Sunday, August 28, 2016

Jakarta dan Kentang


Kentang disebut-sebut berasal dari dataran tinggi Andes di wilayah Amerika Selatan. Setelah kedatangan Colombus di kepulauan India barat sekitar tahun 1492, orang Spanyol membawa kentang ke wilayah Eropa. Di Perancis, tanaman ini dikembangkan karena bunganya dipandang memiliki nilai estetika.

Kentang masuk ke Jepang sekitar 400 tahun lalu. Orang Belandalah yang mengangkut kentang dari Jakarta, Indonesia. Nampaknya karena itulah umbi ini lantas disebut “jagataraimo” (umbi jagatara), yang kemudian berubah menjadi “jagaimo”.

*kentang=jagaimo (Bahasa Jepang)


Diterjemahkan dari じゃがいもの歴史 (Sejarah Kentang), buku 中級を学ぼう, terbitan スリーエネットワーク tahun 2011.

Semoga ada yang dapat mengisahkan bagaimana Jakarta (Bahasa Jepang: Jakaruta) bertransformasi menjadi Jagatara.
280816

Friday, August 19, 2016

Barangkali Ini Sebab Ia Jarang Berkata-kata Akhir-akhir Ini

Bicaranya jarang-jarang. Sudah empat tahun dia tinggal di sini, tapi Bahasa Indonesianya masih terpatah-patah. Padahal setahu saya ia sangat bersemangat belajar Bahasa Indonesia, apalagi di tahun pertama dahulu. Memasuki tahun keempat, ia yang seharusnya sudah mampu berbahasa Indonesia dengan lancar, justru semakin pelit berkata-kata. Hitunglah sendiri berapa kali ia berucap dalam sehari, kalau kau tak percaya.

Pekan lalu ia menghampiri saya, mengangsurkan selembar kertas, sambil berkata, “wawancara televisi.” Dua kata itu tak membuat saya mengerti apa maksud pembicaraannya, jadi saya langsung membaca kertas yang ia berikan.

Ia diminta menjadi narasumber suatu acara televisi yang membahas mengenai bagaimana Islam di berbagai negara.

Lima menit lagi acara dimulai. Sejak satu jam yang lalu televisi di rumah sudah saya nyalakan, meskipun saya tidak melulu duduk di depannya karena hal itu tak membuat acaranya dimulai lebih cepat.

Rupanya ada tiga orang narasumber yang dihadirkan. Masing-masing dari Uzbekistan, Mesir, dan Suriah. Saat diperkenalkan oleh pembawa acara, narasumber dari Uzbekistan dan Mesir memperlihatkan senyum di wajah mereka sambil menghadap kamera, tapi tidak begitu dengannya. Padahal sebelum berangkat tadi ia sudah saya ingatkan untuk mengendurkan wajah. Saat perkenalan itu, wajahnya disorot dari dekat, di sampingnya ditayangkan foto keluarganya—ayah, ibu, adik, dan ia sendiri—, di bawahnya dituliskan nama, asal negara, serta telah berapa lama ia tinggal di Indonesia.

Tak berapa lama setelah itu, ia mendapatkan pertanyaan pertama mengenai apa yang membuat ia menyukai Indonesia, yang hanya dijawab pendek saja. Pembawa acara kembali mengejar, tetapi lagi-lagi hanya jawaban pendek yang keluar. Saya pikir ia menjawab pendek begitu sebab ia harus berbicara dalam Bahasa Indonesia, tetapi saya tampik sendiri pikiran itu. Jawaban semacam, “saya jatuh cinta pada rendang sejak gigitan pertama waktu saya berkunjung ke sini dua belas tahun lalu, ketika itu saya menjadi relawan tsunami Aceh. Seperti jatuh cinta pada seorang gadis, saya terus memikirkan rendang itu sampai akhirnya empat tahun lalu saya mulai tinggal di sini,” seharusnya dapat ia sampaikan dengan lancar seperti ceritanya dahulu, bukan hanya “saya suka” yang ia katakan.

Barangkali sebab jawaban pendeknya di awal acara, ditambah dengan wajah muramnya yang bisa menambah kemuraman pemirsa, pembawa acara dan juru kamera lebih banyak berbincang dengan gadis cantik asal Uzbekistan dan pemuda dari Mesir.

 “Terkait kondisi dalam negeri di Suriah, Anda yang tinggal jauh dari negara Anda tentu khawatir dengan hal tersebut.”

Lima menit lagi acara ini akan berakhir, dan akhirnya ia mendapat perhatian dari pembawa acara.

“Anda berasal dari Aleppo?”

“Iya,” ia mengangguk.

“Aleppo adalah kota tempat terjadinya perang, bukan?”

Juru kamera menyorot wajahnya. Ia menarik nafas dalam-dalam.

“Benar. Baru-baru ini ada rumah sakit yang dibom. Dalam sehari ada 250 nyawa yang hilang. Di Aleppo hanya ada satu orang dokter anak, dan Rusia telah membunuhnya....” Kalimatnya patah-patah. Suaranya tercekat. Matanya berkaca-kaca.

“... maka dari itu saya tak bisa memaafkan Rusia.”

Barangkali ini sebab ia jarang berkata-kata akhir-akhir ini.


190816
Setelah melihat wawancara yang ditayangkan dalam program News Every, stasiun NTV di sini.

Sunday, August 14, 2016

Anggap Saja Epilog (Bagian 2)

Melanjutkan post sebelumnya di sini, ini adalah bagian terakhir dari rangkaian tulisan mengenai perjalanan ke wilayah Kansai, Jepang, setahun lalu. 

3.       Tentang Rusa di Nara
Heijo Palace
Jangan mempercayai jarak yang disampaikan oleh orang Jepang dalam ukuran menit, misalnya jalan kaki 15 menit, karena itu tidak berlaku bagi orang Indonesia—atau setidaknya bagi kami. Menurut keterangan di situs penginapan, Heijo Palace dapat ditempuh dengan berjalan kaki dari penginapan selama 15 menit. Nyatanya, kami memerlukan waktu sekitar 50 menit berjalan kaki di pagi hari menuju Heijo Palace, itu pun belum benar-benar dekat dengan istananya. Kami hanya melihat dari jauh, dan menyerah pada terik matahari yang jelas akan membakar kami di area lapang terbuka di sekitar Heijo Palace.

Nara Park
Tidak sampai satu kilometer dari stasiun Kintetsu Nara, rusa-rusa sudah tampak berjalan-jalan di trotoar, rambu bergambar rusa yang kira-kira memiliki arti “awas rusa lewat” tampak terpasang di sisi jalan raya, beberapa orang mengenakan celemek dan topi putih menjaga lapak mereka yang berjualan senbei—bukan wortel seperti di KRB— untuk pakan rusa, dan beberapa anak terlihat menangis sambil berlari ketakutan menjauhi rusa. Rusa-rusa di Nara Park, selain memiliki penciuman yang sangat tajam— dibuktikan dengan tetap mendekati orang yang telah memberikan senbei namun sebenarnya sudah tidak memegang senbei lagi, juga cukup rakus—beberapa dari mereka terlihat memakan kertas pamflet yang dipegang oleh pengunjung. Peta Nara yang dipegang salah satu teman saya juga menjadi korban dimakan rusa hingga tinggal separuh.  

Koufukuji
Koufukuji benar-benar berada persis di belakang Nara Park. Ada dua pagoda, yaitu lima tingkat dan tiga tingkat. Pagoda lima tingkat bisa dinikmati pengunjung secara gratis, sedangkan untuk dapat menyaksikan pagoda tiga tingkat pengunjung harus membayar tiket masuk karena ia berada di kompleks dalam. Dan kami, lebih memilih untuk berada di luarnya saja.

Yoshikien
Rumah dan taman gaya Jepang di dalam Yoshikien
 Berbekal peta, kami menuju Taman Yoshikien. Taman Yoshikien adalah taman yang berbatasan dengan Taman Isuien. Bedanya, wisatawan mancanegara bisa masuk dengan cuma-cuma di Yoshikien, sedangkan untuk ke Isuien tetap harus membayar. Kami memasuki Yoshikien, dan langsung duduk-duduk menguasai beranda rumah tradisional yang langsung menghadap taman gaya Jepang yang indah—hanya ada satu orang wisatawan selain kami. Selain taman gaya Jepang, terdapat juga taman lumut, rumah teh untuk istirahat, serta taman bunga yang sayangnya tidak sedang berbunga. 
Di gazebo dekat taman bunga, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak dan salat, setelah meminta izin kepada seorang petugas yang sedang memangkas ranting. Sejak kami datang sampai kami pergi meninggalkan gazebo, bapak pemangkas ranting itu tak beranjak dari satu pohon: setelah satu dahan dipangkas, beliau mengamati pokok pohon, memotong beberapa daun, memangkas ranting-ranting kecil, mengamati pokok pohon kembali, memangkas ranting, dan begitu seterusnya. Kami hanya heran, butuh berapa lama sampai semua pohon selesai dipangkas?

Todaiji
Rusa tak hanya ada di Nara Park,
tetapi juga di sekitar Todaiji
Dari Taman Yoshikien, kami melalui jalan yang agak menanjak menuju Todaiji. Karena kami tidak masuk dari gerbang utama, maka pemandangan yang terhampar begitu kami datang adalah sebuah kolam berukuran cukup besar dengan satu buah torii berwarna merah menyala di seberang kolam. Kami pun tidak masuk ke Todaiji, hanya berkeliling di seputaran Todaiji saja, yaitu di Kaidan-in.


4.       Cenderamata Gratis dari Mie
Iga Ryu Ninja Museum
Jika melihat foto-foto yang bertebaran di internet mengenai ninja di kereta dan stasiun, maka hal itu benar adanya. Saya menemukan ninja di rak atas di kereta, serta beberapa ninja, baik di stasiun Igakambe maupun stasiun Uenoshi. Jalur kereta dari Igakambe ke Uenoshi ini hanya dilewati oleh kereta ninja, dengan stasiun-stasiun kecil dan persawahan di sepanjang jalur.
Kami sampai di museum Ninja sekitar pukul 9 lewat sedikit, dan masuk dalam rombongan kedua pengunjung museum. Awalnya, pengunjung diajak memasuki rumah ninja, di mana petugas museum yang berpakaian ala ninja menjelaskan beberapa trik yang ada di rumah ninja, misalnya rak yang berfungsi sebagai tangga, tempat mengawasi yang ada di lantai atas, tempat menyimpan barang berharga di dalam lantai, serta pintu berputar. Selama penjelasan, pengunjung diperbolehkan mengambil gambar, namun dilarang merekam video. Setelah sekitar lima belas menit, barulah pengunjung memasuki museum Ninja. 

Mbak pemandu dari pihak museum ninja
menunjukkan tempat penyimpanan rahasia ala ninja
Museum ini memiliki berbagai macam pajangan yang menarik, misalnya rahasia bagaimana ninja berjalan di atas air (yang ternyata menggunakan sandal khusus) dan replika sandalnya, bentuk-bentuk penyamaran ninja menjadi petani atau rakyat biasa, pakaian ninja, bentuk-bentuk shuriken, bagaimana cara ninja memprediksi cuaca dengan melihat tanda-tanda di langit, dan lain sebagainya. Di ujung rute museum, terdapat sebuah tempat penjualan cenderamata, misalnya shuriken dan kartu pos.
Di dalam museum kami bertemu sepasang bocah laki-laki dan perempuan yang memakai kostum ninja, yang tampak lucu dan menggemaskan sehingga kami ajak berfoto bersama. Di luar museum, kami bertemu serombongan turis asing berambut pirangmungkin siswa SMA atau mahasiswa tingkat awalyang memakai kostum ninja, tetapi tampak sangat aneh dan … entahlah.

Ueno Castle
Dekat saja dari museum Ninja, kami menaiki anak tangga yang jumlahnya cukup banyak, dan Ueno Castle sudah ada di depan mata. Ukurannya tidak begitu besar, namun saya baru ingat kalau ia terlihat dari stasiun Uenoshi—mungkin karena ia dibangun di atas bukit. Kami hanya duduk-duduk di kursi luar istana. Ada satu lapak yang menjual es serut sebagai pelepas dahaga bagi pengunjung. Setelah duduk-duduk cukup lama, kami kemudian memutari istana. Dari balik istana, kami bisa melihat wilayah sekitar dari ketinggian. Kemudian selepas itu kami kembali ke stasiun.

Ise Grand Shrine – Geku
Sebenarnya ada dua Ise Grand Shrine, yaitu Geku (luar) dan Naiku (dalam). Geku terletak cukup dekat dari stasiun Iseshi, sedangkan Naiku cukup jauh, tetapi tersedia bus kota yang menuju ke sana. Dari stasiun menuju Geku, kami melewati sebuah kawasan pertokoan dengan jalan yang cukup lebar. Geku tidak terlalu luas, kami mengelilinginya dalam waktu sekitar 20 menit, selebihnya kami beristirahat di tempat istirahat yang dibangun menghadap kolam bergaya Jepang. Terdapat museum di samping tempat istirahat tersebut, namun untuk memasukinya pengunjung harus membeli tiket yang saya lupa berapa harganya.
Di ujung jalan tepat di depan Geku, terdapat pusat informasi wisata—yang juga ada di stasiun Iseshi, padahal jarak keduanya tidak begitu jauh. Kami masuk untuk bertanya barangkali ada tempat yang bisa digunakan untuk salat. Kami tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan, tetapi kami diberi bros bertuliskan Mie dengan gambar mutiara, kerajinan khas daerah Toba, Mie.

5.       Akhirnya Tidak Terlewat di Osaka: Tsutenkaku dan Glico Man
Johnny’s Shop
Kalau saya sudah jauh-jauh ke Osaka tapi tidak mampir ke tempat ini, maka saya termasuk golongan orang yang merugi. Terletak di lantai 1 dan 2 gedung Shiroguchi, Johnny’s Shop tidak seperti yang saya bayangkan. Di bayangan saya, selain menjual foto-foto artis yang tergabung dalam manajemen Johnny & Associates, toko ini juga menyediakan cenderamata konser, album, dan CD. Ternyata saya tidak menemukan album dan CD sama sekali. Mengenai cenderamata konser, sepertinya hanya cenderamata dari konser yang sedang berlangsung saja yang tersedia. Karena konser NEWS sudah berakhir pada 6 Agustus, sementara saya baru ke toko ini pada 11 Agustus, maka saya tidak menemukan satupun cenderamata konser NEWS. Akhirnya saya hanya menghabiskan waktu dengan memelototi satu-satu foto NEWS yang dipajang, beberapa foto Hey! Say! JUMP, dan membeli beberapa—entah untuk apa.
Ketika saya datang, keadaan toko cukup sepi. Kabarnya, kalau sedang ramai, pengunjung bahkan bisa memperoleh nomor antrean untuk nanti masuk pada waktu yang telah ditentukan. Selain satu-dua orang bapak-bapak yang menunggu di luar area pajangan foto, yang tampak di area pajangan foto hanya perempuan yang membawa kertas pesanan foto hingga berlembar-lembar, dan telah memilih lebih dari 20 foto untuk dibeli. Dan seperti biasa, tidak boleh mengambil gambar, baik di dalam maupun di luar. Bahkan ketika saya berfoto di luar, saya diperingatkan oleh petugas keamanan untuk tidak mengambil gambar.

Nakanoshima Park
Nakanoshima Park tampaknya bukan tempat yang terlalu terkenal di kalangan masyarakat sekitar. Setelah keluar dari stasiun dan berjalan melewati beberapa blok namun tidak kunjung menemukan taman ini, saya melihat peta area sekitar yang sayangnya ditulis dalam huruf kanji, dan memutuskan untuk bertanya pada seorang kakek yang sedang lewat. Ia bilang tidak tahu taman yang saya maksud. Kemudian lewat dua orang anak seusia SMP, yang ditanyai oleh si kakek. Dua anak perempuan ini juga menggeleng, kemudian mereka melihat peta, dan akhirnya menunjuk suatu titik—yang kemudian saya sadari bertuliskan Nakanoshima Kouen, sambil bertanya kepada saya, “apakah ini yang Anda maksud?”.  Setelah saya sadar bahwa titik itu bertuliskan Nakanoshima Kouen, saya mengangguk dan berterima kasih pada mereka.
Nakanoshima Park adalah sebuah taman berukuran luas yang cukup indah, apalagi jika dikunjungi pada sore hari . Di dalam kompleks taman terdapat satu blok berisi bunga mawar berbagai varietas dengan penataan taman yang simetris, air mancur di pojok, serta tepat bersebelahan dengan sungai. Kami datang saat matahari sedang bersinar sangat terik, dan keindahan taman jadi berkurang karena tidak ada pohon besar di taman, terutama taman bunga mawar, kecuali di bagian tepi.

Sumiyoshi Taisha
Jembatan yang menjadi ciri khas Sumiyoshi Taisha
Untuk menuju Sumiyoshi Taisha, informasi yang saya dapatkan adalah saya cukup turun di stasiun Sumino Kouen dan disambung berjalan kaki sampai lokasi. Di stasiun Sumino Kouen, saya menanyakan arah menuju kuil kepada petugas stasiun. Ia berkata bahwa saya harus naik bus lagi dari terminal, dan untuk menuju terminal kami bisa berjalan kaki. Ia memberikan selembar peta wilayah yang dilengkapi nomor bus beserta rute dan halte pemberhentian, dan mewanti-wanti saya nomor bus yang bisa saya naiki menuju kuil. Berbekal peta tersebut, kami menuju ke terminal—dan harus tersesat juga. Sesampai di terminal, ada satu unit bus yang hampir berangkat—pintunya sudah tertutup. Saya melihat nomor bus dan menyadari bahwa itu adalah bus yang harus kami naiki. Kami berlari-lari, lalu berhenti di belakang bus. Sopir tampaknya melihat kami, lalu membukakan pintu. Penumpang tak begitu penuh, kami semua masih dapat tempat duduk. Di dalam bus inilah saya bertemu dengan Kakek Berbahasa Inggris.
Setelah turun dari bus, kami menyeberang jalan, dan melewati sebuah taman cantik penuh bunga warna-warni bermekaran: putih, merah, kuning, ungu. Banyak anak-anak kecil bermain di area bermain. Kami berfoto sejenak di taman, lalu bergegas menuju kuil mengingat waktu sudah hampir pukul lima sore. Kami menaiki jembatan besar yang tersusun dari kayu yang menjadi daya tarik Sumiyoshi Taisha, kemudian berjalan menyusuri sungai kecil lalu masuk ke dalam kuil. Tak ada karcis yang harus ditebus untuk memasuki Sumiyoshi Taisha. Baru semenit di dalam, benar saja, petugas kuil sudah mengingatkan pengunjung karena kuil akan tutup pukul lima. Kami mempercepat langkah melewatkan jajaran bangunan-bangunan kecil berwarna merah di dalam kuil, kemudian keluar kuil. Di pintu keluar, kami menemui serombongan wisatawan asing yang tak bisa lagi masuk sebab waktunya sudah habis. Mereka akhirnya hanya berfoto-foto di sekitar jembatan.

HEP
Sebenarnya HEP sudah kami kunjungi sebelum kami mampir ke Johnny’s Shop, tetapi karena kami merasa saat itu masih terlalu siang, jadi kami menukar urutan lokasi kunjungan. Tak ada tujuan lain di HEP selain menaiki bianglala raksasanya berwarna merah terang. Setelah naik lift sampai ke lantai teratas, kami membeli tiket seharga 500 yen di mesin penjual. Setelah itu, sebelum naik bianglala, kami dipersilakan berfoto bersama di sebuah area foto dengan latar tulisan HEP. Tiap kereta berisi empat orang; karena kami berlima, kami terpisah dalam dua kereta berisi dua dan tiga orang. Durasi naik bianglala ini adalah sekitar lima belas menit. Dari puncak ketinggian, tampak gedung-gedung di sekitar area HEP.
Begitu waktu habis dan kami turun dari bianglala, di depan pintu keluar terdapat sebuah stan yang menawarkan hasil cetak foto kami sebelum naik bianglala tadi. Foto tersebut dijual bersama dengan pigura kertas, mirip cenderamata foto ala resepsi pernikahan. Per lembar foto dan pigura dijual seharga 1.200 yen.


Tsutenkaku Tower
Bicara mengenai Osaka, tentu tak bisa lepas dari Tsutenkaku. Menara yang juga dapat menunjukkan prakiraan cuaca esok hari melalui warna lampunya ini jelas tak akan kami lewatkan dalam daftar kunjungan.
Kami sampai di Tsutenkaku sekitar pukul tujuh malam lewat, setelah melintasi deretan kios-kios yang menjajakan dan memajang banyak hal. Karena sudah cukup malam dan kami memang tidak berniat naik ke atas menara, jadi kami hanya berfoto beberapa ratus meter di depan Tsutenkaku saja, lantas kembali ke penginapan. Kami bahkan tak sempat mampir ke Shinsekai, kawasan pertokoan yang terkenal di dekat Tsutenkaku. 

Minoo Park
Air terjun Minoo, dari menara pandang

Alasan saya memasukkan Minoo Park dalam daftar kunjungan adalah karena ingin melihat wisata alam, bukan melulu bangunan buatan manusia. Kami berangkat cukup pagi dari penginapan, dan sampai di stasiun Minoo, stasiun terdekat dengan Minoo Park, sekitar pukul 8.30. Keluar dari stasiun, kami langsung berjalan mengikuti arus orang-orang. Tak jauh dari stasiun, segera dapat dilihat sebuah papan berisi informasi Minoo Park dalam Bahasa Jepang, Inggris, Mandarin, dan Korea yang menyebutkan bahwa taman ini sudah ada sejak 1.300 tahun lalu.
Pemandangan pun sudah mulai berubah: banyak pohon dan aliran sungai, dengan suara gemericik air. Makin masuk ke dalam, suasana menjadi semakin sunyi, karena tak banyak kendaraan bermotor yang lewat. Kebanyakan orang berjalan kaki. Tak jarang saya melihat orang berusia lanjut berjalan dengan menggendong tas ransel kecil berisi botol minum di saku bagian samping, mengenakan topi, pakaian olahraga, serta sepatu kets. Nampaknya banyak yang memanfaatkan jalur tersebut untuk berolahraga. Hal itu tidak mengherankan, sebab dari papan informasi sampai air terjun berjarak sekitar 7 km, dengan papan kecil terpasang di sepanjang perjalanan yang menginformasikan jarak tersisa menuju lokasi air terjun. Teman saya bahkan tak melanjutkan perjalanan dan memutuskan untuk menunggu di dekat stasiun sebab jarak tersebut.
Di ujung jalan, terhampar air terjun setinggi sekitar 20 meter dengan airnya yang jernih. Sekitar sepuluh meter di depannya, dibangun tempat yang lebih tinggi dengan beberapa tempat duduk panjang yang terbuat dari kayu. Beberapa orang meregangkan otot, beberapa duduk di kursi. Ada juga semacam menara pandang yang sebenarnya hanya berupa sebuah bangunan dua lantai.
Setelah beberapa lama duduk di kursi di depan air terjun dan mengambil beberapa gambar melalui menara pandang, saya kembali dengan mengambil jalan yang berbeda dari jalan berangkat—tiga kawan saya baru sampai di air terjun setelah saya pulang. Saya mengikuti seorang kakek yang melewati jalan setapak di bukit yang memang tersedia dengan pagar rendah dari kayu. Jalan ini lebih menantang daripada jalan utama, karena medannya naik turun. Di tengah jalan, saya menyerah karena mulai lelah dan memutuskan kembali ke jalan utama; sementara kakek di depan saya tadi masih setia dengan jalan naik turun itu.

Osaka Castle
Setelah melewati Taman Morinomiya dan salat di bawah pepohonan di sana, kami menuju ke Osaka Castle. Tampaknya objek wisata ini tak pernah sepi; sepanjang jalan dari taman sampai ke gerbang istana, arus pengunjung tak juga menyurut.
Di depan istana, pengunjung cukup padat. Lokasi terbaik untuk berfoto juga tak pernah sepi. Antrean masuk ke dalam istana pun begitu, sudah mengular. Kami tak punya cukup waktu untuk masuk, jadi kami hanya berkeliling di depan istana. Seorang kawan saya bercerita, ia bertemu dengan tiga pemuda asal Jawa Barat yang bekerja di Jepang setelah lulus SMA; mereka datang ke Osaka Castle untuk berlibur, dan tak henti mengagumi kami yang bisa mengunjungi Jepang dengan stastus mahasiswa. Saya cuma bisa tertawa.

Kyocera Dome
Kyocera Dome adalah objek wisata yang menuruti ego pribadi saya. Saya pun berangkat sendiri ke tempat ini, empat kawan saya lainnya pergi ke Daiso terdekat dari Osaka Castle untuk berbelanja.
Keluar dari stasiun Dome-mae Chiyozaki, saya bertemu dengan banyak sekali orang yang mengarah ke Kyocera Dome. Setelah bangunan tersebut terlihat, keheranan saya terjawab: sedang ada pertandingan baseball di sana. Pantas saja banyak juga yang memakai pernak-pernik terkait baseball. Saya berjalan mengitari Kyocera Dome; melihat antrean pengunjung di depan pintu masuk, jejeran stan yang menjual pernak-pernih berupa kaos, corong pengeras suara, dan lain-lain. Sampai saya beranjak meninggalkan lokasi ini, aliran orang yang muncul dari pintu keluar stasiun ke arah Kyocera Dome masih belum berhenti.

Dotonbori
THE Glico Man!!!
Ada satu tempat yang menjadi penanda khas Osaka: papan reklame raksasa bergambar Glico Man. Letaknya di kawasan pertokoan Dotonbori yang sangat ramai, sehingga sayang untuk dilewatkan. Ketika sampai di sana, sulit rasanya untuk mengambil gambar dengan leluasa karena jembatan dan sepanjang jalan penuh dengan orang. Keramaiannya tak jauh berbeda dengan hari terakhir pasar malam dengan diskon gila-gilaan. Apalagi, keramaian itu rupanya tak hanya berlangsung di jembatan dekat Glico Man, tetapi juga berlanjut di sepanjang jalan kawasan pertokoan. Saat itu rasanya persediaan oksigen di udara hanya tipis sekali sehingga sulit bernapas. Memang tak mengherankan, sebab kawasan ini menjadi lokasi favorit wisatawan untuk berfoto, makan, dan berbelanja.


Menyelesaikan tulisan ini membuat saya sedikit tersadar bahwa berkunjung ke tempat baru selalu memberikan dua perasaan pada saat bersamaan: cemas dan gembira. Keduanya menjadi energi tambahan yang cukup ampuh untuk menambah semangat. Ajaibnya, perasaan itu seakan masih berbekas dengan baik meskipun kunjungan tersebut sudah terlewat sekian lama. Sebab perasaan yang masih berbekas itulah, saya tidak tahu bagaimana harus memberikan akhir pada apa yang saya sebut epilog ini.

040816