Thursday, December 27, 2012

Thank God

27 Desember. Besok terakhir ngantor di tahun 2012.

Dan postingan bulan Desember udah 10 baru 1.

Padahal dulu, ya kira-kira sebulan lalu lah, pernah bertekad menggalakkan aksi #onedayonepost. Ternyata belum terlaksana. Mari kita jadikan sebagai resolusi 2013! *kencangkan ikat kepala*

Enggak, kali ini saya nggak mau nyinyirin resolusi 2012 saya yang entah terlaksana berapa, juga nggak mau berkoar-koar tentang resolusi 2013 versi saya. Cukup satu poin, di paragraf atas tadi. Hehe

Beberapa waktu lalu, saya akhirnya khatam juga baca salah satu buku karangan Alwi Shihab berjudul Membedah Islam di Barat: Menepis Tudingan Meluruskan Kesalahpahaman terbitan Gramedia Pustaka Utama tahun 2004.  Buku itu saya beli sekitar bulan Mei, dan butuh 6 bulan lebih untuk menghabiskannya. Emang sayanya yang males sih :D

Membedah Islam di Barat banyak berkisah tentang interaksi Alwi Shihab dengan mahasiswa yang diajarnya di beberapa universitas di Amerika Serikat. Interaksi ini terjadi di dalam kelas saat perkuliahan maupun di luar kelas, via email dan mailing list.

Banyak komentar-komentar yang membuat saya melongo waktu baca buku itu—melihat Islam dari sudut pandang lain. Dibesarkan di lingkungan pemeluk Islam membuat saya nggak begitu ngerti gimana pandangan pemeluk agama lain terhadap agama yang saya anut. Jadilah komentar-komentar dari mahasiswa Alwi, yang mayoritas Kristen, bikin saya lumayan ngerti cara pandang mereka. Salah satu komentar unik datang dari mahasiswa Alwi bernama Rich Pownal di halaman 169 tentang muslim yang membaca Al Quran dalam bahasa Arab: "I personally think it's important to understand what you are reading. What you read is supposed to clarify what you believe. Therefore, I feel it's useless for Muslims to read and say in prayers from the Quran that they don't understand. Almost every piece of literature in any religion is open for translation by those reading it. For me personally, I don't read Bible as a word for word. I read the Bible and try to understand the message."

Selain bikin melongo, ada juga komentar yang bikin saya merenung. Pas di halaman 138, topik bahasannya adalah bahwa hampir seluruh mahasiswa Alwi menganggap penting kehidupan agama dalam kehidupan manusia.

Lalu ada satu kalimat berbunyi begini:

“God should not only be called upon to help in times of need. He should be thanked when things are wonderful.”  

Itu merupakan komentar dari salah satu mahasiswi Alwi, Diana. Memang bukan kalimat yang istimewa ataupun baru pertama kali didengar. Kalimat dengan inti yang sama tentu sudah sering berseliweran di telinga kita.

Pun demikian buat saya.

Tapi waktu itu, waktu saya baca halaman 138 dan sampai pada kalimat itu, tiba-tiba saya jadi mikir. Terus bergumam, “selama ini kayaknya saya cuma ‘ngeributin’ Tuhan pas lagi butuh aja, jarang banget berterima kasihnya.” Kalo lagi butuh, 24 jam nonstop berdoa terus ke Tuhan, bahkan dengan nada dan kalimat agak maksa. Tapi begitu dapet rejeki, lebih asik sama yang di depan mata daripada yang dari dulu diributin 24 jam.

Kalau cari pengibaratan, mungkin simpelnya begini:
Saya punya tetangga. Tetangga itu sumpah-demi-apa-baik-banget ke saya. Saya nggak punya beras, ketok pintu si tetangga buat minta beras atau makan. Nggak punya duit, ketok lagi pintu si tetangga buat minta duit. Dan begitu juga kalo pas genteng lagi bocor, rumah lagi kebanjiran, tukang kredit udah ngancem berkali-kali, solusinya gampang: ketok rumah si tetangga buat minta apa yang saya butuhkan. Toh dia baik banget dan saya merasa oke-oke aja buat minta. Tapi begitu suatu hari saya dapet kabar kalo dapet hadiah undian lotre sebesar 3 milyar rupiah, uang itu saya abisin sendiri. Saya hura-hura pagi-siang-sore-malem sampe bingung gimana lagi cara menghabiskan uang itu. Tapi kesenangan itu cuma buat saya pribadi. Saya nggak tengok si tetangga saya tadi. Nggak ngasih uang, nggak nyapa, bahkan bilang terima kasih aja enggak.

Kelupaan? Atau mungkin terlalu keblinger sampe cuma inget diri sendiri dan nggak inget sama orang yang udah selalu berbuat baik?

Mungkin saja begitu.

Itu bagi saya sih.

Kalimat itu, buat saya pribadi, menohok banget. Saking menohoknya, sampai-sampai halamannya saya kasih penanda. Sampai-sampai saya merasa harus menyebarkan kalimat itu ke seluruh dunia. Haha

Ingatan manusia memang terbatas, jadi mustahil seseorang bisa mengingat dengan baik semua peristiwa yang udah berlalu. Karena keterbatasan itulah, sebuah catatan diperlukan. Kata Ali bin Abi Thalib, “ikatlah suatu ilmu dengan menuliskannya.” Jadi, saya tuliskan catatan ini khususon buat saya pribadi, yang sering lupa untuk bersyukur dan berterima kasih. Biar saya inget dan lupanya berkurang :D

Tiba-tiba inget satu twit @avinaninasia: Allah itu Maha Baik, dan Selalu Baik.


Salam,
Wahyu Widyaningrum
*edited on Friday, Dec 28th 2012*

Thursday, December 13, 2012

Begitulah Kita Mengulang Kenangan

Semua berpakaian putih-merah. Lengkap dengan dasi merah. Beberapa meletakkan topinya di atas meja. Beberapa anak lain, sejauh yang bisa kulihat, tampak komat-kamit, mungkin merapal puisi atau lirik lagu untuk tampil nanti. Di saat-saat pemilihan siswa teladan seperti itu, seluruh kemampuan memang harus dikeluarkan. Kurasa karena ada nama sekolah yang dipertaruhkan di situ. Sementara aku duduk di bangku kedua-dari-belakang menunggu giliran, kau berdiri di depan kelas, membacakan sebuah puisi yang sangat sering kudengar karena itu adalah puisi paling populer di kalangan anak sekolah dasar. Begitulah kita pertama kali bertemu.

Senior yang cukup menyebalkan, dengan gaya sok dan suara yang menggelegar hampir memecahkan kaca. Warna seragam mereka sudah putih-biru, sedangkan aku dan teman-temanku masih mengenakan putih-merah. Lengkap dengan atribut aneh—yang tak mungkin dikenakan di hari-hari biasa—seperti rambut dikuncir entah berapa banyak dan topi juga tas berbahan kantong plastik. Juga kegiatan yang menurutku menyebalkan: meminta tanda tangan seluruh teman sekelas dan beberapa senior—karena kupikir aku tidak mungkin mengingat semua nama teman sekelas dengan cepat hanya dengan meminta tanda tangannya. Dibayang-bayangi pelototan dan nyinyiran senior, kulakukan juga kegiatan itu. Atas alasan itulah aku memintamu menuliskan nama dan menorehkan tanda tangan di buku kegiatanku. Tapi kurasa kita pernah bertemu sebelumnya. Sosok anak yang sedang membacakan sebuah puisi di depan kelas dua tahun lalu itu melintas di pikiranku. Kubaca namamu dan lebih kuperhatikan wajahmu. Aku tak salah ingat. Begitulah kita pertama kali berkenalan.

Sore yang kelam. Selain aku, di rumah hanya ada orang-orang aneh yang hanya bisa kudengar suaranya dan kulihat fisiknya tapi tak bisa kusentuh karena mereka hanyalah aktor dan aktris di televisi. Dering telepon membuatku terpaksa meninggalkan orang-orang yang kuanggap aneh tapi tetap saja kutonton itu. Di ujung sana, seseorang menanyakan namaku. Kujawab bahwa akulah yang ia cari, tapi ia tak mau menjawab ketika kutanyakan siapa dirinya. Lantas dari suara dan gaya bicara, aku tahu bahwa ia adalah kau. Beberapa detik basa-basi dan beberapa menit membicarakan hal-hal yang menurutku sangat menyenangkan membuatku lupa pada kesendirianku dan orang-orang aneh tadi. Aku bersyukur kau tidak menghubungiku hanya untuk sekedar menanyakan PR dan tugas sekolah. Begitulah kita pertama kali bercakap lewat telepon.

Metode berpindah-kelas. Membutuhkan lebih banyak tenaga karena harus mengangkat tas dan semua isinya—buku-buku yang banyak dan berat—ke kelas lain setiap ganti mata pelajaran. Tak ada jaminan di mana tempat duduk yang kosong karena semua tergantung seberapa cepat seseorang mengemasi tasnya, berlari menuju kelas lain, dan memilih tempat duduk yang dianggap strategis. Saat kau masuk kelas, hanya ada empat bangku yang masih kosong. Dua bangku yang bersebelahan, satu bangku di sebelah temanku-yang-paling-pintar di baris paling depan, dan satu bangku di sebelahku di baris kedua dari belakang. Kau lantas duduk di sebelahku. Tak ada yang menarik dari penjelasan guru biologi di depan kelas karena beliau hanya menampilkan tayangan teks berbahasa Inggris sedangkan beliau sendiri tak tahu artinya sehingga lebih sering membuka kamus yang mana hal itu sangat memakan waktu. Lalu akhirnya kita mulai bercakap-cakap. Tentang jurusan apa yang ingin diambil ketika kuliah dan kenapa, universitas mana yang ingin dituju dan alasannya, juga apa yang ingin dilakukan sekian tahun lagi. Begitulah kita pertama kali membincangkan masa depan.

Gelak tawa hadir di antara makanan yang hampir tandas dan minuman yang hampir habis. Ia, gelak tawa itu, bisa saja hadir karena semua dinyatakan lulus, bisa juga hadir karena semua waktu yang dilewati sangat menyenangkan. Beberapa hari lagi, wajah-wajah yang ditemui di dalam kelas tak lagi sama, kota yang dituju tak lagi sama, tempat yang dipijak tak lagi sama. Begitupun, cita-cita yang dikejar berbeda, impian yang ingin diraih berbeda, kisah-kisah yang akan dialami juga berbeda. Hanya satu yang sama: keinginan untuk bersua kembali entah berapa tahun lagi dengan kisah masing-masing yang luar biasa. Saat kau menghampiri dan menyalamiku, kau tersenyum indah sekali. Seingatku itulah senyum terbaikmu yang pernah kulihat—sampai aku juga ikut menyuguhkan senyum terbaikku. Kurasa aku merekam senyummu itu dengan sangat baik di kepalaku. Begitulah kita pertama kali berpisah.

Tak pernah ada pertemuan lagi selepas senyum itu.

“Entahlah, kenapa saat itu, ia menganggap lucu kata-kata itu. Mungkin itulah sebabnya, sering kita kangen pada saat-saat pertemuan pertama. Kita memang ingin selalu mengulang kenangan.” – Agus Noor: Cerpen Kunang-kunang di Langit Jakarta



Salam,
Wahyu Widyaningrum

Lately I've really had those sentences stuck in my head--Agus Noor's. Felt like i have to write something with it. So, voila! Hope it would stuck on you too :)

Friday, November 30, 2012

Prangko: Macam-macam, Warna-warni, Membahagiakan

Alhamdulillah It’s Friday :)

Omong-omong, masih sering lihat prangko, nggak?

Kalau saya sih masih lumayan sering. Tiap hari kantor saya nerima banyak surat, dan beberapa di antaranya masih pakai prangko.

Beberapa bulan lalu saya tergugah *halah* pas lihat tumpukan amplop dengan prangko tertempel kok dibuang begitu saja. Akhirnya saya ambil, saya lihat prangkonya. It’s really fun to see every picture on it. Gambarnya macem-macem dan warna-warni. Karena suka, saya kumpulkan. Sekarang sudah sebanyak ini :)


Bukan, saya bukan filatelis kok. Kalau filatelis mah nggak bakal ngumpulin prangko bebas begini. Mereka hanya memburu dan mengoleksi prangko edisi khusus yang dicetak terbatas. Selain itu, nggak ada ceritanya filatelis cuma naruh koleksinya di satu plastik gitu. Yang pernah saya baca sih, prangkonya diplastikin satu-satu, baru kemudian ditata di album prangko.

Dari sekian banyak prangko, ini yang paling saya suka, bahkan sampai saya taruh di tempat tersendiri:



Ini adalah prangko edisi Joint Stamp Issue Indonesia-Japan tahun 2008. Sebenarnya total ada 10 prangko di edisi ini, tapi saya baru berhasil dapat 8. Saya belum punya yang nomor 5 dan 8. Ada yang punya dan mau ngasih ke saya nggak? Kurang 2 aja kok. Hehe.




Kelihatan nggak gambarnya apa aja? Let me tell you. Dari kanan ke kiri, atas  (Indonesia) ke bawah (Jepang):
1/10: Danau Kelimutu
3/10: Candi Borobudur
7/10: Angklung
9/10: Scleropages formosus (nama latin dari Arwana Asia)
2/10: Mt. Fuji
4/10: To-ji Temple
6/10: Cherry blossoms
10/10: Nishiki-goi

Tebakan saya sih, prangko nomor 5 bergambar bunga khas Indonesia (mungkin melati) karena nomor 6 bergambar bunga sakura *singing: Sakura no you na, kimi deshita – NEWS: Sakura Gaaru *. Sedangkan prangko nomor 8 bergambar alat musik tradisional Jepang, karena nomor 7 bergambar angklung.

Gambarnya bagus-bagus, kan? Menyenangkan sekali :)

Well, hal-hal kecil yang menyenangkan kayak gini sungguh bisa membuat bahagia.

Happy Friday!


Salam,
Wahyu Widyaningrum

Monday, November 19, 2012

Roti Maryam Bogor Rasa Gresik

Libur panjang 4 hari kemarin saya isi dengan main ke Bogor.

Sayang Sabtu pagi saya harus balik ke Jakarta karena ada acara. Saya berangkat dari daerah Dramaga, Bogor, sekitar pukul 06.50 dengan angkot. Nggak sampai 30 menit saya sudah tiba di stasiun Bogor. Kereta berangkat seingat saya pukul 08.00. Masih ada waktu lebih dari setengah jam. Bingung mau ngapain, saya akhirnya ke dekat pintu keluar stasiun. Seingat saya ada penjual roti Maryam di situ.

Beberapa minggu lalu waktu ke Kebun Raya Bogor, saya baru tau ada penjual roti Maryam di stasiun dan langsung pengen beli. Tapi karena terburu-buru, nggak jadi beli. Jadilah dia cuma terngiang-ngiang dengan manis di kepala saya.

Dan akhirnya kemarin saya beli roti Maryam itu, harganya Rp 3.000.

Tentang roti ini, ada cerita tersendiri. Dulu waktu SMA, roti ini lumayan beken. Kalo nggak salah harganya masih Rp 2.000. Dijual di salah satu kedai di kantin sekolah. Teman-teman kelas sering beli buat dimakan rame-rame. Makin asyik kalau rotinya masih hangat, gula halusnya banyak, dan orang yang makan juga banyak :). Yang bikin roti ini nancep terus di ingatan, selain karena namanya yang unik, rasanya yang lumayan, juga karena tulisan di kertas promosinya: “Roti Maryam. Bergizi Kesehatan. Rp 2.000”. Well, dari sudut manapun, frase ‘bergizi kesehatan’ sungguh luar biasa unik. Hehe

Oiya. Buat yang belum tau bentuknya roti Maryam, here it is.


Katanya sih mirip roti canai yang dari India itu. Entahlah, saya sendiri belum pernah makan roti canai.

Nah. Roti Maryam yang saya beli di stasiun Bogor ini rupanya sudah agak modern. Kalau dulu waktu SMA pembungkusnya cuma kantong plastik bening, kali ini dibungkus kertas dengan label merk.

Roti sudah saya makan setengah. Iseng saya lihat kertas pembungkusnya:



Mata saya langsung menangkap kata ‘Gresik’. Yeah, sebagai orang yang lahir dan besar di Gresik, saya masih amazed kalau lihat apapun bertuliskan Gresik. Pun Semen Gresik, yang lumayan mudah ditemui di banyak tempat. Haha.

Jadi saat itu saya sedang makan produk Gresik. Meskipun saya nggak tau apanya yang dari Gresik: kertas pembungkusnya saja atau franchisenya atau apanya.

Yang jelas saat itu saya jadi senang sekali. Bahagia gitu. Berasa lagi di Gresik, bukan di Bogor. Haha. Mungkin perasaan saya mirip dengan orang Indonesia di luar negeri yang nemu rumah makan Indonesia di sana :)



Salam,
Wahyu Widyaningrum

Monday, November 12, 2012

Selamat Penempatan, Teman

Beberapa jam lalu saya baru dapat kabar kalo teman2 BPK dan BPKP udah dapat pengumuman soal penempatan dinas. Dan kayaknya saya yang emang nggak gahol, soalnya ternyata BPK pengumumannya sudah sejak kemarin (edit: ternyata pengumumannya Jumat, 9 November lalu. Bukan via internet, tapi langsung dipanggil satu per satu di aula :)) . Haha. Kalo BPKP emang baru malam ini (atau sore?).

Dan benar-benar ke hampir seluruh Indonesia. Apalagi BPKP, katanya yang di Jakarta cuma 3 orang, itupun karena ajudan kepala BPKP. Selain itu semuanya di luar Jawa.

Jadi teman-teman saya dua bulan lagi mungkin sudah berpencar kemana-mana.

Teman kos saya dulu waktu kuliah, Peni, dapat Sumatera Utara. Teman yang saya kenal baru pas ikut kepanitiaan penerimaan mahasiswa baru tapi langsung lengket, Ari, dapat Kalimantan Timur. Teman sekelas waktu tingkat 1 yang galaunya minta ampun, Juni, dapat Jambi *elu mah pulang kampung, Jun :p*. Teman dari satu kabupaten dan satu SMA, Amek, dapat Kalimantan Barat. Teman satu SMA yang sempat sekelas waktu MOS doang, Prizar, dapat Maluku.

Waktu saya tanya via sms mereka dapat penempatan di mana, mereka jawabnya sambil kasih emoticon senyum dan tertawa.

Tapi saya nggak tau gimana perasaan mereka sebenernya. Seneng karena sesuai pilihan polling atau sedih karena nggak sesuai pilihan. Gembira karena kembali ke rumah atau kecewa karena jadi jauh banget dari rumah. Atau juga biasa saja, soalnya udah siap ditempatkan di manapun sejak daftar ulang kuliah dulu. Atau mungkin ada juga perasaan lain yang campur aduk jadi satu, saya nggak tau sama sekali. Cuma satu yang saya tau bagaimana perasaannya: Juni. Jelas dia bahagia tiada tara, tak lain karena memang rumahnya di Jambi.        

Emmm….

Selamat deh buat teman-teman BPK dan BPKP. Semoga nggak ada yang kecewa dengan hasil penempatannya. Kalaupun ada semoga nggak banyak dan semoga nggak lama-lama.

Sekali lagi selamat. Life is an adventure, guys :)



http://indonesia-peta.blogspot.com/



Lagu latar: NEWS – Weeeek (liriknya pas nih. Ashita kara mata nichi getsu ka, hora sui moku mawatte kin do nichiyou, yume no hibi wo daiji ni ikimasho! : From tomorrow it’s Sunday Monday Tuesday again, see! Wednesday Thursday will turn to  Friday Saturday Sunday, let’s treasure the days of our dreams!)

11 November 2012 – Otanjoubi omedetou, Tegoshi Yuuya :)
Salam,
Wahyu Widyaningrum

Monday, October 22, 2012

Esok = Hari (yang) Cemerlang

Sudah Senin lagi. Berarti sudah harus semangat lagi :).


Maa, tulisan ini harusnya dipost hari Minggu, biar semua menyambut Senin dengan riang gembira. Tapi berhubung ini baru ditulis, jadi ya terpaksa baru dipost hari ini. Haha

Jadi ceritanya, saya lagi belajar bahasa Jepang. Dan sekarang sedang dalam tahap belajar kanji. Meskipun kanji itu ngebingungin karena cara bacanya banyak, tapi belajarnya jadi seru. Karena menurut cerita yang saya dengar, kanji dibuat dengan asal-usul. Jadi ada kisah di balik pembuatan kanji tersebut.

Cerita ini adalah tentang salah satu kanji yang bikin belajar jadi seru :).

Saya belajar bahasa Jepang pertama-tama ya dari lagu. Waktu itu, saya lihat di lirik salah satu lagu, kanji ini 明日 dibaca ashita, artinya besok. Ada dua karakter di kanji 明日. Ada 明 dan 日. Saya cuma tahu karakter 日, bisa dibaca hi/bi/nichi, artinya hari. Kalo yang 明 saya nggak tau.

Nah. Beberapa hari lalu, saya lihat entah di mana, ada tulisan ini 明るい dibaca akarui. Artinya terang; cemerlang; riang; gembira; ceria; pandai; paham betul-betul. Hiragananya  るいdibaca ‘rui’, jadi kanji ini 明  aja dibaca ‘aka’.  Selain aka, bisa juga dibaca aki(raka), a(kari), a(keru), a(kasu), a(ku), a(ki), mei, dan myou.

Kembali ke kanji  明日 yang artinya ‘besok’. Setelah saya lihat-lihat, barulah saya sadar. Berarti kanji 明日 dibentuk dari karakter 明 yang artinya ‘terang’ dan 日yang artinya ‘hari’. Kalau digabung, artinya jadi hari (yang) terang. Bukan begitu?

Jadi, esok = hari yang terang/cemerlang.

Tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang esok, karena apa yang kita khawatirkan seringkali hanyalah ketakutan-ketakutan dalam imajinasi kita saja.

Tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang esok, karena kita hidup untuk hari ini. Berbuat yang terbaik untuk hari ini. Kalaupun ada esok, ia tak lain hanyalah sebuah hari yang terang. Yang lebih indah. Yang lebih baik. Bukan hari yang menunggu untuk dikhawatirkan.

Tak ada alasan untuk tidak menyambut esok yang terang dan cemerlang dengan lebih bersemangat.

Minna, ganbatte ne :).

Catatan:
Setelah buka kamus menulis kanji, saya menemukan bahwa 明日 dibaca myounichi, artinya besok. Heran karena saya menemukan 明日 tidak dibaca ashita, saya buka kamus dwibahasa Indonesia-Jepang. Saya cek di laman ‘besok’, tertulisあした (ashita) dan 明日 (myounichi). Saya cek di laman ‘ashita’, tertulis hanya dalam hiragana あした. Di Google translate, saya menemukan kalau 明日 dibaca ashita.
Sampai sekarang saya nggak ngerti apakah 明日 bisa dibaca ashita dan myounichi, ataukan yang benar ashita memang hanya ditulis dalam hiragana. Later I will ask Sensei about it.
Apapun, mari menyambut esok yang terang dan cemerlang dengan lebih bersemangat :).



Smiley dari sini 


22 Oktober 2012
Salam,
Wahyu Widyaningrum


Monday, October 15, 2012

Kenapa Upacara Bendera?

Upacara bendera.

Dulu ketika masih sekolah, bisa dibilang saya agak ogah-ogahan tiap hari Senin. Ya karena ada upacara itu.

Tapi waktu udah kuliah dan kerja, upacara adalah peristiwa langka. Di kampus dulu, seingat saya, upacara cuma digelar pas 17 Agustus aja. It means once in a year. Dari 365 hari, cuma ada sehari yang disediakan buat upacara. Kurang langka apa, coba?

Pas kerja ini, upacaranya lebih sering. 20 Mei, 17 Agustus, 1 Oktober ada upacara. Hari bersejarah sih soalnya. Dan ada tambahan lagi. Yaitu upacara pas Hari Oeang Republik Indonesia. Meskipun lebih sering *bukan setahun sekali seperti pas kuliah*, tapi toh bukan setiap Senin kan?

Saya pribadi, sejak lulus SMA jadi kangen dengan upacara. Kangen banget. Dengerin lagu Indonesia Raya, hormat ke bendera merah-putih, mengheningkan cipta, dan lain-lain. Kecuali sambutan Pembina upacara. Saya nggak kangen dengan prosesi itu *dan emang yang bikin prosesi upacara lama kan ya sambutan pembinanya*.

Karena saya kangen, jadi saya semangat kalo disuruh ikut upacara.

Dan karena saya semangat, saya jadi heran sama orang yang amit-amit susah banget kalo disuruh ikut upacara. Apalagi kalo yang beralasan, “upacara kan panas banget.”

Iya sih, panas. Tapi… kan situ sehari-hari udah ngadem terus di ruangan. Kapan lagi kena sinar matahari yang berfungsi sebagai sumber vitamin D? Nggak banyak lho sumber vitamin D. Yang paling gampang dan gratis ya dari sinar matahari. Kalo nggak percaya, silakan baca di sini deh :)

Ada lagi yang beralasan, “tahun kemarin kan udah.”

Emmmm… kalo gitu nggak usah ada peringatan deh ya. Bukankan upacara dilakukan setiap tahun karena memperingati hari tertentu? Pasti nggak mau dong kalo nggak dibolehin makan siang dengan alasan, “ntar siang nggak usah makan lah, kan tadi pagi udah.”

Jadi, kenapa masih malas ikut upacara bendera?


gambar dari sini


Salam,
Wahyu Widyaningrum

Tuesday, October 2, 2012

Sepotong Apel Merah

Di antara sekian banyak bangku di taman ini, aku paling suka bangku yang berada di dekat patung—aku tak tahu patung ini berbentuk apa, menurutku bentuknya seperti seorang pria yang membawa tongkat pendek yang biasanya dibawa petugas keamanan, tapi kata teman-temanku patung itu sedang membawa pedang—yang paling dekat dengan jalan raya. Aku suka bangku itu karena jika aku menghadap ke luar, aku bisa melihat jalan raya yang bercabang tiga, sedangkan jika aku menghadap dalam, aku bisa melihat seluruh taman dengan sekali pandang, tanpa perlu menoleh-noleh.

Jika sudah menghabiskan koran daganganku, aku sering duduk-duduk di sana. Tentu saja jika bangku itu masih kosong—faktanya, bangku itu memang sepi peminat karena jika pagi, sinar matahari langsung menyorot ke arahnya. Kalau sudah ada orang yang duduk di bangku itu, aku lebih memilih untuk duduk di bangku di bawah pohon beringin di ujung selatan taman.

Tapi sudah beberapa hari aku tak bisa duduk di bangkuku. Seorang anak kecil berseragam sekolah selalu duduk di sana. Ia mengenakan tas bergambar Power Ranger dan selalu membawa wadah bekal makan yang diletakkan di sampingnya begitu ia duduk. Di bangku itu ia duduk sendiri, untuk beberapa lama. Beberapa menit sebelumnya, seorang perempuan berusia tiga-puluhan berjalan kaki menggandeng anak kecil itu. Setelah sampai di bangkuku, wanita—yang kurasa merupakan ibu dari anak kecil berseragam sekolah itu—itu merapikan baju si anak, menepuk-nepuk pundaknya, lalu mengecup keningnya. Kemudian wanita itu berlalu begitu saja ke arah utara, meninggalkan anaknya sendirian.

Beberapa hari lalu, ketika aku pertama kali melihat adegan ibu-anak itu, aku merasa heran. Sampai saat itu aku belum pernah menyaksikan seorang anak kecil ditinggal oleh ibunya untuk duduk sendirian di bangku taman yang letaknya tepi jalan yang ramai. Dan aku juga tak pernah membayangkan akan pernah menyaksikannya. Kurasa orang tua manapun tak ada yang tega meninggalkan anaknya sendirian begitu. Bagaimana jika ada penculik, misalnya? Bukannya aku berharap sesuatu yang buruk terjadi, tapi aku realistis saja. Kisah penculikan sudah terlalu sering menghiasi halaman-halaman koran. Orang lain saja rela membayar seorang pengasuh anak demi tidak meninggalkan anak mereka sendirian.

Saat itu kupikir si ibu akan kembali, tapi aku sadar pikiranku salah ketika beberapa menit selanjutnya anak kecil itu malah didekati oleh seorang pria. Dan sekali lagi pikiranku salah ketika kupikir anak kecil itu akan menunjukkan reaksi takut atau bahkan kabur, tapi ternyata ia justru mencium tangan pria yang mendekatinya dan bahkan kemudian memberikan wadah bekal makan yang sedari tadi ada di sampingnya.

Setelah menerima wadah bekal makan itu, si pria duduk di sebelah anak kecil tersebut. Ia membuka wadah bekal tersebut, mengeluarkan isinya, lalu memakannya. Dari tempatku duduk saat itu aku tak bisa melihat dengan begitu jelas apa yang ia makan. Yang jelas bukan nasi karena ia menggenggam makanannya. Bukan juga gorengan karena warnanya bukan cokelat. Ah, kurasa itu apel merah. Mungkin sudah dibelah, karena ada sisi berwarna putih.

Saat aku sedang meyakinkan diri bahwa memang apel yang dimakan oleh pria itu, mereka berdua berdiri—berarti pria itu makan dengan cepat sekali. Sambil bergandengan, berdua mereka berjalan ke arah utara. Tak ada reaksi aneh yang ditunjukkan baik oleh anak itu—entah teriak, terkejut, atau takut-takut—maupun oleh si pria—mungkin menarik paksa, memukul, atau membentak—, jadi kurasa mereka saling mengenal.

Tapi sejak melihat hal tersebut pertama kali aku tak pernah menyangka bahwa mereka berdua memiliki hubungan ayah-anak, hingga kemarin.

Kemarin, selepas mengisi perut dengan nasi pecel di warung kecil dekat-taman sebelah-barat, aku kembali duduk di bangku di bawah pohon beringin. Anak kecil berseragam sekolah itu telah tiba di taman dan menduduki bangkuku.

Belum sampai sepuluh menit aku duduk, hujan turun. Tidak ada peringatan mendung sebelumnya. Saat air langit mulai menetes, anak kecil itu tampak panik, seperti juga orang lain yang sedang duduk ataupun lalu-lalang. Ia berdiri memeluk wadah bekalnya. Menoleh-noleh, mungkin mencari tempat berteduh. Aku melambai ke arahnya—bangkuku yang ini adalah satu di antara dua bangku di taman ini yang memiliki atap. Ia melihatku, lalu segera berlari ke arahku. Kutepuk-tepuk tempat duduk di sebelahku untuknya, sebelum diduduki oleh orang-orang yang mulai merapat di bangku ini.

Selama hujan turun, ia terus melihat ke arah pertigaan di ujung, sesekali menoleh ke selatan.

“Aku mencari ayah,” jawabnya saat kutanya mengapa sejak tadi ia tak bisa tenang, “aku harus memberikan ini untuk ayah. Titipan dari ibu,” lanjutnya.

Saat itulah aku tahu bahwa pria yang setiap hari datang, membuka wadah bekal dan memakan isinya, dan menggandeng tangan anak kecil di sebelahku adalah ayahnya.

“Titipan?”

Ia mengangguk. “Ayah sudah tidak tinggal serumah dengan aku dan ibu.”

Sejenak kami berdua sibuk dengan diri masing-masing.

“Sarapan?” Mataku mengarah ke wadah bekal yang ia pegang.

“Bukan. Ini apel merah. Ayah suka apel merah.”

Rupanya mataku tak salah lihat waktu itu. Memang apel merah.

“Itu Ayah!” ia menunjuk seberang jalan. Aku mengikuti telunjuknya. Seorang pria bertopi berlari-lari kecil menyeberang jalan. Bajunya basah.

Tiba-tiba anak kecil di sampingku berlari menuju pria itu. Ketika itu aku sadar bahwa hujan telah reda. Lalu kulihat sepasang ayah-anak itu berjalan bergandengan tangan ke arah utara.

---

Hari ini aku melihat anak kecil yang beberapa hari terakhir rutin duduk di bangkuku. Di sampingnya tetap ada wadah bekal makan. Tapi bukan seragam sekolah yang menempel di tubuhnya. Ia mengenakan kaos oblong dan celana selutut. Ia juga tidak menggendong tas punggung bergambar Power Ranger.

“Menunggu ayah?” sebenarnya aku sendiri juga tak tahu kenapa pada akhirnya aku memutuskan untuk mendekatinya dan menanyakan hal itu.

Ia mengangguk.

“Apel merah?”

Sebuah pertanyaan basa-basi. Aku kemarin sudah tahu bahwa yang ada di wadah bekal itu adalah apel merah.

Tapi ia menggeleng.

Ia berkisah, katanya ketika tadi pagi ia bangun tidur, ia menemukan ibunya masih tidur dalam posisi duduk di kursi di depan televisi. Karena ia tak ingin terlambat ke sekolah, ia memanggil-manggil nama ibunya. Tak ada reaksi, ia menggoyang-goyang tubuh ibunya. Tak ada reaksi juga. Ia menangis keras, karena biasanya, ia bilang, bila ia melakukan itu maka ibunya akan langsung bangun dan menenangkannya. Tapi itu tak terjadi. Ibunya tetap bergeming.

“Lalu apa yang kamu lakukan?”

Yang ia tahu, jawabnya, pagi itu ia harus mengantar apel merah untuk ayahnya, seperti hari-hari biasanya. Ia membuka kulkas, mencari apel merah yang memang biasanya disimpan di situ. Tapi tak ada sebutir apel merah pun di kulkas. Apel merah juga tak ada di lemari. Ia mencari di seluruh sudut rumah. Sayang tak ada apel merah tersisa di rumahnya.

“Aku sayang ayah. Ibu juga. Tapi ayah tidak sayang pada ibu. Makanya sebulan lalu ayah tidak tinggal di rumahku dan ibu. Ayah juga tidak mau bertemu ibu, cuma mau makan apel merah yang dipotong ibu saja.”

Jalan pikiran ayah dan ibu dari anak ini tak kumengerti. Pisah rumah, tapi setiap hari masih mau makan apel yang dipotong oleh orang yang tidak ia sayangi. Pisah rumah dan tahu bahwa orang yang ia sayangi tidak menyayanginya, tapi masih saja memotongkan apel untuknya setiap hari. Kurasa aku harus ada di posisi mereka untuk bisa memahami jalan pikiran unik itu.

“Aku kasihan pada ayahku.” Kata bocah di sebelahku melanjutkan cerita, “setiap hari ia memakan apel merah yang dipotong oleh ibu. Kalau hari ini tidak, aku takut ayah jadi marah padaku dan tidak mau bertemu denganku, seperti ayah tidak mau bertemu ibu.”

“Jadi akhirnya aku membawa ini untuk ayah.” Ia membuka wadah bekalnya, “biar nanti ayah yang membeli apel merah sendiri tapi tetap ibu yang memotong apel merah itu untuk ayah.”

Aku kurang paham, tapi aku melongok ke wadah bekal yang telah ia buka. Di dalamnya terdapat sebilah pisau dan sepotong telapak tangan wanita.

***


Lapangan Banteng, 1 Oktober 2012
#Saujana
Dibuat untuk kegiatan kecil-kecilan #Saujana. Kisah-kisah lain dari @staners2008 bisa dibaca di sini

Wednesday, September 5, 2012

September Ceria :)

September ceriaaaaaaaaaa :)

Ketika saya menengok blog, saya baru sadar ternyata post terakhir saya lakukan pada 6 Agustus 2012. Itu berarti sudah sebulan yang lalu. Super sekali. Sungguh terlalu kalo update blog sebulan sekali *ngomong sama cermin*.

Baiklah. Tulisan ini saya buat lebih karena bersalah karena udah lama nggak ngepost sesuatu di blog. Semoga isinya nggak nyampah lah ya :)

Pagi ini waktu saya buka twitter, saya lihat beberapa twit dari teman-teman seangkatan. Setelah saya telusuri, ternyata semalam terjadi kehebohan dan kegemparan di jagat twitter. Yang heboh nggak banyak sih, nggak sampe jadi trending topic juga. Seenggaknya yang heboh adalah angkatan saya dan mungkin angkatan adik kelas yang mau lulus tahun ini.

Penyebabnya adalah akun @stan_info. Semalam si @stan_info ini merangkai 20 twit yang isinya sama sekali nggak penting dan, terlebih, nggak akurat. Kedua puluh twit @stan_info bisa disimak di sini. Poin yang bikin heboh adalah poin ketiga. Inti dari kultwit itu memang ada di poin ketiga sih. Poin selanjutnya hanya sebagai penjelas.

Yang ingin saya sampaikan sehubungan dengan kultwit tersebut adalah *yaelah, bahasanya gini amat dah ya :|*.

.     1.  Kultwitnya sama sekali nggak penting. Sayangnya, seringkali yang jadi bom dan dibicarakan dimana-mana adalah hal-hal yang nggak penting ini. Dan karena nggak penting, harusnya setelah dibaca ya nggak usah dipikirin. Wong nggak penting. Hidup terlalu singkat untuk diisi dengan mikirin hal nggak penting semacam itu. Mbok yo kultwit tentang NEWS Concert: Utsukushii Koi ni Suru yo… *ini malah lebih nggak penting lagi :|*.

      2.  Infonya nggak akurat. Dulu, waktu pertama kali diterima oleh pak Sekjen, pas rame-rame di Dhanapala, rasanya beliau sudah menjelaskan status seangkatan ini apa. Memang belum CPNS sih. Tapi juga bukan pegawai yang ngutang sama negara, kan? Setelah teman saya konfirmasi ke bagian yang mengurusi tunjangan kinerja, ternyata info @stan_info sama sekali nggak bener. Intinya, nggak ada istilah harus balikin apa yang udah diterima selama 7 bulan lalu.
     
      3. Senior yang jadi admin @stan_info nggak asik. Udah tau kondisi angkatan ini lagi kurang beruntung, kok ya malah ditambahi hal-hal nggak akurat dan kabar burung gitu. Harusnya senior yang baik kan memberi dorongan dan semangat, bukan malah nakut-nakutin adik kelasnya gitu. itu sih nggak gentle namanya. Nggak keren lah.

      4. Dear friends, nggak usah dipikirin lah. Toh udah pengalaman berhadapan dengan kabar burung selama sekian bulan. Nggak usah ditanggapin dan dimasukin hati. Itu cuma bikin nggak menikmati hidup. Udah ya, jangan bahas masalah itu lagi. Apalagi retweet-retweet pernyataan aneh begitu :)


Dan saking apanya lah saya sampai nulis beginian. Padahal biasanya paling anti buat bahas isu nggak jelas kayak gini.

Mmm. Semoga teman-teman nggak telan mentah-mentah kultwit itu ya. Lebih baik konfirmasi dulu ke pihak yang lebih tau, biar berita yang belum jelas kebenarannya nggak nyebar kemana-mana dan bikin kacau jagat persilatan.




Dibayang-bayangi wajah Inoo Kei,
Di sebuah ruangan yang sepi.

Salam,
Wahyu Widyaningrum

Monday, August 6, 2012

Bos: Kamu Ngapain di Ruangan Saya, Wahyu?


Sore itu ada perempat final ganda putra bulu tangkis Olimpiade 2012 Bona-Ahsan vs Yong Dae-Jae Sung. Sebagai Warga Negara Indonesia yang selalu mendukung atlet-atletnya berlaga di pertandingan apapun (terutama atlet bulu tangkis yang cakep kayak Liliyana Natsir), saya bertekad HARUS nonton babak tersebut.

Dari twit @bulutangkisindo, saya tau kalau pertandingan INA-KOR itu bakal digelar pukul 15.45 wib di salah satu stasiun televisi: kalau nggak RCTI ya TVRI.

Sayangnya, harapan manusia kadang nggak sejalan dengan kenyataan di lapangan. Pengennya gini atau gitu, eh ada aja hambatannya.

Seperti saya.

Di ruangan kantor saya, saluran televisinya paralel dengan televisi di ruangan ibu bos. Jadi kalau bos pengen nonton NatGeo, ya televisi ruangan ngikut, nyetelnya NatGeo juga. Kalau saya pengen nonton bulu tangkis itu tapi bos nggak pengen, gimana dong? Masa saya nggak nonton?

Untunglah ada satu solusi. Yaitu kabel televisi berlangganannya dilepas, diganti antena indoor. Tapi ternyata RCTI-nya banyak semutnya >.< Nggak kelihatan gambarnya. Pas nyari TVRI, malah nggak ketemu sama sekali salurannya. Udah pengen bunuh diri aja lah rasanya pas itu >.<

Mau nggak mau, saya harus ganti saluran televisi LANGSUNG dari ruangan bos. Jadi saya dengan nekat muncul di balik pintu sekretaris bos.

“Mas, saluran televisinya bisa diganti RCTI nggak?” (meskipun saya nggak tau pertandingannya bakal disiarkan di RCTI atau TVRI, tapi nggak tau kenapa saya pede bahwa yang nayangin adalah RCTI. Jadi saya minta RCTI aja.)

“Emang mau nonton apa?”

“Ganda putra bulu tangkis olimpiade, Mas. Indonesia-Korea nih.”

“Oooh. Masuk aja ke ruangan bos. Ganti salurannya sendiri ya.”

“Bos kemana?”

“Keluar. Rapat di hotel L****e.”

“Beneran nih nggak apa-apa langsung masuk sendiri?”

“Iya, nggak apa-apa.”

Berbekal petuah dari mas-mas sekretaris bos, saya masuk ke ruangan bos. Terus dengan leluasa mencet-mencet tombol remote televisi, pilih-pilih saluran.

Yes! Akhirnya ketemu juga RCTI-nya.

Pas lagi senyum-senyum sendiri soalnya nggak lama lagi bakal nonton bang Bona-Ahsan, tiba-tiba pintu ruangan bos terbuka.

“Nyari RCTI ada apa, Yu?”

Dua meter dari tempat saya lagi pegang remote, ada ibu bos yang baru pulang rapat.

Otak saya membeku sebentar, saya tiba-tiba nggak bisa gerak. INI SAYA MUSTI NGAPAIN???

“Ini Bu, ada bulutangkis olimpiade Indonesia-Korea. Bona-Ahsan yang main.”

“Partai apa? Ganda campuran?”

“Bukan, Bu. Ganda putra.”

“Oooh. Kemaren saya nonton voli, Korea-Brazil. Hebat ternyata Korea. Bisa ngalahin Brazil lho.”

“O, iya ya Bu? Padahal kan Korea orangnya nggak tinggi ya Bu ya?”

“Wah, jangan salah. Sekarang tinggi-tinggi mereka. Sampe menang gitu.”

“Oooh. Hebat ya kalo gitu. Ya sudah bu, saya permisi dulu.”

“Iya, Yu.”

Si bos adalah mantan atlet, jadi beliau suka nonton segala macam pertandingan olahraga (fiuuuh. Untung deh. Kalo bos mantan koki, reaksinya bisa jadi beda).

Sampe di luar, saya bilang sama sekretaris bos.

“MAS! KOK NGGAK BILANG-BILANG SIH KALO BOS DATENG?”

“Haha. Tenang, tadi saya udah bilang ke bos kok. “Di dalem ada Wahyu, Bu.””

%#gD9*1@)?.#%|+&0oig^%f

Selama sekitar 5 bulan kerja, itulah momen paling awkward: Bos nge-gap saya lagi di ruangan beliau sambil pegang remote (untung saya nggak sekalian duduk di kursi bos. Untung lagi, bos nggak bilang, "Kamu ngapain di ruangan saya, Wahyu?").

Saya kapok -__-


Salam,
Wahyu Widyaningrum

Friday, July 6, 2012

Apa yang Kita Bicarakan Ketika Kita Bicara tentang Berlari

Doumo :)
Kali ini saya menampilkan salah satu cerpen lama saya (saya membuatnya tahun 2012 2010). Cerpennya sendiri cukup panjang. So, be ready guys :)


Apa yang Kita Bicarakan Ketika Kita Bicara tentang Berlari

KITA suka sekali berlari. Ketika hari telah menjadi sekarat, ketika burung-burung memutuskan terbang pulang, ketika matahari menjadi terlalu berat, ketika sebentar dia pancarkan semburat-semburat, dan pada akhirnya tenggelam di ujung barat. Namun, tentu tidaklah kita mengejar matahari. Dulu kau pernah berkata kepadaku, kita hanya berlari ke arah barat. Kebetulan saja matahari juga tenggelam di barat. Tapi mungkin kita berdua suka berlari adalah juga sebuah kebetulan.

Biasanya kita berlari-lari kecil sampai di belokan ujung jalan itu, lalu mulai menambah kecepatan sampai di pohon beringin di depan rumah sakit, lalu dari sana kita selalu mencapai kecepatan tak terkira, dan selanjutnya kita akan berlomba siapa yang tercepat untuk sampai lebih dulu di halte bus di dekat kantor gubernur.
           
Ketika aku pertama kali bertemu denganmu, kau sedang sibuk mengatur nafas dan mengelap butiran-butiran jagung yang menggelinding di wajahmu. Ketika itu aku belum tahu kau memang rutin beristirahat di tempat yang akhirnya menjadi garis akhir kita sekarang. Aku sendiri datang membawa lima puluh nafas putus-putus. Berantakan. Berserakan asal-asalan.

Kala itu aku belum terbiasa berlari. 

Dari situ akhirnya aku tahu namamu dan mengetahui satu fakta bahwa kau masih tetanggaku, yang tinggal di belakang rumahku—pergaulanku tak begitu baik di lingkungan rumah.

Dan sejak itu, setiap sore kita selalu berlari bersama-sama. Dari garis awal, menuju garis akhir, yang selalu sama. 

Namun seingatku—kumohon koreksilah aku jikalau aku salah dan kau sempat membaca tulisan ini—sejak pertama kali aku mengenalmu, tak pernah kita berlari ke timur. Tak mau kau kuarahkan kesana. Sampai hari ini, daerah timur dari perjalananku adalah kenanganku bersama orang lain, bukan denganmu.

***

SATU jam yang lalu kau datang ke rumahku, mengajakku untuk berlari seperti biasanya. Tapi aku sedang tak enak badan. Sejak kemarin malam suhu tubuhku mendadak tinggi. Dan belum juga reda. Entah tadi kau menyadari atau tidak, tapi wajahku merah sekali. Dan hari ini aku terpaksa menolak rutinitas kita. Kita tak bisa berlari bersama. Aku sedih tidak bisa menemanimu berlari. Entah kau pun sedih atau tidak.

Setelah berlari, kita selalu mampir ke kafe pinggir jalan yang letaknya tak begitu jauh dari kantor gubernur. Di sana kita akan memesan menu yang sama, yang tak pernah berubah sejak pertama kali kesana. Kau pesan jus wortel, sedangkan aku pesan jus tomat. Hanya itu. Rasanya kita tak pernah tergoda untuk mencoba steak daging yang kabarnya lezat itu.

Dulu, ketika pertama kali kesana, aku malu setengah mati. Waktu itu aku hanya mengenakan kaos oblong, celana pendek, dan sepatu. Handuk melingkar di leherku. Wajah, leher, tangan, dan kakiku berkilat-kilat oleh keringat yang belum kering. Bajuku berwarna lebih gelap dari semula karena sudah basah oleh keringat. Sementara kursi-kursi di kafe itu penuh dengan orang-orang berpakaian rapi, setidaknya tak ada yang melingkarkan handuk di leher. Tapi kau memaksaku, sambil berkata bahwa kau saja tak malu meski celanamu lebih pendek dari punyaku dan sepatumu lebih kotor dari sepatuku lantaran noda lumpur menempel di hampir seluruh bagian sepatu dan belum sempat kau bersihkan.

Mendadak aku jadi ingin minum jus tomat sambil melihatmu minum jus wortel, di kafe pinggir jalan dekat kantor gubernur itu.

Kau tentu tak tahu jika aku selalu melihat tiap tingkahmu dan menyu….

Tok tok tok tok….

Oke. Ada seorang pengacau lamunanku saat ini. Pengacau itu tengah mengetuk pintu keras-keras, dan di sela-sela ketukan pintunya ia memencet bel berulang kali. Mungkin jika aku tengah tidur, aku tak akan bisa bangun lagi karena detak jantungku akan berhenti dengan tiba-tiba gara-gara raungan ketukan pintu dan bel yang sangat mendadak dan meneror itu.

Aku berjalan lambat sekali karena tubuhku benar-benar lemah. Aku ingin berteriak, “Hoi, berisik!” pada pengacau di depan rumahku, tapi suaraku tak bisa keluar dengan lantang. Aku tadi sudah mencobanya dan mungkin hanya telingaku yang mendengarnya. Cicak di dinding pun mungkin tak mendengar teriakanku tadi.

Pintu sudah kubuka. Pencetan bel terakhir masih berbunyi keras.
         
Di depanku, seorang pengacau berdiri. Tubuhnya berkeringat. Pakaiannya basah. Nafasnya terengah-engah. Sesekali ia mengelap wajahnya dengan handuk yang tergantung di lehernya. Ia tersenyum. Di tangan kirinya, ia menenteng sekantong sesuatu.
          
“Ini untukmu. Segelas jus tomat dari kafe pinggir jalan dekat kantor gubernur.”
           
Aku terhenyak.

Kaulah pengacau itu. Kaulah yang sejak tadi mengetuk pintu dan memencet bel dengan tidak sabar. Kaulah yang membuyarkan lamunanku.
            
Tapi kau membawakanku jus tomat. Jadi kau bukan pengacau.
          
“Masuk,” kataku. “Kalau kau selalu mengetuk pintu dan memencet bel seperti tadi di rumah semua orang, lama-lama tak ada yang mau menerimamu sebagai tamu.”
           
“Kenapa?” tanyamu setelah masuk dan duduk di kursi tamu yang menghadap ke barat.
           
“Karena esoknya jika mereka ke dokter, maka dokter akan menemukan bahwa tuan rumah-tuan rumahmu itu jantungan gara-gara ulahmu.”
            
Kau tertawa, keras dan tak kunjung berhenti, sampai sudut-sudut matamu mengeluarkan air mata. Kau bahkan sampai memegangi perut dan menepuk-nepuk paha.
            
Padahal menurutku perkataanku tak begitu lucu.
            
Perlahan-lahan tawamu habis.
           
“O iya. Besok kita lari ke timur, yuk.” Ajakmu.
            
Wow. Aku sungguh terkejut. Aku tak pernah menduga suatu hari kau akan mengubah haluan kita dan beralih menuju arah timur.
            
“Bosan juga ke barat terus.”
            
“Kau bohong,” kataku, “bosan tak cukup kuat untuk menjadi alasan bagimu untuk mengubah kebiasaan berlarimu yang selalu ke barat itu. Apa alasanmu sebenarnya?”
           
“Aku ingin melihat bagaimana dunia timur.”
            
“Cukup oke,” jawabku datar, “banyak pohon, kendaraan tak bermesin motor, orang-orang yang lebih ramah, udara sejuk…..”
            
“Bagaimana kau tahu? Kapan kau pernah ke timur? Kita kan selalu berlari ke barat? Bukankah selama ini kita selalu berlari bersama dengan garis akhir di halte bus dekat kantor gubernur itu?”
            
“Haha. Terkadang aku jalan-jalan ke timur juga, dengan kawan-kawanku.”
            
“Begitu?….”
           
“Ya,” sahutku, “tapi tunggu… aku punya satu pertanyaan untukmu. Sungguh aku ingin menanyakan hal ini sejak lama, namun aku tak berani mengungkapkannya.”
            
“Apa itu?”
           
“Mengapa tiap sore kau selalu mengajakku untuk berlari ke barat?”
            
Aku siap mendengarmu bercerita. Sepertinya sebuah kisah yang panjang. Kau memulainya dengan mengambil napas beberapa kali dan sebelum memulai cerita kau mengambil satu napas yang panjang dan dalam.
            
“Aku mencintai barat. Karena semua berpusat di barat….”
           
Lantas kau mulai berkisah. Sejak kecil kau selalu merasa bahwa semua hal pusatnya ada di barat. Itu sebabnya barat lebih maju dari timur. Kau ingin menjadi bagian dari kemajuan itu. Kemajuan zaman, kemajuan teknologi, kemajuan ilmu pengetahuan, kemajuan pembangunan, kemajuan cara berpikir, dan segudang kemajuan lain. Semuanya lantas membuatmu tergila-gila pada barat. Ketergilaanmu membuat kau tak mengerti timur sama sekali.
            
Suatu hari, katamu, ketika kau masih duduk di kelas lima sekolah dasar, kau sedang membuka-buka buku atlas dunia. Kau membuka lembarannya secara acak. Ketika itu kau menemukan bahwa ibukota sebuah negara selalu ada di barat. Jakarta ada di barat. Kuala Lumpur ada di barat. Paris ada di barat. Amsterdam ada di barat. New Delhi juga ada di barat. Dan sampailah kau pada sebuah kesimpulan yang kau bikin ketika itu: barat selalu lebih maju dari timur karena ibukota selalu ada di barat. Kau menyimpulkannya, memegangnya, dan mempercayainya.
            
Bahkan kemudian ketika di tahun-tahun berikutnya, ketika katamu, kau menemukan bahwa Tokyo, Washington DC, Canberra, Beijing, London, Roma, dan Berlin semuanya ada di timur, kau tetap mempercayai keyakinan-kelas-lima-SD-mu itu.
            
Bahwa barat selalu lebih maju dari timur karena ibukota selalu ada di barat.
            
Apalagi, kau bilang, barat identik dengan Eropa dan Amerika.
            
“Haha. Itu karena letak kedua benua itu memang di sebelah barat Indonesia. Kau aneh.” Aku menyela ceritamu.
            
“Ssst. Dengarkan dulu.”
            
Aku terdiam, menahan tawaku, dan kembali berkonsentrasi pada kisahmu tentang barat dan timur ini.
            
Kau berkata bahwa kau sangat menikmati barat dengan segala nuansanya: gedung bertingkat, mobil-mobil mewah supermahal yang melaju dengan anggun di atas jalanan aspal yang mulus, mal-mal yang tidak pernah sepi dikunjungi ribuan orang, dan bangunan-bangunan lain. Di barat kau juga melihat orang-orang berjas dan berdasi yang tampak gagah dan gigih memperjuangkan idealisme mereka, ribuan orang berkemeja yang menyesaki jalanan di pagi dan sore hari, dan banyak golongan manusia lainnya.
            
Katamu kau seperti telah melihat Kuala Lumpur, Paris, Amsterdam, dan New Delhi sekaligus.
            
Aku sekarang jadi paham mengapa kau selalu tersenyum-senyum sendiri ketika kita sampai di garis akhir kita, di halte bus dekat kantor gubernur itu. Kau tersenyum ketika jalanan ramai oleh mobil dan pekerja kantoran, kau tersenyum ketika melihat kantor gubernur, dan kau tersenyum ketika melihat beberapa orang keluar dari kantor gubernur dengan pakaian rapi dan dagu terangkat—kau tak pernah tahu siapa mereka sesungguhnya ketika suatu kali kau kutanyai.
            
“Lalu apa yang kau harapkan dari rencanamu pergi ke timur besok?” tanyaku.
            
Kau menerawang—tak jelas juga sebenarnya apakah kau sedang berpikir menerawang atau melihat dua ekor cicak yang sedang berkejaran di plafon. Aku jadi berpikir, mungkin ketika kita sedang berlari bersama di sore hari, orang lain bisa jadi melihat kita seperti dua ekor cicak ini. Entahlah.
            
“Emmm….”
            
Akhirnya kau memalingkan pandangan dari entah-apa-yang-kau-pandang-tadi. Lantas kau bilang bahwa kau ingin tahu bagaimana timur.
            
“Di timur nanti kita akan melihat hutan, jalanan berbatu, dan bukit-bukit kecil dengan air terjun yang suara gemericiknya menenteramkan hati. Tapi sepertinya di Tokyo, Washington DC, Canberra, Beijing, London, Roma, dan Berlin, kau tak akan menemui itu semua. Sudah kubilang, kesimpulan yang selama ini kau yakini itu tak benar. Barat tak selalu lebih maju dari timur.”
            
“Diamlah. Aku sedang tak ingin berdebat saat ini. Pokoknya besok temani aku, kita akan berlari ke timur.” Kau beranjak.
            
Mendadak aku merasa sedih karena kau akan pergi. Kucari-cari alasan untuk menahanmu sejenak lebih lama, dan jus tomat menyelamatkanku.
            
“Tunggu sebentar. Aku harus menghabiskan jus tomat ini.”
            
“Kenapa begitu? Nanti saja bisa, kan? Aku harus segera pulang.”
            
Kita, tiap sore, selalu menghabiskan jus tomat dan jus wortel bersama-sama. Selalu di kafe pinggir jalan tak jauh dari kantor gubernur itu, tak pernah di tempat lain.
            
Selalu hanya kita berdua. Aku minum jus tomat, kau pesan jus wortel.
            
“Baiklah. Segera habiskan.”
            
Sungguh aku senang mendengar kesediaanmu menemaniku minum jus tomatku kali ini. Ini berarti aku belum kehilangan satu pun kesempatan minum bersamamu tiap sore, selama tiga bulan sejak perkenalan kita.
           
“Terima kasih.”
            
“Sama-sama. Aku pergi. Sampai jumpa besok. Jangan lupa, besok kita ke timur.”

***
            
KALI ini kita akan memulai sejarah. Untuk pertama kalinya kita akan berlari ke timur. Dan kau, untuk pertama kalinya seumur hidupmu, akan menuju timur. Sesaat lagi kau akan tahu bagaimana timur.
            
“Aku tak sabar.”
            
Ah, sungguh aku ingin sekali tertawa. Jika kau tak berada di depanku saat ini, mungkin tawaku sudah lepas dari tadi, dan suara tawaku akan terdengar sampai radius lima puluh meter. Ekpresimu seperti murid taman kanak-kanak yang sedang menanti bus pariwisata yang akan membawa mereka berdarmawisata ke kebun binatang, pantai, taman, atau museum.
            
Kita terus berlari ke arah timur, entah akan berhenti garis akhir yang mana. Kita belum punya kesepakatan soal itu. Atau mungkin jika nanti di timur ada halte bus dekat kantor gubernur, kita akan bergenti di situ. Lalu mampir minum jus tomat dan jus wortel di kafe pinggir jalan. Tapi setahuku, ketika dulu aku ke timur, tak ada halte bus, kantor gubernur, dan kafe pinggir jalan.
            
“Kita sudah di bagian timur.” Ucapku di tengah-tengah nafasku yang tinggal satu-satu. Sudah tiga bulan rutin lari, nafasku tak juga panjang. Selalu pendek-pendek. Barangkali bawaan lahir atau masalah genetika dari mbah buyutku.
            
Kau berhenti berlari. Badanmu berputar-putar pelan, mengamati sekitar.
            
Hahaha. Raka, tak ada gedung bertingkat disini. Tak ada jalanan mulus, mobil mewah, mal, halte bus kantor gubernur, dan kafe pinggir jalan yang menjual jus tomat dan jus wortel.
            
Kau melihat ke bawah. “Jalannya jelek sekali.”
            
Aku tersenyum. Maklum saja, namanya juga jalan batu. Belum diaspal. Kalau tergenang air jelas becek, menyusahkan tiap orang yang lewat entah ia jalan kaki atau naik kendaraan—lebih tepatnya sepeda kayuh.
            
Kau mengajakku menuju pohon besar di pinggir jalan dan duduk di bawahnya. Sambil menyeka keringat, kau bilang bahwa ini sungguh di luar dugaanmu.
            
“Timur ternyata sungguh menyedihkan. Bagaimana orang-orang timur hidup dengan kondisi seperti ini?”
            
“Raka, Tuhan menciptakan masalah bersama dengan solusinya. Lagipula makhluk hidup diberi kemampuan beradaptasi. Masa kau tak ingat pelajaran SD macam ini?”
            
Kau tersenyum pahit.
            
“Tidak mungkin….” Kau menggumam.
            
“Apanya?” Ah, gumamanmu terlalu keras bagiku. Aku masih bisa mendengar suaramu, meski hanya samar-samar.
           
“Iya, tidak mungkin Tokyo, Washington DC, Canberra, Beijing, London, Roma, dan Berlin seperti ini. Mereka pasti sudah maju sekali.”
            
“Apa kubilang? Barat tidak selalu lebih maju dari timur.” Aku bangga sekali mengucapkan ini. Rasanya aku berhasil mematahkan teori yang sudah kau pegang selama belasan tahun dan sudah terpatri dengan baik di dalam hati.
           
“Lantas apa yang selama ini kulihat? Yang kulihat selalu barat lebih maju. Gedung ada dimana-mana, mobil mewah, dan lain-lain. Sementara timur? Hanya jalanan berbatu yang becek ketika hujan dan hutan rimbun yang entah makhluk buas macam apa sedang menunggu mangsa di dalam sana.”
            
“Selama ini kau hanya memegang ekor gajah, tapi kau mengatakan kau telah memahami gajah secara keseluruhan.”
            
Kau memandangku.
            
“Entahlah. Mungkin hanya di negara ini saja yang baratnya lebih maju dari timur. Mungkin orang-orang di barat merasa lebih eksklusif, mungkin orang-orang di barat tak tahu timur juga sama sepertimu, dan banyak kemungkinan lain. Atau  mungkin saja orang-orang di barat yang berjas dan berdasi, yang tampak gagah dan pintar itu tak suka jika timur menjadi semaju barat. Di sini, aku mengakui bahwa semua berpusat di barat. Tetapi tetap saja, timur lebih indah dari barat.”
            
Kau mengangguk-angguk setuju.
            
Ah, ternyata lari kita sore ini hanya sampai di sini. Sepertinya halte bus dekat kantor gubernur lebih jauh daripada pohon ini.
            
“O iya, Raka. Bisakah kita terus seperti ini?” tanyaku.
            
“Maksudmu lari tiap sore? Sepertinya bisa saja. Aku suka lari sore hari, jadi tak masalah bagiku.”
            
“Bukan. Kita seperti ini, selalu bersama.”
            
Kau mengernyitkan alis.
            
“Aku menyukaimu.”
           
Hening.
            
“APA?” tiba-tiba kau berdiri. Nada bicaramu menjadi tinggi sekali. “Andre, kau sudah gila? Aku masih normal!!”
            
Tanpa pamit kepadaku, kau berlari meninggalkanku. Kau berlari ke arah barat, entah kembali ke rumah, ke halte bus dekat kantor gubernur, atau ke kafe pinggir jalan.
            
Aku kecewa. Kukira kegilaanmu kepada barat—yang lebih berpikiran bebas—membuatmu bisa menanggapi hal-hal seperti yang kurasakan dengan lebih bijaksana. Kukira kau, jika memang masih normal, hanya akan tertawa dan menganggap perasaan ini biasa saja meski tak menerimanya.
            
Matahari terus beranjak turun. Beberapa menit lagi ia akan menghilang di barat. Aku berlari sambil menyeka air mata, mengejar matahari terus ke arah barat, yang tenggelam di ujung dunia.
            
Tiba-tiba aku jadi membenci barat.

  ***

Note:
Cerpen yang panjang, kan? :)
Well, saya sendiri pas semalam baca ulang cerpen ini, jadi senyum-senyum sendiri. Temanya agak aneh unik, dan mungkin jalan ceritanya juga agak aneh unik. Haha.
Bagaimanapun, cerpen ini pernah dimuat di Majalah Civitas Volume 8 Tahun V, April 2011. Hehe.
Kritik dan saran silakan dilemparkan diungkapkan di kolom komentar.
Doumo :)
           

Salam,
Wahyu Widyaningrum