Tuesday, April 1, 2014

Bulan Tiga Tahun Ini

i
Pada suatu malam di Bulan Tiga, ada kejutan kecil yang menyambut saya pulang. Sebuah bungkusan yang besar dan berat. Saya sudah mempunyai dugaan siapa pengirimnya, dan dugaan saya terbukti benar melalui tulisan di kertas ucapan dalam amplop hijau: dari @birokreasi.

Saya menerima hadiah ini, yang kelewat indah: 1Q84 jilid 1 sampai 3 karya Haruki Murakami, Rantau 1 Muara karya Ahmad Fuadi, Pada Suatu Hari Nanti karya Sapardi Djoko Damono, sebuah bonus Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma, dan satu buku yang saya nantikan, Kuda Besi.

Malam itu saya lupa bahwa sejam sebelumnya saya tidak bisa menyelesaikan ujian akhir tingkat Lanjutan Awal II Bahasa Jepang dengan baik. Saya hanya ingat bahwa setelah saya hitung, saya overbudget lima ribu rupiah dari anggaran yang telah ditetapkan oleh @birokreasi.

Sungguh maafkan saya dan terima kasih banyak.


ii
Bulan Tiga. Seseorang mendoakan beberapa hal yang baik untuk saya beberapa hari sebelum hari-H. Beberapa orang tepat pada hari-H. Tiga orang, justru orang-orang yang sangat saya sayangi, mendoakan beberapa hari setelah hari-H—pada hari itu saya lumayan bersedih karena hal ini, namun kemudian saya tidak ambil pusing karena saya yakin cinta dan doa mereka tidak pernah terbatasi oleh hari dan tanggal.

Saya selalu memiliki keyakinan bahwa doa akan kembali kepada pendoa, dan semoga demikian.

Terima kasih. Terima kasih. Terima kasih.


iii
Bulan Tiga, entah tanggal berapa, dengan meniru-niru format biodata orang lain, saya membuat biodata saya sendiri. Saya sedikit membesar-besarkan diri saya. Saya bilang bahwa saya pernah menjadi volunteer pemandu tur untuk mahasiswa Jepang yang sedang berada di Jakarta. Faktanya, teman saya yang lebih banyak bercakap dengan orang Jepang itu. Saya cuma berbicara sedikit saja; lebih banyak mengangguk-angguk sok paham padahal tidak.

Saya bikin biodata karena ingin bisa bergabung menjadi volunteer Liaison Officer di ASEAN Literary Festival.

Karena biodata yang saya besar-besarkan itulah, saya bisa bergabung menjadi volunteer. Tapi bukan sebagai liaison officer, yang saya rasa juga karena panitia tahu saya membesar-besarkan diri. Saya mendapat kesempatan bekerja di main stage, langsung di bawah arahan Event Director.

Tiga hari berada di main stage membuka mata saya.

Bahwa saya suka sekali gaya Khairani Barokka yang lincah namun menghipnosis saat membawakan puisi. Saya terbius oleh alunan musik yang dibawakan oleh Sarampa. Saya salah saat selama ini mengira Afrizal Malna—dari namanya—adalah seorang muda dan ganteng. Saya tidak menyangka bahwa Fajar Merah, anak dari Wiji Thukul, berwajah sangat mirip dengan bapaknya. Saya merasa silau karena Remy Silado tampil di panggung dengan kemeja, sabuk, celana, sepatu, dan gitar yang semuanya berwarna putih. Saya penasaran dengan Saras Dewi yang tampak begitu muda sampai saya mencari tahu profilnya di internet. Saya terpesona oleh lampion-lampion yang dilepas di udara oleh para pengunjung pada Minggu malam.

Dan saya tak akan pernah lupa pantun yang disampaikan oleh Hamba Allah di sela-sela lagu mereka: buat apa naik kereta, kalau tidak sampai ke Mekah. Buat apa jatuh cinta, kalau tidak sampai menikah.



iv
Bulan Tiga, kata banyak orang, adalah musim pancaroba. Saya lihat di kamus, pancaroba berarti peralihan musim. Karena bulan empat, menurut kalender musim dan menurut apa yang diajarkan oleh guru-guru di sekolah, seharusnya sudah memasuki musim kemarau. Jadi bulan ini saya mendengar banyak nasihat untuk makan dan istirahat teratur. Biar tidak sakit, katanya. Sudah saya lakukan nasihat tersebut, saya tambah dengan olah raga yang sayangnya cuma jarang-jarang. Tapi ternyata saya kalah juga. Kuman-kuman mungkin terlampau kuat, usahanya jauh melebihi usaha saya sendiri.

Mari saya beri gambaran seberapa keras usaha kuman-kuman itu. Mereka tidak hanya puas dan berhenti di hidung saya. Setelah beberapa hari berdiam di sana, mereka bergerilya sampai ke telinga saya. Mereka enak saja, tidak perlu susah-susah membuat gorong-gorong dari hidung ke telinga saya. Mereka cukup lewat saluran penghubung. Sebentar, saya cari di google dulu apa nama saluran itu. Saya agak lupa. Nah, sudah ketemu. Saluran eustachius. Mereka bisa lewat situ untuk sampai ke telinga saya. Usaha mereka yang luar biasa sepertinya berhasil, selama beberapa hari telinga kanan saya tidak bisa mendengar. Tepuk tangan dulu lah buat mereka.

Asal mereka tahu, bahwa tepuk tangan yang saya berikan kadang-kadang memiliki maksud terselubung: kali lain, saya tidak akan pernah membiarkan kalian menang. Ada tekad yang kuat dan  sedikit nada balas dendam di sana. Saya orang yang cukup teguh pada janji saya sendiri, jadi saya rasa kuman-kuman itu harus berhati-hati pada tepuk tangan saya tadi.


v
Bulan Tiga. Tanggal Tiga Puluh Satu. Langkah kaki mulai terdengar ramai. Pintu kamar-pintu kamar yang selama tiga hari terakhir selalu terkunci mulai dibuka.

Besok akan semakin banyak makanan di meja tengah. Besok antrean kamar mandi akan padat seperti biasanya. Besok rumah ini akan kembali riuh. Besok akan banyak cerita, entah benar entah rekaan, yang mungkin sudah dipersiapkan sejak entah berapa hari lalu.

Selamat datang, Bulan Empat.



Terima kasih, ini lagu yang tepat: Already Gone – Kelly Clarkson.
31 Maret 2014

Melepas Puisi

Ratusan orang sedang tenang mendengarkan obrolan segar dua orang pembawa acara—sesegar wajah si pembawa acara wanita—ketika belasan orang berkaos merah tiba-tiba masuk dari pinggir lapangan. Mereka masuk dari segala penjuru lalu berpencar, mendatangi sekelompok penonton sambil membawa sesuatu. Setelah sejenak berkata-kata, sambil beberapa kali mereka saling mendekatkan mulut dan telinga—kurasa karena pembawa acara di atas panggung terus berbicara dan pengeras suara berfungsi dengan baik—orang-orang berkaos merah kemudian membagikan beberapa potong kertas berwarna kuning dan mengulurkan beberapa batang spidol. Salah satu dari sekelompok orang yang didatangi mengambil satu spidol dan membagikan kertas yang diterimanya kepada teman-teman sekelompoknya. Dengan segera, si pemegang spidol menulis di atas kertas kuning.

Semua orang berkaos merah melakukan hal yang sama, dalam hitungan waktu yang sama. Bergerak serempak yang mengingatkanku pada liliput-liliput yang muncul di film Willy Wonka si pemilik pabrik cokelat, namun bedanya orang-orang berkaos merah ini wajahnya tidak mirip satu sama lain, tidak menari, dan tidak mengenakan topi runcing seperti liliput Willy Wonka. Pendeknya, aku semakin yakin orang-orang berkaos merah ini adalah manusia biasa. Bukan liliput.

Dua pembawa acara di panggung—yang wanitanya berwajah segar—masih saling ngobrol tanpa sedikitpun terganggu oleh kehadiran orang-orang berkaos merah. Si lelaki bercerita bahwa ia ingin sekali belajar bahasa Perancis dan berguru pada si wanita yang memang lulusan Sastra Perancis. Si wanita menimpali dengan berkata bahwa ia bisa saja berbuat demikian dengan imbalan, yaitu si lelaki yang seorang anggota paduan suara harus mengajarinya bernyanyi. Mereka berdua sepakat, kemudian saling bersalaman, tertawa, dan melanjutkan obrolannya tentang hal lain.

Dua orang laki-laki yang juga mengenakan kaos merah tiba-tiba naik ke panggung. Ada sebentuk benda di tangan mereka. Aku tidak memerhatikan apakah mereka dipanggil untuk naik atau atas inisiatif sendiri naik panggung untuk mengkudeta pembawa acara. Tapi tidak ada ekspresi terkejut sama sekali dari dua pembawa acara tadi, jadi kupikir mereka pasti sudah bekerja sama sebelumnya.

Dan kurasa aku melewatkan sesuatu. Aku terlalu memusatkan perhatian pada panggung, yang sekarang diisi empat orang. Ketika aku menoleh pada ratusan orang yang beberapa di antara mereka masih sibuk menulis-nulis di atas kertas kuning dengan spidol, orang-orang berkaos merah sudah membawa sesuatu yang lain di tangan mereka. Sebentuk benda, sama persis dengan yang dibawa dua orang laki-laki yang barusan naik ke panggung.

Tidak butuh banyak waktu, orang-orang di depan panggung memegang sebentuk benda tadi. Pandangan mereka mengarah ke panggung, menirukan apa yang diperagakan oleh dua laki-laki berkaos merah. Mula-mula mereka meletakkan kertas-kertas kuning di permukaan benda tersebut. Kertas-kertas itu kemudian ditekan-tekan. Hei, mereka menempel!. Samar kulihat, ada tulisan—atau coretan—di kertas kuning itu. Setelah itu, mereka memegang sebentuk benda tadi. Bahannya tipis, kurasa mirip kertas. Diangin-anginkan, ke kiri dan ke kanan. Ia menjadi bervolume dan berbentuk mirip balon.

Lantas beberapa orang, masih menirukan dua laki-laki berkaos merah di panggung, mulai mengeluarkan korek api dan membakar sesuatu di bagian bawah benda berbentuk mirip balon tersebut. Ujung balon kertas diarahkan ke atas. Orang-orang mulai tersenyum, lalu tertawa. Masing-masing memegang kerangka bagian bawah di balon kertas. Sambil tetap tertawa, mereka mengobrol dengan keras atau mengambil kamera dan memotret.

Balon kertas-balon kertas mulai penuh oleh asap. Satu balon kertas dilepaskan dan perlahan-lahan membumbung. Tinggi, terbang ke atas. Bercahaya merah indah di langit hitam pekat. Diiringi tepuk tangan riuh rendah banyak orang.

“Terbanglah puisi-puisiku,” aku bisa mendengar dengan jelas kata-kata dua pembawa acara di panggung. “Terbanglah lampionku,” sambung si pembawa acara wanita berwajah segar—maaf, aku mengulang-ulang frase ini. Wajah pembawa acara itu begitu segar, aku senang sekali melihatnya. Ini pujianku untuknya—.

Satu per satu balon kertas—apa tadi namanya? Lampion?—melayang di udara. Langit dipenuhi titik-titik merah beragam ukuran—tentu karena lampion-lampion itu tidak terbang bersamaan. Orang-orang semakin banyak yang bertepuk tangan dan tertawa, dan titik-titik merah di langit semakin banyak.

“Cantik sekali,” seorang anak perempuan kecil berbaju dan berbando merah muda berteriak sambil menunjuk titik-titik merah tadi.

Kemana lampion dan puisi itu pergi ya?

Aku mendekat ke arah kerumunan orang. Kuambil kertas yang terjatuh, spidol yang tergeletak, lampion yang belum digunakan, dan korek yang terlupakan. Aku mengikuti apa yang tadi mereka lakukan: menulis di kertas kuning dengan spidol, menempelkennya di permukaan lampion, menyalakan sesuatu di bagian bawah lampion, menunggu sampai lampion terisi penuh oleh asap, dan melepaskannya. Aku menerbangkan lampionku.

Kulihat lampionku perlahan mengangkasa, bergabung dengan lampion lain. Menciptakan titik-titik yang semakin cantik.

Malam yang merah, indah, meriah.

Mataku lekat menatap lampionku. Kemana lampion dan puisiku pergi?

Ah, tapi aku tidak bisa berpuisi. Tadi aku hanya menulis ini: あいしてる。 分かる?


















Yeah! Latar lagunya cocok sekali: 内容の無い手紙
27 Maret 2014