Monday, August 17, 2020

Tradisi Unik Akutagawa Prize Ke-163

Tradisi Unik Ketika Hakyoku Mendapat Akutagawa Prize Ke-163

Oleh Tono Haruka (Peraih Akutagawa Prize Ke-163)



Begitu Hakyoku diumumkan masuk nominasi Akutagawa Prize, pihak penerbit berencana akan menggelar semacam 'nubar' atau nunggu bareng pada hari pengumuman pemenang. Sesuai namanya, pertemuan itu memang hanya berisi agenda menunggu panggilan masuk terkait hasil akhir penghargaan. Manusia-manusia yang sibuk itu berkumpul dan menunggu sampai ponsel saya berdering. Buku saya diterbitkan oleh penerbit Kawade Shobo Shinsha, tetapi nubar ini meluas, tidak hanya terbatas bagi pihak penerbit saja. Menurut saya itu adalah suatu tradisi yang absurd. Tentu baik kalau saya menang, tapi kalau tidak menang, bukankah justru jadi canggung? Selain itu, kalau saya tidak datang nubar, saya bisa memanfaatkan waktu itu untuk menulis naskah saya. Kalau saya datang nubar, mustahil saya bisa menulis naskah. Tidak sopan kalau saya justru menulis naskah ketika ada orang lain di depan saya. Tidak mungkin saya melakukannya. Saya juga mempertimbangkan untuk absen saja di gelaran nubar ini.


Saya akhirnya hadir karena mendengar bahwa kue-kue telah dipersiapkan. Kue lemonnya sangat lezat--saya diberitahu kedai kue mana yang membuat, tetapi saya lupa. Karena menunggu panggilan masuk tanpa melakukan apa pun justru menambah rasa canggung, saya mengusulkan agar menonton Ju-On di Netflix bersama-sama. Sudah lama saya ingin menontonnya, setelah seorang penulis sci-fi mencuit di twitter bahwa film itu menarik. Selain itu, saya paham bahwa tingkat adrenalin yang lebih tinggi paling efektif untuk melenyapkan deg-degan.


Editor buku saya pernah bercerita bahwa drama Korea berjudul It's Okay To Not Be Okay sangat menarik, lalu saya menontonnya. Saya belum sampai pada taraf gila, masih terhitung normal. Tapi kalau misal saya gila dan itu ternyata tidak masalah, saya merasa tenang. Sebagaimana saya yang memutuskan menonton suatu drama atau tidak dari judulnya, apakah orang lain juga memutuskan membaca suatu novel atau tidak dari judulnya? Saya tersadar kembali akan pentingnya suatu judul, meskipun sampai saat ini saya terus berhati-hati dalam menentukan judul.


**

Pihak Komite Promosi Sastra Jepang menelepon saya dengan nada suara seperti sedang menginformasikan sesuatu yang buruk, dan itu membuat saya berasumsi bahwa saya kalah. Memang sejak awal saya merasa bahwa saya tidak favorit dan yang akan menang adalah Takayama Hanako, jadi saya tidak terkejut. Namun setelah saya dengar penjelasannya, ternyata saya menang. Apa nada suaramu bisa sedikit lebih ceria, pikir saya. Tetapi kalaupun saya kalah, menurut saya tetap lebih baik kalau ia berbicara dengan nada yang ceria.


Saya menaiki taksi. Di dalam taksi saya menerima satu wawancara via telepon. Ada konferensi pers setelah pemberitahuan pemenang yang diselenggarakan di sebuah hotal--saya lupa hotel apa--. Pada acara tersebut saya harus menjawab berbagai pertanyaan. Saya sebetulnya tidak punya apa pun untuk disampaikan saat itu; juga sebelumnya, dan mungkin setelahnya. Namun konferensi pers lebih mirip seperti suatu kewajiban bagi seorang penerima penghargaan. Para wartawan pun seolah bukan bertanya karena ingin mengajukan pertanyaan, tetapi harus bertanya karena memang itulah pekerjaan mereka.


Ada pertanyaan, apakah saya sudah memberi tahu keluarga tentang penghargaan ini, lalu saya jawab bahwa saya belum melakukannya. Kemudian entah mengapa meledaklah tawa-tawa. Saya bahkan tidak terpikir untuk menceritakannya kepada keluarga. Apakah normalnya adalah memberi tahu? Apakah mereka tertawa karena saya tidak normal? Kalau benar begitu, menurut saya hal itu kurang sopan. Atau apakah mereka berpikir bahwa saya sedang bergurau lalu mereka terpaksa tertawa? Kalau benar begitu, menurut saya mereka sungguh baik hati. Sampai sekarang pun saya tidak berpikir bahwa saya perlu memberi tahu keluarga saya. Kalaupun mereka tertarik, mereka akan menonton televisi atau video lucu, dan setelah itu, mereka akan segera tahu.


**


Diterjemahkan dari sini 

Thursday, August 6, 2020

Kesamaan Haruki Murakami dan Gabriel Garcia Marquez: Resensi Novel Cinta di Tengah Wabah Kolera


Judul buku: Love In The Time Of Cholera (Cinta di Tengah Wabah Kolera)

Penulis: Gabriel Garcia Marquez

Penerjemah: Rosemary Kesauli

Penerbit: GPU, 2018

Tebal: 635 halaman


Gabriel Garcia Marquez memungut inspirasi untuk bahan bakar karyanya dari mana saja. Ia pernah berbincang sejak pukul 9 pagi hingga 4 sore dengan seorang perempuan yang kebetulan duduk di sebelahnya di ruang tunggu bandar Charles de Gaulle, Paris, dan dari situlah cerita “Putri Tidur dan Pesawat Terbang” lahir. Ketika menulis “Tales of Shipwreck”, ia juga memperoleh ide untuk mengangkat kisah petualangan seorang pelaut yang hilang di samudera dari sebuah detail pendek: pelaut itu hilang selama 40 hari. Dari sana, ia akhirnya menuliskan kisah itu dalam 40 bab: satu bab untuk kisah satu hari.


Gabriel Garcia Marquez—jamak dipanggil Gabo—lahir pada 1927 di Aracataca, Kolombia, dan meninggal pada 2014. Nicholas Shakespeare, novelis Inggris, pernah menulis begini dalam artikelnya: Gabo meyakini bahwa suatu pertemuan, sesingkat apa pun, memiliki kekuatan untuk mengubah kita—itulah sebab ia percaya seruannya pada Ernest Hemingway pada suatu hari yang dibalas dengan lambaian tangan berpengaruh besar terhadap hidupnya. Pertemuan singkat pula yang mengawali kisah cinta dalam bentang waktu setengah abad lebih yang diceritakan dalam novel ini.


Florentino Ariza remaja melihat Fermina Daza gadis dari balik jendela ruang jahit, gadis itu melihatnya balik dengan singkat, dan itulah awal dari rasa cinta abadi yang terus bertahan dalam hati Florentino. Ia mengirimkan surat-surat puitis buatannya setiap hari, yang pada akhirnya hanya bertepuk sebelah tangan karena Fermina justru dinikahkan ayahnya dengan dr. Juvenal Urbino, seorang dokter muda dari keluarga terpandang dan bereputasi baik yang besar jasanya bagi lingkungannya. Namun toh hal itu tidak membuat cinta abadi Florentino luntur, bahkan sampai ia mampu mencapai puncak karier sebagai direktur umum suatu perusahaan pelayaran sungai. Perasaan itu tetap ia simpan utuh di sana, walaupun dalam jangka waktu itu ia telah tidur dengan lebih dari 622 perempuan dan jatuh cinta pada beberapa di antaranya. Florentino mencatat rapi seluruh petualangannya dalam 25 buku catatan.


Lantas pada suatu hari, dr. Juvenal Urbino meninggal di usianya yang ke-81 tahun karena patah tulang akibat jatuh setelah memanjat dahan mangga untuk menangkap burung nuri. Florentino datang ke upacara pemakamannya, juga pada hari-hari berikutnya, untuk menemani Fermina yang sudah menjadi janda. Setelah waktu bergulir 51 tahun, 9 bulan, 41 hari, sekali lagi ia mengutarakan apa yang pernah ia ungkapkan pada Fermina, dan mereka akhirnya bersatu.


Kalau Haruki Murakami, novelis Jepang ternama yang berkali-kali diunggulkan menerima Nobel Sastra, menggandrungi lari, kafe, jazz, dan The Beatles sehingga memunculkan detail-detail itu dalam karyanya, Gabo pun tidak jauh berbeda. Ia menuangkan di sana-sini apa-apa saja yang ia sukai: cinta, keberadaannya di dekat wanita, dan tokoh wanita berkarakter independen, tajam, tetapi tak berdosa.


Novel ini mengambil latar waktu antara tahun 1870—1930, saat wabah kolera terjadi di seluruh negeri serta adanya berbagai perang saudara yang menimbulkan ketidakstabilan pemerintahan dan politik. Gabo, yang telah menjadi jurnalis sejak berusia 19 tahun, menyelipkan kritik sosial di karyanya ini. Salah satunya meluncur dari bibir Paman Leo XII, paman dari Florentino Ariza. Paman Leo XII berkata,


“Umurku hampir seratus tahun dan aku sudah melihat segala sesuatu berubah, termasuk posisi bintang-bintang di semesta, tapi aku belum pernah melihat perubahan apa pun di negeri ini,” kata Paman Leo biasanya. “Di sini mereka membuat undang-undang baru, konstitusi baru, dan perang baru setiap tiga bulan sekali, tapi kita masih terjebak di zaman kolonial.”  


Cinta di Tengah Wabah Kolera ini adalah novel pertama Gabo yang terbit setelah ia menerima Nobel Sastra pada tahun 1982. Karya-karyanya memiliki ciri khas berupa penyampaian realita dan pesan yang kuat. Wajahnya dikenal di seluruh penjuru negeri, bahkan oleh orang-orang yang belum pernah membaca tulisan-tulisannya. Ia menjadi pahlawan yang dielu-elukan semua kalangan. Sekelompok gerilyawan pernah menculik seseorang dan membuat tuntutan agar Gabo mau menjadi presiden ‘demi menyelamatkan tanah air’.


Cinta Florentino Ariza abadi bagi Fermina Daza, dan karya Gabriel Garcia Marquez abadi bagi sastra dunia.


**

Sumber bacaan tambahan: 

Memikirkan Kata: Panduan Menulis untuk Semua, 2019, terbitan Galeri Buku Jakarta.