Saturday, February 2, 2013

Rumah Kuburan

Kuburan. Sepi, mencekam, gelap (ketika malam), dan menyeramkan. Auranya tak enak bagiku, dan karena itu aku tak suka kuburan. Tapi sialnya, seratus meter di belakang tembok rumahku ini ada ratusan pasang nisan, belasan pohon kamboja rimbun dengan wangi bunganya yang khas dan kadang terlalu harum, gundukan-gundukan tanah gembur maupun padat, dan kesepian ala kuburan yang entah mengapa menular ke rumahku. Rumahku jadi serasa kuburan.

Tapi menurut Nina, kakakku yang usianya cuma terpaut setahun denganku, rumah kami memang kuburan. Bukan lagi serasa kuburan. Katanya, "aku dan kau saja jarang sekali bertemu. Masih untung kita sering sms-an, jadi masih tau seenggaknya masih hidup apa enggak. Coba lihat ayah dan ibu. Seminggu ini apa kau pernah melihat mereka?" Aku menggeleng. "Nah," lanjutnya, "rumah kita memang kuburan. Yang cuma didatangi sesekali. Tak ada ceritanya peziarah datang setiap hari ke kuburan, kan?"

Aku jadi berpikir ulang. Aku dan Nina memang jarang bertemu. Kami berangkat dini hari dan pulang ketika hari sudah hampir dini lagi. Tapi kami berdua tak pernah terlibat pertengkaran. Kami sering bertukar kabar lewat sms meskipun hanya dengan, "nanti aku pulang malam," yang hampir setiap hari saling kami kirimkan--karena kami selalu pulang, seperti yang sudah kubilang, hampir dini hari.

Tapi anehnya kami tak pernah bertanya satu sama lain tentang di mana ayah atau di mana ibu. Kami hanya merasa pasti mereka ada di suatu tempat, entah dengan siapa. Tidak ingin juga kami mengetahuinya. Toh mereka juga tak pernah membalas sms atau mengangkat telepon dari aku dan Nina. Mereka keuar rumah tak pernah bilang, tiba-tiba saja beberapa minggu kemudian satu dari mereka muncul di rumah. Jadwal mereka di rumah tak pernah tentu dan tak pernah sama. Sehari kemudiam, dengan tanpa memberi kabar, mereka sudah tak ada di rumah.

Tentang rumah yang serasa kuburan itu, aku akhirmya berkata pada ayah ketika ia sedang menyiapkan kopernya untuk pergi entah berapa lama. Kupikir aku tak akan berjumpa dengannya dalam waktu lama, jadi aku memberanikan diri untuk bicara padanya.

"Rumah kita seperti kuburan, Yah." Tidak mungkin kukatakan padanya bahwa rumah kami memang kuburan, seperti kata Nina.

Ayahku masih menekan-nekan pakaian, mungkin agar kopernya bisa muat lebih banyak. "Kenapa?" Tanyanya singkat.

Karena peziarah jarang datang ke kuburan. Karena kuburan selalu dibilang lahannya sudah penuh tapi tetap saja sepi, karena memang isinya orang-orang yang sudah mati.

"Sepi, Yah." Tenggorokanku mendadak kering. Aku tak pernah bisa seperti Nina yang selalu sukses mengungkapkan pendapatnya dengan baik.
"Hmm...."

Ayah menutup ritsleting kopernya. Menaikkan pegangan koper. Menyeret kopernya melewatiku. Tanpa berbicara. Aku benar-benar merasa seperti sampah yang dibuang sembarangan dan tak ada yang mau memperhatikanku apalagi memungutku untuk dibuang ke tempat sampah yang seharusnya.

Esoknya, ketika aku pulang rupanya ada sedikit aktivitas di depan rumah. Aku bertanya pada Nina melalui sms, "ada apa ini?". Kurasa ini adalah satu dari sedikit sms yang tidak mengabarkan bahwa nanti aku pulang malam.
"Bikin pos ronda. Kata ayah biar rame." Balas Nina.

Sekitar dua pekan kemudian, pos ronda yang dibangun dengan menggunakan uang pribadi ayah--Nina bilang begitu, aku sendiri tak tahu ia dapat info dari mana--telah berdiri dengan gagah. Banyak orang sering nongkrong di sana. Beberapa kali aku melihat beberapa remaja tanggung bermain gitar dan bernyanyi-nyanyi ketika aku pulang. Kadang juga pos dikuasai beberapa bapak-bapak yang asyik menyeruput kopi (atau teh? susu?) sambil menonton bapak-bapak lain yang sedang bermain catur. Sesekali pernah juga kulihat orang sedang tidur dengan menyelongsongkan dirinya dalam kain sarung.

Untuk pertama kalinya setelah beberapa waktu, aku mengirim sms pada ayah--setelah berulang kali kuketik dan kuhapus.

"Pos rondanya ramai, Yah, kayak pasar. Tapi rumahnya tetap sepi, kayak kuburan. Selama ini kita memang tinggal di kuburan, kan?"



020213
Izanaizuki

4 comments:

  1. apa jadinya kalau keluarga seperti ini.
    kelam, gamang, mudah retak.
    tidak ada interaksi.
    bahkan kuburan pun masih ada interaksi. :)

    ReplyDelete
  2. Hanya fiksi :) Semoga tidak ada keluarga yang benar2 seperti ini.
    Makasih udah mampir. Salam kenal :)

    ReplyDelete