Friday, July 6, 2012

Apa yang Kita Bicarakan Ketika Kita Bicara tentang Berlari

Doumo :)
Kali ini saya menampilkan salah satu cerpen lama saya (saya membuatnya tahun 2012 2010). Cerpennya sendiri cukup panjang. So, be ready guys :)


Apa yang Kita Bicarakan Ketika Kita Bicara tentang Berlari

KITA suka sekali berlari. Ketika hari telah menjadi sekarat, ketika burung-burung memutuskan terbang pulang, ketika matahari menjadi terlalu berat, ketika sebentar dia pancarkan semburat-semburat, dan pada akhirnya tenggelam di ujung barat. Namun, tentu tidaklah kita mengejar matahari. Dulu kau pernah berkata kepadaku, kita hanya berlari ke arah barat. Kebetulan saja matahari juga tenggelam di barat. Tapi mungkin kita berdua suka berlari adalah juga sebuah kebetulan.

Biasanya kita berlari-lari kecil sampai di belokan ujung jalan itu, lalu mulai menambah kecepatan sampai di pohon beringin di depan rumah sakit, lalu dari sana kita selalu mencapai kecepatan tak terkira, dan selanjutnya kita akan berlomba siapa yang tercepat untuk sampai lebih dulu di halte bus di dekat kantor gubernur.
           
Ketika aku pertama kali bertemu denganmu, kau sedang sibuk mengatur nafas dan mengelap butiran-butiran jagung yang menggelinding di wajahmu. Ketika itu aku belum tahu kau memang rutin beristirahat di tempat yang akhirnya menjadi garis akhir kita sekarang. Aku sendiri datang membawa lima puluh nafas putus-putus. Berantakan. Berserakan asal-asalan.

Kala itu aku belum terbiasa berlari. 

Dari situ akhirnya aku tahu namamu dan mengetahui satu fakta bahwa kau masih tetanggaku, yang tinggal di belakang rumahku—pergaulanku tak begitu baik di lingkungan rumah.

Dan sejak itu, setiap sore kita selalu berlari bersama-sama. Dari garis awal, menuju garis akhir, yang selalu sama. 

Namun seingatku—kumohon koreksilah aku jikalau aku salah dan kau sempat membaca tulisan ini—sejak pertama kali aku mengenalmu, tak pernah kita berlari ke timur. Tak mau kau kuarahkan kesana. Sampai hari ini, daerah timur dari perjalananku adalah kenanganku bersama orang lain, bukan denganmu.

***

SATU jam yang lalu kau datang ke rumahku, mengajakku untuk berlari seperti biasanya. Tapi aku sedang tak enak badan. Sejak kemarin malam suhu tubuhku mendadak tinggi. Dan belum juga reda. Entah tadi kau menyadari atau tidak, tapi wajahku merah sekali. Dan hari ini aku terpaksa menolak rutinitas kita. Kita tak bisa berlari bersama. Aku sedih tidak bisa menemanimu berlari. Entah kau pun sedih atau tidak.

Setelah berlari, kita selalu mampir ke kafe pinggir jalan yang letaknya tak begitu jauh dari kantor gubernur. Di sana kita akan memesan menu yang sama, yang tak pernah berubah sejak pertama kali kesana. Kau pesan jus wortel, sedangkan aku pesan jus tomat. Hanya itu. Rasanya kita tak pernah tergoda untuk mencoba steak daging yang kabarnya lezat itu.

Dulu, ketika pertama kali kesana, aku malu setengah mati. Waktu itu aku hanya mengenakan kaos oblong, celana pendek, dan sepatu. Handuk melingkar di leherku. Wajah, leher, tangan, dan kakiku berkilat-kilat oleh keringat yang belum kering. Bajuku berwarna lebih gelap dari semula karena sudah basah oleh keringat. Sementara kursi-kursi di kafe itu penuh dengan orang-orang berpakaian rapi, setidaknya tak ada yang melingkarkan handuk di leher. Tapi kau memaksaku, sambil berkata bahwa kau saja tak malu meski celanamu lebih pendek dari punyaku dan sepatumu lebih kotor dari sepatuku lantaran noda lumpur menempel di hampir seluruh bagian sepatu dan belum sempat kau bersihkan.

Mendadak aku jadi ingin minum jus tomat sambil melihatmu minum jus wortel, di kafe pinggir jalan dekat kantor gubernur itu.

Kau tentu tak tahu jika aku selalu melihat tiap tingkahmu dan menyu….

Tok tok tok tok….

Oke. Ada seorang pengacau lamunanku saat ini. Pengacau itu tengah mengetuk pintu keras-keras, dan di sela-sela ketukan pintunya ia memencet bel berulang kali. Mungkin jika aku tengah tidur, aku tak akan bisa bangun lagi karena detak jantungku akan berhenti dengan tiba-tiba gara-gara raungan ketukan pintu dan bel yang sangat mendadak dan meneror itu.

Aku berjalan lambat sekali karena tubuhku benar-benar lemah. Aku ingin berteriak, “Hoi, berisik!” pada pengacau di depan rumahku, tapi suaraku tak bisa keluar dengan lantang. Aku tadi sudah mencobanya dan mungkin hanya telingaku yang mendengarnya. Cicak di dinding pun mungkin tak mendengar teriakanku tadi.

Pintu sudah kubuka. Pencetan bel terakhir masih berbunyi keras.
         
Di depanku, seorang pengacau berdiri. Tubuhnya berkeringat. Pakaiannya basah. Nafasnya terengah-engah. Sesekali ia mengelap wajahnya dengan handuk yang tergantung di lehernya. Ia tersenyum. Di tangan kirinya, ia menenteng sekantong sesuatu.
          
“Ini untukmu. Segelas jus tomat dari kafe pinggir jalan dekat kantor gubernur.”
           
Aku terhenyak.

Kaulah pengacau itu. Kaulah yang sejak tadi mengetuk pintu dan memencet bel dengan tidak sabar. Kaulah yang membuyarkan lamunanku.
            
Tapi kau membawakanku jus tomat. Jadi kau bukan pengacau.
          
“Masuk,” kataku. “Kalau kau selalu mengetuk pintu dan memencet bel seperti tadi di rumah semua orang, lama-lama tak ada yang mau menerimamu sebagai tamu.”
           
“Kenapa?” tanyamu setelah masuk dan duduk di kursi tamu yang menghadap ke barat.
           
“Karena esoknya jika mereka ke dokter, maka dokter akan menemukan bahwa tuan rumah-tuan rumahmu itu jantungan gara-gara ulahmu.”
            
Kau tertawa, keras dan tak kunjung berhenti, sampai sudut-sudut matamu mengeluarkan air mata. Kau bahkan sampai memegangi perut dan menepuk-nepuk paha.
            
Padahal menurutku perkataanku tak begitu lucu.
            
Perlahan-lahan tawamu habis.
           
“O iya. Besok kita lari ke timur, yuk.” Ajakmu.
            
Wow. Aku sungguh terkejut. Aku tak pernah menduga suatu hari kau akan mengubah haluan kita dan beralih menuju arah timur.
            
“Bosan juga ke barat terus.”
            
“Kau bohong,” kataku, “bosan tak cukup kuat untuk menjadi alasan bagimu untuk mengubah kebiasaan berlarimu yang selalu ke barat itu. Apa alasanmu sebenarnya?”
           
“Aku ingin melihat bagaimana dunia timur.”
            
“Cukup oke,” jawabku datar, “banyak pohon, kendaraan tak bermesin motor, orang-orang yang lebih ramah, udara sejuk…..”
            
“Bagaimana kau tahu? Kapan kau pernah ke timur? Kita kan selalu berlari ke barat? Bukankah selama ini kita selalu berlari bersama dengan garis akhir di halte bus dekat kantor gubernur itu?”
            
“Haha. Terkadang aku jalan-jalan ke timur juga, dengan kawan-kawanku.”
            
“Begitu?….”
           
“Ya,” sahutku, “tapi tunggu… aku punya satu pertanyaan untukmu. Sungguh aku ingin menanyakan hal ini sejak lama, namun aku tak berani mengungkapkannya.”
            
“Apa itu?”
           
“Mengapa tiap sore kau selalu mengajakku untuk berlari ke barat?”
            
Aku siap mendengarmu bercerita. Sepertinya sebuah kisah yang panjang. Kau memulainya dengan mengambil napas beberapa kali dan sebelum memulai cerita kau mengambil satu napas yang panjang dan dalam.
            
“Aku mencintai barat. Karena semua berpusat di barat….”
           
Lantas kau mulai berkisah. Sejak kecil kau selalu merasa bahwa semua hal pusatnya ada di barat. Itu sebabnya barat lebih maju dari timur. Kau ingin menjadi bagian dari kemajuan itu. Kemajuan zaman, kemajuan teknologi, kemajuan ilmu pengetahuan, kemajuan pembangunan, kemajuan cara berpikir, dan segudang kemajuan lain. Semuanya lantas membuatmu tergila-gila pada barat. Ketergilaanmu membuat kau tak mengerti timur sama sekali.
            
Suatu hari, katamu, ketika kau masih duduk di kelas lima sekolah dasar, kau sedang membuka-buka buku atlas dunia. Kau membuka lembarannya secara acak. Ketika itu kau menemukan bahwa ibukota sebuah negara selalu ada di barat. Jakarta ada di barat. Kuala Lumpur ada di barat. Paris ada di barat. Amsterdam ada di barat. New Delhi juga ada di barat. Dan sampailah kau pada sebuah kesimpulan yang kau bikin ketika itu: barat selalu lebih maju dari timur karena ibukota selalu ada di barat. Kau menyimpulkannya, memegangnya, dan mempercayainya.
            
Bahkan kemudian ketika di tahun-tahun berikutnya, ketika katamu, kau menemukan bahwa Tokyo, Washington DC, Canberra, Beijing, London, Roma, dan Berlin semuanya ada di timur, kau tetap mempercayai keyakinan-kelas-lima-SD-mu itu.
            
Bahwa barat selalu lebih maju dari timur karena ibukota selalu ada di barat.
            
Apalagi, kau bilang, barat identik dengan Eropa dan Amerika.
            
“Haha. Itu karena letak kedua benua itu memang di sebelah barat Indonesia. Kau aneh.” Aku menyela ceritamu.
            
“Ssst. Dengarkan dulu.”
            
Aku terdiam, menahan tawaku, dan kembali berkonsentrasi pada kisahmu tentang barat dan timur ini.
            
Kau berkata bahwa kau sangat menikmati barat dengan segala nuansanya: gedung bertingkat, mobil-mobil mewah supermahal yang melaju dengan anggun di atas jalanan aspal yang mulus, mal-mal yang tidak pernah sepi dikunjungi ribuan orang, dan bangunan-bangunan lain. Di barat kau juga melihat orang-orang berjas dan berdasi yang tampak gagah dan gigih memperjuangkan idealisme mereka, ribuan orang berkemeja yang menyesaki jalanan di pagi dan sore hari, dan banyak golongan manusia lainnya.
            
Katamu kau seperti telah melihat Kuala Lumpur, Paris, Amsterdam, dan New Delhi sekaligus.
            
Aku sekarang jadi paham mengapa kau selalu tersenyum-senyum sendiri ketika kita sampai di garis akhir kita, di halte bus dekat kantor gubernur itu. Kau tersenyum ketika jalanan ramai oleh mobil dan pekerja kantoran, kau tersenyum ketika melihat kantor gubernur, dan kau tersenyum ketika melihat beberapa orang keluar dari kantor gubernur dengan pakaian rapi dan dagu terangkat—kau tak pernah tahu siapa mereka sesungguhnya ketika suatu kali kau kutanyai.
            
“Lalu apa yang kau harapkan dari rencanamu pergi ke timur besok?” tanyaku.
            
Kau menerawang—tak jelas juga sebenarnya apakah kau sedang berpikir menerawang atau melihat dua ekor cicak yang sedang berkejaran di plafon. Aku jadi berpikir, mungkin ketika kita sedang berlari bersama di sore hari, orang lain bisa jadi melihat kita seperti dua ekor cicak ini. Entahlah.
            
“Emmm….”
            
Akhirnya kau memalingkan pandangan dari entah-apa-yang-kau-pandang-tadi. Lantas kau bilang bahwa kau ingin tahu bagaimana timur.
            
“Di timur nanti kita akan melihat hutan, jalanan berbatu, dan bukit-bukit kecil dengan air terjun yang suara gemericiknya menenteramkan hati. Tapi sepertinya di Tokyo, Washington DC, Canberra, Beijing, London, Roma, dan Berlin, kau tak akan menemui itu semua. Sudah kubilang, kesimpulan yang selama ini kau yakini itu tak benar. Barat tak selalu lebih maju dari timur.”
            
“Diamlah. Aku sedang tak ingin berdebat saat ini. Pokoknya besok temani aku, kita akan berlari ke timur.” Kau beranjak.
            
Mendadak aku merasa sedih karena kau akan pergi. Kucari-cari alasan untuk menahanmu sejenak lebih lama, dan jus tomat menyelamatkanku.
            
“Tunggu sebentar. Aku harus menghabiskan jus tomat ini.”
            
“Kenapa begitu? Nanti saja bisa, kan? Aku harus segera pulang.”
            
Kita, tiap sore, selalu menghabiskan jus tomat dan jus wortel bersama-sama. Selalu di kafe pinggir jalan tak jauh dari kantor gubernur itu, tak pernah di tempat lain.
            
Selalu hanya kita berdua. Aku minum jus tomat, kau pesan jus wortel.
            
“Baiklah. Segera habiskan.”
            
Sungguh aku senang mendengar kesediaanmu menemaniku minum jus tomatku kali ini. Ini berarti aku belum kehilangan satu pun kesempatan minum bersamamu tiap sore, selama tiga bulan sejak perkenalan kita.
           
“Terima kasih.”
            
“Sama-sama. Aku pergi. Sampai jumpa besok. Jangan lupa, besok kita ke timur.”

***
            
KALI ini kita akan memulai sejarah. Untuk pertama kalinya kita akan berlari ke timur. Dan kau, untuk pertama kalinya seumur hidupmu, akan menuju timur. Sesaat lagi kau akan tahu bagaimana timur.
            
“Aku tak sabar.”
            
Ah, sungguh aku ingin sekali tertawa. Jika kau tak berada di depanku saat ini, mungkin tawaku sudah lepas dari tadi, dan suara tawaku akan terdengar sampai radius lima puluh meter. Ekpresimu seperti murid taman kanak-kanak yang sedang menanti bus pariwisata yang akan membawa mereka berdarmawisata ke kebun binatang, pantai, taman, atau museum.
            
Kita terus berlari ke arah timur, entah akan berhenti garis akhir yang mana. Kita belum punya kesepakatan soal itu. Atau mungkin jika nanti di timur ada halte bus dekat kantor gubernur, kita akan bergenti di situ. Lalu mampir minum jus tomat dan jus wortel di kafe pinggir jalan. Tapi setahuku, ketika dulu aku ke timur, tak ada halte bus, kantor gubernur, dan kafe pinggir jalan.
            
“Kita sudah di bagian timur.” Ucapku di tengah-tengah nafasku yang tinggal satu-satu. Sudah tiga bulan rutin lari, nafasku tak juga panjang. Selalu pendek-pendek. Barangkali bawaan lahir atau masalah genetika dari mbah buyutku.
            
Kau berhenti berlari. Badanmu berputar-putar pelan, mengamati sekitar.
            
Hahaha. Raka, tak ada gedung bertingkat disini. Tak ada jalanan mulus, mobil mewah, mal, halte bus kantor gubernur, dan kafe pinggir jalan yang menjual jus tomat dan jus wortel.
            
Kau melihat ke bawah. “Jalannya jelek sekali.”
            
Aku tersenyum. Maklum saja, namanya juga jalan batu. Belum diaspal. Kalau tergenang air jelas becek, menyusahkan tiap orang yang lewat entah ia jalan kaki atau naik kendaraan—lebih tepatnya sepeda kayuh.
            
Kau mengajakku menuju pohon besar di pinggir jalan dan duduk di bawahnya. Sambil menyeka keringat, kau bilang bahwa ini sungguh di luar dugaanmu.
            
“Timur ternyata sungguh menyedihkan. Bagaimana orang-orang timur hidup dengan kondisi seperti ini?”
            
“Raka, Tuhan menciptakan masalah bersama dengan solusinya. Lagipula makhluk hidup diberi kemampuan beradaptasi. Masa kau tak ingat pelajaran SD macam ini?”
            
Kau tersenyum pahit.
            
“Tidak mungkin….” Kau menggumam.
            
“Apanya?” Ah, gumamanmu terlalu keras bagiku. Aku masih bisa mendengar suaramu, meski hanya samar-samar.
           
“Iya, tidak mungkin Tokyo, Washington DC, Canberra, Beijing, London, Roma, dan Berlin seperti ini. Mereka pasti sudah maju sekali.”
            
“Apa kubilang? Barat tidak selalu lebih maju dari timur.” Aku bangga sekali mengucapkan ini. Rasanya aku berhasil mematahkan teori yang sudah kau pegang selama belasan tahun dan sudah terpatri dengan baik di dalam hati.
           
“Lantas apa yang selama ini kulihat? Yang kulihat selalu barat lebih maju. Gedung ada dimana-mana, mobil mewah, dan lain-lain. Sementara timur? Hanya jalanan berbatu yang becek ketika hujan dan hutan rimbun yang entah makhluk buas macam apa sedang menunggu mangsa di dalam sana.”
            
“Selama ini kau hanya memegang ekor gajah, tapi kau mengatakan kau telah memahami gajah secara keseluruhan.”
            
Kau memandangku.
            
“Entahlah. Mungkin hanya di negara ini saja yang baratnya lebih maju dari timur. Mungkin orang-orang di barat merasa lebih eksklusif, mungkin orang-orang di barat tak tahu timur juga sama sepertimu, dan banyak kemungkinan lain. Atau  mungkin saja orang-orang di barat yang berjas dan berdasi, yang tampak gagah dan pintar itu tak suka jika timur menjadi semaju barat. Di sini, aku mengakui bahwa semua berpusat di barat. Tetapi tetap saja, timur lebih indah dari barat.”
            
Kau mengangguk-angguk setuju.
            
Ah, ternyata lari kita sore ini hanya sampai di sini. Sepertinya halte bus dekat kantor gubernur lebih jauh daripada pohon ini.
            
“O iya, Raka. Bisakah kita terus seperti ini?” tanyaku.
            
“Maksudmu lari tiap sore? Sepertinya bisa saja. Aku suka lari sore hari, jadi tak masalah bagiku.”
            
“Bukan. Kita seperti ini, selalu bersama.”
            
Kau mengernyitkan alis.
            
“Aku menyukaimu.”
           
Hening.
            
“APA?” tiba-tiba kau berdiri. Nada bicaramu menjadi tinggi sekali. “Andre, kau sudah gila? Aku masih normal!!”
            
Tanpa pamit kepadaku, kau berlari meninggalkanku. Kau berlari ke arah barat, entah kembali ke rumah, ke halte bus dekat kantor gubernur, atau ke kafe pinggir jalan.
            
Aku kecewa. Kukira kegilaanmu kepada barat—yang lebih berpikiran bebas—membuatmu bisa menanggapi hal-hal seperti yang kurasakan dengan lebih bijaksana. Kukira kau, jika memang masih normal, hanya akan tertawa dan menganggap perasaan ini biasa saja meski tak menerimanya.
            
Matahari terus beranjak turun. Beberapa menit lagi ia akan menghilang di barat. Aku berlari sambil menyeka air mata, mengejar matahari terus ke arah barat, yang tenggelam di ujung dunia.
            
Tiba-tiba aku jadi membenci barat.

  ***

Note:
Cerpen yang panjang, kan? :)
Well, saya sendiri pas semalam baca ulang cerpen ini, jadi senyum-senyum sendiri. Temanya agak aneh unik, dan mungkin jalan ceritanya juga agak aneh unik. Haha.
Bagaimanapun, cerpen ini pernah dimuat di Majalah Civitas Volume 8 Tahun V, April 2011. Hehe.
Kritik dan saran silakan dilemparkan diungkapkan di kolom komentar.
Doumo :)
           

Salam,
Wahyu Widyaningrum






Monday, July 2, 2012

(5) - Tentang Seorang Ayah


Seorang ayah, apapun profesi dan posisinya di tempat kerjanya, bagaimanapun ia diperlakukan di tempat kerjanya, ketika di rumah ia tetaplah sosok seorang ayah yang menyayangi dan disayangi anak dan istrinya. Yang menjadi kepala keluarga dengan segala kebijaksanaannya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Yang selalu memiliki cara khusus dan mengagumkan ala dia sendiri--yang bahkan seringkali tak dimengerti oleh orang lain--untuk menunjukkan dan mengungkapkan cintanya.

Salam,
Wahyu Widyaningrum

P.S: Otousan, zutto aitai yo. Itsumo genki de shiawase ni naru ne~ :)