Sunday, February 3, 2013

Enam Kipas Hari Ini

Hari sudah terang betul, matahari dengan ceria sudah menampakkan diri secara utuh. Meskipun begitu, udara masih terasa dingin, ditambah lagi semalam hujan turun. Dan dingin tak pernah membuat Supri lebih bersemangat. Padahal beberapa jam lalu orang-orang sudah mulai beraktivitas. Tetangga-tetangganya sudah sibuk menyapu halaman, menanak nasi, memberi makan ayam yang sepertinya tak kunjung besar, dan lain-lain.

Supri masih mengantuk, matanya juga masih agak sembap karena semalam ia menangis sebentar. Tapi ia sudah bisa mengingat dengan jelas pesan bapaknya kemarin sore. Kata bapaknya, "Bangun tidurlah sebelum matahari melakukannya. Rejekimu tak akan maksimal kalau kamu bangun setelah hari terang. Kalau bisa, beberapa menit sebelum merbot masjid bangun mempersiapkan azan subuh, kamu sudah bangun. Nanti Tuhan akan memberi rejeki yang banyak buat kamu. Tidak cuma hari itu, tapi selamanya. Asal kamu rutin melakukannya." Saat bapaknya berwasiat begitu, Supri hanya mengangguk-angguk. Pikirnya, ia hanya akan menyenangkan bapaknya sebelum beliau meninggal. Makanya ia mengangguk-angguk saja, seolah setuju dan mengiyakan.

---

Di luar, matahari bersinar terik sekali. Meski demikian, sejak pagi tadi sampai sekarang, hanya tiga kipas dagangan Supri yang terjual. Supri memandang langit-langit stasiun. Kipas angin yang banyak terpasang hanya berfungsi kurang dari separuhnya. Di sini juga banyak sekali orang. Beberapa mengelap wajah dan lehernya dengan punggung tangan, tisu, atau sapu tangan, beberapa mengipas-ngipas dengan telapak tangan atau koran.
Tidakkah mereka kegerahan dan ingin sedikit mengeringkan keringat di tubuhnya dengan kipas yang kujajakan?

Supri duduk selonjor di satu sudut stasiun. Dihitungnya uang perolehannya hari ini. Cuma laku enam kipas hari ini, lebih sedikit dari hari-hari biasanya. Supri melepas topi, dikipas-kipaskan ke lehernya yang cukup basah oleh keringat. Hari ini sangat panas tapi hanya laku enam? Batin Supri. Padahal ia sudah rajin berputar-putar di hampir semua sudut stasiun, menyambangi setiap orang dan menawarkan kipas tangan dengan bermacam-macam bentuk yang dijualnya.

Tiba-tiba Supri ingat pesan bapaknya kemarin. Jangan-jangan hari ini aku cuma bisa menjual enam kipas karena aku tidak bangun sebelum merbot masjid bangun mempersiapkan azan subuh. Atau jangan-jangan kipasku kurang laku karena aku hanya mempermainkan janji, kan kemarin aku hanya mengiyakan untuk menyenangkan hati bapak.

Dalam hati Supri bertekad, besok ia harus bangun mendahului Pak Salim, merbot masjid dekat kontrakannya.

Di balik tembok yang disandari Supri, dua orang ibu-ibu saling bercakap. "Jakarta selalu sepanas ini, orang-orang sudah kebal. Pakai tangan saja sudah bisa kering keringatnya." Timpal satunya, "iya. Atau pakai koran. Nggak usah beli kipas...."


030213

2 comments:

  1. Si supri seharusnya dipesenin bapaknya juga buat dagang kreatif, klo kipas gak laku cari jualan yg lain...
    Endingnya suka... :3

    ReplyDelete
  2. Iya, Jun. Mungkin bapaknya nggak kepikiran atau malah nggak ngerti dagang kreatif itu apa :D
    Makasih sudah mampir :)

    ReplyDelete