Friday, February 17, 2012

Yang Seru-seru Seputar Donor Darah


Agaknya saya sedikit terobsesi untuk mengajak orang supaya donor darah. 2 posts in a row are about donating blood! Hehe.

Sampai saat ini, saya sudah 12 kali donor darah. Masih sedikit, sih. Saya berharap saya selalu diberi kesehatan sehingga bisa selalu rutin donor darah.
Ada beberapa peristiwa dari dua belas kali itu yang saya ingat dengan baik karena mengesankan.

Semuanya seru!


Suatu hari di sekolah
29 Desember 2007. Itu pertama kalinya saya donor darah. Waktu itu saya bareng Maimun, teman sekelas saya. PMI datang dengan MU-nya, lokasi donor di UKS SMAN 1 Gresik. Sejak saat itu saya bertekad untuk jadi pendonor rutin. Alasan utama sih sederhana: saya ingin kartu donor saya penuh.

Gambar dari http://pmrsmkn3.blogspot.com/2011/03/apa-manfaat-dari-donor-darah.html


Suatu sore di Gresik
Ini kejadian di UTD PMI Gresik. Saat itu bulan Ramadan. Saya berpuasa. Seingat saya, PMI buka sampai pukul 21.00. Kalau mau donor setelah buka puasa, waktunya nggak cukup. Masa donornya setelah buka puasa? Nanti tarawihnya terlambat, dong. Masa donornya setelah tarawih? Di masjid daerah saya tarawih baru selesai pukul 20.45. Bisa-bisa waktu saya sampai di UTD PMI, saya Cuma ketemu dengan bangunan kosong yang sudah ditinggal semua pegawainya. Haha

Setelah membaca beberapa referensi yang menyatakan bahwa donor darah ketika berpuasa itu tidak berbahaya, maka saya beranikan diri untuk datang ke UTD Gresik. Sore-sore, sekitar pukul 16.00. Ditanya petugasnya, “Beneran nih ntar nggak apa-apa? Nggak nunggu buka puasa aja?” Enggak dong, kalau nunggu buka puasa ya saya datangnya setelah maghrib, bukan sebelum maghrib. Setelah donor, ya beneran nggak apa-apa. Cuma saya waktu itu sedikit khawatir. Khawatirnya begini: ini saya nyetir motor sendiri ke rumah. Kalau di jalan nggak kuat terus tiba-tiba pingsan dan jatuh di jalan, gimana dong? Haha. Alhamdulillah, tidak ada apa-apa sepanjang perjalanan pulang saya sore itu dan saya sampai di rumah dengan selamat :D.

Suatu pagi, di tengah kuliah Keuangan Publik
Di kampus, pendaftaran donor darah mulai pukul 9.00 sampai pukul 12.00. Saya ada jadwal kuliah pukul 8 sampai 10.30. Kalau saya baru meluncur ke lokasi selepas kuliah, bisa-bisa baru dapat giliran donor pukul 13.00 karena sudah banyak yang antre. Akhirnya, dengan beberapa teman, kami minta izin ke dosen dan langsung menuju TKP. Donor darah berjalan seperti biasa, tidak ada yang istimewa. Selepas donor, saya ambil susu cokelat hangat yang sudah disediakan. Kemudian saya ketemu teman saya, ngobrol deh. Saya sambil minum susu dengan nikmatnya. Dan teman saya tiba-tiba berkata, “Tangan kamu kenapa?” Saya lihat tangan saya, dan ternyata … ada darah!!! Darahnya tembus ke baju, agak melebar di bagian yang habis diambil darahnya. Baju saya saat itu berwarna krem, jadi darahnya yang tembus kentara sekali.

Saya lumayan panik waktu itu, soalnya belum pernah begitu sebelumnya. Susu yang belum saya minum habis akhirnya saya buang *sungguh sebuah pemborosan*, saya lari masuk ke ruangan donor, ke petugas yang tadi menangani saya. “Tadi ditekuk ya tangannya?” Tanya petugasnya. Iya sih, kan buat minum. Kalau nggak ditekuk gelasnya nggak bakal sampai di mulut. Oleh petugas PMI tersebut, plester saya diganti. Gitu doang, sih. Sepertinya sih tadi pembuluh darahnya belum menutup, jadi si darah masih keluar. Kalau kata petugas PMI yang pernah saya ajak ngobrol sih itu istilahnya “bocor”.

Selepas donor saya masih ada kuliah. Dan sepanjang kuliah itu saya menutup bagian baju yang terkena darah dengan tangan satunya. Bukannya pamer kalo habis donor, tapi kalo nggak saya tutupin ntar teman-teman perempuan saya pada teriak, “Iiih… kok bisa gitu sih, Wahyu? Ngeri banget! Sakit, nggak?” dan lain sebagainya karena beberapa kali tangan saya capek nutupin, jadi nggak sengaja keliatan deh tuh bekas darahnya. Dan kawan saya bereaksi begitu*.

Suatu siang yang melelahkan
Ini kisah paling baru. Kejadiannya baru hari Sabtu lalu. Sejak saya tahu ada acara donor darah tanggal 11 Februari 2012, saya sudah berniat akan datang. Oiya, nama acaranya LoveDonation, yang bikin acara adalah @YoungOnTop. Semestinya jadwal donor saya tanggal 22 Januari, tapi saya undur karena pengen datang LoveDonation ini. Tiba-tiba Selasa 8 Februari, saya dapat kabar kalau hari Jumat malamnya ada semacam mabit di kampus. Kalau dirinci, jadwal kegiatan saya begini: Jumat kerja pukul 8.00 sampai 17.00 Pukul 19.00 mabit sampai Sabtu pagi pukul 05.30. Perlu diketahui bahwa saat mabit ini saya cuma tidur sekitar setengah jam karena memang jadwal acaranya padat. Sabtu pagi pukul 7 sampai pukul 12.00 saya ada kursus. Dari lokasi kursus saya langsung ke lokasi LoveDonation, yaitu di Grand Indonesia.


Gambar dari http://lovedonation.tumblr.com/post/15344396304/love-donation-2012-your-true-love-saves-peoples
 
Ya kalau untuk donor tidak perlu dicek tensi darah dan kadar Hb (hemoglobin)nya, saya nggak bakal khawatir dengan jadwal kegiatan saya itu. Masalahnya kan ada pengecekan untuk kedua hal tersebut. Kalau nggak lolos, nggak bisa donor. Ini yang saya khawatirkan. Apalagi Jumatnya saya bisa dibilang nggak tidur. Ini bisa berdampak buruk pada kadar Hb. Dulu saya pernah malamnya tidur sekitar 4 jam, dan paginya gagal donor karena kadar Hb terlalu rendah. Kadar Hb dipengaruhi banyak hal sih, salah satunya kondisi fisik. Kalau banyak aktivitas dan kurang istirahat, biasanya kadar Hbnya di bawah yang disyaratkan, yaitu 12,5 mg/dl. Nah, saya punya ide tuh akhirnya. Jumat pagi saya makan seikat bayam yang direbus. Pikir saya, bayam kan kandungan zat besinya tinggi. Semoga dengan makan bayam, meskipun kurang istirahat, kadar Hb saya tetap cukup untuk syarat donor.

Ketika diperiksa di lokasi donor darah pada hari Sabtu, voila!!!!! Darah saya tenggelam di larutan kuprisulfat (CuSO4). Kalau suasana memungkinkan, pengen lah rasanya saya sujud syukur waktu itu saking senangnya. Buat saya, bagian paling mendebarkan dari proses donor darah adalah cek kadar Hb. Kalau tensi, saya selalu lolos karena tensi saya rata-rata 120/80. Kalau Hb, beberapa kali saya gagal donor karena kadar Hbnya kurang. Makanya, saat itu saya senaaaaang sekali. Senyum saya lebar banget waktu lihat darah saya tenggelam.

Oiya. Untuk informasi, ada beberapa cara mengetes kadar Hb. Ada yang dengan alat yaitu darah diteteskan pada semacam kertas, kemudian ditempelkan pada alat tersebut. Setelah beberapa saat alat tersebut akan menunjukkan berapa kadar Hb dalam darah. Selain dengan alat tersebut, yang lebih banyak digunakan yaitu pengecekan dengan larutan CuSO4 tadi. Kalau darah yang diteteskan tenggelam, berarti kadar Hbnya cukup dan boleh donor. Kalau darahnya terapung, berarti kamu harus pulang karena nggak boleh donor :D.

Karena saya lolos pemeriksaan tensi dan Hb, saya masuk ke bilik donor darah. Ada 20 bed, beberapa kosong. Saya disambut oleh salah satu petugas PMI, ditanya tangan mana. “Tangan kanan, mas.” Kata saya. Kemudian saya ditunjukkan satu bed. Saya membatin, lah itu kan untuk tangan kiri. Tapi saya nurut aja. Lalu saya tiduran, dan serangkaian prosedur dilakukan. Tapi sepertinya mbak petugas PMI yang menangani saya agak kesulitan menemukan pembuluh darah di lengan kiri saya. beberapa kali tangan saya digosok, ditekan-tekan. Kemudian setelah beberapa lama, jarum dimasukkan. Cuuussss… Tapi mbak petugasnya masih saja menekan beberapa bagian. Dan jarum dimasukkan lebih dalam. Cuuussss… Kemudian mbak petugas kembali menekan-nekan, dan jarumnya dimasukkan lebih dalam lagi. Sampai empat kali. Ya ampuuunnnn. Saya merasa jarum yang masuk ke tangan saya sudah panjang sekali, dan mbak petugas tetap bilang, “belum apa-apa kok.” Ngik -__-. Ya nggak tau juga sih, mungkin sayanya yang lebai dan cuma merasa jarum dimasukkan lebih dalam padahal tidak.

Setelah beberapa saat, darahnya belum keluar juga. “Memang biasanya tangan kanan sih, mbak.” Kata saya.
“Kalau gitu ganti kanan aja ya?” tanya mbak petugas.
Saya balik tanya, “lho emang ini belum ketemu ya pembuluhnya?”
“Sudah ketemu, tapi pembuluhnya kecil. Susah keluar darahnya.”
Akhirnya saya bilang, “yaudah mbak. Ganti aja yang kanan.”
Dan jarum pun dicabut. Eeeehh.. Baru deh darahnya keluar.
“Tuh kan, ketemu. Tapi kecil pembuluhnya.” Kata mbak petugas.

Akhirnya saya pindah bed, dan tangan kanan saya pun mulai diubek-ubek. Alhamdulillah, lancar. Dan, inilah isi bingkisannya: dari PMI berupa susu kotak, jus kotak, dan roti; dari sponsor tokobagus.com berupa goody bag berisi bolpoin dan buku. Ada lagi donat dan teh dari Starbucks. Belum selesai, nih. Pendonor juga boleh mengambil Coca Cola dan Ades dingin dari kulkas yang disediakan. Mantap lah pokoknya :D *saya baik kan nyebutin sponsornya? Haha*

Sebagai ganti dari supernya hari itu, saya balas dendam dengan tidur sekitar 10 jam. Hehehe


Dari 12 kali donor darah, itu adalah beberapa kisah yang masih saya ingat. Semuanya seru, makanya saya ingat. Dan tiap kali saya ingat cerita-cerita tersebut, saya jadi ingat bahwa saya harus selalu jaga kesehatan, biar tetap bisa donor darah rutin.

Sekali lagi, AYO DONOR DARAH!!!



Ciputat, di sebuah kantor yang tenang. 16 Februari 2012

Salam,
Wahyu Widyaningrum

(4)


Apa yang akan membawamu kepada kesuksesan adalah passionmu. Karena itu, temukan passionmu dan nikmatilah. Maka seumur hidup kamu tak akan pernah merasa bekerja. Kemudian tunggulah. Ia akan membawamu makin dekat menuju kesuksesan. Apa yang kurang dari hal tersebut? Tak ada. Sama sekali tak ada. Kamu senang melakukan yang kamu senangi, kamu tak merasa bekerja sedetik pun, kamu menikmati apa yang kamu lakukan, dan kamu sukses. Kanpeki desu


Salam,
Wahyu Widyaningrum

Wednesday, February 15, 2012

Ayo Donor Darah!


Iyes, benar sekali. Ayo donor darah!

Sudah pernah donor darah? Jika sudah, terima kasih telah menjadi seorang pahlawan kemanusiaan *tsaaaah*. Jika belum, ayo donor darah! Donor darah itu banyak asiknya loh! Nggak percaya? Nih, saya akan kasih beberapa alasan kenapa saya bilang donor darah itu asik.

Apa yang bikin asik?

Cekidot.



Ini alasannya, buat yang belum percaya dengan pernyataan saya di atas:
1. Donor darah itu nggak sakit, kok.
Ini nih. Sering ada orang yang bilang kalau donor darah itu nggak asik lantaran sakit, terutama pas jarumnya dimasukkan. Di sini saya berani bilang: itu nggak sakit kooook. Sumpah, deh. Ya meskipun kalau dibilang rasanya kayak digigit semut itu nggak sepenuhnya benar. Haha. Kok jadi ambigu gini ya. Intinya, kalau kamu pernah membayangkan bahwa donor darah itu sakiiiit banget kayak dilindas dump truck, tenang saja. Bayangan kamu selama ini salah kok. Hehehe

2. Nggak bayar, malah dapat makanan
Buat yang ingin gratisan, di sinilah tempatnya! Iya, tinggal donorkan darah, dan dapatkan bingkisan cantik. Isinya bervariasi, tergantung PMI-nya. Pernah saya dapat bingkisan yang isinya biskuit, susu, telur rebus, dan vitamin penambah darah. Pernah juga dapat susu dan mi instan. Sekali waktu dapat roti, susu, dan jus. Macam-macam lah. Kalau sedang bokek, bingkisan tersebut tentu cukup membantu, kan? :D Apalagi kalau di acara donor darah tersebut ada pihak yang jadi sponsor. Bingkisannya makin banyak, karena biasanya ada produk sponsor juga :D.

3. Sekalian jalan-jalan
PMI menggelar donor darah di banyak tempat. Bukan cuma di UTD (Unit Transfusi darah) aja, tapi juga di mall, kampus, dan banyak tempat yang dijangkau oleh MU (Mobil Unit)-nya. Jadi, bisa dapat dua hal sekaligus: jalan-jalan dan donor darah. Kita senang, dan ada pihak lain juga yang senang, yaitu orang yang akan mendapatkan transfusi darah kita nantinya.

4. Bisa dapat teman baru
Ini sih terserah. Bisa teman, gebetan, apapun lah. Lebih mendukung jika dilancarkan di lokasi donor darah semisal mall karena jumlah pendonor lebih banyak. Kalau dilancarkan di UTD, bisa juga sih. Tapi paling cuma bisa kenalan dengan petugas PMI-nya.

5. Kantong tebal
Bukan, kantong tebal bukan karena dapat uang. Tidak ada uang yang diberikan untuk pendonor. Kantong menjadi lebih tebal karena ada kartu donor yang bisa kamu peroleh. Lumayan, kan? Bisa jadi suatu saat temanmu ubek-ubek dompet kamu, menemukan kartu donor, dan berkata, “iiih…suka donor darah ya? Keren banget!” Habis dibilang begitu, pasang emoticon begini -> B’)

6.Telah berbuat satu kebaikan
Ini poin paling penting. Darah yang kita sumbangkan, nantinya akan digunakan oleh seseorang. Bisa jadi itu bahkan menyelamatkan nyawa seseorang. Tuhan pasti membalas kebaikan ini dengan cara-Nya yang sangat indah dan sempurna, yang tak pernah kita duga sebelumnya. Poin-poin yang saya sebutkan di atas tadi cuma yang ‘dibayar kontan’ oleh Tuhan. Yang ‘dibayar belakangan’ atau malah ‘masih disimpan’? Jauh lebih banyaaaaaak :D

Itu adalah enam alasan kenapa saya bilang donor darah itu asik. Emang asik, kan? Jelas!

Setelah membaca tulisan ini, jika kamu belum pernah donor darah, apakah kamu jadi lebih tertarik untuk donor darah? Semoga, yaaaa. Ingat lho, meskipun darah kita yang diambil cuma sekitar 350 ml, tapi itu bisa menyelamatkan banyak nyawa.

Jadi, AYO DONOR DARAH!




Salam,
Wahyu Widyaningrum


Gambar diambil dari sini

Wednesday, February 8, 2012

Kisah The History of Love


Semangat pagi, dunia!

Buku apa yang tengah kamu baca saat ini? Fiksi atau nonfiksi?

Apapun itu, mari kita *terutama saya sendiri* terus membaca buku. Jangan sampai deh memutuskan untuk tidak lagi membaca buku. Banyak ruginya. Serius deh.

Iya, saya serius. Soalnya saya beberapa bulan lalu berhenti baca buku. Saya bosan baca buku fiksi, tapi malas baca yang nonfiksi. Kebetulan juga saya sedang gandrung pada sesuatu yang lain, jadi kayaknya saya fokus banget sama yang saya gandrungi ini dan agak lupa kalau meninggalkan membaca=rugi. Hehe

Sekarang gimana?

Sekarang? Alhamdulillah sudah agak insaf *masih agak nih, belum insaf 100%. Haha*. Ada beberapa hal juga yang menyebabkan saya jadi agak insaf ini. Pertama, kegandrungan saya pada yang saya gandrungi tadi agak berkurang *nggak ribet kan bacanya? ^^*. Agak bosan juga sih sebenarnya, karena nggak ada yang baru. Hehe. Kedua, karena saya mandeg pas mau nulis. Karena nggak pernah baca, nggak ada pengetahuan, jadi nggak ada yang bisa ditulis. Selain nggak ada yang ditulis, saya agaknya juga lupa gimana caranya nulis. Ini yang paling bikin saya sedih. Nggak ada masukan ternyata menyebabkan nggak ada keluaran :(

Kalau dulu, meskipun tulisan saya nggak bagus-bagus amat, tapi setidaknya saya lebih lancar kalau nulis. Bisa nggak berhenti-berhenti tuh kalau lagi asyik nulis. Ketika berhenti baca buku, saya bahkan nggak tau gimana harus memulai sebuah tulisan. Jadilah banyak ide-ide yang terbang bebas dari kepala saya, entah sekarang hinggap di kepala siapa yang mungkin sudah diwujudkan menjadi sebuah tulisan.

Nah, saat ini saya sedang membaca novel The History of Love karya Nicole Krauss, tentu saja yang versi bahasa Indonesia :D . Semua buku saya memiliki tanggal, dan buku yang satu ini tertanggal 12 Desember 2010. Sudah lebih dari satu tahun dia ada di kamar, tapi baru kali ini saya baca. Hehehe




Tapi sebenarnya ini bukan kali pertama sih saya baca.

Novel The History of Love ini saya dapat sebagai hadiah lomba cerpen dari Aksara. Ada beberapa buku yang saya peroleh sebagai hadiah, salah satunya ya novel ini. Sekira sebulan sebelumnya, ada kakak kelas saya yang bercerita bahwa dia jatuh cinta pada novel ini. Dia bilang bagus sekali, sangat direkomendasikan lah. Termakan oleh rekomendasi tersebut, saya akhirnya jadi mupeng juga. Untuk bisa meminjam buku tersebut dari si kakak kelas, saya harus bersabar karena saya ada di urutan kesekian.

Saya tanya dulu deh. Kalau kamu sedang menginginkan sesuatu, yang kalau dibahasalisankan semacam “Gue pengen banget punya ituuu!”, kemudian kamu bisa memperoleh yang kamu inginkan apalagi tanpa keluar uang, bagaimana perasaan kamu? Apa yang kamu lakukan? Senang, kan? Pasti dengan penuh semangat langsung mencobanya *ini sih tergantung konteks ya. Bisa mencoba, membuka, membaca, memakai, menaiki, menggunakan, dan lain-lain*.

Begitu pula saya. Ketika saya buka bingkisan hadiah itu dan saya lihat ada novel The History of Love yang masih terbungkus, saya langsung jejingkrakan saking senangnya. Yang saya lakukan pertama kali? Tentu saja merobek sampul plastik novelnya :D. Tapi saya nggak langsung baca. Saya buka sampul buku yang lain juga, kemudian saya baca sinopsisnya satu-satu. Semuanya menarik, tapi saya tetap ingin menjadikan The History of Love sebagai yang pertama kali saya baca.

Jadi dari lima buku yang saya dapat, The History of Love lah yang pertama saya baca. Saya buka halaman depan dengan hati yang sungguh berbunga-bunga. Senang sekali pokoknya.

Tapi ternyata bunga-bunga di hati saya dengan segera kembali menjadi kuncup.
Masuk halaman keenam, saya menyerah. Bukunya saya tutup, dan saya agak trauma untuk membukanya kembali. Hahaha.

Kenapa?

Sederhana sih. Tulisannya kecil-kecil. Saya pusing membacanya, akhirnya saya menyerah pada halaman keenam itu. Alasan lain adalah saya kurang suka novel terjemahan. Bukan apa-apa, tapi saya kurang sreg dengan bahasa novel terjemahan. Agak gimanaaa gitu kalau dibandingkan novel bahasa Indonesia asli *inilah alasan kenapa saya cuma pernah membaca dua halaman pertama serial novel Harry Potter yang terkenal itu*.

Nah. Setelah sekian lama si The History of Love ini nggak tersentuh dan saya juga sudah lama nggak baca, akhirnya dua hari lalu saya memutuskan untuk membaca novel ini (lagi). Alhamdulillah sudah sampai halaman 99. Hahaha *padahal kalau bukan novel terjemahan bisa habis dalam semalam*.

Ganbarimasu!!!

****

Apapun lah. Mau buku jenis apapun, berapapun lamanya membaca, yang penting jangan sampai berniat untuk meninggalkan buku. Beneran deh.
Baiklah. Untuk kamu, selamat membaca yaaa :D



8 Februari 2012, pukul 11.48.

Salam,
Wahyu Widyaningrum


Gambar sampul buku dari gramediashop.com

Wednesday, February 1, 2012

Cerpen: Sore Terakhir di Taman Kota


Post saya kali ini bertujuan tak lain tak bukan untuk menunaikan janji saya beberapa hari pekan lalu. Yakusoku nani? Janji apa? Silakan dibaca di sini.
Di bawah ini adalah salah satu cerpen saya yang dimuat di antologi Kolase 2: Dari Balik Jendela. Judulnya Sore Terakhir di Taman Kota.

Selamat membaca!


SORE TERAKHIR DI TAMAN KOTA

MALAM ini sepertinya akan menjadi lebih panjang dari biasanya. Menonton televisi, mendengarkan radio, membaca novel, bahkan tidur rasanya tak mampu membantu untuk membuat malam berlalu lebih singkat.Jika saja memutar jarum jam di dinding ruang tamu juga secara otomatis membuat bumi berputar lebih cepat dan pagi segera datang menggantikan malam, tentu sudah kulakukan hal itu semenjak tadi. Semenjak aku termangu sendirian di atas atap rumah, menikmati malam yang akan lebih panjang ini dengan ditemani angin malam yang segar dan teriakan-teriakan anak tetangga yang terdengar.

Dua minggu ini, aku selalu menghabiskan malam-malamku di sini, tapi tak pernah sendiri. Baru kali ini saja terpaksa aku melakukannya. Karena memang sahabatku yang biasanya, tak ada. Hari ini, katanya, ia tak bisa menemaniku. Ia harus pergi menemani kedua orang tuanya ke luarkota, dan baru bisa kembali esok sore.

Aku rebah di atas genting. Kubah super raksasa berwarna hitam dengan bintik-bintik cahaya yang terbentang di hadapanku tampak begitu jauh, sejauh tempat sahabatku sekarang berada. Sesekali, pesawat-pesawat terbang melintas. Lampu-lampu mereka yang berkelap-kelip seperti menggodaku untuk lebih baik mengejar mereka saja, daripada termangu sendirian tanpa kawan.Pesawat-pesawat itu menawariku sebuah tumpangan untuk ikut terbang, menggerayangi indahnya dunia kala malam tiba, dan menyusuri tiap liku aktivitas semua anak manusia dari ketinggian. Tapi aku menolak ajakan mereka. Pikirku, dengan pesawat sekecil itu, mereka tak akan sanggup menahan berat badanku.

Kualihkan pandangan, mengacuhkan pesawat-pesawat centil yang tadi menggodaku. Mengetahui hal itu, bintang-bintang mengambil alih. Mereka mengedipkan mata padaku, mengajakku untuk menelusuri tempat mereka, bertabrakan dengan asteroid-asteroid, menyalami komet-komet, dan mengobrol dengan satelit-satelit. Kebetulan langit sedang cerah. Tapi tawaran seindah itu juga kutolak.

Aku lebih memilih untuk menghitung mereka, bintang-bintang itu, dari tempatku ini. Mereka tetap berbaik hati untuk tetap menampakkan diri meskipun tadi aku menolak ajakan mereka. Jumlah mereka banyak sekali. Setidaknya, aktivitas menghitungku bisa membantuku melalui malam yang akan lebih panjang ini.

Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh,….

Aku menghentikan hitunganku. Ah, aku jadi ingat sahabatku.

Ia tak pernah bisa menghitung angka enam. Setelah sampai di hitungan lima, ia pasti berujar tujuh.


*****


SUARA itu! Aku mengenalnya dengan baik, maka kutinggalkan televisiku, berlari ke arah pintu dan memutar kunci.

Sebuah sepeda motor sudah masuk ke halaman. Ibu dan adikku sudah turun, sementara ayah masih duduk di atas sepeda motor. Melihatku berdiri di pintu, adikku langsung menghambur padaku. Aku berlutut, menyambut pelukannya. Hangat sekali.

Ia lantas berceloteh dengan semangat tentang pengalamannya, hari itu dan kemarin, bersama ayah dan ibu. Ia juga menunjukkan pergelangan tangannya. Sebuah gelang terpasang di situ. Katanya, ia juga telah meminta ibu untuk membeli gelang yang sama untukku. Aku menganggung-angguk, dan mengacak rambutnya.

Kuajak ia menghitung bilah bambu yang terangkai menjadi gelang itu. Ia mengangguk setuju, dan mulai menghitung. Satu, dua, tiga, empat, lima, tujuh, delapan,….

Aku tertawa keras.Ia mengerti di mana salahnya, jadi ia ikut tertawa. Kami berdua terus tertawa, sampai ayah dan ibu masuk rumah dan menyuruh adikku agar segera mencuci tangan dan kaki.


*****


ADIKKU mengangsurkan tangannya di depan hidungku. Seketika, gambar di televisi menjadi kabur, digantikan seuntai gelang dari bilah bambu berwarna cokelat tua.

Kubilang padanya, ini sungguh gelang yang bagus. Ia lantas menawarkan untuk memasangkannya di pergelangan tanganku. Segera aku mengangguk.

Sekarang gelang itu terpasang dengan rapi di tanganku. Kemudian ia mengangkat tanganku, juga tangannya. Tangan kami berdua lantas dijejerkan. Katanya, aku sayang kakak.

Aku memeluknya, erat sekali.Saking eratnya, ia mungkin merasa sesak. Mulut mungilnya berteriak, meronta-ronta agar aku melepaskan pelukanku. Aku hanya tertawa. Kusuruh ia menghitung sampai sepuluh, baru aku akan melepas pelukanku.

Ia menghitung dengan suara keras. Satu, dua, tiga, empat, lima, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh.

Aku tertawa, dan kulepaskan pelukanku. Seperti aku, adikku juga tertawa. Di sela-sela tawanya, ia berjanji akan belajar berhitung dengan benar.

Kupegang janji itu, dik.


*****


ESOK aku harus kembali ke Jakarta, bermil-mil jauhnya dari rumah, untuk meneruskan beberapa semester yang masih menanti. Liburanku di rumah hanya tersisa malam ini. Dengan alasan itu, sore ini aku mengajak adikku pergi ke taman kota. Karena jarak rumah dan taman kota hanya tiga ratus meter, ibu menyuruh kami agar berjalan kaki.

Sepanjang jalan, tak henti-hentinya adikku mencoba menghitung dengan benar. Tapi sebanyak apapun dia menghitung, hitungannya tak pernah mengandung angka enam. Bahkan sampai kami tiba di taman kota, ia belum juga berhasil memasukkan angka enam dalam kegiatan menghitungnya.

Di taman kota, segera adikku menuju ayunan, dan duduk di atasnya. Ia berteriak, menyuruhku agar cepat mendekat dan mendorong ayunannya. Sepanjang permainan, ia tak berhenti tertawa. Kunikmati tawanya. Kurekam dengan baik sore terakhir dengannya ini, sebelum aku tak akan bertemu dengannya lagi untuk waktu lima bulan ke depan.

Tiba giliranku yang duduk di atas ayunan. Adikku yang harus mendorong. Tapi ia tak mau. Katanya, tubuhku berat, jadi ia tak kuat jika harus mendorongku. Selain itu, katanya, ia haus sekali. Jadi ia kuajak membeli es kelapa muda kesukaannya.

Dengan menggenggam plastik berisi es kelapa muda, ia kugandeng ke sebuah panggung besar yang disediakan di situ. Jika malam minggu, kadang ada konser kecil di sini.

Tanpa kusuruh, ia menghitung tiap anak tangga yang kami naiki. Tapi, lagi-lagi, ia belum juga berhasil menghitung angka enam sesudah lima. Selalu tujuh yang keluar. Kubetulkan hitungannya, dan ia hanya mengangguk-angguk lucu.

Di atas panggung, adikku duduk di pangkuanku. Kami menikmati angin sore sambil menikmati segarnya es kelapa muda. Matahari sore memancar tidak begitu panas, namun warnanya yang oranye begitu mewarnai sore ini. Pohon-pohon jadi nampak indah dengan tambahan sinar oranye milik sang matahari. Indahnya sore ini juga dinikmati banyak orang yang tengah berkumpul di taman kota ini.

Tengah asyik bernyanyi-nyanyi kecil dengan adikku dan es kelapa muda kami belum juga habis, tapi ibu sudah menghubungi telepon genggamku. Ibu menyuruh kami pulang, karena ada bibi datang berkunjung ke rumah.


*****


AKU dan adikku menyusuri anak tangga, turun dari panggung. Tak lupa, adikku menghitung jumlah anak tangga seperti ketika naik tadi.

Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tu….

Brakk..!

Aku sempat melihat gelang bambu di tanganku dan tangan adikku, sebelum semua menjadi gelap.


*****


ADIKKU sudah menunaikan janjinya. Ia berhasil menghitung dengan baik pada pertemuan terakhirku dengannya. Tak lama lagi, peti jenazahku akan diangkut ke pemakaman dekat rumah. Kulihat adikku terus menggelayut pada ibu, sambil menangis.

Tenang, sayang. Kakak baik-baik di sini. Teruslah menjadi anak yang baik, dan jadilah sahabat untuk ibu dan ayah, melebihi persahabatan hebat kita berdua.

Kulihat adikku menganggukkan kepalanya.

*****




Oke, cerpennya selesai. Segala cacian, makian, kritik, saran, sanjungan, pujian, atau apapun silakan dituangkan di kolom komentar di bawah.

Terima kasih telah membaca cerpen saya. Adios!!



Salam,
Wahyu Widyaningrum