Sunday, April 17, 2011

Tiga Potongan Puzzle Ketika Senja (2)

(2)

Bagiku, senja selalu menyenangkan. Aku suka melihat semburat warna jingga di langit barat, yang menurutku indah sekali. Terlebih jika aku bisa melihat langsung sepersekian bagian matahari yang perlahan tenggelam di balik gedung dan bangunan lain.

Namun selain semburat jingga, ada satu hal lagi yang membuatku menyukai senja. Sekitar pukul empat, aku sudah memberesi meja kerjaku. Hanya komputer yang menyala. Aku selalu berharap tak ada lagi pekerjaan untukku selepas pukul empat itu. Jikalau ada, aku akan dengan cepat menyelesaikannya. Mengetik data dengan cepat, mengantarkan arsip ke bagian lain dengan hampir berlari, mencetak dokumen dengan selalu berdoa semoga printer bisa bekerja lebih cepat, atau menggandakan dokumen dengan doa yang sama.

Sisa waktu kugunakan untuk melihat ke arah luar. Tuhan baik sekali padaku, Ia sangat mengerti kesukaanku. Kepala-seksiku menyuruhku menempati meja paling ujung, langsung bersebelahan dengan jendela. Dan mejaku yang berada di lantai tujuh ini membuatku lebih senang, karena senja bisa tampak lebih indah.

Ah, aku selalu tak sabar menanti pukul lima sore. Terkadang, di sela-sela memandangi suasana senja dan semburat jingga, aku melihat kawan-kawanku. Beberapa masih bekerja lantaran tadi pagi terlalu banyak mengobrol, beberapa sedang mengobrol karena tadi pagi sudah mencicil pekerjaannya.

Mereka yang bekerja tampak sibuk sekali, dan lebih gugup. Tangannya lebih sulit membalik kertas-kertas yang bertumpuk. Aku selalu begitu, mengalami kesulitan membalik kertas ketika gugup, jadi kurasa mereka pun mengalaminya karena gugup. Sedangkan mereka yang mengobrol terkadang tertawa lebar, kaki diangkat di atas kaki satunya, dan tangan bebas bergerak.

Lima menit menjelang pukul lima, aku mematikan komputerku. Beberapa kawan lain sudah beranjak, mengantre di mesin absen untuk menempelkan jempol-jempol mereka. Tapi aku tidak. Aku baru beranjak ketika jam dinding di ruangan sudah menunjukkan pukul lima tepat.

Inilah yang kusukai dari senja. Senja berarti aku selesai bekerja, dan punya banyak waktu untuk kuhabiskan di rumah. Senja berarti aku bisa pulang ke rumah dan bertemu dengan orang yang kusayangi. Senja berarti menjelang malam, dan akan ada makan malam yang selalu indah. Senja berarti, esok aku akan kembali ke kantor ini, duduk di mejaku di samping jendela, dan kembali menanti senja berikutnya.


Jurangmangu, 170411

Salam,
Wahyu Widyaningrum

P.S. Post pertama dari Tiga Potongan Puzzle Ketika Senja (1) dapat dibaca disini.

Tuesday, April 12, 2011

Au Neko

Seorang wanita tua duduk di emperan sebuah toko. Ia mengenakan daster panjang bergambar bunga-bunga. Bunga-bunga di dasternya seharusnya berwarna merah, kuning, dan oranye. Kenyataannya, bunga-bunga itu sudah berubah warna, menjadi serupa abu-abu. Mungkin bunga-bunga itu ada di sebuah taman yang letaknya dekat dengan tempat orang-orang membakar sampah sehingga mereka tertutup abu yang beterbangan dan akhirnya warna asli mereka tak lagi tampak.

Wanita itu seharusnya mengenakan daster dengan jahitan rapi. Kenyatannya,di dasternya banyak sekali lubang-lubang, baik besar maupun kecil. Lebih banyak dari lubang-lubang itu adalah sebentuk garis berjajar yang dibuat dengan benang untuk menyambungkan dua sisi kain yang terbelah. Entah siapa yang menjahit-tangan dasternya.


Tidak ada yang tahu persis berapa usia wanita itu. Beberapa orang menerka-nerka, namun sebagian besar dari mereka setuju bahwa wanita itu berusia antara 55 sampai 60 tahun. Jika ditanya bagaimana orang-orang itu menerka angka sekian, mereka akan menjawab bahwa memang wanita itu berpenampilan seperti seorang berusia 55 sampai 60 tahun. Mungkin maksud mereka adalah kekencangan kulit dan roman muka wanita itu yang menyatakan demikian. Mereka hanya menerka, tidak ada yang bertanya langsung kepada wanita itu sehingga mendapatkan jawaban langsung yang tentu lebih akurat dan melegakan dibanding hanya menerka-nerka tanpa dasar yang jelas.

Wanita itu sedang menggendong seorang anak perempuan. Seperti bagaimana orang-orang tak tahu berapa persisnya usia si wanita, mereka pun tak tahu berapa usia anak perempuan yang digendong si wanita. Namun, dari perawakan anak itu, mereka menebak ia berusia sekitar 3 sampai 4 tahun. Perawakannya kecil, kulitnya putih, dan senyumnya indah.

Tapi kali ini tak ada yang mampu melihat seindah apa senyum anak perempuan itu. Sejak tadi ia tidak tersenyum. Sejak tadi ia hanya meringkuk di gendongan seorang wanita tua. Ia merasa ingin sekali menangis dan mengeluarkan air mata, tapi tak ada setetes pun air matanya yang keluar. Ia tak tahu kenapa. Mungkin sudah surut dan kelenjar air matanya tak lagi berproduksi lantaran sudah terlampau lama ia menangis. Pipinya sudah tak lagi basah oleh air mata, tapi masih tampak bekas-bekas air mata disana.

Seorang pun tak ada yang tahu kenapa sejak tadi anak perempuan itu menangis. Gengsi mereka terlalu tinggi untuk sekedar bertanya mengapa ia menangis. Mereka terlalu acuh untuk mendekat. Aktivitas mereka masing-masing lebih menarik perhatian daripada melangkah mendekati sepasang wanita tua dan anak perempuan kemudian mencoba membantu mereka berdua.

Sejak tadi, wanita itu hanya menepuk-nepuk punggung anak di gendongannya sambil menggoyang-goyangkan badannya. Ia mengatakan sesuatu, tapi juga tak ada yang tahu. Orang-orang hanya menerka apa yang ia katakan. Mereka menerka dari gerak bibirnya, berapa kali ia membuka-tutup mulutnya dan berapa jumlah suku kata yang sepertinya ia ucapkan. Mereka kemudian sepakat, bahwa ia tak mengucapkan “jangan menangis” atau “cup cup cup”.

Suara tangis anak perempuan dalam gendongan wanita tua makin kencang, meskipun tetap saja tak ada air mata yang keluar. Sejak dua hari lalu ia tak makan apapun. Hanya air putih yang diambilkan wanita itu dari kran air di depan sebuah rumah. Perutnya sudah tak tahan lagi. Ia butuh makan, tak lagi butuh air. Perutnya menolak dan protes, menyuruh pikirannya untuk menangis. Jadi menangislah ia sejak tadi. Wanita yang menggendongnya hanya menepuk-nepuknya, sambil mengatakan sesuatu. Orang-orang di sekitarnya tak ada yang mendekat barang sejenak bahkan untuk berbasa-basi. Mereka hanya memandang dari jauh sambil membicarakannya.

Wanita itu tak punya apa-apa, dan tak bisa apa-apa. Yang bisa ia lakukan saat itu adalah terus saja menepuk-nepuk punggung anak perempuan di gendongannya sambil mengatakan sesuatu. Lama kelamaan, tangis anak itu reda. Mungkin lelah menangis, atau mungkin juga lelah meminta tapi tak ada yang menuruti. Atau lelah meminta tapi tak ada yang mengerti.

Suasana sepi, tak ada lagi tangis yang pecah. Orang-orang tetap memandang si wanita yang masih saja menepuk punggung anak itu dan mengatakan sesuatu meskipun ia sudah tak lagi menangis. Mereka mempertajam pendengarannya. Beberapa orang mampu mendengar apa yang dikatakan oleh wanita itu, dan mereka sedikit berdiksusi sambil menerka-nerka. Akhirnya mereka sepakat, wanita itu sejak tadi berkata, “Au neko.”

Ia berkata au neko, aku sayang kamu.


Salam,
Wahyu Widyaningrum

N.B.: Au neko adalah bahasa Timor, artinya kurang lebih aku sayang kamu. Kisah ini terinspirasi oleh tulisan ini.

Monday, April 11, 2011

(3)

Kesediaan berbagi tidak tergantung dari seberapa banyak harta yang kau miliki. Ketika kau kaya, kesediaan berbagi tidak dengan serta merta muncul. Bisa saja kau terlena oleh hartamu, merasa berada dalam zona aman, dan lupa bahwa kau harus berbagi. Ketika kau tidak seberuntung orang kaya bahkan papa, kesediaan berbagi pun tidak langsung hadir dalam dirimu. Bisa saja kau terlalu sibuk dengan kemiskinan dan ketidakpunyaanmu sehingga lupa bahwa kau tetap harus berbagi. Kesediaan berbagi muncul dari pribadi yang ikhlas, yang sadar bahwa apapun yang terjadi, berbagi adalah sebuah keharusan.

Salam,
Wahyu Widyaningrum

Wednesday, April 6, 2011

Lema Ajaib dalam KBBI

Lema n 1 kata atau frasa masukan dalam kamus di luar definisi atau penjelasan lain yang diberikan dalam entri; 2 butir masukan; entri.

Bagi saya, ada beberapa buah lema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang memiliki semacam kekuatan ajaib dan magis buat saya. Kekuatan itu dapat berupa sebuah mimpi, sebuah cita-cita, sebuah fanatisme, atau sebuah harapan.

Mereka adalah penulis, wartawan, sukarelawan, penyiar, dan pencinta alam.

Semuanya tak ada yang berhubungan dengan bidang kuliah saya. Haha….


Penulis
Pe-nu-lis n 1 orang yang menulis; 2 pengarang: ~ naskah; 3 panitera; sekretaris; setia usaha; 4 pelukis; penggambar.

Kenapa penulis?

Karena bagi saya, penulis itu hebat. Otaknya, menurut saya, penuh dengan pemikiran mendalam dan rumit, yang kemudian diungkapkan secara lugas dan sederhana melalui tulisan sehingga orang lain tak perlu jungkir balik memahami apa yang ingin ia sampaikan.

Karena bagi saya, penulis adalah pemotret yang handal. Ia bisa memotret sekecil apapun peristiwa dan membuat orang yang ‘melihat’ hasil potretannya merasa ikut melihat peristiwa tersebut secara langsung. Hasil potretan tersebut ia ungkapkan dalam tulisan. Kadang ia dan pembaca melihat hasil potret yang sama, dan kadang juga berbeda karena imajinasi pembaca tak sama dengan imajinasinya ketika menulis hasil potretnya (tapi kayaknya yang terakhir ini jarang terjadi).


Karena bagi saya, penulis itu dewa. Melalui tulisannya, ia bisa saja mengubah dunia semaunya. Tinggal tulis saja apa yang ia inginkan, menyusupkannya ke dalam pemikiran orang lain dan banyak orang-lain, dan dunia akan berubah. Kalau mau dunia ini jadi baik, ya tulis saja kata-kata motivasi, kisah-kisah para pahlawan dan orang sukses, ilmu pengetahuan, dan cerita-cerita yang sarat nilai dan makna. Kalau mau dunia jadi bejat, tambah mudah. Tulis saja yang porno-porno, sejarah palsu, dan cerita-cerita stensilan.


Ini dia Linda Christanty, penulis favorit saya :*

Wartawan
War-ta-wan n orang yang pekerjaannya mencari dan menyusun berita untuk dimuat di surat kabar, majalah, radio, dan televisi; juru warta; jurnalis.

Kenapa wartawan?

Karena wartawan itu keren. Lihat saja luarnya. Seragamnya keren, bawa kamera mahal, mikrofon, dan buku kecil (kalau sekarang sudah banyak yang tidak pakai buku, ya. Kebanyakan sudah pakai Blackberry dan semacamnya). Dan yang paling keren di antara semuanya: kartu identitas pers.

Karena wartawan itu enak. Saya gandrung bulutangkis. Jadi saya ingin jadi wartawan olahraga, khususnya bulutangkis. Kalau jadi wartawan bulutangkis, ini enaknya: bisa ketemu atlet, wawancara langsung sama atlet, foto bareng, minta tanda tangan (semua dilakukan tanpa perlu berebutan layaknya fans yang harus berjuang setengah mati di tengah ratusan bahkan ribuan fans lain), jalan-jalan ke tempat turnamen diselenggarakan tanpa keluar uang pribadi (malah dibayari kantor), dan tetap dapat gaji! What a life! Jadi, dengan menyandang status wartawan bulutangkis, saya ‘kan bisa bertemu LANGSUNG dengan Lee Yong Dae, Fu Hai Feng, Hendra Setiawan, Lilyana Natsir, Sony Dwi Kuncoro, Vita Marissa, Dionysius Hayom Rumbaka, dan Boonsak Ponsana.


Sukarelawan
Su-ka-re-la-wan n orang yang melakukan sesuatu dengan sukarela (tidak karena diwajibkan atau dipaksakan).

Kenapa sukarelawan?

Untuk kata yang satu ini, saya juga nggak tahu kenapa saya jadi terbius. Tapi saya rasa, karena keikutsertaan saya dalam Pramuka semasa SD sampai SMA. Di benak saya, Pramuka seharusnya mengabdi langsung pada masyarakat (cermati saja tiap butir isi Dasa Dharma Pramuka). Faktanya, saya cuma belajar baris berbaris, sandi-sandi, tali temali, dan membuat rujak (untuk yang terakhir, saya mempelajarinya ketika SMA karena hampir tiap pekan kami makan rujak bareng).

Lantaran adanya jarak antara ‘seharusnya’ dan ‘fakta’ itulah, saya jadi merasa kurang berguna. Saya salut pada orang-orang yang dengan sukarela mengabdi dengan mengajar; memberi penyuluhan; berbagi ilmu, keterampilan, dan keahlian; mengasihi alam; dan apapun. Saya salut dengan mereka yang sudah membiarkan dirinya tenggelam dan kemudian larut dalam sebuah dunia bernama ‘berbagi’. Mungkin hanya sedikit atau bahkan tak ada keuntungan finansial yang didapat, tapi kepuasan batin yang diperoleh dan dirasakan ketika berbagi dan menjadi bermanfaat tentu lebih luar biasa.


Penyiar
Pe-nyi-ar n 1 orang yang menyiarkan; 2 penyeru pada radio; 3 pemancar (radio); 4 penerbit dan penjual (buku dsb).

Kenapa penyiar?

Karena saya suka mendengarkan radio. Kesukaan saya memuncak ketika SMA. Waktu itu, pola belajar saya yang sekitar pukul 23.00 sampai pukul 03.00 membuat saya ‘terpaksa’ mendengarkan radio sebagai hiburan. Selain agar tidak mengantuk, saya kurang suka dengan suara jangkrik, kucing, burung, atau angin yang ‘hawa’nya agak gimana gitu. Radio, adalah teman yang sangat berjasa bagi saya karena mampu membuat saya tampak seperti orang gila yang tertawa sendiri ketika penyiarnya kocak, atau mampu membuat saya mewek tak karuan ketika penyiarnya ‘sok bijak’.

(selingan: penyiar radio favorit saya sampai sekarang adalah Yohanes Albertus, apalagi pas Koko Yo—panggilan akrabnya—masih siaran di 94,8 DJ FM Surabaya).

Karena penyiar itu asik. Tak perlu modal tampang, hanya perlu modal suara(menurut saya loh ini). Saya sering penasaran dengan wajah-wajah penyiar kesukaan saya yang suaranya keren. Begitu melihat gambarnya di internet, atau melihat mereka di televisi—karena banyak juga penyiar yang kemudian sering jadi pembawa acara di televisi—, saya sering kecewa: wajah mereka tidak sesuai dengan ekspektasi saya. Hahaha

Karena penyiar itu enak. Bisa mendengarkan lagu-lagu terbaru dengan cepat, sebelum orang lain mendengarnya. Bisa mendapat album-album terbaru dari label (kalau yang ini hanya khayalan saya, saya kurang tahu bagaimana sesungguhnya) dan sekalian tanda tangan artisnya kalau sang artis sedang promo ke stasiun radio tersebut.

Karena penyiar itu keren. Saya juga nggak tahu dimana kerennya, tapi yang jelas buat saya, profesi ini adalah sesuatu yang sangat keren! Berbanggalah Anda yang seorang penyiar, karena saya setengah-mati ingin sekali menjadi penyiar.


Pencinta alam
Pen-cin-ta n orang yang sangat suka akan –alam

Kenapa pencinta alam?

Karena dari kata-katanya saja keren. Pencinta alam. Yang mencintai alam. Lebih keren lagi adalah aktivitasnya: naik gunung, masuk gua, turun sungai, dan masuk hutan. Apa yang lebih keren dari alam? Lihat sawah saja saya sudah senang (nasib orang (mengaku) kota yang jarang lihat sawah).

Karena pencinta alam itu keren. Saya tak tahu kata apa yang lebih ‘keren’ dari keren. Bisa sampai di puncak gunung, masuk ke lembah terdalam, hutan terlebat, dan sungai terderas.

Karena saya cinta alam! Ketika di Pramuka dulu, saya ingin masuk saka Wana Bhakti. Sayang, di kota saya saka ini mati suri. Saya jadi tak bisa ikut reboisasi dan masuk hutan seperti yang diceritakan kakak-kakak, dan hal ini sungguh menyedihkan.


Kesemua kata tersebut, bagi saya, merupakan kata-kata yang ajaib. Seketika, saya salut setengah-mati pada setiap orang yang berstatus penulis, wartawan, sukarelawan, penyiar, dan pencinta alam. Kalau saya bertemu mereka, senyum saya selalu mengembang lebih lebar dari biasanya lantaran takjub. Kalau saya bertemu mereka, saya akan memandang mereka dari atas sampai bawah lantaran kagum. Kalau saya bertemu mereka, saya akan selalu bergumam bahwa saya ingin menjadi seperti mereka.

Kalau saya bertemu mereka, saya berdoa semoga Tuhan mengabulkan doa saya sehingga saya menjadi seorang penulis, wartawan, sukarelawan, penyiar, dan pencinta alam SEKALIGUS.
Terdengar serakah, tapi tak ada salahnya, kan?


Salam,
Wahyu Widyaningrum

Monday, April 4, 2011

Upaya Menyatroni Bulakan: Sebuah Aksi Sosial

Sabtu pagi. Ada yang berbeda dengan kawasan Bulakan, Pondok Ranji, hari itu. Tak biasanya musala sudah dipenuhi oleh anak-anak. Biasanya, hari Sabtu memang mereka belajar bersama kakak-kakak dari Komunitas Pondok Matahari, tapi baru dimulai pukul 13.00. Sedangkan sepagi itu, dengan penuh semangat mereka berdatangan dengan pakaian mereka yang –bisa dibilang—seadanya. Beberapa anak mengatakan, mereka sudah mandi sejak pukul 05.00 demi acara hari itu, saking semangatnya –saya tak tahu apakah informasi ini benar, tapi anggap saja begitu—.

Tak biasanya pula musala dipasangi hiasan dari kertas crepe berwarna-warni. Di beberapa bagian dinding dipasangi hiasan berbentuk anak bergandengan tangan berwarna biru muda dan merah. Di dinding bagian atas dipasangi hiasan serupa jalinan rantai yang terbuat dari bahan yang sama.

Saya sendiri baru datang sekitar pukul 08.30. Rupanya saya kalah cepat dengan anak-anak itu. Mereka sudah datang terlebih dahulu dari saya.

Hari itu, Sabtu 2 April 2011, warga Bulakan ‘disatroni’ oleh dua komunitas yang bekerja sama menyelenggarakan Hari Sehat Ceria (HSC). Dua komunitas tersebut adalah Komunitas Menara (KM) dan Komunitas Pondok Matahari (KPM).

Pada rangkaian acara pembukaan yang dimulai pukul 08.45, anak-anak diberi kesempatan menyanyikan lagu Indonesia Raya, memeragakan senam mencuci, malafalkan ikrar, dan doa selesai mengaji. Sambil menyimak kawan-kawannya maju di depan, mereka minum susu yang telah diberi sebelumnya oleh panitia.


Laskar KaosHitam ini membaca ikrar

Sekitar pukul 09.30, acara inti yang berupa berbagai perlombaan dimulai. Seluruh lomba dilakukan di kawasan musala. Ada lomba merangkai puzzle, menggambar, hafalan surat pendek Al Quran, dan lomba keterampilan. Seorang anak hanya boleh mengikuti satu macam lomba. Oiya, lomba puzzle ditujukan untuk anak berusia 3-4 tahun. Sedangkan lomba menggambar dibagi menjadi dua kategori, yaitu kategori usia 5-6 tahun dan 7-8 tahun. Untuk lomba hafalan, yang boleh mengikuti adalah yang berusia 9-10 tahun. Sedangkan lomba keterampilan boleh diikuti oleh yang berusia 11-12 tahun.

Lomba menyusun puzzle


Lomba menggambar

Sebenarnya, rentang waktu lomba adalah dari pukul 09.30 sampai 10.30. Tapi mungkin anak-anak Bulakan ini terlalu pandai, sehingga belum satu jam mereka sudah menyelesaikan semua lomba.

Ah, iya. Selain lomba, ada acara inti lainnya yang digelar di luar musala, yaitu bazar dan penyuluhan untuk ibu-ibu. Dalam bazar kali itu dijual berbagai macam pakaian dengan harga Rp 1.000 sampai Rp 10.000. Beberapa orang warga pulang sambil membawa dua kantong penuh berisi pakaian, entah berapa potong dan berapa rupiah. Bazar berjalan lancar, tapi tidak dengan penyuluhan. Penyuluhan terpaksa batal, karena ada kesalahpahaman dari penyuluh sendiri yang merupakan pihak luar.

Suasana bazar

-kembali ke rangkaian lomba-
Seusai lomba, sambil menunggu kakak-kakak dari KPM menilai dan menentukan juara dari tiap lomba, digelar acara dongeng. Pendongengnya adalah Kak Ucon. Tawa tak henti terdengar dari mulut-mulut anak Bulakan. Bahkan saya pun tertawa melihat gaya mendongeng Kak Ucon. Lucu.

Inilah yang namanya Kak Ucon

Seusai acara dongeng yang luar biasa, saatnya pengumuman pemenang dan penyerahan hadiah. Setiap orang yang menang memperoleh hadiah berupa tas sekolah.

Untuk anak yang sudah besar, tas sekolahnya warna hitam. Yang kecil, tas sekolahnya warna kuning




Ada kisah dari pemenang lomba menggambar kategori usia 7-8 tahun ini. Pemenang pertama, di sebelah kanan gambar di atas, bernama Karna. Usianya 11 tahun, tapi diperbolehkan mengikuti lomba gambar. Karna adalah seorang tuna rungu dan tuna wicara. Ketika ditawari ikut lomba menggambar, Karna dengan mantap langsung mengangguk cepat. Dan dengan usahanya, ia berhasil menang di lomba tersebut.

Inilah Karna


Bagaimana dengan yang tidak menang lomba? Tenang, mereka tetap mendapatkan sebuah goody bag. Goody bag ini—seingat saya— berisi wafer, susu, roti, tempat pensil dan alat tulis, buku tulis, dan buku gambar.

Yeaayyy...! Tiap anak mendapat goody bag


Hari itu, Bulakan menjelma menjadi sebuah kawasan yang diliputi keceriaan.



Semoga keceriaan tak pernah luput dari Bulakan. Semoga hadiah-hadiah yang diberikan dapat bermanfaat bagi mereka. Semoga HSC dapat diselenggarakan di tempat-tempat lain. Dan semoga semakin banyak yang berbuat demikian untuk seluruh masyarakat yang kurang mampu.

Mari ikhlas berbagi, karena berbagi tak pernah rugi.


Salam,
Wahyu Widyaningrum

Photo credit to Mbak Lis