Monday, May 25, 2015

Setangkup Roti Cokelat yang Tak Dipesan



Kemarin malam, saat aku sudah mematikan lampu dan menata selimutku, sebuah pesan masuk. Darimu. Bagaimana kalau besok kita makan es krim di kedai di Jl. Tangkuban Perahu? Begitu pesanmu. Aku tak terlalu banyak berpikir. Sudah lama aku tak makan es krim, dan kupikir aku juga merindukan sensasi dingin-lembut-manis hadir di mulutku. Kubalas, baiklah, kita pergi besok siang.

**

Aku tak tahu kenapa kamu mengajakku pergi ke kedai ini. Menurutku, kalau aku ingin makan es krim, dan aku bertanya kepada seluruh penduduk kota ini ke kedai mana aku harus pergi, aku yakin mereka pasti menyebutkan kedai di Jl. Merdeka—sebuah kedai yang sudah berdiri bahkan sejak ayahku belum lahir. Dan aku pun berpikiran begitu: kita tidak seharusnya pergi ke sini.

“Ini tempat rahasia yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu,” katamu, yang kausambung dengan sebuah tawa lepas. “Nanti kamu akan selalu ingin ke sini kalau sedang ingin makan es krim.”

Tawa lepasmu itu beberapa menit kemudian berganti menjadi sebuah kemurungan. Menu yang kau inginkan—roti irisan tebal dengan es krim serta campuran potongan pisang dan almon—sedang kosong. “Padahal menu itu yang ingin aku pamerkan padamu,” nadamu terdengar sedih waktu itu, yang entah mengapa membuatku ingin tertawa—namun aku setengah mati menahan tawaku.

Setelah beberapa kali membolak-balik halaman buku menu, akhirnya kau memesan roti dengan taburan keju, dan aku meminta roti cokelat.

Kau diam. Tanganmu sibuk memainkan gawai, kakimu bergerak-gerak kecil.

Tidak biasanya kau begini. Apakah kau sedang gugup?

Tapi aku tak mau memikirkan hal itu. Semalam kau yang mengajakku kesini. Pastilah kau ingin bercerita mengenai sesuatu yang menyenangkan. Mungkin tentang sulamanmu yang sudah selesai, kucingmu yang semakin menggemaskan, sketsa gambarmu yang akhirnya beres, atau proyek terjemahan freelance-mu yang sudah kaukirim pada klien.

“Maaf,” katamu. Singkat saja.

Aku tak tahu harus bereaksi apa. Terlebih, aku tak tahu arti ucapanmu barusan. Meminta maaf bisa memiliki sejuta kemungkinan, bahkan lebih. Atau mungkin juga kurang. Tapi tetap saja ada banyak kemungkinan di balik kata maaf tersebut.

Kau meminta maaf untuk apa? Karena tadi kau berdandan terlampau lama sehingga aku harus menunggu lebih lama? Kupikir itu bukan masalah besar, dan aku memang tak pernah mempermasalahkannya. Atau karena kau tak kunjung menjawab pertanyaanku waktu itu? Kalau benar begitu, aku harus bersiap-siap untuk tetap tersenyum dan terlihat biasa saja, seolah tak ada apapun yang terjadi.

“Maaf.” Dua maaf. Aku benci ini.

Pelayan datang membawa dua piring. Masing-masing berisi roti cokelat.

“Kupikir aku tadi memesan roti keju,” kau menggumam, namun tetap mengambil pisau dan garpu, lantas mulai mengiris roti.

“Begitukah? Akan kubilang kepada pelayan biar rotimu diganti.” Kataku.

“Biarlah. Roti cokelat bukan menu yang buruk. Kurasa aku memang memerlukan sesuatu yang manis.”

“Kenapa?”

“Akhir-akhir ini hidupku hambar sekali. Beberapa hari lalu kucingku mati, kakakku menemukannya di pinggir jalan, katanya mungkin ia tertabrak. Kemarin klien marah-marah padaku karena terjemahanku tidak memenuhi standar mereka. Kemarin lusa adikku menumpahkan susu cokelat di atas bantal kesayanganku dan nodanya tidak bisa hilang.” Kau mengiris-iris rotimu menjadi beberapa bagian, mengiris tiap bagian menjadi potongan yang lebih kecil, dan begitu seterusnya
.
“Kurasa hari ini kamu lebih baik menyantap roti cokelat daripada roti keju.”

Kau hanya mengangguk.

“Lalu, untuk apa kau tadi meminta maaf?”

Kau meletakkan pisau, mulai menusuk roti yang potongannya menjadi sangat kecil tadi dengan garpu, dan memakannya.

Kau diam saja.

Kedai tidak begitu ramai. Hanya ada dua pengunjung di pojok ruangan dan dua lagi di meja tengah. Terdengar lagu Happy milik Pharrel Williams dari pengeras suara kedai. Aku merasa ia tidak seharusnya diperdengarkan sekarang.

Lantas kita sama sekali tidak berbicara sampai piring kita tandas.



asdfghjkl, 250515