Thursday, December 27, 2012

Thank God

27 Desember. Besok terakhir ngantor di tahun 2012.

Dan postingan bulan Desember udah 10 baru 1.

Padahal dulu, ya kira-kira sebulan lalu lah, pernah bertekad menggalakkan aksi #onedayonepost. Ternyata belum terlaksana. Mari kita jadikan sebagai resolusi 2013! *kencangkan ikat kepala*

Enggak, kali ini saya nggak mau nyinyirin resolusi 2012 saya yang entah terlaksana berapa, juga nggak mau berkoar-koar tentang resolusi 2013 versi saya. Cukup satu poin, di paragraf atas tadi. Hehe

Beberapa waktu lalu, saya akhirnya khatam juga baca salah satu buku karangan Alwi Shihab berjudul Membedah Islam di Barat: Menepis Tudingan Meluruskan Kesalahpahaman terbitan Gramedia Pustaka Utama tahun 2004.  Buku itu saya beli sekitar bulan Mei, dan butuh 6 bulan lebih untuk menghabiskannya. Emang sayanya yang males sih :D

Membedah Islam di Barat banyak berkisah tentang interaksi Alwi Shihab dengan mahasiswa yang diajarnya di beberapa universitas di Amerika Serikat. Interaksi ini terjadi di dalam kelas saat perkuliahan maupun di luar kelas, via email dan mailing list.

Banyak komentar-komentar yang membuat saya melongo waktu baca buku itu—melihat Islam dari sudut pandang lain. Dibesarkan di lingkungan pemeluk Islam membuat saya nggak begitu ngerti gimana pandangan pemeluk agama lain terhadap agama yang saya anut. Jadilah komentar-komentar dari mahasiswa Alwi, yang mayoritas Kristen, bikin saya lumayan ngerti cara pandang mereka. Salah satu komentar unik datang dari mahasiswa Alwi bernama Rich Pownal di halaman 169 tentang muslim yang membaca Al Quran dalam bahasa Arab: "I personally think it's important to understand what you are reading. What you read is supposed to clarify what you believe. Therefore, I feel it's useless for Muslims to read and say in prayers from the Quran that they don't understand. Almost every piece of literature in any religion is open for translation by those reading it. For me personally, I don't read Bible as a word for word. I read the Bible and try to understand the message."

Selain bikin melongo, ada juga komentar yang bikin saya merenung. Pas di halaman 138, topik bahasannya adalah bahwa hampir seluruh mahasiswa Alwi menganggap penting kehidupan agama dalam kehidupan manusia.

Lalu ada satu kalimat berbunyi begini:

“God should not only be called upon to help in times of need. He should be thanked when things are wonderful.”  

Itu merupakan komentar dari salah satu mahasiswi Alwi, Diana. Memang bukan kalimat yang istimewa ataupun baru pertama kali didengar. Kalimat dengan inti yang sama tentu sudah sering berseliweran di telinga kita.

Pun demikian buat saya.

Tapi waktu itu, waktu saya baca halaman 138 dan sampai pada kalimat itu, tiba-tiba saya jadi mikir. Terus bergumam, “selama ini kayaknya saya cuma ‘ngeributin’ Tuhan pas lagi butuh aja, jarang banget berterima kasihnya.” Kalo lagi butuh, 24 jam nonstop berdoa terus ke Tuhan, bahkan dengan nada dan kalimat agak maksa. Tapi begitu dapet rejeki, lebih asik sama yang di depan mata daripada yang dari dulu diributin 24 jam.

Kalau cari pengibaratan, mungkin simpelnya begini:
Saya punya tetangga. Tetangga itu sumpah-demi-apa-baik-banget ke saya. Saya nggak punya beras, ketok pintu si tetangga buat minta beras atau makan. Nggak punya duit, ketok lagi pintu si tetangga buat minta duit. Dan begitu juga kalo pas genteng lagi bocor, rumah lagi kebanjiran, tukang kredit udah ngancem berkali-kali, solusinya gampang: ketok rumah si tetangga buat minta apa yang saya butuhkan. Toh dia baik banget dan saya merasa oke-oke aja buat minta. Tapi begitu suatu hari saya dapet kabar kalo dapet hadiah undian lotre sebesar 3 milyar rupiah, uang itu saya abisin sendiri. Saya hura-hura pagi-siang-sore-malem sampe bingung gimana lagi cara menghabiskan uang itu. Tapi kesenangan itu cuma buat saya pribadi. Saya nggak tengok si tetangga saya tadi. Nggak ngasih uang, nggak nyapa, bahkan bilang terima kasih aja enggak.

Kelupaan? Atau mungkin terlalu keblinger sampe cuma inget diri sendiri dan nggak inget sama orang yang udah selalu berbuat baik?

Mungkin saja begitu.

Itu bagi saya sih.

Kalimat itu, buat saya pribadi, menohok banget. Saking menohoknya, sampai-sampai halamannya saya kasih penanda. Sampai-sampai saya merasa harus menyebarkan kalimat itu ke seluruh dunia. Haha

Ingatan manusia memang terbatas, jadi mustahil seseorang bisa mengingat dengan baik semua peristiwa yang udah berlalu. Karena keterbatasan itulah, sebuah catatan diperlukan. Kata Ali bin Abi Thalib, “ikatlah suatu ilmu dengan menuliskannya.” Jadi, saya tuliskan catatan ini khususon buat saya pribadi, yang sering lupa untuk bersyukur dan berterima kasih. Biar saya inget dan lupanya berkurang :D

Tiba-tiba inget satu twit @avinaninasia: Allah itu Maha Baik, dan Selalu Baik.


Salam,
Wahyu Widyaningrum
*edited on Friday, Dec 28th 2012*

0 comments:

Post a Comment