Sunday, March 4, 2018

Orang Kecil Satu dan Orang Kecil Dua




Ada dua orang kecil yang tinggal bersamaku di sini.

Mulanya aku tinggal seorang diri. Kalau sedang banyak angin yang menerbangkan debu-debu sehingga mereka akhirnya hinggap dan menumpuk di beberapa sudut, dirikulah yang akan mengambil sapu dan mengangkat debu-debu itu. Kutaruh mereka di dalam wadah di pojokan, yang beberapa hari sekali kulempar ke luar.

Kalau aku sedang lupa menutup gelas yang isinya juga lupa kuhabiskan, lalu seekor kucing masuk melalui pintu yang lupa kututup, kemudian ia dengan anggunnya menyenggol gelasku dan menumpahkan isinya, dirikulah yang akan mengambil lap dan mengeringkan bekas senggolan tak sengaja itu. Kutaruh gelasnya di bak cuci piring, yang baru akan kubersihkan beberapa waktu setelahnya.

Kalau hari-hari membuatku penat raga dan jiwa hingga tak sempat melirik apapun lantas teralihkan dari melemasnya daun dan menghitamnya kelopak mawar yang kutaruh di vas di meja tengah, dirikulah yang akan membungkuk-bungkuk minta maaf pada satu-dua batang mawar merah—atau putih, yang lebih jarang kutemui sehingga jarang pula mampir ke atas meja—atas kelalaianku. Kubuang mereka dengan segenap penyesalan, lalu kucuci vasnya, yang entah berapa lama lagi baru akan berisi kembang segar.

Sebab terlalu lama sendiri, aku tak pernah mempersoalkan apapun. Sudah kubilang tadi: aku terbiasa sendiri dalam membersihkan debu-debu, mengelap tumpahan air, dan mencuci wadah kembang. Kalaupun ada yang tak biasa kulakukan, barangkali itu adalah mengangkat sekarung beras. Lebih-lebih yang ukuran 25 kilogram. Dua minggu sekali aku membeli beras di pasar. Ada sekitar enam karung dan tiga bak berisi beras berjejer di atas sebuah meja rendah. “Yang paling pulen, Pak,” kataku. Aku tak menunjuk salah satu karung ataupun bak. Kupercayakan seluruhnya pada si bapak penjual.

“Yang ini, Neng? Sekilo tiga belas ribu.”

“Kalau yang ini?” Ah, toh akhirnya aku menunjuk juga ke salah satu karung.

“Sebelas ribu, Neng. Yang ini sebelas setengah, yang ini dua belas, yang ini sepuluh setengah.”

Aku memilih untuk percaya pada petunjuk si bapak penjual. Beras paling pulen, tiga belas ribu rupiah, satu kilo. Sebab aku hanya selalu beli beras sebanyak satu kilo, jadi aku tak punya alasan untuk mengangkat sekarung beras 25 kilogram, apalagi membelinya. Itu hanya akan membuat mereka menjadi sarang kutu-kutu kecil berwarna hitam, dan rasa berasku akan berkurang drastis.

***

Aku sedang mengupas jambu biji saat dua orang kecil itu datang. Mereka datang pada saat yang bersamaan. Untunglah postur tubuh mereka sedikit berbeda—meskipun sama-sama kecil dan mengenakan kacamata, sehingga aku mudah mengingat keduanya.

Orang kecil Satu tubuhnya agak tambun. Bukan tambun, hanya agak tambun saja. Perutnya sedikit buncit, lipatan-lipatan dagunya cukup kentara. Adapun postur orang kecil Dua berkebalikan dengan orang kecil Satu: kurus, tak ada perut buncit, tak tampak lipatan dagu. Oh, ada lagi yang berbeda: senyum orang kecil Dua lebih manis dan segar dibandingkan senyum orang kecil Satu, yang tak pernah menghilangkan kesan serius dari wajahnya.

Kupersilakan orang kecil Satu dan orang kecil Dua duduk terlebih dahulu. Kulanjutkan aktivitasku. Jambu biji yang sudah kuupas lantas kuiris, kutata di piring, dan kuhidangkan di atas meja di depan mereka. “Silakan,” kataku, “saya akan mengambil minuman dahulu di dalam.”  

Saat aku kembali dengan nampan dan dua gelas minuman di atasnya, kulihat jambu biji yang tadi kuupas telah tandas.

Mereka berdua tersenyum. Kali ini sama-sama manis dan segar.

Mereka menyenangi (jambu-biji)ku. Begitu pikirku.

***

Sebab aku pun menyenangi orang kecil Satu dan orang kecil Dua yang terbukti lahap menyantap jambu biji yang kuhidangkan, kuizinkan pula mereka tinggal bersamaku di sini. Setidaknya aku jadi punya kawan untuk berbagi jambu biji. Atau durian, jika nanti tiba musim durian.

Aku merupakan tipe orang yang tak banyak berkata-kata, jadi tak banyak obrolanku dengan mereka berdua. Aku pun bahkan tak pernah bertanya apakah mereka betul menyenangi jambu bijiku saat itu.

Orang kecil Satu, ternyata, mengeluarkan kata-kata dengan jumlah yang jauh lebih sedikit daripada aku. Aku terkadang merasa takut padanya, terlebih di wajahnya jarang sekali tersunggi segaris senyuman. Seingatku hanya satu kali saja ia melakukannya, ya ketika aku kembali dengan dua gelas minuman itu.

Orang kecil Dua, kupikir sama saja denganku. Irit kata-kata juga, tapi tidak separah orang kecil Satu. Tapi aku tak pernah takut padanya. Oh pernah, satu kali saja. Saat itu aku mengajaknya ke pasar melewati jalan yang belum pernah kulalui sebelumnya. Kami berhasil sampai di pasar dengan selamat, tapi butuh waktu empat kali lipat saat kami kembali dari pasar. Aku membawanya melintasi jalan-jalan yang ternyata salah. Aku capek, dan kupikir ia pasti lebih capek sebab ia orang kecil yang kakinya pendek saja sehingga butuh jumlah ayunan kaki yang lebih banyak.

***

Suatu hari, aku berinisiatif mengajak mereka bermain. Permainan ini ideku sendiri, dan belum pernah kumainkan sebelumnya. Aturan mainnya sederhana saja. Aku bersembunyi, lalu orang kecil Satu dan orang kecil Dua akan mencariku sampai ketemu. Siapa yang terlebih dahulu menemukan aku, itulah pemenang permainan ini. Pagi harinya aku sudah menyiapkan sepiring martabak daging dan semangkuk es mentimun sebagai hadiah bagi pemenang.

Aku sudah bersembunyi. Dari tempatku ini, sungguh aku leluasa sekali mengamati pergerakan mereka.

Orang kecil Satu, kulihat ia masuk sebentar ke dalam rumah. Ditentengnya palu saat ia keluar. Aku terkejut dengan barang bawaannya itu, dan tak bisa berhenti menebak-nebak apa yang ia lakukan selanjutnya.

Langkah orang kecil Satu tak salah lagi sudah menuju ke arahku. Jelas tak seru kalau ia bisa menemukanku dengan mudah.

Oh, sepertinya aku salah.

Di akhir langkahnya, orang kecil Satu berbelok. Ia menghadap tembok yang berdiri di sebelah kananku, tak jauh dari tempat persembunyianku.

Tangannya mulai berayun. Palu yang ia pegang dihantamkannya ke tembok. Satu kali, dua kali. Pada hantaman ke sekian kali, tembok mulai bergetar.

Kualihkan pandangan mata kepada orang kecil Dua. Tadi begitu orang kecil Satu masuk ke dalam rumah, orang kecil Dua juga ikut berbalik badan. Namun ia mengambil jalan memutar ke luar, lalu berbelok lagi, melipir lewat jalan samping yang tembus ke belakang.

Orang kecil Satu terus saja menghantam tembok.

Orang kecil Dua tak menghentikan langkahnya berjalan ke belakang rumah.

Aku masih menunggu salah satu dari mereka berteriak, “ketemu!” saat melihatku, yang kemudian akan kuhadiahi sepiring martabak daging dan semangkuk es mentimun.



Foto: 
https://www.pexels.com/photo/person-foot-prints-on-sands-photo-723997/