Sunday, September 20, 2015

Sebuah Melon Seribu Rupiah


Sebenarnya ini bukan kisah baru. Saya sendiri mengalaminya ketika saya baru beberapa hari menghirup udara Surakarta. Namun ini bukan tentang kisah baru atau lama, ini tentang pelajaran seumur hidup.

Ketika saya rindu mengecap buah sedangkan buah di supermarket dijual dengan harga yang tidak begitu murah, maka pilihan yang tersedia bagi saya adalah pergi ke pasar dan membeli buah di sana. Saat itu saya dan Mita, kawan saya, memutuskan untuk pergi ke Pasar Palur, yang sudah masuk wilayah Kabupaten Karanganyar. 

Sesampai di pasar, kami langsung menuju ke area pedagang buah di bagian belakang pasar. Kami berhenti di depan pedagang bermacam-macam buah. Saya  membeli duku dan jeruk, sedangkan Mita memenuhi plastik belanjaan dengan apel dan jeruk. Belum puas dengan dua macam buah, kami melanjutkan untuk berkeliling lagi. Kali ini mata saya melihat semangka merah besar yang ternyata tidak harus dibeli sebuah—seperti di supermarket. Saya membawa pulang seperempat bagian semangka seharga Rp6000. Sifat tamak dan tidak cepat puas rupanya menguasai saya hari itu. Saya tetap mengajak Mita berkeliling lagi.

Di luar pasar, di atas trotoar di pinggir jalan, saya melihat beberapa buah melon yang ditaruh di atas  karung yang digelar. Seorang ibu paruh baya berkerudung dengan tubuh yang kurus duduk di belakang gelaran karung. Saya mendekat, dan melihat ternyata melon-melon itu memiliki ukuran beragam. Ada yang kecil, ada pula yang besar. 


gambar dari https://www.facebook.com/skyscraperseeds

"Melonnya berapa harganya, Bu?" (sebenarnya saya menggunakan Bahasa Jawa saat bertanya)
"Yang kecil ini seribu, Nak." 
Saya rupanya agak tidak mempercayai pendengaran saya. "Yang kecil berapa, Bu?" saya mengulangi pertanyaan.
"Seribu, Nak." 
Melon yang dijual dengan harga seribu tersebut tampilannya tidak berbeda dengan melon biasanya, hanya ukurannya saja yang memang kecil. Mungkin diameternya sekitar 12 cm. 
Saya, yang sangsi dengan rasa melon tersebut, kembali bertanya, "manis nggak, Bu?"
Ibu pedagang meyakinkan saya bahwa melon yang ia jual rasanya tentu manis. 
Saya menoleh pada Mita. "Seribu cuy. Beli yuk."
"Tapi kalo nggak manis gimana?" tanya Mita.
"Yaudah sih, seribu doang ini juga."


Pada akhirnya kami memang membeli empat buah melon. Dua milik saya, sisanya milik Mita. Dua buah melon milik saya habis dalam dua hari, namun rasa bersalah dan penyesalan saya tak kunjung habis bahkan sampai hari ini.

Kalimat terakhir yang saya ucapkan tersebut jelas bukan suatu pernyataan yang menyenangkan untuk didengar, apalagi oleh si ibu pedagang. Saya baru menyadarinya ketika saya sedang menyetir dalam perjalanan pulang. Bagi saya, yang sebelumnya pernah merasakan betapa luar biasanya harga barang di Jakarta, menemukan sebuah melon seharga seribu adalah sebuah keajaiban. Ekspresi yang sebenarnya saya maksudkan sebagai sebuah wujud keheranan, ternyata terucap dalam rangkaian kata yang salah.

Memiliki kesadaran penuh dan berhati-hati ketika berbicara, kemudian, menjadi hal yang sangat saya perhatikan—meskipun masih sering juga gagal. Kau tidak pernah benar-benar mengerti betapa berharganya uang seribu rupiah bagi orang lain, kan, Wahyu?


200915