Thursday, March 29, 2012

PR: Ini Amanah, Sekarang Tuntas Sudah


Sebenarnya ini adalah PR dari bertahun-tahun berbulan-bulan lalu dari kawan saya Aang Kunaefi. Setelah inget dan gak malas, akhirnya saya kerjakan juga PR ini. For Eng: Sori, Eng. belum kadaluarsa kan ya? Hehe

Ini aturan mainnya.


Dan inilah jawaban saya atas aturan main tersebut, yaitu berupa 11 hal tentang diri saya. Agak boong dikit nggak apa-apa kan? Hahaha
Saya itu:
1. Suka melakukan hal-hal di luar rencana. Saya suka tiba-tiba pergi ke manaaaa gitu, atau ngelakuin apaaa gitu. Pokoknya yang nggak biasanya saya lakuin.
2. Suka NEWS. Apa itu NEWS? Silakan lihat di sini. Saya juga pernah tulis tentang NEWS di sini. Oke, sebenarnya saya terlebih dulu jatuh hati *eciyeeee* pada Yamapi. Terus karena tau bahwa Yamapi adalah personel NEWS, saya cari tau tentang NEWS juga. Eh, suka deh. Bahkan ketika sekarang Yamapi udah keluar dari NEWS, saya tetep suka NEWS. Hehehe
3. Sering nggak enakan sama orang. Apalagi kalau sama yang lebih senior, baik dalam usia ataupun jabatan. Saya bakal berusaha melakukan apa yang mereka ekspektasikan ke saya. Agak repot sih, karena jadinya lebih ribet dan bisa-bisa jadi kacau semua. Pfffft...
4.  Paling nggak suka menunggu. Menunggu adalah hal paling menyebalkan. Karena itu, saya berusaha tepat waktu, bahkan sebelum waktu kalau janjian. Karena saya tau menunggu itu nggak enak, saya sebisa mungkin nggak bikin orang lain menunggu saya.
5. Suka tantangan. Saya suka diberi hal-hal baru yang saya belum pernah coba. Etapi nggak juga ding. Meskipun udah pernah coba, beberapa hal tetep aja selalu ingin saya lakukan. Misal: kemping dan naik gunung. Yaaaaa....walaupun napasnya ngos-ngosan dan nyampenya agak lama gitu. Hehe
6. Kagum pada wartawan, penulis, penyiar radio, pencinta alam, dan sukarelawan. Mereka itu keren sekali di mata saya. Kereeeeen sekali :D
7. Plegmatis. 
8. Kalau udah suka sama sesuatu, bisa suka beneran. Halah. Contoh begini deh. Saya dulu suka nonton bulu tangkis. Nonton doang, kalau mainnya nggak begitu suka. Nah, saking sukanya nonton bulu tangkis, saya sampai koleksi video-video pertandingannya. Terutama pertandingan pasangan Nova-Butet. Terus saya juga tiap hari bela-belain beli koran demi cari seuprit berita tentang bulu tangkis, dan bela-belain nonton berita olah raga yang tayang pukul 23.30 demi tau perkembangan terkini. Haha
9. Agak gimanaaaa gitu sama cicak dan kecoa. Kalo cicak, karena waktu kecil saya pernah manjat pohon, kemudian si cicak masuk ke dalam baju saya. Karena geli, saya langsung lompat dari pohon dan lari masuk rumah. Setelah baju itu dikibas-kibaskan, barulah si cicak keluar kemudian kabur ke balik lemari. Haha. Kalo kecoa, nggak ada alasan khusus sih. Geli aja karena dia matinya susah. Hehe
10. Nggak suka nganggur. Menganggur itu kata yang agak tabu buat saya. Haha. Menyangkut harga diri juga sih kalau hal ini :p
11. Apa lagi yaaaa...? Emm. Oke. Saya adalah Wahyu Widyaningrum. Sekian.



Nah, itu tadi sebelas hal tentang diri saya. Sekarang, mari kita melangkah menuju tahap selanjutnya. Ada sebelas pertanyaan dari si Aang yang harus saya jawab. These are his questions and my answers:

T: Tujuan kamu blogging apa?? Nyari duit? Nyalurin bakat menulis? Curhat? Hobi? Atau yang lain?
J: Tujuan blogging? Hmmm... *mikir* Kalau nyari duit, saya rasa enggak. Nyalurin bakat menulis? Mungkin lebih tepatnya biar mau nulis aja. Curhat? Enggak, saya udah punya puraibeto nikki sendiri soalnya. Hobi? Bukan juga. Yang lain? Saya rasa sebagai tinggalan jejak diri sendiri aja. Bahwa saya pernah begini dan begitu.

T: Hal apa yang membuatmu bergadang?
J: Mungkin maksudnya begadang, ya. Kalau begadang sih paling pas ujian atau nonton. Haha. Begadang lho ya, bukan nggak tidur. Karena saya nggak merelakan waktu tidur saya dirampas oleh apapun, bahkan ujian sekalipun. Huahaha

T: Apa yang kamu lakukan jika dihadapkan dengan 2 atau lebih pilihan yang belum kamu ketahui seluk-beluk masing2 pilihan itu??
J: Kenapa lah tanyanya yang bikin pusing begini :p. Kalau ada waktu untuk berpikir, jelas saya akan cari tahu dulu konsekuensi tiap pilihan sebelum memilih. Kalau nggak diberi waktu, ya saya akan pilih berdasarkan pengetahuan saya dan intuisi saja.

T: Lebih condong kemana? Mencari cinta sejati atau membangun cinta sejati?
J: Masalah cinta ya. Emmm.... Karena disini frase yang digunakan adalah 'cinta sejati', maka saya tafsirkan itu sebagai Gusti Allah swt. Karena sejatinya memang hanya Allah swt-lah yang patut menjadi cinta sejati. Jadi saya pilih membangun, bukan mencari. Saya sudah menemukan cinta sejati saya yaitu Allah swt, yang saya perlu lakukan adalah membangun rasa cinta sejati itu agar kadarnya semakin besar dan benar-benar bisa menjadi cinta sejati :)

T: Apakah kamu percaya sepenuhnya dengan media massa?
J:  Repot ini. Kadang iya, kadang tidak. Karena yang bikin media massa ya manusia, jadi pasti ada bias. Kalau sudah lebay banget, saya nggak akan percaya. Bagaimana menentukan kadar lebaynya? Kembali ke intuisi. Haha

T: Arti sukses menurut kamu?
J: Arti sukses? Saya sudah pernah menulis. Sila baca di sini :)

T: Posisi orang tua dalam hidup kamu?
J: Orang tua itu...ichiban taisetsu na hito.

T: Kalau harus memulai bisnis, bisnis apa yang akan kamu pilih?
J: Bisnis kuliner atau agrowisata.

T: Gimana sikap kamu jika berinteraksi dengan orang baru?
J: Ya nggak gimana-gimana. Biasa aja tuh. Ahaha

T: Pendapat kamu tentang boyband n gilrsband yang lagi happening?
J: Biasa ajaaaaa... Itu cuma cara mereka dalam berekspresi aja. Toh saya juga suka NEWS, which is boyband juga.

T: Ceritakan kesan kamu tentang kampung halamanmu dimana kamu dilahirkan/dibesarkan?? Maksimal 5 kalimat :D
J: Ini pertanyaan yang paling saya suka!!! Saya lahir dan besar di Gresik, Jawa Timur. Kota industri, kota santri, kota pudak, kota yang menyenangkan. Banyak makanan lezat, banyak destinasi wisata religi dan budaya, tapi sedikit wisata alam. Cuacanya panas tapi bikin kangen :)

Tuntas. Saya boleh kan nggak melanjutkan permainan ini? Ah, meskipun jawabannya nggak boleh, saya anggap aja boleh :p. Jadi saya nggak kasih tongkat estafet ke siapapun.
Terima kasih sudah mengajak saya bermain di permainan ini. Seru juga, loh!
Semoga tetap bermanfaat :)


Kamis, 29 Maret 2012

Salam,
Wahyu Widyaningrum

Wednesday, March 28, 2012

Transformasi Kala Masa Transisi




Status saya udah bener-bener resmi BUKAN mahasiswa.

Oke, sebenernya emang sudah dari 30 September 2011 sih, waktu yudisium di kampus. Tapi berhubung belum kunjung masuk dunia kerja, jadi ya masih terasa nggantung. Antara mahasiswa, pengangguran, dan pegawai. Dan saya memilih merasa masih mahasiswa *pilihan bebas sih, jadi kalem aja :p*.

Sampai 29 Februari 2012 lalu.

Saat itu jadwal lapor instansi. Sebagai pegawai baru yang baik, saya lapor dong. Bareng-bareng tuh sama 82 orang lainnya yang satu instansi dengan saya. Tapi sebenernya hari itu pun saya belum dapat feel sebagai pegawai. Kenapa? Karena kami, 83 orang, dulunya sekampus. Karena saat itu dresscode nya adalah putih-hitam, dan putih-hitam adalah pakaian keseharian di kampus juga. Karena saat itu kami sudah lama tak saling bertemu, jadi banyak diisi dengan ngobrol sesama kawan. Dan semua alasan tadi membuat saya merasa saat itu saya masih mahasiswa, belum menjadi pegawai.

5 Maret 2012. Hari pertama masuk kerja, secara resmi. Belum ada kontrak kinerja, jadi masih belum jelas apa tugas saya. Saya cuma rajin tanya ke kasubbag dan pegawai lain, apa ada yang bisa saya lakukan. Dan hari itu saya nggak begitu banyak kerja. Mungkin dari jam kerja yang sejak pukul 07.30 sampai 17.00, saya cuma kerja nggak lebih dari 4 jam. Dan hal itu membuat saya masih belum sepenuhnya percaya bahwa saya sudah masuk dunia kerja. Bahwa status saya sudah pegawai. Bahwa Kartu Tanda Mahasiswa saya sudah tak berlaku lagi. Bahwa saya bukan lagi mahasiswa.

That's what people called transition.

Transisi.

Atau peralihan? Pancaroba?

Apapun lah, selama intinya sama.

Masa transisi adalah masa yang cukup berat. Masa dimana lingkungan berubah. Dan agar kita cocok dengan lingkungan tersebut, maka kita juga harus berubah. Bertransisi. Bertransformasi. Menjadi pribadi yang baru. Tentu tak bisa instan. Mungkin perlahan dan bertahap. Adaptasi butuh waktu, bukan?

Mutlak. Yang mutlak berubah dalam masa transisi tersebut adalah kita. Bukan lingkungan sekitar, bukan orang lain. Sungguh mustahil mengharapkan lingkungan berubah demi menyesuaikan dengan pribadi kita. Ini sih ibarat ... apa ya? Coba deh cari pengibaratan yang cocok. Haha.

Jadi dalam masa transisi kita harus bertransformasi. Ada kata harus di kalimat barusan. Karena ya memang harus. Toh, sadar atau tidak, transformasi tersebut untuk kebaikan kita sendiri. Kita juga yang akan menuai hasil dari transformasi tersebut. Rasakanlah diri yang menjadi semakin dewasa dalam berpikir, berucap, dan bertindak. Rasakanlah lingkungan yang semakin membuka tangan dan hati untuk keberadaan kita. Rasakanlah bahwa kita yang membutuhkan transformasi tersebut.

Transformasi kala masa transisi. Sebuah adaptasi sekaligus akselerasi diri agar kita mampu berjalan bahkan berlari sejajar dengan lingkungan sekitar. Sebuah fakta yang menyadarkan, bahwa untuk menjadi lebih baik memang harus diri kita sendirilah yang bergerak dan berubah.

Salam mahasiswa!!! *eh*




Lantai 9 gedung D*****a
Rabu, 28 Maret 2012

Salam,
Wahyu Widyaningrum






Tuesday, March 27, 2012

Perbandingan (Mazhab) Diri


Don’t compare yourself with others, compare yourself with the person from yesterday.

Saya baca tulisan di atas beberapa hari lalu di linimasa twitter. Pas pertama kali baca, saya merasa ada yang janggal. Jadilah saya tulis tuh kalimat. Sayangnya saya lupa menyalin juga siapa yang ngetwit.

Terlepas dari siapapun yang ngetwit, saya ingin mengutarakan pendapat saya mengenai kalimat tersebut.

Tapi saya terjemahin dulu deh ke bahasa Jepang Indonesia biar kelihatan kalau kita cinta bahasa Indonesia.

Kira-kira artinya begini: Jangan membandingkan dirimu dengan orang lain, bandingkan dirimu dengan orang dari hari kemarin.

Eh bener nggak sih terjemahan Indonesianya gitu?

Yosh. Kita mulai.

 
Compare Yourself with the Person from Yesterday

Saya setuju dengan frase compare yourself with the person from yesterday. Kesetujuan saya ini tingkatnya 100% loh!

Frase itu kan gampangnya begini: membandingkan diri sendiri versi hari ini dengan diri sendiri yang versi kemarin. Nah sekarang pertanyaannya: kenapa harus dibandingkan?

Karena dengan membandingkan, maka kita akan tahu, apakah telah terjadi peningkatan atau penurunan kualitas diri.

Kalau peningkatan kualitas? Tentu itu adalah sesuatu yang patut disyukuri, karena berarti diri kita menjadi lebih baik daripada kemarin. Tapi kalau terjadi penurunan kualitas? Aduh, jangan sampai deh. Penurunan kualitas diri berarti hari ini diri kita sama saja atau malah lebih buruk dari yang kemarin. Ini adalah sesuatu yang harus dihindari. Jangan sampai lah semakin hari bukan peningkatan kualitas yang terjadi, tapi malah penurunan kualitas.

Ini sejalan dengan hadist Rasulullah saw, bahwa orang yang beruntung adalah orang yang hari ini lebih baik dari kemarin.

Lantas, apa yang harus dilakukan supaya ada peningkatan kualitas diri ketika kita melakukan pembandingan diri antara hari ini dan kemarin?

Kalau menurut saya sih, jawabnya sesederhana ini: selalu berpikir untuk menjadi manusia yang lebih bermanfaat.

Kalau dijabarkan, jawaban pendek tadi bisa jadi panjang loh!
1. Kenapa ada frase ‘selalu berpikir’?
Iya, kenapa frase itu muncul? Kenapa harus ‘berpikir’? Kenapa bukan yang lain?
Karena segala sesuatunya bersumber dari pikiran. Pikiran adalah sebab, kenyataan adalah akibat.
Contoh gampangnya nih. Ketika pelajaran olahraga di sekolah, guru meminta kita berlari 3 kilometer. Jika mendengar ‘3 kilometer’ lantas muncul pikiran, “What? Itu kan jauh bangeeeet. Pasti capek banget tuh. Bisa pingsan tengah jalan kalo gini caranya,”, maka yang akan terjadi ya apa yang dipikirkan tadi. Maka hasilnya, ketika berlari, benar-benar rasanya jadi jauh, capek, dan beneran bisa pingsan.
Coba tanya pada kawan yang sampai di garis finish pertama kali, apa yang dia rasakan selama berlari. Kemungkinan besar dia akan menjawab senang, itu bukan jarak yang jauh, pasti bisa sampai di garis finish pertama kali, dan jawaban positif lainnya.
Intinya adalah, berpikir positif dapat membuat hal-hal positif terjadi pada diri kita juga. Kalau mau cari referensi lebih lengkap tentang pikiran adalah sebab, kenyataan adalah akibat, silakan. Banyak kok ahli yang menyatakan hal tersebut. Ini berkaitan dengan pikiran bawah sadar juga, jadi bisa panjang banget kalau dijelasin di sini. Karena panjang, saya nggak mau jelasin. Cari referensi dari yang ahli aja yaaaa :D
Nah jadi, kalau kita berpikir bahwa kita akan menjadi manusia yang bermanfaat, maka insya Allah kita beneran bermanfaat.
2. Kenapa jadi manusia yang bermanfaat? Kenapa bukan ‘berpikir untuk jadi lebih baik’?
Ini juga simpel sih. Tapi kayaknya panjang juga. Hahaha
Pertama, kita merujuk pada hadist Rasulullah saw. Kata Rasul, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Tentu kita ingin masuk golongan ‘sebaik-baik manusia’ kan? Maka dari itu, kita harus jadi orang yang bermanfaat.
Kedua. Kata ‘bermanfaat’ itu cakupannya lebih luas daripada ‘lebih baik’, tapi lebih terarah. Maksudnya gini. Bermanfaat itu secara tidak langsung mengandung makna menjadi lebih baik. Kenapa? Karena untuk menjadi seorang yang bermanfaat, kita harus punya sesuatu untuk diberikan kepada orang lain kan? Entah materi, ilmu, tenaga, dan sebagainya. Mari kita ambil beberapa contoh. Misal kita ingin bermanfaat dengan harta kita. Ini berarti semakin banyak harta yang dikeluarkan untuk orang lain. Kalau ingin semakin banyak yang keluar, berarti yang masuk juga harus makin banyak, dong. Nah, di sini terjadi peningkatan kualitas diri.
Contoh lain. Misal kita ingin ilmu kita bermanfaat, jadi kita mengajar di sana-sini. Modalnya saja ilmu, berarti untuk bisa lebih bermanfaat maka kita harus meng-up grade ilmu tersebut dong? Masa zaman makin maju ilmunya nggak nambah-nambah. Nah, di sini juga terjadi peningkatan kualitas diri.
Ketiga. ‘Bermanfaat’ mengandung dimensi hubungan horizontal dengan makhluk lain, sedangkan ‘lebih baik’ cenderung menunjuk hanya pada diri sendiri.
Ini agak ribet, tapi nggak juga sih. Gini. Saya sudah bilang kan kalau bermanfaat itu lebih luas maknanya? Nah. Kalau lebih baik, peningkatan kualitas diri hanya mandek disitu saja. Nggak ke mana-mana. Kalau bermanfaat, ada peningkatan kualitas diri, dan peningkatan tersebut juga dibagi ke yang lain. Jadi nilai tambah diri kita bukan kita doang yang menikmati. Ada pihak lain juga. Siapa? Ya relatif. Intinya, bermanfaat berarti kita menjadi lebih baik DAN kebaikan tersebut tersebar ke pihak lain.

Sekian urun rembug pikiran saya tentang frase compare your self with the person from yesterday.

Ya ampun, ternyata baru satu frase. Frase satunya belum. Kenapa jadi panjang gini yak?

Baiklah, sekarang masuk ke frase don’t compare yourself with others.



 

(Don’t) Compare Yourself with Others
Di sinilah letak kejanggalannya. Maka dari itu, kalau tadi saya setuju 100% dengan compare yourself with the person from yesterday, sekarang saya nggak setuju 100% nih sama don’t compare yourself with others.


Kok bisa janggal?


Iya, soalnya seakan-akan kita nggak boleh membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Ini kan bahaya.
Mari ambil contoh lagi yang gampang. Misal saya akan ikut lomba lari cepat 100 meter. Dari klub, ada dua orang yang dikirim yaitu saya dan kawan saya. Selama latihan saya nggak pernah pakai sparing partner, jadi selalu latihan sendiri. Pertama latihan, saya sampai garis finish dalam waktu 14,5 detik. Setelah berjuta kali latihan, pada latihan terakhir menjelang lomba saya mencatat waktu 13,7 detik.
Saya pede dong, secara saya akhirnya bisa mencetak 13,7 detik padahal awalnya 14,5 detik.


Ketika hari H lomba, saya mencatat 13,6. Wuuiiih! 


Tapi ternyata saya hanya di urutan lima. Si juara ternyata sampai dalam waktu 12,9 detik. Dan si juara adalah kawan satu klub saya. 


Got it?


Yes. Mungkin kalau saya pas latihan nggak cuma sendiri tapi punya sparing partner, hasilnya bisa lebih baik. Mungkin kalau saya ajak kawan saya tadi latihan bareng, saya jadi tahu berapa kecepatan dia. Ketika tahu dia lebih cepat dari saya, saya tentu ikut termotivasi, akhirnya latihan lebih keras, dan menjadi lebih cepat dari 13,6 tentu bukan mustahil.


Ini maksud saya. Dengan membandingkan diri dengan orang lain *kok aneh ya kalimatnya*, kita jadi tahu apakah kita sudah cukup cepat, dalam bidang apapun.
Kalau tidak ada pembanding dari luar, ya begitu-begitu saja. Kalau ada, motivasi kita bisa lebih besar untuk menjadi lebih bermanfaat.
Kalau tidak ada pembanding dari luar, ya memang kita bisa lebih baik. Tapi kita tidak sadar kalau kelebihbaikan itu ternyata kurang cukup. Kalau ada pembanding, kita bisa tahu bahwa ternyata orang lain sudah lebih lebih lebih baik.
Kalau tidak ada pembanding dari luar, kita sudah merasa lebih bermanfaat hanya dengan melangkah satu langkah. Kalau ada pembanding, kita bisa tahu bahwa ternyata orang lain sudah melangkah tiga langkah, jadi kita bisa mempercepat langkah kita.

Bagaimana baiknya?


Emm… Kalau menurut saya, baiknya begini: pertama, bandingkan dirimu dengan orang dari hari kemarin. Setelah itu, bandingkan dirimu dengan orang lain.
Menurut saya ini adil. Jadi, kita introspeksi dulu nih. Melihat ke diri sendiri, apakah benar sudah terjadi peningkatan kualitas diri. Setelah bercermin, baru melihat ke orang lain. Kalau ternyata orang lain lebih cepat, ya berarti kita harus lebih cepat juga.
Begitu.


Tapi nggak jadi semacam kata mutiara lagi, karena kalau dibahasa-Inggriskan akan jadi begini: first, compare your self with the person from yesterday. After that, compare yourself with others. Agak nggak keren gitu…


Ya sudahlah.


Eh, ini saya bercuap-cuap sekian panjang ada yang paham nggak? Bahasa saya masih berantakan sih, jadi kalau kurang enak dibaca atau dipahami ya mohon maaf. Segala saran dan kritik insya Allah akan saya terima. Silakan tuliskan di kolom komentar di bawah ya.



Semangat perbaikan diri, dan ayo donor darah! *teteup*













 


16 Februari 2012 pukul 16.05. Ditulis karena koneksi internet yang terputus di kantor *kalau koneksi nggak mati saya nggak bakal nulis :p*
 

Salam,
Wahyu Widyaningrum