Wednesday, February 22, 2017

新しいような新しくないような

今日から7日後、新しいような新しくないような日々がまた始まる。

交通渋滞に慣れた感、仕事場でのつまらなかった感、同僚や上司との関係の懐かしかった感、朝から晩までの繰り返し方が新しくないような。


ここ二年間の全く仕事しない、自分の行動が自由で決め、昼間では買い物したりカフェで美味しい食べ物を味わえ、宿題しながら笑いが止まらない日々がもう二度と来ない新しいような。


不安がいっぱいです。


リズムに乗れたかどうかの不安。

周りに合わせるかどうかの不安。
人生を楽しめるかどうかの不安。
笑顔ができるかどうかの不安。

頑張らなきゃ。きっと何とかなる。


正直、


まだ何も知らない明日に不安を感じるのは不安ではなく、自分の小ささである。

Thursday, February 16, 2017

Uji Adrenalin di Wahana-wahana Fuji-Q Highland!


Jargon ‘taman hiburan terkondang se-Jepang di kaki Gunung Fuji’ nampaknya tak salah digaung-gaungkan oleh Fuji-Q Highland. Wahana-wahananya kerap dijajal pesohor-pesohor Jepang dan menjadi lokasi syuting banyak program televisi. Layak memang, sebab roller coaster dan rumah hantunya—wahana paling masyhur di taman ini—jelas-jelas memegang rekor dunia.

Begitu mengetahui bahwa Fuji-Q Highland ada dalam jadwal perjalanan kami, saya langsung menetapkan satu wahana yang HARUS saya naiki, apapun yang terjadi. Nama wahananya adalah Eejanaika. Salah satu wahana roller coaster ini sukses membuat artis dalam salah satu acara televisi yang saya tonton bergetar lututnya, dan saya menertawakannya. Saya bahkan sedikit sesumbar, “sesangar apa sih Eejanaika ini? Paling-paling artisnya yang lebay.” Selain Eejanaika, roller coaster lainnya adalah Fujiyama (disebut sebagai 'King of Coaster', memiliki panjang 2.045 meter, kecepatan maksimum 130 km/jam, dan ketinggian maksimum 79 meter)—yang sayangnya sedang dalam perbaikan saat kami berkunjung, Takabisha, dan Dodonpa (disebut-sebut sebagai roller coaster paling menyenangkan di dunia dengan kecepatan maksimum 172 km/jam)—yang sayangnya juga sedang ditutup dan baru dibuka pada bulan Juli 2017.

Berbekal selembar tiket masuk terusan, kami diberi waktu sekitar enam jam untuk memuaskan diri menjelajahi Fuji-Q Highland. Mengenai tiket ini, laman situs https://www.fujiq.jp/en/ menayangkan harga 5.700 yen untuk tiket terusan sehari bagi pengunjung dewasa; sedangkan harga 4.800 yen dapat diperoleh bagi pengunjung dalam kelompok berjumlah lebih dari 15 orang. Namun entah mengapa, pada tiket yang dibagikan kepada kami kemarin tertera tulisan 3.800 yen. Tiket ini sendiri sebenarnya dapat dibeli terpisah. Tiket masuk saja tersedia dengan harga 1.500 yen; dan tiket untuk tiap wahana dijual dengan harga bervariasi, mulai dari 100 yen sampai dengan 1.000 yen.

Terdapat dua pintu masuk ke area taman bermain ini. Karena tempat parkir terletak di dekat pintu 1, jadi kami masuk lewat pintu tersebut. Alur menuju pintu 1 ini cukup unik. Kami disambut oleh toko oleh-oleh yang menjual beragam buah tangan khas Fuji-Q Highland. Keluar dari toko, suasananya sedikit berubah; rasanya tidak sedang berada di Jepang. Deretan toko berarsitektur Eropa berdiri dan menjual berbagai macam kue, penganan, maupun pernak-pernik. Rupanya, ini adalah taman pertama di dunia yang dibuat dengan mengusung tema karakter populer dari Prancis, yaitu Gaspard dan Lisa. Taman ini pun memiliki nama tersendiri: La Ville de Gaspard et Lisa. Di ujung taman bahkan dibangun replika Menara Eiffel, yang semakin menguatkan suasana Prancis.

Di depan pintu masuk menuju kios oleh-oleh

Setelah melewati kota Gaspard dan Lisa, tampak pintu masuk dengan enam gerbang otomatis. Dari sini, rombongan besar telah berpencar. Kami, rombongan Indonesia, bergabung dengan rombongan Kamboja. Saya berjalan di belakang, menurut saja pada pimpinan rombongan di depan. Rupanya wahana pertama yang dituju adalah Takabisha. Saat kami sampai, panjang antrean di depan kami mungkin sekitar 15 meter. Kami menunggu sambil bercanda, sampai kemudian melewati dinding di dekat pintu wahana. Di dinding tersebut tergantung sebuah pigura yang berisi sertifikat rekor dunia. Rupanya, Takabisha memegang rekor dunia sebagai ‘roller coaster tercuram di dunia pada 1210’. Saya tak pernah tahu tentang Takabisha sebelumnya, dan angka 121 ini sama sekali tak memberikan efek apapun bagi saya.

Pintu masuk 1

Setelah menunggu sekitar 20 menit, akhirnya tiba juga giliran kami. Begitu masuk, kami diminta melepas kacamata, syal, topi, gelang, dan apapun yang berpotensi jatuh. Seluruh barang dititipkan di loker yang dilengkapi kunci. Setelah loker dikunci, anak kunci disimpan dengan mengaitkan karet di pergelangan tangan. Kami yang berjilbab bahkan diberi tambahan jaket bertudung untuk dikenakan. Tudungnya dilengkapi tali di bagian tepi wajah, sehingga dari kepala sampai pinggang tertutup jaket. Hal ini untuk berjaga-jaga agar kerudung tak terjatuh atau bahkan terbang ke suatu tempat~

Ada 2 atau 3 ‘mesin’ tersedia, dan satu mesin berkapasitas 8 orang. Kami yang bersembilan –satu orang kawan dari Indonesia memilih untuk berjalan-jalan di Thomas Land saja—jadinya dipisah ke dalam dua gelombang. Saya duduk di barisan belakang, di kursi nomor dua dari kiri. Menjelang berangkat, mbak-mbak dan mas-mas petugas memastikan bahwa pengaman telah dikaitkan dengan baik dan kencang. Kemudian tak lupa mereka juga melepas keberangkatan kami dengan senyum dan kata-kata yang indah.

Takabisha meluncur. Lambat. Keadaan lorong gelap. Belok ke kiri. Tak lama kemudian terowongan berakhir, dan Takabisha langsung menukik ke atas. Saya masih sesumbar ‘ternyata gini doang’, lalu sesumbar saya hilang dalam sekejap saat Takabisha memelintir dan turun dengan kecepatan yang tak terkira. Saat itu kepala saya rasanya hampir terlepas dari leher, bernafas tak bisa normal, dan jantung saya entah tertinggal di mana. Saya cuma bisa banyak-banyak mohon ampun pada Tuhan. Mata saya tak sedetikpun membuka. Setelah itu Takabisha naik lagi, berputar lagi, turun, naik lagi, berputar lagi, dan meliuk-liuk sebelum kemudian masuk kembali ke terowongan. Saya menarik nafas. Keluar dari terowongan, Takabisha naik dengan kecepatan yang pelan, bahkan cenderung tersendat-sendat. Saya menyempatkan diri membuka mata. Rupanya inilah perjalanan menuju puncak yang dibangga-banggakan oleh Takabisha. Bentuk rel mungkin siku-siku 900  sehingga rasanya seperti duduk biasa dengan punggung di bawah. Kondisi ini berlangsung sampai hampir 20 detik. Di puncak tertinggi, Takabisha berhenti sejenak. Menggantung. Kemudian ia menghempaskan tubuh saya, dan jantung saya yang sebelumnya sudah tidak saya ketahui di mana tempatnya kembali menghilang. Saya tak henti-henti baca istighfar; sementara orang di samping saya berteriak-teriak. Lantas saya berpikir, ‘barangkali dengan berteriak, jantung saya dapat kembali ke tempatnya dan mata saya dapat terbuka,’. Detik berikutnya saya ikut-ikutan berteriak, yang kemudian saya anggap itu adalah keputusan yang salah: berteriak sungguh menghabiskan nafas dan saya jadi butuh energi lebih untuk mengambil nafas. Akhirnya saya pasrah saja, terus-terusan memohon ampun sambil menjalani serangkaian pelintiran dan tukikan yang mengocok isi perut saya.

Penderitaan saya berakhir setelah menempuh 1.004 meter dalam waktu sekitar 3 menit.

Turun dari Takabisha, seluruh tubuh saya rasanya seperti tak lagi memiliki sendi. Belum lagi perut saya yang jadi sangat mual. Kawan saya bahkan berkomentar kalau wajah saya pucat. Lantas saya bersumpah, Takabisha adalah roller coaster pertama dan terakhir dalam hidup saya.

Tulisan di plang yang saya pegang itu artinya 'saya dikerjai Takabisha'

Perjalanan kembali dilanjutkan. Pimpinan rombongan mengarah ke wahana Eejanaika.

Saya menyerah.

Tak mungkin saya naik Eejanaika. Yang mengerikan dari Takabisha barangkali hanya kecuramannya saja. Namun di Eejanaika, curamnya lintasan berpadu dengan kursi yang dapat berputar. Roller coaster ini bahkan memegang rekor sebagai ‘roller coaster dengan jumlah total putaran terbanyak di dunia’. Kecepatan maksimalnya yang mencapai 126 km/jam pun melebihi Takabisha yang ‘hanya’ 100 km/jam.

Dengan berat hati; saya dan 2 kawan perempuan saya akhirnya berpisah dari rombongan. Kami memilih berkelana sendiri, menuju wahana selanjutnya: korsel alias komidi putar. Hahaha. Namun, saat naik korsel pun, gerakan kuda yang naik-turun juga membuat saya mual. Efek Takabisha rupanya belum habis.

Setelah naik korsel bersama dengan beberapa anak kecil dan sepasang kekasih, kami memutuskan untuk beristirahat di tempat duduk di samping Eejanaika. Sekitar satu jam kami habiskan dengan makan—sambil mendengarkan teriakan berisik penumpang Eejanaika—dan salat.

Lepas istirahat, kami kembali memulai petualangan dengan naik bianglala. Bianglala bernama Shining Flower dengan ketinggian 50 meter ini mampu membuat kami memandang seluruh area Fuji-Q Highland dari ketinggian. Gunung Fuji bahkan terlihat dengan jelas! Tak lupa, Takabisha juga masuk ke pandangan dan membuat kami berceloteh, ‘Demi apa tadi kita naik wahana itu!’. Dalam waktu 11 menit di dalam gondola yang berputar pelan, kami telah memutuskan akan naik wahana apa selanjutnya.

Gunung Fuji dari dalam gondola Shining Flower. Rel mengular yang berputar-putar di tengah gambar adalah lintasan Takabisha

Kaki kami lantas mengarah ke wahana bernama Cool Jappaan, sebuah wahana yang meluncurkan pengunjungnya dari ketinggian 30 meter ke air. Di sini, kami juga diminta menitipkan tas ke dalam loker. Kemudian kami naik ke dalam semacam perahu berkapasitas sekitar 20 orang. Perahu lalu mulai melaju mengikuti rel, dan di akhir kami seakan diajak menantang menubruk air. Basah? Tenang, perahu ini dilengkapi dengan penutup bening—bentuk keseluruhan perahu jadi mirip kapsul—sehingga tak perlu khawatir cipratan air akan membasahi tubuh.

Turun dari Cool Jappaan, kami membuka peta Fuji-Q Highland. Ingin hati masuk rumah hantu, tapi rupanya nyali ini tak cukup besar. Akhirnya mata saya melihat deretan wahana yang diletakkan di bawah judul ‘horor’. Salah satunya adalah wahana bernama Ge-Ge-Ge no Youkai Yokocho, Youkai Kobanashi atau Mizuki Shigeru’s Ge-Ge-Ge Haunted Mansion. Letaknya ternyata persis di depan Cool Jappaan. Kami memutuskan untuk masuk ke dalamnya.

Di depan pintu masuk, ada sekitar 6 orang yang mengantre. Sebenarnya saya sedikit heran dengan wahana ini: apakah rumah hantu bisa sekecil ini? Ukurannya, barangkali hanya sekitar 5x10 meter. Hantu macam apa yang menghuni bangunan kecil ini?

Keheranan saya belum terjawab saat pintu terbuka. Seorang petugas yang saya taksir usianya sudah lebih dari 60 tahun mempersilakan kami masuk ke dalam sebuah ruangan. Ia meminta kami untuk melihat layar televisi yang terpasang di atas. Ia lalu meninggalkan kami, masuk ke dalam ruangan lain. Tak lama kemudian, lampu menjadi remang-remang, dan televisi menyala. Animasi Ge-Ge-Ge diputar. Saya tak sepenuhnya paham, tapi di akhir tayangan, tokoh-tokohnya berpesan pada kami— para pengunjung, untuk berhati-hati dalam memasuki rumah hantu ini. Setelah tayangan selesai, lampu kembali menyala, dan si petugas tadi muncul, lalu mengarahkan kami untuk masuk ke dalam sebuah ruangan.

Ruangannya kecil saja, sekitar 2,5x6 meter. Hanya tampak kursi-kursi dan semacam meja kecil yang menghadap dinding. Kami lantas diminta duduk satu per satu di kursi yang telah disediakan. Di atas meja, rupanya, telah tersedia seperangkat headphone. Petugas menyuruh kami memasang headphone. Mulai terdengar suara tokoh anime yang mengetes apakah bagian kanan dan kiri headphone telah dipasang dengan benar. Setelah itu, lampu dipadamkan. Ruangan benar-benar gelap.

Jangan-jangan kami diajak menonton film animasi yang disorotkan ke dinding?

Suara-suara tokoh anime kembali terdengar. Hantu-hantu muncul di telinga kanan lantas menghilang di telinga kiri. Beberapa tokoh lari tunggang-langgang. Tak ada apapun yang disorot ke dinding. Tak ada tayangan. Rupanya di wahana ini kami hanya diminta mendengarkan kisah seram dari cerita Ge-Ge-Ge, sebagaimana mendengarkan sandiwara radio.

Saya keluar wahana dengan ekspresi datar; lebih tepatnya, tak tahu harus berekspresi bagaimana. Wahana ini jelas-jelas tak sesuai dengan ekspektasi saya. Untungnya, di pintu keluar, terdapat kios kecil yang menjual berbagai barang bertema Ge-Ge-Ge. Saya memutuskan untuk membawa pulang satu map bergambar Ge-Ge-Ge.

(Catatan: ketika menulis tulisan ini, saya baru mengerti cara baca dan arti kanji kobanashi pada Ge-ge-ge no Youkai Yokocho, Youkai Kobanashi. Kobanashi dapat diartikan kisah pendek yang menarik. Barangkali kalau saya bisa membaca kanji tersebut saat melihat peta, saya mengurungkan niat masuk ke Rumah Ge-Ge-Ge.)

Setelah itu, mata Nisya, kawan saya, tertumbuk pada permainan sepeda di samping Cool Jappaan. Sepeda yaang dikayuh di atas lintasan rel yang letaknya antara 1,8 sampai 6,3 meter di atas tanah ini nampaknya cukup menarik untuk dimainkan. Kami akhirnya masuk ke wahana, menitipkan tas, lalu naik ke atas sepeda. Pengamannya hanya semacam sabuk yang diikatkan ke bagian perut. Seram juga rasanya, seperti melintas di atas seutas tali (rel ding); apalagi di bawah pengayuh tak ada tempat lagi untuk kaki bersandar. Rel ini dibuat mengelilingi sebidang taman kecil berisi beberapa patung hamster berbentuk Hamtaro dan kawan-kawannya. Ada juga beberapa mainan dan bangku-bangku taman untuk duduk-duduk. Usut punya usut, wahana bernama Dokidoki Mori no Kakurenbo atau Hide and Seek in the Woods ini rupanya dikategorikan sebagai atraksi untuk anak-anak.

Saat naik sepeda-sepedaan tadi, saya melihat patung kucing keberuntungan (patung berbentuk kucing sedang duduk yang biasanya ada di depan toko atau kedai, dianggap membawa keberuntungan) berukuran besar yang tak jauh dari lokasi kami. Saya mengusulkan agar kami menaiki atraksi tersebut. Dua kawan saya setuju, jadi kami langsung berpindah dengan sedikit berlari mengingat waktu yang hampir habis.

Wahana yang kami naiki ini bernama Nagashimasuka, mirip dengan wahana arung jeram di Dufan, Taman Impian Jaya Ancol. Karena akan basah-basahan, jadi pengunjung disarankan membeli ponco plastik seharga 100 yen yang kuponnya dapat dibeli di mesin penjual di samping pintu masuk. Kupon ini hanya bisa dibeli terpisah, jadi kami tetap harus mengeluarkan uang 100 yen meskipun ada tiket terusan yang kami miliki. Kupon tadi kemudian ditukarkan dengan ponco yang diberikan oleh mbak-mbak petugas. Setelah menitipkan barang di loker dan mengaretkan kunci di pergelangan tangan, kami mengenakan ponco. Setelah siap, kami dipersilakan menaiki ‘perahu’ berkapasitas 4 orang, yang bentuknya lingkaran dengan pegangan di tengah. Tak ada penutup di atas ‘perahu’, tidak seperti pada Cool Jappaan. Masalah yang muncul di pikiran saya selanjutnya adalah: sarung tangan saya berbahan wol yang tentu akan basah jika terkena air dan ia akan menjadi jauh lebih dingin dalam kondisi demikian. Akhirnya saya melepas sarung tangan, dan itu adalah pilihan yang sangat menyedihkan. Sepanjang perjalanan diombang-ambingkan air serta meluncur dari ketinggian 18 meter, air acapkali masuk lewat samping dan mengenai tangan—rasanya seperti disiram air es; belum lagi pegangan yang terbuat dari besi juga terasa sangat dingin. Nagashimasuka tak pelak membuat tangan saya serasa membeku.

Nagashimasuka menjadi wahana terakhir yang kami jelajahi di Fuji-Q Highland. Keluar dari Nagashimasuka, waktu sudah menunjukkan pukul 16.10. Sisa waktu kami tinggal 50 menit. Kami berlari menyeberang ke gedung di seberang, berjudul Kids’ Studio-Character Shop. Beragam pernak-pernik bergambar berbagai karakter tersedia di sini. Ada Doraemon, Pokemon, One Piece, Hello Kitty, dan lain sebagainya. Saya melihat-lihat dengan cepat dan menjatuhkan pilihan pada pasel One Piece seukuran kartu pos (belum saya buka, nih. Ada yang mau?).

Dari kios ini, kawan saya meminta agar kami mampir sebentar ke rumah hantu yang letaknya persis di belakang Nagashimasuka. Rumah hantu yang diklaim sebagai rumah hantu terseram dan terpanjang di dunia ini juga menjadi salah satu wahana yang menjadi andalan di Fuji-Q Highland—sebagaimana Eejanaika. Tiketnya pun dijual terpisah seharga 500 yen, dan tiket terusan tidak dapat dipergunakan. Saking kondangnya, untuk bisa masuk, pengunjung bahkan harus rela antre sekitar 1 jam. Dengan panjang rute 900 meter, diperlukan waktu sekitar 50 menit untuk mengkhatamkan rumah hantu ini. Kami yang memang sudah tidak bernyali semenjak turun dari Takabisha benar-benar hanya mampir foto di depan gedung wahana yang bernama Super Scary Labyrinth of Fear ini.

Setelah kembali ke bus, selama lima belas menit pertama kami semua masih sibuk mengisahkan pengalaman masing-masing, kemudian suara-suara itu perlahan terdengar makin sayup, lalu habis sama sekali. Hampir semuanya tertidur, barangkali kelelahan. Enam jam di Fuji-Q Highland benar-benar menguras tenaga kami.


Peta Fuji-Q Highland (dari pamflet; peta di situs web tidak sama dengan pamflet). Wahana yang kami naiki: no. 1 (Takabisha), no. 20 (korsel), no. 19 (Shining Flower), no. 12 (Cool Jappaan), no. 15 (Mizuki Shigeru's Ge-Ge-Ge Haunted Mansion), no. 37 (Hide n Seek in the Woods), dan no. 7 (Nagashimasuka).
Maafkan gambar yang seadanya ini T.T



Ditulis 7 Februari 2017
Foto: dokumen pribadi

Friday, February 10, 2017

Cantiknya Saiko Iyashi no Sato Nenba, Desa Wisata ala Jepang


Disebut-sebut sebagai ‘desa ala Jepang’, Saiko Iyashi no Sato Nenba’ merupakan sebuah desa wisata yang akan memikat hati siapapun. Dilatari Gunung Fuji yang megah serta dialiri Sungai Honsawa, barangkali memang desa ini identik dengan gambaran yang terbayang di benak begitu kata ‘desa’ disebut.

Belum lagi, laku para pedagang di kedai sepanjang jalan sebelum gerbang masuk. Dalam tulisan, mereka mempromosikan barang yang mereka jajakan dalam berbagai bahasa—tak terkecuali Bahasa Indonesia (atau Bahasa Melayu?), seolah-olah menyambut para pengunjung untuk ‘selamat pulang kembali ke desa’. Tak jarang berlembar-lembar karton bergantungan di depan kios mereka lantaran banyaknya bahasa yang ditulis.

Betapa saya merasa sedang pulang kampung!

Dengan membayar tanda masuk sebesar 350 yen untuk orang dewasa dan 150 yen untuk anak-anak, kemolekan desa wisata ini sudah dapat dinikmati. Setelah melewati gerbang masuk, pengunjung langsung disuguhi rumah-rumah kecil yang ditata dengan apik mengikuti kontur tanah yang semakin menanjak. Kawasan desa ini bentuknya memanjang ke belakang. Dengan demikian, bangunan di bagian belakang letaknya semakin tinggi dibandingkan dengan yang di depan. Dari bangunan di bagian belakang ini, Gunung Fuji semakin memperlihatkan keindahannya yang khas dengan topi salju di puncaknya.

Gerbang masuk Saiko Iyashi no Sato Nenba

Namun siapa sangka, desa ini rupanya hasil rekonstruksi ulang. Pada tahun 1966, angin topan melanda kawasan ini dan meluluhlantakkan seluruh desa. Rumah-rumah dengan atap ‘kabuto-zukuri’ yang bentuknya mirip penutup kepala para samurai, hancur tak bersisa. Pemerintah kota Fujikawaguchiko akhirnya memutuskan untuk membangun ulang desa ini pada tahun 2003. Hal ini dilakukan demi membangkitkan ingatan akan sebuah desa ala Jepang yang rumahnya beratap jerami. Kawasan ini kemudian dibuka kembali pada tahun 2006 setelah proses rekonstruksi selesai.

Begini wujud atap jerami yang bentuknya mirip penutup kepala samurai

Terdapat 21 bangunan utama di Saiko Iyashi no Sato Nenba. Kios oleh-oleh diletakkan di dekat gerbang masuk, dan sukses menghabiskan waktu pengunjung yang tidak menyadari bahwa masih ada banyak bangunan tersisa untuk dikunjungi. Kios ini menjual beragam produk lokal seperti miso, beras, udon basah, teh, serta kerajinan tangan. Kami sempat tertarik dengan udon basah yang dijual. Komposisi bahan pembuatnya aman untuk kami konsumsi sehingga udon ini sungguh siap dibawa pulang lintas negara. Namun sayangnya, karena ia berupa mi basah yang harus disimpan dalam mesin pendingin, dikhawatirkan ia tak akan bertahan lama—apalagi jika harus dibawa sampai ke Surabaya.

Kesedihan lantaran gagal membawa pulang udon sedikit terobati dengan tawaran minum teh gratis dari penjaga toko. Di luar bangunan toko ini memang tertulis ‘tersedia teh gratis’. Ada dua mesin semacam teko elektrik yang masing-masing berisi teh kombucha dan teh oolong. Dua cangkir teh ini, selain mengobati kesedihan, juga membantu menghangatkan tubuh di tengah musim dingin seperti ini.

Bangunan kedua yang kami kunjungi adalah Rumah Seseragiya. Dinding rumah ini dipenuhi gambar-gambar indah, yang kebanyakan berbentuk potret orang, baik sendiri maupun rombongan. Di dekat pintu terpajang instalasi seni berbentuk ayam, yang saya yakini dibuat dalam rangka menyambut tahun ayam. Cukup lama kami duduk-duduk di luar rumah ini, sekaligus mencari kehangatan karena letaknya yang menghadap timur, pun matahari cukup terik saat itu.

Menyambut tahun ayam

Kami kembali melanjutkan perjalanan ke arah jembatan Fujimi. Di sini terlihat beberapa orang berfoto dengan mengenakan kimono. Beberapa kawan dari Myanmar bahkan sudah wira-wiri dalam balutan kimono. Rupanya mereka menyewa dari Rumah Hinomiya. Di rumah ini pengunjung dapat menyewa kimono dengan harga yang terjangkau, yaitu 500 yen. Selain penyewaan kimono, di dekat pintu masuk rumah juga terdapat instalasi pakaian perang para samurai.

Lantaran kami tidak tertarik menyewa kimono, kami melanjutkan langkah ke Rumah Miharashiya. Lantai-satu rumah ini mirip galeri, dipenuhi dengan hasil seni yang telah memperoleh penghargaan baik di tingkat kota maupun perfektur; sedangkan lantai duanya berfungsi sebagai semacam menara pandang. Untuk naik ke lantai dua, pengunjung harus melepas alas kaki sebelum naik tangga dan berganti mengenakan sandal yang telah disediakan. Di sebelah kiri ujung tangga terdapat jendela besar, dan inilah menara pandang tersebut. Gunung Fuji terlihat sangat menawan dari sini, disertai hiasan pemandangan atap jerami rumah-rumah yang juga berwarna putih sebab tertimpa salju.

Pemandangan dari lantai dua Rumah Miharashiya

Keluar dari Rumah Miharashiya, kami memutuskan mampir ke galeri kerja tembikar Fuji Roman-gama. Sesuai namanya, di dalam rumah ini pengunjung dapat menemukan beragam tembikar yang dipatok dengan harga yang bersahabat. Dudukan sumpit berbentuk kucing dijual mulai harga 200 yen. Mangkuk kecil khas Jepang dengan motif yang indah dan menarik dibanderol dengan harga mulai dari 400 yen. Selain itu masih banyak pajangan, cangkir, dan tembikar lainnya. Saya sendiri akhirnya tergoda untuk membawa pulang pajangan berbentuk Gunung Fuji yang imut, seharga 500 yen. Selain membeli tembikar yang dipajang, pengunjung juga dapat mencoba membuat hiasan berbentuk burung hantu serta mewarnai tembikar.

Plang kayu di depan galeri tembikar Fuji Roman-gama, mengajak pengunjung untuk mencoba membuat tembikar sendiri

Rumah galeri kerja tembikar Fuji Roman-gama menjadi rumah terakhir yang kami singgahi di Saito Iyashi no Sato Nenba. Masih tersisa 15 menit sebelum waktu habis dan harus kembali ke bus, jadi kami menyempatkan diri terus berjalan ke kios oleh-oleh yang tersebar di dekat area parkir. Seorang pemilik kedai menawari kami untuk menghangatkan diri dengan makan udon di dalam kedainya. Kami hanya tersenyum sambil terus melihat-lihat dagangan yang dijejer di atas meja di depan kedai. Menyerah menawarkan udon, si pemilik lantas menawarkan cicip-cicip buah kering. Alih-alih mencicip buah kering, mata kami justru lebih tertarik pada satu meja berisi kotak-kotak kecil. Kotak tersebut rupanya berisi sabun batang khas desa itu. Selain sabun batang, ada juga kotak berisi batu. Empat buah batu kecil disusun dan diwadahi dalam kotak tembus pandang, diberi sabuk kertas bertuliskan bahwa batu tersebut berasal dari Gunung Fuji. Dari keterangan pemilik kedai, batu dari Gunung Fuji ini berbeda dengan batu biasa; ia memiliki lebih banyak lubang sehingga jika batu tersebut direndam di dalam air biasa, air tersebut dapat menjadi air bermineral. Kawan saya rupanya sangat tertarik dengan batu ini, lantas ia menebusnya dengan selembar uang pecahan 1.000 yen.

Desa wisata ini, dengan segala pesonanya—mulai dari pemandangannya sampai bentuk bangunan dan sejarahnya—, mampu menarik pengunjung untuk datang dan tak segan merogoh kocek demi membawa pulang barang-barang yang dijajakan.



Ditulis 1 Februari 2017
Foto: dokumen pribadi

Saturday, February 4, 2017

Serunya Berlayar Sembari Santap Malam di Sungai Sumidagawa, Tokyo


Langit hampir gelap saat kami berkumpul di semacam dermaga kecil di samping jembatan Azumabashi, salah satu jembatan yang membentang di atas Sungai Sumidagawa, Tokyo. Waktu menunjukkan pukul 17.20 saat akhirnya kami dipersilakan menaiki kapal.

Kapal kecil ini akan bergerak menyusuri Sungai Sumidagawa di Tokyo dengan judul perjalanan: mengelilingi 16 jembatan di Sungai Sumidagawa. Memang ada 16 jembatan yang akan dilalui, yaitu jembatan Komagatabashi, Umayabashi, Kuramaebashi, Ryogokubashi, Shin o hashi, Kiyosubashi, Sumidagawa o hashi, Eitabashi, Chuo o hashi, Tsukuda o hashi, Kachidokibashi, Rainbow Bridge, Toyosu o hashi, Reimeibashi, Harubashi, dan Aioibashi. Dengan rute ini, terdapat beberapa titik tempat wisata yang akan terlihat saat dilewati, yakni Tokyo Tower yang merah menyala, Rainbow Bridge di kawasan Odaiba, dan Tokyo Skytree yang menjulang.

Sebelum memasuki kapal, di muka pintu pengunjung akan diberi selembar kantong plastik untuk wadah alas kaki. Pengunjung kemudian dipersilakan duduk di atas bantal duduk yang mengitari meja. Di atas meja sendiri telah terhidang bermacam masakan yang ragam dan tampilannya sungguh menggoda.

Suasana di dalam kapal

Tersedia dua kotak berisi bermacam sushi—baik sushi kepal maupun gulung, satu wadah besar sashimi, satu kotak berisi beragam hidangan laut, semangkuk besar sayuran rebus, dan sepiring edamame di atas tiap meja. Setelah seluruh tamu duduk, pelayan menawarkan minuman: bir, kola, teh, teh oolong, sake, dan jus jeruk. Kami memilih jus jeruk, yang tak lama kemudian dibawakan ke meja kami. Selang beberapa waktu kemudian, pelayan keluar dapur sambil membawa piring-piring dan sebuah wadah. Satu piring diletakkan di tiap meja; sedangkan wadah tadi, rupanya berisi bermacam tempura/gorengan yang baru diangkat. Asap masih mengepul saat tempura yang pertama muncul dihidangkan di atas piring: sebentuk cabai yang rasanya tidak pedas tetapi juga tidak manis, serta udang. Berturut-turut selanjutnya, tempura yang disajikan hangat-hangat adalah kerang, terung, ikan—entah ikan apa, dan ubi manis. Minuman dan tempura ini dapat dimakan dan dihabiskan sesuka hati karena akan terus diisi ulang, tetapi tidak demikian dengan makanan utama yang telah tersaji di atas meja saat datang tadi.

Sushi!

Sashimi dalam wadah berbentuk kapal

Beragam hidangan laut

Tempura udang

Apabila sedikit jenuh dengan makanan, pengunjung dapat membakar kalori dan mengalihkan perhatian terlebih dahulu dengan bernyanyi. Peralatan karaoke juga tersedia, lengkap dengan dua unit televisi layar datar yang dipasang di depan dan belakang. Buku tebal berisi daftar lagu pun ada, supaya pengunjung dapat memilih lagu terlebih dahulu. Agar suasana karaoke lebih meriah, tersedia pula berbagai perlengkapan kecil seperti topi karakter, kacamata dan topeng unik, serta alat musik ritmis semacam marakas dan tamborin. Untuk dapat menikmati fasilitas karaoke ini, pengunjung tidak dikenakan biaya tambahan alias gratis.

Topi karakter Arale

Dua puluh menit jelang waktu berlayar berakhir, pelayan menyajikan satu cup es krim sebagai makanan penutup. Kali ini es krim Haagen Dazs rasa vanila yang dihidangkan.


Perjalanan menyusuri Sungai Sumidagawa ini berakhir setelah sekitar dua jam. Kapal akan menepi di tempat pemberangkatan semula. Saat keluar kapal, kantong plastik yang tadi digunakan sebagai wadah alas kaki dikembalikan kepada pelayan.

Entah ada berapa penyedia jasa tur semacam ini. Penyedia yang kami gunakan kemarin adalah Amisei, yang juga menawarkan beberapa pilihan paket. Untuk perjalanan dua jam plus makanan seperti kali ini, biayanya adalah 10.800 yen per orang dewasa.

Lampion Amisei

Memandang gemerlap Tokyo yang semarak di malam hari dari atas kapal sembari menyantap hidangan ala Jepang sungguh bukanlah ide yang buruk.

Pemandangan Rainbow Bridge dari atas kapal



Ditulis 29 Januari 2017
Foto: dokumen pribadi