Friday, May 20, 2011

Ketika Bulan Berbentuk Bulat Penuh

Lihatlah ke atas, mendongaklah. Disana, bulan sedang berbentuk bulat penuh.

Dan aku mengingat kalian. Kemudian aku mengingat kita, dan kisah-kisah kita.

Kita adalah orang-orang terpilih. Aku sangat meyakini itu. Jikalau tidak, mana mungkin kita bertahan? Di tengah gempuran cemoohan dan pandangan tak enak dari orang-orang di luar kita.

Bersama kalian aku senang, apapun keadaannya. Aku masih ingat ketika suatu kali, kita pernah sama-sama tak mandi beberapa hari. Kamar mandi yang terbatas, waktu yang sempit, dan jumlah orang yang luar biasa banyak membuat kita terpaksa melakukannya. Aku bahkan ingat, waktu karnaval di hari terakhir itu, kita pun tak mengguyurkan air ke tubuh kita. Dan waktu perjalanan pulang dengan mengendarai truk bak terbuka, kita sama-sama kelelahan. Mungkin lelah karena aktivitas yang padat. Atau mungkin lelah mencium betapa wanginya manusia yang tak mandi.
(Baiklah, paragraf di atas sungguh sebuah kisah yang memalukan. Namun tetap menggelitik tiap kali diingat )

Bersama kalian aku senang, apapun keadaannya. Aku ingat dengan jelas ketika suatu kali, kita pernah sama-sama mencapai sebuah air terjun dengan medan yang aduhai. Waktu itu, jumlah kita ganjil. Lantas seekor kucing mengikuti kita sebagai penggenap, sejak kita berangkat hingga kembali lagi ke lokasi kita bermalam. Dan ternyata medan yang aduhai itu ‘hanya’ berakhir di sebuah air terjun dengan aliran air berbentuk sejajar yang kecil dan tidak terlalu deras. Kala itu aku sedikit kecewa. Namun kecewaku menjadi lenyap ketika melihat kalian saling ribut karena beberapa lintah yang menempel di kaki, ketika melihat senyum kalian saat berfoto, dan ketika melihat ekspresi kalian saat menciduk dan meminum air secara langsung.

Bersama kalian aku senang, apapun keadaannya. Aku ingat ketika pada malam hari kita berjalan melangkah setapak demi setapak demi mencapai sebuah lokasi untuk beristirahat, beberapa kilometer di atas sana. Ketika itu aku sungguh lelah, namun bantuan dan semangat kalian sungguh membuatku tak menyerah. Meskipun pada akhirnya aku tak berhasil mencapai puncak dan hanya main kartu selama beberapa jam, namun aku tetap senang. Semalaman aku khawatir ketika kalian tak juga kembali. Dan aku tertawa ketika mendengar cerita kalian bahwa kalian ‘tersesat’ malam itu sehingga tak kembali tepat waktu.

Dan yang membuatku mengingat kalian, kita, dan kisah kita adalah bulan di atas sana, yang berbentuk bulat penuh. Kita sering sekali bermalam ketika bulan sedang berbentuk bulat penuh. Pada malam itu, kita akan berada di luar tenda sambil menyanyi-nyanyi. Atau hanya duduk di depan tenda sambil bermain kartu. Atau cuma berada di dalam tenda sambil berbagi cerita.

Dimanapun kalian, lihatlah ke atas dan mendongaklah. Disana, bulan sedang berbentuk bulat penuh.

Aku merindukan kalian.


Kamis, 19 Mei 2011

Pojok kamar, ditemani If You’re Not The One – Danield Beddingfield



Salam,
Wahyu Widyaningrum



P.S. Tulisan ini untuk seluruh skuad Pramuka SMPN 1 Gresik dan SMAN 1 Gresik. Untuk Rulissa Qurrata A’yun, Siti Mushonifah, Gusti Eman Ayu Sasmita Jati, Dwi Setyorini, Irfan Syaifudin, Tedi Aji Siswoyo, Deny Novydyanto, Virdia Devi Maharani, Achmad Romansyah, Dewi Kartika, Ari Koesworo, Klepon (sori Pon, ane lupa nama asli ente), dan Afrizon Teguh Prasetyo. Sebenarnya aku tidak sungguh merindukan kalian, hanya saja aku merindukan berada di sebuah tenda di bawah bulan bersama kalian :D.

Wednesday, May 11, 2011

Al Zaytun, Kemegahan yang Pernah Saya Cita-Citakan

Sembilan tahun lalu, apa yang ada di depan mata saya adalah sebuah kemegahan. Kemegahan itu lantas menghipnosis saya untuk mati-matian belajar demi sebuah cita-cita: bersekolah di Al Zaytun.

Saya tak pernah menyangka bahwa saat ini (sebenarnya kasus ini sudah sejak dahulu bergulir), nama Pondok Pesantren Al Zaytun, atau yang juga biasa disebut Ma'had Al Zaytun, sangat lekat dengan Negara Islam Indonesia (NII) Komandemen Wilayah 9 (KW 9). Saya tak pernah menyangka bahwa Panji Gumilang, yang dulu namanya tak pernah saya dengar karena saya hanya tahu nama pesantrennya, saat ini tengah menjadi pusat perhatian karena kemampuannya memeroleh dan mengelola uang sekian triliun demi pesantren dan NII-nya.

Saya mengenal Al Zaytun sejak kelas 5 SD. Saat itu, murid ibu-saya adalah seorang santri di Al Zaytun. Ibu saya kemudian memeroleh cerita tentang pesantren tersebut dari ibu muridnya. Cerita itu lantas diturunkan kepada saya, bahwa Al Zaytun adalah pesantren yang sangat bagus: menjamin setiap santrinya hafal Al Quran begitu lulus dari sana, mengembalikan seluruh ‘uang pangkal’ yang telah dibayar di awal pendidikan ketika sudah lulus, dan bla bla bla lain.

Yang menjadi sedikit masalah adalah, untuk bisa menjadi santri Al Zaytun, ada beberapa tes. Salah satu tesnya adalah hafalan Juz Amma atau juz 30 dalam Al Quran.

Terdorong oleh keinginan untuk menjadi bagian dari ribuan santri Al Zaytun, saya akhirnya mulai hafalan surat-surat dalam juz 30. Ketika itu, kota saya juga sepertinya sedang demam Al Zaytun. Banyak anak yang juga ingin bersekolah di Al Zaytun, dan fakta ini membuat saya semakin tertekan. Dibantu ibu saya, saya jadi semakin rajin menghafal ayat-ayat Allah juz 30. Kadang patah arang karena tidak kunjung hafal, tapi ibu tetap memberi semangat.

Nah, beberapa ratus meter dari rumah saya, tapi masih dalam satu komplek, ada sebuah rumah yang menjadi semacam pusat penggemblengan hafalan juz 30 khusus untuk anak yang ingin masuk Al Zaytun. Semacam asrama begitu. Di sana kegiatannya hanya menghafal dan menghafal. Sempat terpikir untuk mengikuti penggemblengan tersebut, namun akhirnya urung. Saya takut tak kuat dan takut juga membayangkan betapa membosankannya hidup tanpa televisi (di ‘asrama’ tak boleh nonton teve).

Selain dari cerita ibu, ada juga cerita-cerita dari majalah yang mampir ke rumah. Al Zaytun memiliki majalah sendiri, seingat saya nama majalahnya juga Al Zaytun. Salah satu kaver belakang majalah yang saya ingat adalah gambar burung Rangkong. Kabarnya, Al Zaytun memiliki penangkaran burung Rangkong yang terancam punah.

Suatu kali, ayah saya mengajak saya berkunjung ke rumah salah seorang kawannya. Kawan ayah ini memiliki putra yang usianya setahun lebih tua dari saya, dan ia adalah santri Al Zaytun. Saat itu, ia sedang liburan dan berada di rumah. Saya bertemu dengannya. Kawan ayah bercerita banyak tentang betapa enaknya bersekolah di Al Zaytun, sambil sesekali bertanya kepada putranya tersebut.

Sepulang dari tempat kawan ayah, keinginan saya untuk masuk Al Zaytun makin besar. Sayangnya, saya tak juga berhasil menghafalkan juz 30. Hafalan saya masih patah-patah. Kadang lupa, terbolak-balik, atau macet. Padahal, kabarnya, tes hafalan untuk masuk Al Zaytun ini dilakukan secara acak. Tak ada yang tahu surat apa yang akan diujikan, kemungkinannya 1 dari 37 karena ada 37 surat dalam juz 30. Kalau misalnya dapat surat Asy Syams sih masih mending. Kalau dapat Al Fajr, An Nazi’ah, atau surat agak panjang lainnya? Tentu saya puyeng, karena hafalan dengan ibu saja masih kacau, apalagi hafalan di depan penguji.

Sekitar bulan Desember ketika saya kelas 6 SD, kalau saya tak salah ingat, ada rombongan santri dan wali santri yang akan kembali ke Al Zaytun selepas liburan. Wali santri hanya bertugas mengantar, jadi jumlahnya tak begitu banyak. Yang lebih banyak adalah santrinya (ya iyalah). Seingat saya tidak hanya satu bus yang memberangkatkan para santri ini.

Saya tidak tahu dari siapa ide ini muncul—entah ayah entah ibu—, tiba-tiba ayah mengajak saya ikut rombongan ini. Kami berdua akan melihat sendiri bagaimana Al Zaytun. Kami membawa perlengkapan seperlunya. Saya tidak ingat apa saja yang ayah masukkan ke dalam tas besar kami.

Saya dan ayah tidak mungkin ikut dalam rombongan santri, jadi kami ikut rombongan wali santri. Wali santri tidak ikut naik bus, tapi naik mobil. Entah ada berapa mobil yang ikut berkonvoi dalam perjalanan Gresik-Indramayu ini, yang jelas saya dan ayah ada dalam salah satu mobil di antara rangkaian konvoi itu. Selain kami berdua, di dalam mobil tersebut empat orang wali murid. Jadi ketika itu, sayalah yang paling imut dan unyu :p.

Perjalanan panjang antara Gresik dan Indramayu ini kami tempuh dalam waktu entah berapa jam entah berapa hari. Saya sudah lupa. Yang jelas, kami sering mampir di SPBU. Bukan untuk isi bahan bakar, tapi sekedar untuk buang air atau menegakkan salat.

Singkat cerita, sampailah kami pada sebuah pondok pesantren bernama Al Zaytun. Oiya. Jalan menuju ke pesantren adalah jalan raya yang tidak terlalu lebar. Di samping jalan raya masih banyak sawah yang membentang. Pokoknya ndeso banget lah.

Tapi jangan tanya apakah Al Zaytun ndeso. Sama sekali tidak. Gedungnya justru keren-keren.

Saya menginap di salah satu kamar santri perempuan, ayah saya bersama wali santri lain. Ah, saya lupa siapa nama santri yang memberi saya tumpangan tidur. Nama gedung asramanya pun saya lupa. Yang saya ingat, gedung-gedung Al Zaytun dinamai seperti sahabat Rasulullah. Jadi ada gedung Umar bin Khattab, Abu Bakar Ash Ahiddiq, Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Aisyah, Fatimah Az Zahra, dan Khadijah.

Di Al Zaytun, kegiatan saya dan ayah tak lain adalah jalan-jalan. Kami berkunjung ke masjid utama Al Zaytun. Di sinilah saya terpesona untuk pertama kalinya. Masjid ini memiliki kolam ikan di bawahnya! Jadi kalau mengantuk, jangan duduk di pinggir masjid. Bisa-bisa nanti tercebur ke kolam. Saya tidak tahu ikan apa yang dipelihara, tapi yang jelas ikan itu berukuran besar. Panjang ikan-ikan itu sekitar dua jengkal orang dewasa. Menurut santri di sana, ikan itu untuk keperluan konsumsi sehari-hari. Selain di bawah masjid, ada lagi beberapa kolam ikan lainnya.

Kemudian, kami mengitari kompleks pesantren Al Zaytun dengan menggunakan bus. Saking besarnya sampai butuh bus untuk mengelilinginya.

Berturut-turut, pemandangan berikut hadir di hadapan saya:
Peternakan sapi. Sapi-sapi ini selain diambil dagingnya, juga diperah susunya. Jadi, santri dan guru minum susu perah asli, hasil peternakan sendiri.
Peternakan ayam. Tentu Anda sekalian sudah tahu hasil apa yang ingin diperoleh dari sebuah peternakan ayam. Yang super, kandang ayamnya dilengkapi dengan AC alias pendingin ruangan. Katanya sih, biar steril.
Perkebunan mangga. Kebun mangga ini luas sekali. Entah berapa ton mangga yang dihasilkan ketika musim panen. Mungkin mangganya adalah mangga indramayu, tapi saya tidak tahu juga.
Sawah. Ini yang super. Mereka punya sawah sendiri untuk memenuhi kebutuhan beras bagi ribuan mulut di pesantren Al Zaytun.
Deretan pohon kurma. Saya melihat beberapa pohon kurma yang berjejer. Saya tidak tahu kenapa pohon-pohon kurma itu ditanam karena setahu saya pohon kurma tidak bisa berbuah di Indonesia. Tapi menurut beberapa kabar, di Al Zaytun pohon kurma itu berhasil berbuah.
Pohon zaytun. Mungkin dari sinilah nama itu diambil, jadi pihak pesantren menanam pohonnya. Saya tidak begitu ingat bagaimana bentuk pohonnya, karena mereka terhampar di lahan yang luas.
Lapangan olahraga. Ada lapangan sepakbola yang seingat saya berjumlah enam buah, lapangan basket, dan voli. Super sekali pokoknya.
Koperasi. Gedung koperasinya besar sekali, tidak seperti Alfa Mart. Yang dijual pun beragam, bahkan hingga pakaian seragam santri.

Sepertinya masih banyak yang saya lihat, tapi hanya itu yang bisa saya ingat.

Begitulah. Sepulang dari Al Zaytun, keinginan saya untuk bisa bersekolah disana semakin besar. Saya semakin bersemangat menghafal, dan sepertinya orang tua saya juga makin bersemangat untuk mengumpulkan uang pangkal yang seingat saya sebesar 20 juta rupiah ketika itu.

Lantas, bagaimana kelanjutan kisahnya?

Kisah selanjutnya adalah, saya justru meneruskan sekolah di SMP Negeri 1 Gresik, bukan di Pondok Pesantren Al Zaytun. Saya tak ingat mengapa akhirnya saya tidak jadi mendaftar untuk bersekolah disana. Mungkin salah satu sebabnya adalah saya tidak berhasil menghafal keseluruhan surat dalam juz 30 Al Quran. Hehe

Sampai sekarang, ketika mendengar nama Al Zaytun, yang ada di benak saya adalah sebuah pondok pesantren yang hebat karena fasilitasnya yang sedemikian lengkap. Terkadang bahkan saya tak percaya pada berita-berita tentang NII-Panji Gumilang-Al Zaytun itu.

Bagaimanapun, beginilah jalan hidup saya. Allah swt telah memilihkan jalan terbaik untuk saya. Kalau dulu saya diterima di Al Zaytun, mungkin saya sekarang tidak kuliah di STAN. Kalau dulu saya diterima di Al Zaytun, mungkin saya bisa menguasai bahasa Sunda (nggak nyambung). Juga kalau dan mungkin lainnya.

Sampai sekarang, saya masih ingat dengan jelas kolam ikan di bawah masjid itu…


Salam,
Wahyu Widyaningrum

Monday, May 2, 2011

Aku (Tidak) Suka Menulis

Aku tidak suka menulis.

Menonton serial drama Jepang atau Korea lebih menyenangkan. Jang Geun Seok, Lee Min Ho, Kim Bum, dan Tomohisa Yamashita sangat memukau ketika berakting—atau aku terbius oleh tampang mereka, bukan akting mereka? Entahlah—. Jalan cerita yang terkadang berlebihan dan berlawanan dengan realita tetap menarik untuk ditonton. Menghabiskan waktu bersama serial drama selalu kusukai, dan memang aku selalu sedemikian suka. Menonton serial drama Jepang atau Korea lebih menyenangkan daripada menulis.

Aku tidak suka menulis.

Tidur lebih menyenangkan. Ia menjadi obat yang sangat pas ketika aku lelah beraktivitas, ketika aku malas menyalakan komputer untuk menonton serial drama, atau ketika aku merasa memang harus tidur. Aku menjadi lupa segalanya ketika tidur, maka aku menyukainya. Sekejap saja, beberapa jam telah kuhabiskan dengan kegiatan ini. Tidur lebih menyenangkan daripada menulis.

Aku tidak suka menulis.

Menonton televisi lebih menyenangkan. Berita tidak penting selalu menarik untuk diikuti. Tidak terlalu menarik sebetulnya, namun memang tak ada pilihan tayangan lain yang lebih pantas untuk diikuti. Briptu norman, teror bom, NII KW 9, dan William-Kate memaksa pemirsa, termasuk aku, untuk setia di depan televisi. Tidak terlalu setia sih, tapi ya aku cukup mengikuti perkembangan lah. Sambil menjejali otakku dengan berita-berita aneh namun disiarkan terus-terusan itu, aku bisa menghabiskan waktu selama berjam-jam. Menonton televisi lebih menyenangkan daripada menulis.

Aku tidak suka menulis.

Membaca novel lebih menyenangkan. Konflik antara tokoh Astari, Satrijo, dan Hendrik dalam novel Bidik! lebih menarik untuk diikuti. Cerita rekaan ini menyita beratus-menit waktuku. Lomografi dan marketing komunikasi menyisipi pikiranku gara-gara buku cerita fiksi ini. Aku juga suka berkhayal menjadi tokoh ‘aku’ yang berpikir bahwa Bruno, dalam novel The History of Love, adalah tokoh nyata padahal ia tak lain hanyalah sesuatu yang tak pernah ada. Aku juga mereka-reka bagaimana hari tuaku esok, akankah sama jadinya dengan tokoh ‘aku’ tersebut. Membaca tak butuh banyak berpikir, jadi aku menyukainya. Membaca novel lebih menyenangkan daripada menulis.

Aku tidak suka menulis.

Mendengarkan lagu lebih menyenangkan. Album E.M.D, David Archuleta, dan OST Hwang Jin Yi sangat akrab di telingaku. Aku tak pernah bosan mendengarkan rangkaian lagu-lagu mereka, meskipun aku menyetelnya berulang-ulang. Apalagi dengan bernyanyi keras-keras mengikuti mereka, rasa-rasanya aku menjadi orang paling bebas dan bahagia sedunia. Aku suka itu. Mendengarkan lagu lebih menyenangkan daripada menulis.

Aku tidak suka menulis. Menulis butuh berpikir. Menulis butuh pengetahuan. Menulis butuh ide. Menulis butuh kemauan. Menulis butuh tekad. Menulis butuh waktu.

Aku tidak suka menulis. Maka aku mengingkari janjiku sendiri untuk menulis setidaknya satu cerpen atau satu tulisan setiap hari. Maka aku menjauh dari targetku mengirim naskah cerpen ke media massa setidaknya seminggu sekali. Maka aku menjauh dari mimpiku untuk meraih KLA 2012.

Aku tidak suka menulis. Tapi ketika aku menulis kalimat ‘aku tidak suka menulis’, aku mengingkari hatiku. Ketika menulis kalimat tersebut, aku berbohong pada cita-cita dan mimpiku. Ketika menulis kalimat tersebut, aku sadar bahwa aku adalah orang yang paling bodoh sedunia.


Sabtu, 30 April 2011. Pukul 18.28
Pojok kamar, ditemani Anywhere is Paradise – E.M.D


Salam,
Wahyu Widyaningrum