Friday, June 20, 2014

Kartu Pos yang Tak Juga Sampai




Kisah ini diceritakan oleh kakak beberapa tahun silam.

Saat itu aku masih tersengguk-sengguk, kelelahan menangis sebab diikat di sebuah tiang di lantai-dua rumah. Aku terlambat pulang sekolah tanpa izin kepada ibu terlebih dulu, jadi inilah hadiah dari ibu.
Kakak, yang jatuh kasihan padaku namun tidak punya kuasa untuk membebaskanku dari hukuman, duduk di sampingku. Cuaca sangat panas saat itu. Apalagi atap rumah kami terbuat dari seng sehingga suhu di dalam rumah mampu membuat baju basah oleh keringat. Sesekali kakak meniup wajahku.

"Kamu tahu bagaimana bentuk barisan semut yang berjalan?" Tanya kakak tiba-tiba.
Aku mencerna kata-katanya sambil sesenggukan beberapa kali. Sungguh, tersedu seperti ini adalah cara menangis yang paling kubenci sebab aku susah bernafas karenanya.
"Lurus. Satu-satu. Kayak... orang... baris." Jawabku patah-patah.
Kakakku tersenyum. "Kamu tahu kenapa bisa begitu?"
Aku menatap mata kakakku agak lama, "antre?"
Kakak menggeleng.
"Mmm…" Aku ikut menggeleng.
"Mau dengar cerita kakak?"
Aku diam saja.
"Kisah ini diceritakan oleh kakek. Dan kakek bilang, kakek cuma cerita pada kakak. Jadi ini kisah yang langka." 
"Waktu kakek masih hidup?"
Kakak mengangguk. Sekali lagi ia meniup wajahku.
"Mau?"
Aku mengangguk sambil tetap bernafas satu-satu.

*
Sejak dahulu, bangsa semut memang memiliki tradisi berjalan dengan cara berbaris. Satu-satu. Sebagai sebuah tradisi, memang begitulah yang diajarkan oleh induk kepada anak-anaknya turun-temurun sampai beberapa generasi.
Pada generasi kesekian, seekor semut memiliki cara pandang lain terhadap tradisi mereka.
"Berjalan satu-satu begini, bukan berdampingan dua-dua atau berkelompok, sesungguhnya lebih dari sebuah tradisi. Menurutku ia lebih hebat dari itu." Katanya di depan banyak semut dalam koloninya.
"Bagaimana maksudmu?" tanya seekor semut lain.
"Dengan aku berjalan di belakangmu, aku bisa menjagamu. Apapun, sesuatu yang buruk misalnya, bisa datang dari arah manapun kan? Tapi kau tak memiliki daya untuk mengetahui yang ada di belakangmu. Di situ keberadaanku bisa berguna. Setidaknya kamu tidak akan terkena sesuatu atau apapun itu dari belakang, karena ada aku di situ." Semut-semut lain mengangguk-angguk.
"Pun dengan ada di belakang, jangkauan penglihatanku menjadi lebih luas dibandingkan denganmu. Aku bisa melihat medan lebih lebar." Ia berhenti sejenak, "dan yang jelas, aku bisa selalu melihatmu."
Semut-semut bertepuk tangan. Nampaknya mereka setuju dengan nilai lebih dari apa yang selama ini mereka sebut sebagai tradisi.

Seorang tukang kaca sibuk menurunkan kaca dari gerobak ke lantai. Saking cepatnya ia bekerja, ia tak melihat lantai sedikitpun. Yang ia jaga hanyalah supaya kacanya tidak pecah.
Ia bekerja cepat namun hati-hati. Pun demikian, lantaran ia tak melihat lantai dengan saksama, tanpa sadar ia telah memotong barisan serombongan semut. Si tukang kaca meletakkan kacanya di antara semut-semut.
  
"Hei!" Seekor semut berteriak kaget. Jalan di depannya tiba-tiba terhalang sesuatu yang tembus pandang—ia masih bisa melihat teman-teman di depannya yang berjalan menjauhimya.
"Aku mau lewat!" Ia berteriak. Tidak ada celah yang cukup untuk menyelinap. Benda tembus pandang di depannya seperti sudah menempel pada lantai.
Ia mendongak. Benda itu tinggi sekali.
"Lebih baik aku mengambil jalan memutar," pikirnya.
Tampak di depan matanya, teman-temannya sudah semakin jauh. Semut terakhir di barisan itu sudah jauh, ia tak berani membayangkan sudah sampai di mana semut ketua di ujung depan.
"Ini tidak akan terjadi kalau aku berjalan di samping semut terakhir itu. 
Kalau di belakang, pandanganku memang lebih luas. Tapi bukankah kalau berjalan di sampingnya kami bisa memiliki jangkauan pandangan yang sama? Kalau di belakang, aku bisa melindunginya dari bahaya dari arah belakang terlebih dulu. Tapi bukankah kalau aku berjalan di sampingnya, kami bisa menghadapi semuanya bersama? Kalau aku berjalan di sampingnya, aku tidak perlu berdiri di sini sekarang dan berjalan memutar sendirian demi menyusul teman-teman. 
Nanti akan kusampaikan pada teman-teman bahwa tradisi berjalan berbaris ini tidak menguntungkan. Ia tak lebih sebagai sebuah tradisi, tidak ada nilai lebihnya."
Semut tersebut mulai berjalan menyusuri kaca, sendirian.

Tukang kaca meletakkan kaca terakhirnya di lantai. Tugasnya telah selesai, semua kaca di gerobaknya telah ia pindahkan. Namun ia tidak sadar bahwa kaca terakhirnya telah menimpa seekor semut yang sedang berjalan sendiri. Ia hanya melihat serombongan semut terus berjalan berbaris ke arah meja di teras rumah. Ada sepiring putu—dengan gula merah yang meleleh keluar—di sana.

*
“Bagaimana ceritanya?”
Aku sudah cukup tenang. Tangisku sudah reda, keringatku sudah kering. Sejak tadi kakak tak henti meniup wajahku di sela-sela ceritanya.
"Semut. Bagus." jawabku sambil tersenyum.

Kepala ibu muncul dari balik tangga. Tanpa berkata apapun, ia mendekatiku, menyuruh kakak agak menjauh, lalu melepas ikatan tali di tanganku.

Aku menghambur ke pelukan kakak. Aku memaksa ia menunduk. Lantas aku menelungkupkan telapak tanganku di telinga kanannya, berbisik, "aku ingin dengar cerita-cerita kakek lainnya."




Dikawani Sayonara ni Sayonara, beberapa menit setelah menonton JKT48 dengan River-nya di televisi. 
Kartu pos untukku tak juga sampai, meski ada dua lembar prangko 2500 rupiah yang ditempel. Di mana mereka?
19 Juni 2014
pic http://www.deviantart.com/art/ants-55311047