan lahir suatu keindahan paripurna yang tiada duanya di alam raya, milik saya sendiri.

Thursday, September 3, 2020

Kisah Sederhana Tentang Kaum Paisano


 

Judul buku      : Dataran Tortilla (Judul Asli: Tortilla Flat)

Penulis             : John Steinbeck

Penerjemah      : Djokolelono

Penerbit           : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Tahun              : 2016

Tebal               : 219 halaman

 

Krisis ekonomi besar yang melanda Amerika Serikat, dan kemudian meluas ke seluruh dunia, pada rentang tahun 1929 hingga 1939 memberi pengaruh luar biasa di segala bidang. Krisis yang sering disebut dengan istilah Depresi Besar itu menyebabkan harga saham jatuh bebas, PDB turun, tingkat pengangguran meningkat, dan jumlah tunawisma membludak.


Novel Dataran Tortilla terbit pada tahun 1935, ketika Depresi Besar tengah berlangsung. John Steinbeck, yang memperoleh Hadiah Nobel Sastra pada tahun 1962 “atas karyanya yang realistis dan imajinatif, yang memadukan humor dan kritik sosial yang tajam”, tampaknya betul-betul berusaha menyajikan humor ringan sebagai oase di tengah krisis melalui karyanya ini.


Novel ini bercerita tentang Danny dan beberapa kawannya—Pilon, Pablo, Jesus Maria, Si Bajak Laut, dan Big Joe—, serta kehidupan yang melingkupi mereka di sebuah rumah di wilayah bernama Dataran Tortilla di Monterey, California. Danny dan kawan-kawannya adalah paisano: kaum dengan darah campuran Spanyol, Indian, Meksiko, dan berbagai ras kulit putih Eropa. Kehidupan mereka sungguh ringan, polos, tanpa beban, seringkali hangat, minim target, dan tidak begitu memusingkan uang. Kalaupun ada satu barang yang harus hadir dalam tiap embusan nafas mereka, itu adalah anggur. Mereka bahkan lebih memilih menghabiskan uang untuk membeli anggur daripada menggunakannya untuk membayar uang muka agar layanan perusahaan air minum bisa sampai ke tempat tinggal mereka (halaman 11). Bersama-sama mereka menghadapi masalah yang datang, saling berdiskusi, bercerita, dan bahu-membahu dengan cara masing-masing yang menimbulkan humor dan tawa—tentu kadangkala mereka sedikit saling berbohong dan berseteru satu sama lain.


Suatu ketika, terjadi perubahan drastis pada sikap Danny yang membuat hidupnya berakhir, meskipun kawan-kawannya berusaha sekuat tenaga mencegahnya. Setelah upacara penguburan Danny usai, rumah mereka—rumah milik Danny yang ditinggali bersama—, yang menjadi jimat pemersatu pertemanan dan atap pelindung tempat mereka menghabiskan hari dengan tidur dan minum anggur, pada akhirnya juga hangus; habis tak berwujud menyusul pemiliknya yang juga telah berpulang. Ketiadaan jimat pemersatu tersebut membuat kawan-kawannya berpisah, pergi berpencar dengan tujuan masing-masing.


John Steinbeck menyematkan beberapa kalimat penghibur agar pembacanya, barangkali, bisa sedikit lupa pada krisis ekonomi, misalnya “kebahagiaan lebih baik daripada kekayaan” (halaman 94) serta “ada kacang polong berarti selamat. Kacang polong merupakan atap pelindung perut, selimut hangat yang menangkis dinginnya tekanan ekonomi.” (halaman 154). Selain itu, ada juga kalimat yang diucapkan Danny, “senang sekali mempunyai banyak kawan. Dunia ini terasa sunyi, bila tak ada kawan untuk diajak berbincang-bincang atau untuk menghabiskan grappa.” (halaman 53).


Namun demikian, novel yang mengangkat nama John Steinbeck ini bukannya bebas dari kontroversi. Dataran Torilla dianggap rasis. Penggambaran kaum paisano melalui tokoh Danny dan kawan-kawannya sebagai orang-orang pemalas, gemar minum, dan enggan berpikir jangka panjang dianggap menimbulkan stereotip buruk dan melukai perasaan orang-orang Hispanik. John Steinback memang telah meminta maaf atas hal tersebut dan menyebut kebiasaan-kebiasaan tadi sebagai “suatu filosofi, dan tidak ada masalah atas hal itu”. Pernyataan maaf itu dimuat di Dataran Tortilla yang diterbitkan oleh penerbit Modern Library pada tahun 1937, tetapi tak lagi muncul pada cetakan-cetakan selanjutnya.


**


John Steinbeck lahir pada tahun 1902 di Salinas, California, tempat yang kelak akan menjadi latar bagi beberapa karyanya. Ia wafat pada tahun 1968. Sepanjang hidupnya, ia kerap bermasalah dengan kesehatannya, misalnya peradangan paru-paru pada usia 16, usus buntu pada usia 17, dan seterusnya: infeksi ginjal, operasi retina, stroke, serangan jantung, dan cedera punggung. Penyakit-penyakit yang datang silih berganti itu juga yang menjadi salah satu faktor yang meneguhkan niatnya untuk menjadi penulis.


Karier menulis John Steinbeck dimulai pada tahun 1929 melalui novel debutnya, Cup of Gold. Ia juga menulis dua novel dan dua kumpulan cerpen sebelum menerbitkan Dataran Tortilla, karya pertamanya yang mendapat sambutan hangat dan mendulang kesuksesan. Sepanjang hidupnya, ia telah menulis lebih dari 40 karya dan memenangi Hadiah Pulitzer (1940), Hadiah Nobel Sastra (1962), dan United States Medal of Freedom (1964). Karya besar yang melambungkan namanya adalah Of Mice and Men (1937), Amarah (The Grapes of Wrath, 1939), dan Sebelah Timur Eden (East of Eden, 1952)—ketiganya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. 


John Steinbeck adalah seorang pengarang jenius dengan celanya sendiri. Dalam rangka memperingati 50 tahun kematiannya, surat kabar harian asal Inggris, The Independent, pernah memuat artikel panjang tentang betapa unik dan kontroversialnya penulis ini. Salah satu anekdot yang diangkat adalah ketika ia ditanyai oleh seorang kawannya dari Vietnam tentang motto hidupnya, dan ia menjawab, “jangan beralasan. Jangan biarkan orang-orang melihatmu menderita. Jangan pernah terpisah dari barang-barangmu. Selalu cari tahu pukul berapa bar mulai buka.” Keunikan pribadinya itu pula yang mungkin membuatnya mampu memotret kondisi zaman serta menyusun penokohan dan jalan cerita luar biasa atas kisah-kisah sederhana yang ia tulis. Karya-karyanya lalu diganjar berbagai penghargaan, termasuk Hadiah Nobel Sastra, dan terus diminati oleh para penikmat sastra selama hampir seabad ini.

 

 

 

 

Monday, August 17, 2020

Tradisi Unik Akutagawa Prize Ke-163

Tradisi Unik Ketika Hakyoku Mendapat Akutagawa Prize Ke-163

Oleh Tono Haruka (Peraih Akutagawa Prize Ke-163)



Begitu Hakyoku diumumkan masuk nominasi Akutagawa Prize, pihak penerbit berencana akan menggelar semacam 'nubar' atau nunggu bareng pada hari pengumuman pemenang. Sesuai namanya, pertemuan itu memang hanya berisi agenda menunggu panggilan masuk terkait hasil akhir penghargaan. Manusia-manusia yang sibuk itu berkumpul dan menunggu sampai ponsel saya berdering. Buku saya diterbitkan oleh penerbit Kawade Shobo Shinsha, tetapi nubar ini meluas, tidak hanya terbatas bagi pihak penerbit saja. Menurut saya itu adalah suatu tradisi yang absurd. Tentu baik kalau saya menang, tapi kalau tidak menang, bukankah justru jadi canggung? Selain itu, kalau saya tidak datang nubar, saya bisa memanfaatkan waktu itu untuk menulis naskah saya. Kalau saya datang nubar, mustahil saya bisa menulis naskah. Tidak sopan kalau saya justru menulis naskah ketika ada orang lain di depan saya. Tidak mungkin saya melakukannya. Saya juga mempertimbangkan untuk absen saja di gelaran nubar ini.


Saya akhirnya hadir karena mendengar bahwa kue-kue telah dipersiapkan. Kue lemonnya sangat lezat--saya diberitahu kedai kue mana yang membuat, tetapi saya lupa. Karena menunggu panggilan masuk tanpa melakukan apa pun justru menambah rasa canggung, saya mengusulkan agar menonton Ju-On di Netflix bersama-sama. Sudah lama saya ingin menontonnya, setelah seorang penulis sci-fi mencuit di twitter bahwa film itu menarik. Selain itu, saya paham bahwa tingkat adrenalin yang lebih tinggi paling efektif untuk melenyapkan deg-degan.


Editor buku saya pernah bercerita bahwa drama Korea berjudul It's Okay To Not Be Okay sangat menarik, lalu saya menontonnya. Saya belum sampai pada taraf gila, masih terhitung normal. Tapi kalau misal saya gila dan itu ternyata tidak masalah, saya merasa tenang. Sebagaimana saya yang memutuskan menonton suatu drama atau tidak dari judulnya, apakah orang lain juga memutuskan membaca suatu novel atau tidak dari judulnya? Saya tersadar kembali akan pentingnya suatu judul, meskipun sampai saat ini saya terus berhati-hati dalam menentukan judul.


**

Pihak Komite Promosi Sastra Jepang menelepon saya dengan nada suara seperti sedang menginformasikan sesuatu yang buruk, dan itu membuat saya berasumsi bahwa saya kalah. Memang sejak awal saya merasa bahwa saya tidak favorit dan yang akan menang adalah Takayama Hanako, jadi saya tidak terkejut. Namun setelah saya dengar penjelasannya, ternyata saya menang. Apa nada suaramu bisa sedikit lebih ceria, pikir saya. Tetapi kalaupun saya kalah, menurut saya tetap lebih baik kalau ia berbicara dengan nada yang ceria.


Saya menaiki taksi. Di dalam taksi saya menerima satu wawancara via telepon. Ada konferensi pers setelah pemberitahuan pemenang yang diselenggarakan di sebuah hotal--saya lupa hotel apa--. Pada acara tersebut saya harus menjawab berbagai pertanyaan. Saya sebetulnya tidak punya apa pun untuk disampaikan saat itu; juga sebelumnya, dan mungkin setelahnya. Namun konferensi pers lebih mirip seperti suatu kewajiban bagi seorang penerima penghargaan. Para wartawan pun seolah bukan bertanya karena ingin mengajukan pertanyaan, tetapi harus bertanya karena memang itulah pekerjaan mereka.


Ada pertanyaan, apakah saya sudah memberi tahu keluarga tentang penghargaan ini, lalu saya jawab bahwa saya belum melakukannya. Kemudian entah mengapa meledaklah tawa-tawa. Saya bahkan tidak terpikir untuk menceritakannya kepada keluarga. Apakah normalnya adalah memberi tahu? Apakah mereka tertawa karena saya tidak normal? Kalau benar begitu, menurut saya hal itu kurang sopan. Atau apakah mereka berpikir bahwa saya sedang bergurau lalu mereka terpaksa tertawa? Kalau benar begitu, menurut saya mereka sungguh baik hati. Sampai sekarang pun saya tidak berpikir bahwa saya perlu memberi tahu keluarga saya. Kalaupun mereka tertarik, mereka akan menonton televisi atau video lucu, dan setelah itu, mereka akan segera tahu.


**


Diterjemahkan dari sini 

Thursday, August 6, 2020

Kesamaan Haruki Murakami dan Gabriel Garcia Marquez: Resensi Novel Cinta di Tengah Wabah Kolera


Judul buku: Love In The Time Of Cholera (Cinta di Tengah Wabah Kolera)

Penulis: Gabriel Garcia Marquez

Penerjemah: Rosemary Kesauli

Penerbit: GPU, 2018

Tebal: 635 halaman


Gabriel Garcia Marquez memungut inspirasi untuk bahan bakar karyanya dari mana saja. Ia pernah berbincang sejak pukul 9 pagi hingga 4 sore dengan seorang perempuan yang kebetulan duduk di sebelahnya di ruang tunggu bandar Charles de Gaulle, Paris, dan dari situlah cerita “Putri Tidur dan Pesawat Terbang” lahir. Ketika menulis “Tales of Shipwreck”, ia juga memperoleh ide untuk mengangkat kisah petualangan seorang pelaut yang hilang di samudera dari sebuah detail pendek: pelaut itu hilang selama 40 hari. Dari sana, ia akhirnya menuliskan kisah itu dalam 40 bab: satu bab untuk kisah satu hari.


Gabriel Garcia Marquez—jamak dipanggil Gabo—lahir pada 1927 di Aracataca, Kolombia, dan meninggal pada 2014. Nicholas Shakespeare, novelis Inggris, pernah menulis begini dalam artikelnya: Gabo meyakini bahwa suatu pertemuan, sesingkat apa pun, memiliki kekuatan untuk mengubah kita—itulah sebab ia percaya seruannya pada Ernest Hemingway pada suatu hari yang dibalas dengan lambaian tangan berpengaruh besar terhadap hidupnya. Pertemuan singkat pula yang mengawali kisah cinta dalam bentang waktu setengah abad lebih yang diceritakan dalam novel ini.


Florentino Ariza remaja melihat Fermina Daza gadis dari balik jendela ruang jahit, gadis itu melihatnya balik dengan singkat, dan itulah awal dari rasa cinta abadi yang terus bertahan dalam hati Florentino. Ia mengirimkan surat-surat puitis buatannya setiap hari, yang pada akhirnya hanya bertepuk sebelah tangan karena Fermina justru dinikahkan ayahnya dengan dr. Juvenal Urbino, seorang dokter muda dari keluarga terpandang dan bereputasi baik yang besar jasanya bagi lingkungannya. Namun toh hal itu tidak membuat cinta abadi Florentino luntur, bahkan sampai ia mampu mencapai puncak karier sebagai direktur umum suatu perusahaan pelayaran sungai. Perasaan itu tetap ia simpan utuh di sana, walaupun dalam jangka waktu itu ia telah tidur dengan lebih dari 622 perempuan dan jatuh cinta pada beberapa di antaranya. Florentino mencatat rapi seluruh petualangannya dalam 25 buku catatan.


Lantas pada suatu hari, dr. Juvenal Urbino meninggal di usianya yang ke-81 tahun karena patah tulang akibat jatuh setelah memanjat dahan mangga untuk menangkap burung nuri. Florentino datang ke upacara pemakamannya, juga pada hari-hari berikutnya, untuk menemani Fermina yang sudah menjadi janda. Setelah waktu bergulir 51 tahun, 9 bulan, 41 hari, sekali lagi ia mengutarakan apa yang pernah ia ungkapkan pada Fermina, dan mereka akhirnya bersatu.


Kalau Haruki Murakami, novelis Jepang ternama yang berkali-kali diunggulkan menerima Nobel Sastra, menggandrungi lari, kafe, jazz, dan The Beatles sehingga memunculkan detail-detail itu dalam karyanya, Gabo pun tidak jauh berbeda. Ia menuangkan di sana-sini apa-apa saja yang ia sukai: cinta, keberadaannya di dekat wanita, dan tokoh wanita berkarakter independen, tajam, tetapi tak berdosa.


Novel ini mengambil latar waktu antara tahun 1870—1930, saat wabah kolera terjadi di seluruh negeri serta adanya berbagai perang saudara yang menimbulkan ketidakstabilan pemerintahan dan politik. Gabo, yang telah menjadi jurnalis sejak berusia 19 tahun, menyelipkan kritik sosial di karyanya ini. Salah satunya meluncur dari bibir Paman Leo XII, paman dari Florentino Ariza. Paman Leo XII berkata,


“Umurku hampir seratus tahun dan aku sudah melihat segala sesuatu berubah, termasuk posisi bintang-bintang di semesta, tapi aku belum pernah melihat perubahan apa pun di negeri ini,” kata Paman Leo biasanya. “Di sini mereka membuat undang-undang baru, konstitusi baru, dan perang baru setiap tiga bulan sekali, tapi kita masih terjebak di zaman kolonial.”  


Cinta di Tengah Wabah Kolera ini adalah novel pertama Gabo yang terbit setelah ia menerima Nobel Sastra pada tahun 1982. Karya-karyanya memiliki ciri khas berupa penyampaian realita dan pesan yang kuat. Wajahnya dikenal di seluruh penjuru negeri, bahkan oleh orang-orang yang belum pernah membaca tulisan-tulisannya. Ia menjadi pahlawan yang dielu-elukan semua kalangan. Sekelompok gerilyawan pernah menculik seseorang dan membuat tuntutan agar Gabo mau menjadi presiden ‘demi menyelamatkan tanah air’.


Cinta Florentino Ariza abadi bagi Fermina Daza, dan karya Gabriel Garcia Marquez abadi bagi sastra dunia.


**

Sumber bacaan tambahan: 

Memikirkan Kata: Panduan Menulis untuk Semua, 2019, terbitan Galeri Buku Jakarta.

Monday, July 6, 2020

Mimpi Tentang Orang Mati (Terjemahan Esai Yoshimoto Banana)


Kisah berikut ini tidak ada kaitannya dengan apa yang akan saya ceritakan selanjutnya: pagi ini saya bermimpi tengah berjalan di tepi pantai, menginjak bintang laut yang lalu menempel lekat sehingga saya harus menghentakkan kaki. Kaki saya sungguhan memancal, dan saya terbangun dari tidur.

Sungguh menyeramkan.

Beberapa waktu lalu, saya bermimpi tentang suatu kejadian yang memilukan.

Mimpi itu muncul beberapa kali, tentang seorang laki-laki yang telah meninggal dunia. Laki-laki itu sebaya dengan saya; ketika usianya 22 tahun ia memilih untuk meninggalkan dunia ini. Hubungan kami sama sekali tidak terkait percintaan. Ia adalah kawan yang berarti bagi saya.

Entah mengapa, di dalam mimpi itu saya bertemu dengannya, meskipun saya mengetahui bahwa ia telah meninggal dunia.

Lokasinya di depan Stasiun Matsudo. Di dalam mimpi, saya sendiri tidak paham mengapa kami bertemu di situ. Barangkali karena makamnya ada di Matsudo, dan depan Stasiun Matsudo adalah tempat di mana saya bersama seorang kawan saya bertemu ketika berziarah ke makamnya. Saya mengingatnya karena saya melihat bunga sakura bermekaran sekitar bulan April, padahal mimpi itu terjadi pada tanggal 17 Februari.

Di dalam mimpi itu, kami duduk di sebuah bangku di tanah lapang di depan stasiun. Ia bercerita tentang kabar terbaru kawan-kawan kami.

“Si S sudah melahirkan.”

“Si T tidak jadi bercerai. Untunglah.”

“Si H berpindah pekerjaan setelah keluar dari kantornya.”

Ia bercerita sembari menampakkan senyumnya yang indah, tetapi sepertinya ia merasa kesepian. “Enak ya. Sepertinya menyenangkan,” ucapnya. Setelah cukup lama berbincang, tiba-tiba ia berkata, “Yoshimoto, bagaimana kalau kadang-kadang kita bertemu seperti ini lalu mengobrol tentang kawan-kawan kita? Saya butuh teman ngobrol.”

Saya menjawab, “tentu saja!” padahal saya tahu dia sudah meninggal. Saya tidak menyangka ia akan bertanya seperti tadi. Atau kekhawatiran saya adalah, barangkali itu merupakan sinyal-sinyal asmara ala Botan Dourou, mitologi tentang seorang samurai yang jatuh cinta kepada arwah berwujud wanita cantik pembawa lentera. Namun ia memang orang yang sopan dan gemar bercerita tentang teman-teman kami. Saya izin kepadanya untuk pergi sebentar ke toilet. Saya beranjak dari tempat duduk, mengarah ke toilet, berusaha berpikir dengan jernih, lalu kembali dan menemukan bahwa ia sudah tidak berada di sana.

Ia juga tidak ada di sekitar tempat itu.

Saya menunggunya beberapa lama. Lalu entah bagaimana ceritanya, lewatlah Hara, ilustrator buku ini. “Hai, Yoshimoto. Kebetulan sekali. Saya hendak mengantarkan ini ke rumahmu. Kau kan juga wanita,” ujarnya, sembari memperlihatkan sebuah benda, sebatang ranting besar yang berbunga anyelir merah.

“Kau sendiri yang membuatnya?” tanya saya.

“Bukan. Numata yang membuatnya,” jawabnya. Jelas bahwa Numata yang dia maksud adalah si Numata Genki.

Setelah itu kami minum teh sebentar, kemudian berjalan kaki bersama. Sampai di adegan itu, saya terbangun, dan memikirkan apa sesungguhnya arti dari mimpi itu.

Apakah ia, yang sudah berkalang tanah itu, betul-betul ingin menjangkau saya sehingga kami terhubung melalui mimpi, lalu ia menyaksikan kegamangan saya dan memutuskan untuk menghilang? (Memang begitulah orangnya.)

Lalu apa maksud kehadiran Hara? Apakah ia hendak menyelamatkan saya yang sudah dalam kondisi seperti Hoichi Tanpa Telinga, folklor Jepang tentang seorang tuna netra bernama Hoichi yang telinganya dipotong sebab ia memantrai tubuhnya—kecuali telinga—agar tidak dibawa oleh roh jahat? Atau ia memang murni seseorang yang kebetulan saja melintas? (Memang begitulah orangnya; bedanya, ia belum meninggal.)

Kalau melihat dari frekuensi kemunculan Hara di mimpi saya, jangan-jangan saya sendiri sebetulnya mencari sosoknya. Saya memikirkan hal-hal itu dengan serius, tapi sepertinya saya tidak pernah merasa mencarinya. Bagi saya, ia hanyalah orang yang numpang lewat, doyan bercerita, dan teman sesama pengeroyok sup nabe.

Selanjutnya, dari mana Numata Genki muncul? Mengapa?

Misteri ini mengundang misteri berikutnya.

Yang terpenting, saya merasa kesepian karena tidak bisa meneleponnya langsung untuk menceritakan mimpi yang saya alami.

Sebab seiring waktu, ini akan menjadi kisah yang lucu untuk ditertawakan.

Saya, juga untuknya, akan menjalani hidup dengan lebih bergembira. Kalau pun ia sendiri berpulang dalam kondisi tidak sedang bergembira, ia tidak akan iri dengan kegembiraan saya—memang begitulah perangainya. Saya dan kawan-kawannya yang lain yakin bahwa hal itulah yang akan membuatnya bersukacita.
**

Diterjemahkan dari 死んだ人の夢, salah satu tulisan dalam kumpulan esai karya Yoshimoto Banana berjudul 夢について(Perihal Mimpi).

Judul buku: 夢について
Penulis: Yoshimoto Banana
Tahun Terbit: 1994
Penerbit: Gentosha Inc. 

Tuesday, June 30, 2020

Jalan Pembacaan Para Penulis - Machida Ryohei (Volume 7-Habis)

Bagaimana kebiasaan para penulis ketika di toko buku? Bagaimana mereka mengidentifikasikan diri mereka sebagai pembaca? Pertanyaan-pertanyaan itu kami ajukan langsung kepada penulis.

Topik 7: Mendokumentasikan Buku yang Sudah Dibaca pada bookmeter.com
(topik 6 dapat dibaca di sini)


Anda menjelaskan buku-buku yang Anda baca dan buku-buku Anda sendiri dengan tajam dan detail, bahkan menjelaskan analisis Anda dengan bahasa yang mudah dimengerti. Saya jadi ingin membaca kumpulan resensi atas buku-buku favorit Anda. Apakah Anda menyusun semacam dokumentasi bacaan?
Terima kasih. Ya, saya mencatat buku-buku yang saya baca di bookmeter, karena saya sering lupa. Tetapi saya tidak menulis kesan atas pembacaan tersebut. Dahulu saya menulisnya, tetapi ketika saya baca ulang, rasanya kok saya jumawa sekali (tertawa).
Kemudian sejak akhir usia 20-an saya mulai suka puisi dan sering melihat kolom kiriman puisi di majalah, di sana ada sedikit penjelasan dari redaktur mengenai alasan pemilihan karya tersebut. Yang membuat saya menyukai puisi adalah komentar-komentar yang menyertai karya tersebut. Saya ingin bisa menjelaskan mengapa saya menyukai suatu karya, dalam bentuk tulisan.

Luar biasa....
Ini memang sifat pembawaan saya. saya tidak bisa mengacuhkan begitu saja apa yang saya sukai atau saya benci. Jujur, semuanya hanya fantasi. Tidak ada kata-kata yang pas untuk mengungkapkan rasa suka atau benci itu. Tetapi karena tadi hanya fantasi, justru saya makin ingin membaginya kepada orang lain lewat kata-kata.

Apakah Anda senang membaca resensi, kritik sastra, atau catatan redaksi?
Saya sangat suka membaca opini orang lain, semacam ingin tahu bagaimana pandangan orang lain. Mungkin juga karena saya tidak terlalu mempercayai selera saya sendiri. Saya sedikit khawatir sehingga cenderung banyak berpikir setelahnya.

Adakah materi yang wajib Anda baca? Misalnya, reviu majalah sastra, resensi di koran, atau catatan pemilihan pemenang Penghargaan Akutagawa.
Saya usahakan untuk membacanya sekilas. Untuk majalah sastra, saya prioritaskan untuk membaca karya-karya dari penulis yang belum pernah saya baca, karena saya relatif senang dengan pengalaman pembacaan yang saya peroleh dari majalah sastra. Setelah membacanya, saya beralih ke reviu umum dan reviu bulanan atas karya-karya yang dimuat.

Setelah debut sebagai penulis, apakah ada yang berubah dalam bacaan Anda?
Setelah debut, untuk sementara saya hanya membaca apa yang saya suka. Akhir-akhir ini saya terkadang diminta untuk berbicara pada acara gelar wicara, jadi seringkali saya membaca buku-buku penulis yang hadir. Buku karya Kishi Masahiko sangat menarik. Saya hanya tahu novel-novel beliau, kemudian setelah membaca buku sosiologi karya beliau, saya berterima kasih karena telah dibukakan dunia baru yang sedemikian luas.
Selain itu, setelah debut saya menemukan semangat dalam tanka (genre puisi Jepang) sehingga mulai membacanya. Misalnya karya Ohmori Shizuka yang sangat indah. Juga Inoue Noriko, lalu karya Hattori Mariko.

Apa hal-hal yang menarik perhatian Anda akhir-akhir ini?
Untuk novel luar negeri, saya rasa “Ping Pong” karya Park Min-Gyu sangat menarik. Kemudian “La Place de l’Etoile/Night Rounds” karya Patrick Modiano. (Sambil melihat ponsel) saya mencatatnya di bookmeter, jadi saya ingat yang dulu-dulu (tertawa). Oh iya, naskah drama karya Matsubara Shuntaro yang memperoleh penghargaan Kishida Kuniogi Kyokusho, “Yamayama”, juga sangat mencengangkan. Lalu untuk kritikus sastra, saya suka Octavio Paz.
Kalau untuk novel, saya sangat suka buku “The Children’s Room” karya Louis-Rene des Forets. Di dalamnya ada beberapa cerita yang tidak begitu panjang. Bukunya sangat berkesan karena saya menemukannya ketika sedang membaca berbagai novel bertema musik.
Tadi saya sedikit bercerita tentang Robert Walser, itu adalah rekomendasi editor saya sejak saya debut. Ia memberi tahu saya setelah saya bilang pada salah satu redaktur di Penerbit Kawade Shobo bahwa saya suka karya-karya W.G. Sebald. Saya sering mewawancarai orang lain tentang hal-hal yang mereka suka. Ah, saya baru ingat macam-macam setelah membuka-buka bookmeter (tertawa). Ketika “The Yellow Rain” karya Julio Llamazares diterbitkan versi cetaknya, saya membacanya sekali lagi. Saya juga baca cerpen-cerpen yang masuk ke buku tersebut dan terkesan sekali.
Kalau novel-novel Jepang terbaru, saya belum membacanya secara keseluruhan, tapi kebetulan saya membaca “Arakure” karya Tokuda Shusei; novelnya sangat menarik dan mengejutkan. Tokoh-tokoh yang muncul sangat beringas sesuai judul novelnya, juga banyak pertanyaan yang timbul terkait relasinya dengan tokoh-tokoh lain di sekitarnya. Saya sendiri tidak menduga bisa terus membacanya tanpa kehilangan minat sedikit pun. Keberingasan yang jauh melebihi ekspektasi saya.

Saya jadi ingin menggali lebih lanjut (tertawa). Nah, tahun ini ada tiga karya Anda yang diterbitkan, yaitu “1R 1-pun 34-Byou”, “Boku Wa Kitto Yasashii”, dan “Ai Ga Kirai”. Bagaimana rencana Anda ke depan?
Dua tahun belakangan ini banyak yang saya tulis, dan saya merasa semuanya jadi ada wujudnya. Oh ya, akhir Oktober buku saya “Chopin Zombie Contestant” akan terbit. 

**

Diterjemahkan dari artikel ini.

Sunday, June 21, 2020

Masa Lalu (Terjemahan Esai Yoshimoto Banana)


Saya punya kesan tersendiri terhadap diri saya ketika masih kanak-kanak, atau anggap saja ketika masih sekolah dan tinggal bersama orang tua, yaitu tidak pandai memanfaatkan waktu. Padahal saat itu saya punya lebih banyak waktu luang dibandingkan sekarang.
Pada suatu kesempatan wawancara, saya ditanya tentang hal-hal yang saya sesali dari masa sekolah. Saya menjawab, "dengan waktu luang sebanyak itu yang saya habiskan untuk minum-minum, lebih baik bila saya menggunakannya untuk mempelajari sesuatu. Seni lukis tinta cair, misalnya. Hahaha."
Artikel hasil wawancara tersebut lantas terbit dengan kalimat 'Yoshimoto: Menyesal Tidak Belajar Seni Lukis Tinta Cair'. Hal-hal seperti itu pernah juga terjadi.

Omong-omong, pada suatu malam ketika saya pulang ke rumah orang tua saya, buku-buku dan benda-benda lain milik saya ditumpuk di ruangan yang dulunya adalah kamar saya. "Kamar itu tidak boleh menganggur. Coba kaurapikan barang-barangmu," begitu kata ibu saya. Sedikit demi sedikit saya mulai membereskannya dengan tidak bersemangat. Saya melihat naskah-naskah dan catatan-catatan saya dahulu. Cukup memalukan, dan itu membuat pekerjaan membereskan ini tidak kunjung selesai.
Mengenai naskah-naskah tadi, dibandingkan dengan sekarang, sebetulnya tidak banyak yang berubah dari sisi ketidakbecusan menulis dan isi tulisan. Ada tokoh laki-laki dan perempuan yang muncul dan memakan sesuatu, atau ada hantu yang tiba-tiba muncul; itu-itu saja. Muka saya memerah saking mengingat betapa payahnya diri saya.

Saya sendiri tidak begitu ingat pernah menulis tulisan-tulisan itu. Tapi toh memang saya yang menulisnya. Kemudian ada lagi buku catatan pelajaran matematika yang penuh coretan-coretan ala manga. Sungguh memalukan, rasanya saya ingin mati saja.
Membereskan barang-barang seperti itu membuat saya mengenang masa lalu. Seorang gadis yang menggantung cita-cita; berpikir positif; menyenangi manga, film, dan barang-barang lucu; kampungan; tetapi pergaulannya luas.
Saya memutuskan untuk memandangi benda-benda di dalam kamar dengan sudut pandang sebagai orang asing. Saking jarangnya saya menoleh ke belakang untuk melihat bayangan diri—yang ternyata sama persis dengan sekarang, timbul suatu perasaan ganjil. Terkadang kita berhalusinasi bahwa ada sesosok diri-kita-sekarang yang datang, tetapi sesungguhnya sosok itu sudah merupakan pribadi yang berbeda—bahkan sejak dalam sel.

Pada lain waktu, ketika saya melanjutkan proyek beres-beres kamar, saya melihat gunungan benda remeh-temeh dari salah satu laci.
Bolpoin tua lusuh dari India yang bertempelkan cermin, penghapus karet berupa imitasi dari koin emas dan koin perak peringatan 60 tahun turunnya tahta Kaisar, baskom bergambar beruang, cerutu bekas milik Beat Kiyoshi yang diperoleh dari undian program teve Oretachi Hyoukinzoku, set amplop bermotif manju-isi-kastanya, piramida yang kabarnya mampu mendatangkan manfaat luar biasa, bantal kumbang koksi yang besar dan lembut, dan lainnya. Barang-barang yang membuat saya mempertanyakan diri saya dan kebodohan sendiri.

Bukan waktu yang tepat untuk menertawakan tingkah Chibi Maruko-chan—tingkah saya tak kalah patut untuk ditertawakan. Saya berani menjamin, ada seember barang-barang berbentuk anjing laut berbulu dan anjing laut. Saya sampai bosan dengan kedua jenis anjing laut itu yang terus-menerus bermunculan, hingga akhirnya saya katakan kepada ibu saya, "saya heran sendiri dengan perilaku saya dulu di rumah ini. Maaf, ya, Ibu jadi harus tinggal bersama manusia seaneh ini." Mendengar permintaan maaf saya, Ibu menjawab, "memang aneh, seorang bocah yang melulu membeli barang-barang berbentuk anjing laut."

Dengan begitu, ada kekurangan mayor pada kesimpulan pertama saya. Atau barangkali tidak berlebihan kalau saya adalah seorang "Ratu Agung atas Barang Aneh".

Apa yang saya pikirkan tentang diri saya sendiri, atau dengan kata lain diri yang atasnya saya memiliki kesadaran penuh, sungguh hanya sebagian kecil saja. Itu pun bukan bagian yang sebagaimana dilihat oleh orang lain. Andai saja saya bisa menonton diri saya sejak kecil seperti menonton film—yang direkam dalam format 8mm—yang diputar ulang tiga kali, barangkali tidak akan ada lagi kebimbangan seperti yang sedang saya rasakan. Karena sebetulnya saya hanya harus sedikit mengubah apa yang saya lakukan.

**

Diterjemahkan dari 過去 (Masa Lalu), salah satu tulisan dalam kumpulan esai karya Yoshimoto Banana berjudul 夢について(Perihal Mimpi).

Judul buku: 夢について
Penulis: Yoshimoto Banana
Tahun Terbit: 1994
Penerbit: Gentosha Inc. 

Tuesday, June 16, 2020

Jalan Pembacaan Para Penulis - Machida Ryohei (Volume 6)


Bagaimana kebiasaan para penulis ketika di toko buku? Bagaimana mereka mengidentifikasikan diri mereka sebagai pembaca? Pertanyaan-pertanyaan itu kami ajukan langsung kepada penulis.

Topik 6: Menulis di Kamar Mandi
(topik 5 dapat dibaca di sini)




Apakah ada sesuatu yang berubah semenjak Anda debut sebagai penulis?
Sejak debut, saya didampingi oleh editor, kami berdiskusi juga terkait novel sehingga pengerjaan novel saya menjadi lebih cepat. Pada satu titik, bagi saya menulis novel sudah menjadi kebiasaan. Jadi kalau sedang sehat dan bugar, saya jadi mudah menyesuaikan ritme aktivitas sehari-hari, dan justru jadi tidak tenang kalau tidak menulis.

Anda lebih sering menulis di ponsel, ‘kan? Apakah kebiasaan itu berlangsung sejak awal-awal Anda mengirim naskah?
Saya mengetahui ada orang-orang yang menulis novel di ponsel, baik ponsel lawas maupun Iphone. Suatu hari tiba-tiba saya berpikiran bahwa kalau saya bisa menulis dengan laptop, seharusnya itu juga berlaku pada ponsel. Saya ingat, karya saya sejak setahun sebelum Ao Ga Yabureru saya kirimkan, itu saya tulis di ponsel. Untuk Shiki dan Ai Ga Kirai memang saya tulis di laptop, tapi selain karya itu, saya menggunakan ponsel. Ketika menulis di ponsel, saya potong-tempel di Word, saya perbaiki di situ juga sembari saya baca ulang, lalu saya lampirkan file Word-nya untuk saya kirimkan ke editor naskah.

Saya tadi juga bertanya tentang kebiasaan Anda yang menulis di kamar mandi....
Saya mulai menulis di kamar mandi sejak karya kedua. Saat dipublikasikan, judul naskah saya adalah Suimen, tetapi ketika diterbitkan dalam buku, judulnya menjadi Boku Wa Kitto Yasashii.

Oh, itu buku edisi spesial yang terbit tahun ini, ya. Apakah itu karya pertama hasil menulis di kamar mandi?
Kebetulan saja saya saat itu sedang membaca buku karya Nakazawa Shin-ichi, lalu tiba-tiba terpikir, ‘wah sepertinya sekarang saya bisa menulis novel’. Tapi saya merasa terlalu repot kalau harus keluar kamar mandi, jadi akhirnya saya menulis begitu saja dengan ponsel yang saya bawa. Begitulah awalnya. Dan saya rasa itu tidak buruk-buruk amat.

Omong-omong, apa yang berbeda ketika menulis di ponsel?
Yang paling saya sukai, karena menulis di ponsel tidak membuat saya terkungkung. Kalau pakai laptop, ukuran layarnya besar sehingga mata saya akan melirik-lirik ke tulisan sebelumnya, rasanya agak cemas apakah tulisannya sudah baik atau belum. Tetapi saya merasa puas ketika menulis Shiki di laptop. Saya menulisnya dengan menggunakan sudut pandang sebagai orang ketiga. Kesadaran yang otomatis ada di kepala saya adalah, saya menulis sebagai orang ketiga kalau pakai laptop, dan menulis sebagai orang pertama kalau pakai ponsel. Saya menulisnya tanpa melihat-lihat kembali bagian sebelumnya. Saya berusaha selalu menulis ketika fisik saya sedang sehat, tapi bagaimana saya menentukan sehat atau tidaknya tubuh saya tergantung pada apakah saya bisa mengingat bagian-bagian cerita yang sebelumnya telah saya tulis. Dengan kata lain, biasanya saya tidak ingat. Ketika saya bisa mengingatnya, pada waktu yang bersamaan saya jadi terbersit apa yang akan saya tulis selanjutnya. Urutannya bisa terbalik-balik antara depan dan belakang, misalnya ketika saya punya ide untuk menulis bagian selanjutnya, saya justru teringat pada bagian sebelumnya. Momen-momen itulah yang penting. Kadang saya merasa bahwa pekerjaan yang berhubungan dengan ingatan lebih cocok bila ditulis di ponsel. Tapi untuk Shiki, tokoh-tokohnya diceritakan dalam rentang waktu satu tahun, jadi saya perlu tahu pada waktu A, hal ini terjadi, lalu menjadi seperti itu. Saya menikmati menulis kisah itu di laptop.

Oh, apakah Anda juga menulis dengan laptop di kamar mandi? Saya jadi khawatir....
Cukup sering juga. Tapi kalau untuk saat ini, hanya di hari kerja saja (tertawa).
Akhir-akhir ini saya merasa laptop saya bermasalah, jadi saya sudah beli yang baru. Sebelumnya, saat saya pakai untuk bekerja, loading-nya terasa lambat sekali, bahkan di kabelnya juga sudah terlihat serat tembaganya. Mungkin ia rusak karena terkena air atau semacamnya. Sepertinya begitu.

Pada karya terbaru Anda, Ai Ga Kirai, ada tiga tulisan. Betul begitu?
Ai Ga Kirai saya tulis di laptop, sementara Shizukesa dan Ikiru Karada saya tulis di ponsel. Bagi saya pribadi, Ai Ga Kirai punya kedudukan tersendiri. Di karya saya lainnya, sudut pandang yang saya pakai pasti yang sedekat mungkin dengan si pencerita; sedangkan pada Ai Ga Kirai saya berhati-hati agar tidak absurd.
Ketika menulis, saya berusaha sadar bahwa di antara tokoh-tokoh yang muncul, ada kisah yang hilang dari si pencerita. Saya berharap para pembaca akan menciptakan sendiri kisah yang hilang tadi. Dalam Ai Ga Kirai, ada tokoh dewasa dan anak-anak dengan nama yang pengucapannya sama yaitu Hiro, dan saya rasa itu bisa menjadi penghubung untuk membuat kisah itu menjadi utuh. Mereka melihat dunia dari sudut pandang di antara mereka berdua. Sejak awal saya sudah menyadari bahwa saya tidak piawai menciptakan tulisan dengan kisah yang utuh. Sebelum menulis saya tidak berpikir mengapa saya menulis cerita itu; saya baru sadar setelah menuliskannya. Bahkan ketika memunculkan tokoh anak-anak yang namanya sama dengan nama tokoh utama, saat itulah saya baru berpikir, ‘oh ternyata jadinya seperti ini.’

**

Diterjemahkan dari artikel ini.

Saturday, June 6, 2020

Jalan Pembacaan Para Penulis - Machida Ryohei (Volume 5)


Bagaimana kebiasaan para penulis ketika di toko buku? Bagaimana mereka mengidentifikasikan diri mereka sebagai pembaca? Pertanyaan-pertanyaan itu kami ajukan langsung kepada penulis.

Topik 5: Dunia Lain di Dalam Novel
(topik 4 dapat dibaca di sini)





Buku apa yang Anda baca saat itu?
Saya membaca karya-karya ternama, tetapi yang paling spektakuler menurut saya adalah To The Lighthouse karya Virginia Woolf. Sangat mengesankan. Saya cukup terlambat membacanya, yaitu ketika baru diterjemahkan oleh Konosu Yukiko. Mengesankan karena tokoh dan latar dikisahkan, bisa dibilang, secara ekuivalen atau sejajar. Latar tempat, waktu, dan batin tokoh-tokohnya saling bertentangan berulang kali, dunia-sekarang dan dunia-yang-seharusnya berjalan sejajar seakan-akan berjejalan di dalam novel.
Saya belajar banyak tentang keluarbiasaan dan keagungan suatu latar yang muncul di dalam cerita. Keberadaan novel ini sangat besar artinya bagi saya karena dari sana saya mengetahui pentingnya menciptakan dunia lain di dalam novel.

Padahal tadi Anda menyampaikan bahwa dulu Anda payah ketika berhadapan dengan latar yang tidak Anda ketahui.
Begitulah, saya justru terselamatkan oleh hal itu. Selain itu, karya yang juga sangat saya sukai adalah The Magic Mountain karangan Thomas Mann. Saya juga membaca karya penulis-penulis Amerika Latin. Saya sudah membaca karya Rulfo sebelumnya. Pada dasarnya semuanya menarik, tapi yang saya suka adalah karya Rulfo.
Saya juga suka karya Vladimir Sorokin. Saya membaca semua karyanya, tapi yang paling saya suka adalah Blue Salo.

Hehehe. Buku yang menimbukan berbagai kontroversi, ya.
Banyak, ‘kan, para penulis yang cara berpikirnya liar? (tertawa). Konten yang diusung Vladimir Sorokin kadang remeh, kadang menimbulkan penasaran, tapi di sisi lain ada titik yang membuat kita berpikir bahwa hal tersebut ternyata sangat berkelas dan matang; ketidakteraturan seperti itulah yang sangat saya sukai. Ada bagian-bagian yang membuat saya berpikir saya bisa membaca karya-karya Sorokin. Ada juga penulis lain yang saya sukai, yaitu W.G. Sebald, karyanya misalnya Austerlitz dan The Emigrants. Penulis favorit Sebald adalah Robert Walser, tetapi saya tidak membaca karya Walser satu pun.

Karena percuma?
Ya. Karya-karyanya diterbitkan oleh Penerbit Choeisha, saya membacanya beberapa. Semuanya sangat menakjubkan, tetapi saya ingin membacanya ketika nantinya sudah lebih tenang.
Kemudian ketika saya berusia sekitar 30-an, terbitlah buku yang ditulis oleh para pianis, dan saya tertarik membacanya.

Apakah sedemikian banyak buku yang ditulis oleh para pianis?
Cukup banyak. Bahkan di luar negeri banyak buku yang ditulis selama separuh masa hidup si penulis. Yang paling melekat di ingatan saya adalah pianis Perancis bernama Helene-Rose-Paule Grimaud, ia menerbitkan autobiografinya yang berjudul Wild Harmonies. Helene Grimaud adalah pianis yang luar biasa, ia juga meneliti tentang ekologi serigala dan memeliharanya. Pertemuannya dengan serigala saja sudah merupakan sesuatu yang eksentrik. Kebanyakan pianis memang unik, dan masing-masing dari mereka punya kisah-kisah yang sama mencengangkannya, jadi buku-buku mereka sama menariknya. Cara berpikir dan kebiasaan mereka sangat-sangat unik. Saya kagum dan respek pada mereka. Saya pikir perasaan saya terhadap novel sama dengan perasaan para pianis tersebut ketika berlatih piano. Itu yang membuat saya akhirnya rajin membaca buku bertema musik.

Apakah itu berlaku baik untuk pianis dalam maupun luar negeri?
Ya. Buku Nakamura Hiroko menarik, lalu buku Aoyagi Izumiko juga menakjubkan. Sepertinya buku Aoyagi yang membuat saya tertarik pada buku-buku karya pianis.
Baru-baru ini Penerbit Hakusuisha menerbitkan terjemahan dari buku Maestros and Their Music: The Art and Alchemy of Conducting, saya tengah membacanya dan saya rasa bukunya menarik. Ketika membaca karya-karya luar biasa dari para pianis, ada beberapa bagian yang saya pahami, tetapi lebih banyak yang tidak. Nah, buku-buku karya konduktor ini lebih tidak bisa lagi saya pahami. Tapi rasanya menyenangkan melihat suatu seni diwariskan oleh para maestro itu. Seolah-olah ada jurus rahasia yang disampaikan dari satu anak didik ke anak didik lain. Menurut buku tersebut, mereka menuliskan banyak hal di buku partitur mereka, lalu mengajarkannya pada anak didiknya, jadi itu semacam catatan rahasia. Penulis buku tersebut adalah John Mauceri, seorang maestro populer, dan menurut saya perlu keberanian untuk menulis hal-hal seperti itu.

Jadi terkadang Anda menulis berdasarkan apa yang Anda rasa dan pikir, ya. Novel pertama Anda, Ao Ga Yabureru, dan novel Anda yang menyabet Penghargaan Akutagawa, 1R1-pun 34-byou, keduanya berkisah seputar petinju.
Akhir-akhir ini saya sering mendapat komentar bahwa saya sangat ‘berkarakter fisik’, tapi saya justru ingin bertanya balik, apa definisi ‘berkarakter fisik’ itu? (tertawa). Ketika menulis 1R1-pun 34-byou, memang benar bahwa saya menuliskan dengan detail gerakan-gerakan fisik tapi saya rasa saya menulisnya dengan biasa saja, tidak ada sebersit pikiran untuk menulis secara mendalam.

Sempat muncul rumor yang ramai dibahas bahwa Anda memang benar-benar berlatih tinju.
Ketika SMA saya sempat ikut karate, sekitar umur 24 saya ikut muaythai, setelah itu saya justru relatif lama berolahraga tinju. Kemudian ketika saya memulai debut jadi penulis, saya mulai merasa aktivitas fisik tersebut terlalu berat jadi saya berhenti. Kalau sekarang, saya sedikit berlatih dance.

Apakah ada kemungkinan hal tersebut akan terkait dengan novel lagi?
Saya rasa ada. Omong-omong tentang buku, saya juga kadang membaca buku-buku karya penari butou. Benar-benar hanya segelintir saja yang pernah saya baca, yang terkenal di antaranya adalah Hijikata Tatsumi, Kasai Akira, dan Ohno Kazuo. Dalam buku karya Mikai Kayo yang berjudul Zohokaitei Utsuwa Toshite no Karada: Hijikata Tatsumi, Ankoku Butou Gihou e no Approach, ada pembahasan mengenai pemikiran-pemikiran Hijikata tentang butou itu sendiri yang sangat memotivasi. Menurut pemahaman saya pribadi, yang membuatnya menarik adalah adanya diksi-diksi yang mirip dengan di buku yang ditulis oleh para pianis, tetapi kita tidak tahu di mana diksi itu akan terucap.

**

Diterjemahkan dari artikel ini.