Sunday, June 19, 2011

Simple Plan Being, Do The Action!

Cerita bahwa laptop merupakan sebuah barang mewah dan berstatus kebutuhan tersier sepertinya sudah hampir terlupakan. Saat ini, laptop tampaknya sudah ‘naik kelas’ menjadi barang kebutuhan sekunder. Hal ini berlaku terutama bagi kalangan mahasiswa, yang hampir setiap hari mendapat bermacam tugas, entah presentasi, pembuatan laporan, atau lainnya.

Bagi mahasiswa yang tempat tinggalnya (rumah atau kost) dekat dengan kampus, tentu lebih enak pulang terlebih dahulu kemudian baru mengerjakan tugas. Bisa sambil leyeh-leyeh, tidur-tiduran, dan lainnya. Tapi bagi yang bertempat tinggal jauh dari kampus, pilihan paling efektif adalah mengerjakan tugas tersebut di kampus. Bisa di selasar gedung, plasa jurusan, gazebo, atau di manapun, yang penting ada tempat bersandar. Yang paling beruntung adalah yang bisa dapat tempat duduk di tempat-tempat tadi. Yang kurang beruntung ya tidak kebagian tempat duduk, kemudian duduk di lantai.

Mahasiswa yang kurang beruntung tadi menjadi lebih tidak beruntung karena mereka lebih cepat lelah. Bagaimana tidak? Laptop diletakkan di lantai sehingga untuk bisa lebih jelas melihat layar harus membungkukkan badan. Kalau capek membungkuk, maka laptop dipangku sehingga kaki terasa panas.

Hal-hal di atas ternyata menimbulkan ide bagi sekelompok mahasiswa fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS Surabaya) untuk membuat sebuah alat yang ergonomis sehingga para pengguna laptop tidak perlu membungkuk atau memangku laptopnya. Alat tersebut diberi nama eLAPIS (Ergonomic Intelligent Laptop Pillow and Stand).

“eLAPIS merupakan solusi bagi orang yang suka menggunakan laptop,” kata Marissa Alfia Rachmah, salah satu dari lima mahasiswa ITS yang menggagas eLAPIS. Mahasiswi kelahiran Gresik, 22 Februari 1990 ini mengatakan bahwa tujuan pembuatan eLAPIS adalah untuk menerapkan konsep ergonomis yang masih belum familiar di kalangan anak muda pengguna laptop, demi kesehatan mereka.


Marissa Alfia Rachmah, salah satu penggagas eLAPIS

Ressa, panggilan akrab Marissa, mengungkapkan bahwa sebenarnya proyek eLAPIS ini berawal dari iseng. “Dulu iseng ikut Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM), eh ternyata lolos seleksi dan berhasil mendapat dana dari Dikti sebesar lima setengah juta rupiah.”

“Produk ini lahir berkat keisengan saya dan kawan-kawan yang sering melihat mahasiswa ITS mengerjakan tugas di selasar gedung. Berjam-jam mereka berhadapan dengan laptop dalam dua posisi: membungkuk atau memangku laptop. Padahal posisi tersebut tidak baik untuk kesehatan tubuh. Makanya, kami kepudian terpikir untuk membuat produk yang ergonomis. Faktor ergonomis ini penting karena ia menyesuaikan pekerjaan dengan manusianya. Setelah riset kesana-kemari selama sekitar satu setengah bulan, jadilah desain produk yang kami beri nama eLAPIS ini.” jelas Ressa.

Ressa menjelaskan bahwa pembuatan desain eLAPIS tidak lepas dari proses kreatif. Proses kreatif tersebut meliputi beberapa hal, seperti konsultasi dengan dosen, bertukar pikiran dengan teman-teman lain, berkunjung ke tukang meubel, memanfaatkan teknologi, dan survei pasar suara konsumen dengan membagi kuesioner pada target pasar.

“Kami akhirnya membuat dua buah desain untuk eLAPIS ini.” Yang pertama berbentuk seperti meja dengan tinggi kaki yang dapat disesuaikan. Meja tersebut sudah dilengkapi dengan cooling fan. eLAPIS jenis ini memiliki berat sekitar 1,5 kg sehingga lebih cocok untuk diletakkan di suatu tempat misalnya ruang sekretariat atau kantor. Produk eLAPIS kedua merupakan model bongkar pasang sehingga mudah dibawa kemana-mana. “Keduanya sudah diproduksi. Alhamdulillah, responnya positif.”




Dua bentuk desain eLAPIS

Lebih lanjut, mahasiswi semester 6 jurusan Teknik Industri ITS Surabaya ini mengungkapkan bahwa berdasarkan survey yang dilakukan, konsumen merasa bahwa keberadaan eLAPIS adalah penting. Beberapa aspek yang membuat eLAPIS lebih unggul dibanding kompetitor sejenis adalah ergonomis, harga, umur produk, kenyamanan, dan kekuatan produk.

Tiap unit eLAPIS dipasarkan dengan harga Rp 80.000 per unit. “Harga ini lebih murah dibandingkan produk kompetitor. Selain itu, harga sekian itu karena kami masih memproduksi dalam jumlah kecil. Kalau diproduksi massal, harga eLAPIS per unitnya bisa sekitar Rp 35.000.” Sampai sekarang, Ressa dkk sudah memproduksi 70 unit eLAPIS. “Hal ini juga karena dana dari Dikti baru turun setengahnya sehingga kami baru bisa memproduksi 70 unit.”

Ketika ditanya mengenai hambatan dalam proses perencanaan hingga pemasaran eLAPIS, Ressa menjawab, “Kendala kami ada pada pemasok produk. Di Surabaya, tukang kayu mematok harga yang tinggi. Selain itu, proses pengerjaannya juga lama. Itu kendala terbesar kami.”

Apa pesan Ressa untuk pembaca tulisan ini?
“Jangan takut untuk berpikir out of the box. Amati sekitarmu. Simple plan being, do the action!”


Salam,
Wahyu Widyaningrum

Sumber foto:
1. Dok. pribadi
2. http://us.surabaya.detik.com/read/2011/05/25/165011/1647031/466/berlama-lama-di-depan-laptop-dengan-meja-elapis

Thursday, June 2, 2011

Malu

Selama kuliah hampir tiga tahun, tas tetap saya hanya satu. Warnanya cokelat khaki, modelnya selempang. Saya masih ingat, tas itu saya beli di BG Junction Surabaya. Bapak yang mengantar saya ke sana. Waktu itu saya masih berstatus mahasiswa ITS Surabaya. Rupanya ketika masuk STAN, saya tetap membawa serta tas tersebut.

Sebenarnya ada satu tas lagi. Tas ransel untuk laptop, warnanya hitam. Saya beli di Ramayana Gresik, lagi-lagi bapak yang mengantar. Tapi tasnya besar, saya kurang suka. Makanya saya jarang pakai. Paling-paling saya cuma pakai tas itu kalau bawa laptop atau kalau bepergian yang butuh membawa barang agak banyak.

Nah, tas saya yang warna cokelat khaki ini, karena sudah saya pakai hampir tiga tahun, warnanya sudah mulai pudar. Dia memakai pengait berupa magnet. Kalau saya tidak sabar, saya sering menariknya dengan lumayan keras. Makanya, sekarang pengait magnetnya sudah tak karuan bentuknya. Bahkan sudah berlubang. Kadang-kadang malu juga saya kalau pakai tas itu.

Di tengah malunya saya terhadap sebuah tas, saya bertemu dengan Risma. Bukan pertemuan pertama, sih. Pertama kali saya bertemu dengan dia sekitar sepekan lalu. Saat itu, informasi yang saya ketahui tentang Risma hanya sebatas dia adalah kakak dari Halimah, salah seorang murid PAUD Komunitas Menara.

Kemarin, saya bertemu lagi dengan Risma. Dia akan mengikuti tes masuk SMP Terbuka Ibnu Sina di kawasan Jombang, Tangerang Selatan. Kebetulan saya diajak berkunjung ke SMP itu.

Kami sudah berada di SMP Ibnu Sina sekitar pukul 11.30, padahal tes baru dimulai pukul 13.00. Masih ada sekitar 1,5 jam lagi. Saya isi dengan membaca buku Andy’s Corner yang terpampang di salah satu rak di aula SMP Ibnu Sina dan mengobrol dengan Risma.

Tahun lalu, Risma masih tercatat sebagai seorang siswa di salah satu MTs di daerah Peladen (seingat saya sih begitu). Ketika hampir ujian semester genap kelas 8, orang tua Risma tidak sanggup lagi membayar biaya sekolah Risma. Hasilnya, Risma terpaksa putus sekolah.

Risma adalah anak pertama dari 5 bersaudara. Anak kedua adalah Jihan, sekarang kelas 6 SD. Kata Risma, orang tuanya akan menyekolahkan Jihan di sebuah pesantren yang dimiliki oleh Pertamina. Saya kurang jelas juga, apakah pesantren tersebut dimiliki atau dibiayai atau dinaungi oleh Pertamina. Risma sendiri juga bingung. Anak ketiga bernama Arif, duduk di kelas 1 SD. Halimah, murid PAUD KM yang saya kenal, rupanya adalah anak keempat. Seorang lagi, anak kelima, masih bayi. Entah berapa usianya dan siapa namanya. Yang jelas, saya sering melihat ibu Halimah mengantar-jemput Halimah dengan menggendong anak kelima tersebut.

Ayah Risma adalah seorang tukang las keliling. Saya tidak tahu berapa penghasilannya. Dan saya lebih tidak tahu lagi bagaimana pengelolaan uang di keluarga tersebut sehingga sanggup menghidupi tujuh nyawa dengan penghasilan dari las keliling.

Keberadaan SMP Terbuka Ibnu Sina yang tidak memungut biaya apapun dari siswanya selama masa pendidikan membuat Risma ingin masuk ke SMP tersebut. Jadi ia bisa melanjutkan sekolahnya yang sempat terputus. Kalau lolos tes dan diterima di SMP Ibnu Sina, maka Risma akan duduk di kelas 8 (lagi).

“Nggak malu, Ris?” Tanya saya.

“Teman-teman juga menanyakan hal yang sama, kak. Kata mereka, ‘ih, lo nggak malu apa ngulang kelas 8? Kalo gue mah ogah.’ Saya cuma bilang, ‘ngapain malu?’ Nih ya kak, bahkan kalo saya harus ngulang dari kelas 1 SD pun bakal saya jalanin. Saya nggak malu, tuh. Yang penting saya bisa tetep sekolah.”

Saya tersenyum. Lantas kembali menghadap buku Andy’s Corner di tangan saya, pura-pura membaca. Padahal saya tengah termenung. Di samping saya, Risma bahkan rela mengulang sekolahnya tanpa rasa malu sedikitpun. Sedangkan saya, malu hanya karena sebuah tas.

Saya lihat tas saya yang tergeletak di atas meja di depan saya. Hei, kamu kan yang sudah menemani saya selama hampir tiga tahun, ya? Kasihan sekali kamu, bahkan tuanmu pun malu atas keberadaanmu.

Saya ambil tas saya, dan saya melihat Risma. Baiklah, rasa malu saya terhadap sebuah tas rasanya bukan pada tempatnya. Saya jadi malu pada diri sendiri yang kalah pada seorang remaja berusia 16 tahun bernama Risma.

Salam,
Wahyu Widyaningrum