Sunday, August 27, 2017

Membincang Gairah Berbisnis


Sekitar tiga tahun lalu, seorang kawan berkirim pesan pada saya.

“Kira-kira apa ya yang ngetren tahun depan?”

Saya nggak punya kemampuan membaca masa depan, nggak bisa baca kartu tarot, nggak ngerti cara baca garis tangan, dan nggak minat melanjutkan pembicaraan aneh yang terlalu mendadak ini, jadi saya jawab singkat: entah.

Beberapa hari setelahnya, saya baru tahu kalau kawan saya itu tengah berencana memulai bisnis dengan berjualan, makanya ia bertanya demikian pada saya. Saat itu, saya sampaikan bahwa bisnis apapun terkait perempuan hampir pasti nggak ada matinya, jadi silakan dipertimbangkan hal tersebut. Sayangnya, teman saya mementahkan usulan saya dengan banyak argumen, salah satunya adalah karena ia laki-laki. Saya cuma nggumun, memangnya kalau laki-laki lalu nggak boleh jualan daster atau jilbab? Asdfghjkl.

Lantas saya mengajukan usulan lagi. Saya katakan, bahwa gaya hidup sehat sedang digandrungi saat ini. Diet ala ini atau ala itu lah, smoothies kekinian, dan macam-macam lainnya saya sebutkan juga. Jual saja minuman-minuman sehat begitu, saran saya, yang lagi-lagi ditolak. Kali ini penolakannya didasari alasan bahwa ia bukan pelaku gaya hidup tersebut. Dua penolakan ini bikin saya keki juga, dan akhirnya sebodo amat dengan rencana kawan saya ini.

Seperti kawan saya, saya rasa tidak sedikit karyawan atau pekerja kantoran yang antenanya di otaknya langsung berkedip saat mendengar kata ‘bisnis’. Bisnis menjadi sesuatu yang seksi untuk diperbincangkan di kalangan pekerja kantoran; selain sebab bisa menambah sumber penghasilan, juga sebab hal ini bisa menyinggung kebanggaan sebagai seorang manusia.

Lha ya siapa yang nggak muntab kalau setiap hari disuguhi: terlalu lama berada di zona nyaman akan menghambat pertumbuhan pribadi Anda. Terlalu nyaman dengan jadwal harian berangkat pagi pulang malam dari Senin sampai Jumat lalu akhir bulan terima gaji merupakan salah satu tanda bahwa Anda sudah berada dalam zona nyaman. Keluarlah dari zona nyaman, carilah zona baru Anda!

Atau sebab saban hari dicekoki teori Pak Robert Kiyosaki tentang empat kuadran yang disadur dan diamini oleh hampir seluruh manusia di muka bumi. Karyawan menempati posisi kuadran kiri atas, yang seringkali digambarkan dengan “Anda menggunakan seluruh waktu dalam hidup Anda hanya untuk bekerja demi orang lain”. Gambar di kuadran ini seringnya adalah: laki-laki berjas dan berdasi, menenteng tas, tengah tertunduk lesu; atau mbak-mbak dengan tangan menopang dagu di depan meja kerja dengan wajah muram. Pak Robert mengajak orang-orang di kuadran ini untuk sebisa mungkin menyeberang ke kuadran sebelah kanan, yang berisi pemilik bisnis dan investor, ben duit mili nang dompetmu masiyo kowe gak kerjo. Agar uang mengalir ke dompetmu walau kau tak bekerja.

Barangkali karena ingin mencari zona baru, mengikuti sabda Pak Robert, mendapat hidayah, atau sebab hal-hal lain, banyak karyawan yang menjajal berbisnis. Di akhir kisah, ada yang benar-benar beralih menjadi pemilik bisnis (kawan saya yang lain akhirnya mengundurkan diri dari kantor sebab bisnis pakaiannya sudah beromset miliaran), ada yang masih harus berusaha membagi waktu antara kerja kantor dan bisnis (kawan saya yang lain sering menghilang dari mejanya untuk menerima telepon dari kliennya), ada yang tekor dan kapok (kawan saya yang lain sudah mencoba enam bisnis berbeda-beda yang seluruhnya bangkrut), dan ada yang tak kemana-mana sebab tak kunjung memulai (kawan yang saya ceritakan di awal tulisan sampai sekarang belum memulai bisnis apapun). Namun ini adalah akhir kisah. Saya nggak akan mengulasnya lebih dalam, karena judul tulisan kali ini adalah ‘Membincang Gairah Berbisnis’, bukan ‘Membincang Akhir Perjalanan Para Pebisnis’.

Gairah berbisnis tentunya merupakan sesutau yang mutlak harus dimiliki oleh siapapun yang ingin berbisnis. Kalau nggak ada gairah, tersandung kerikil saja bisa menyebabkan mutung, alias ngambek. Adik-adik yang sedang belajar bersepeda pun demikian: ia ingin lancar bersepeda, maka ia harus memiliki niat dan gairah agar lulus bersepeda—kalau perlu sampai bisa lepas stang. Kalau si adik ini belajar bersepeda cuma karena dipaksa bapaknya padahal ia sendiri nggak mau dan nggak ingin bisa bersepeda, maka begitu ia jatuh dan terluka, ia nggak akan berusaha untuk meraih sepedanya lagi.

Dari hasil pengamatan ngawur saya, ada beberapa tipe orang terkait gairah berbisnis ini, terutama bagi pekerja kantoran:

1.       Orang yang gairah bisnisnya menyala-nyala dan terus begitu
Tipe ini adalah orang yang sejak awal memang berniat untuk berbisnis, langsung bertindak, dan terus memperbesar aksinya.
Kawan saya yang masuk tipe 1 ini sudah saya kenal tujuh tahun lalu, saat kami masih berstatus mahasiswa. Dalam perbincangan kami yang sebenarnya tak sering-sering amat, ia beberapa kali mengungkapkan keinginannya untuk berbisnis dan apa yang melatarinya, meskipun tak ada bayangan apa yang harus ia lakukan.
Tiga tahun berselang, beranda akun facebooknya mulai sering berisi barang-barang dagangannya. Empat tahun berselang, akun facebooknya berganti nama menjadi nama produk dagangannya. Lima tahun berselang, ia menambah lini produk. Tahun ini, ia mengundurkan diri dari kantor.

2.       Orang yang gairah bisnisnya berkobar di dalam hatinya
Tipe ini adalah orang yang semangatnya luar biasa dalam berbisnis, tetapi ia tidak mengungkapkannya kepada teman-temannya. Ia tak banyak berkoar kalau ini bisnis yang ia tekuni, itu bisnis yang ingin dilakoni. Semangatnya lebih tampak pada aktivitasnya di dunia maya.
Siapa sangka kalau kawan saya yang termasuk tipe 2 ini penghasilannya dari bisnis sudah jauuuh melampaui gaji dari kantor?

3.       Orang yang gairah bisnisnya tinggi di permulaan, menurun kemudian
Tipe ini adalah orang yang pada awal bisnisnya dimulai, ia begitu bersemangat menjalankannya. Banyak konsumen yang sudah ia rebut hatinya lewat produknya yang apik, pemasaran yang menarik, dan pelayanan yang ciamik. Namun apa daya, teriakan-teriakan konsumen loyalnya akan permintaan produk baru tak sanggup membawanya kembali ke dunia bisnis. Semangatnya menguap, sampai ia akhirnya menutup bisnisnya.
Kawan saya yang masuk tipe 3 ini bercerita, kalau ia memulai bisnisnya gara-gara baby blues. Keinginan itu langsung ia wujudkan dengan mencari pemasok dan klien. Tak lama, produknya mulai dipasarkan dan mulai dilirik pembeli. Saat produknya mulai dikenal, anaknya yang dulu menjadi penyebabnya memulai bisnis mulai beranjak besar dan membutuhkan perhatian lebih. Kawan saya tak sanggup membagi waktunya. Lebih-lebih, ada satu prinsip hidupnya yang kembali menyeruak yang menyebabkannya tak lagi ingin memasarkan produknya. Gairahnya redup seketika. Sekarang bisnisnya tak ada kabar, dan ia sedikitpun tak ingin kembali menekuninya.

4.       Orang yang gairah bisnisnya hanya ada di awang-awang
Orang yang masuk tipe ini, kemungkinan besar, adalah orang yang terlalu banyak membaca buku motivasi bisnis. Sayangnya, kegemarannya hanya membaca, bukan bertindak. Akibatnya, ia mengerti banyak teori-teori dan rencana, tapi minim aksi. Padahal, kata pepatah, yang paling penting adalah bertindak.
Atau, bisa jadi, orang yang masuk tipe ini adalah orang yang tidak tahu harus mulai dari mana. Wacananya seabrek: dagang ini sedang ngetren-usaha ini sedang laku-yang ini lagi sepi; tapi ia tidak ke mana-mana. Ikut seminar bisnis sana-sini; tapi tidak ke mana-mana. Intinya sama juga, minim aksi.
Tapi tipe 4 ini jangan diremehkan juga. Tidak menutup kemungkinan esok atau lusa ia mendapat ilham untuk langsung mewujudkan apa yang selama ini ada di awang-awang tadi. Saya kira ini bisa jadi jauh lebih besar efeknya, sebab sebelumnya ia telah memiliki rencana dan teori di kepalanya.

Pesan saya—yang tak tahu apa-apa ini, jadi boleh diabaikan—, bagi yang gairah bisnisnya sedang sangar-sangarnya, silakan dijaga. Jangan sampai padam. Itu yang membuat bisnis berkembang, dan jadi tak gampang patah arang. Buat yang belum punya, silakan dicari, tetapi nggak usah dipaksakan. Kakek saya pernah bilang kalau memaksakan sesuatu akan berdampak kurang baik bagi kita sendiri. Saya dulu pernah memaksakan diri untuk memanjat pohon kersen yang dahannya sudah agak lapuk, dan berakibat dahan tersebut patah. Untungnya saat itu kedua tangan saya sempat berpegangan pada pokok pohon jadi saya tak ikut jatuh ke tanah bersama dengan si dahan tadi.



27 Agustus 2017
-sebentar lagi final Kejuaraan Dunia Bulutangkis 2017, semoga Owi/Butet dan Ahsan/Rian menang, amin- 


Saturday, August 12, 2017

Begitulah Kita Mengulang Kenangan (2)


Semua berpakaian putih-merah. Lengkap dengan dasi merah. Beberapa meletakkan topinya di atas meja. Saat itu kita masih hijau. Benar-benar hijau—mungkin hanya pakaian, kulit, bola mata, gigi, lidah, dan rambut yang tak hijau. Anak-anak lainnya, sejauh yang bisa kulihat, tampak komat-kamit, mungkin merapal puisi atau lirik lagu untuk tampil nanti. Di saat-saat pemilihan siswa teladan seperti itu, seluruh kemampuan memang harus dikeluarkan. Kurasa karena ada nama sekolah yang dipertaruhkan di situ. Sementara aku duduk di bangku kedua-dari-belakang menunggu giliran, kau berdiri di depan kelas, membacakan sebuah puisi yang sangat sering kudengar karena itu adalah puisi paling populer di kalangan anak sekolah dasar. 
Begitulah kita pertama kali bertemu.

Senior yang cukup menyebalkan, dengan gaya sok dan suara yang menggelegar hampir memecahkan kaca. Warna seragam mereka sudah putih-biru, sedangkan aku dan teman-temanku masih mengenakan putih-merah. Lengkap dengan atribut aneh—yang tak mungkin dikenakan di hari-hari biasa—seperti rambut dikuncir entah berapa banyak dan topi juga tas berbahan kantong plastik. Juga kegiatan yang menurutku menyebalkan: meminta tanda tangan seluruh teman sekelas dan beberapa senior—karena kupikir aku tidak mungkin mengingat semua nama teman sekelas dengan cepat hanya dengan meminta tanda tangannya. Dibayang-bayangi pelototan dan nyinyiran senior, kulakukan juga kegiatan itu. Atas alasan itulah aku memintamu menuliskan nama dan menorehkan tanda tangan di buku kegiatanku. Tapi kurasa kita pernah bertemu sebelumnya. Sosok anak yang sedang membacakan sebuah puisi di depan kelas setahun lalu itu melintas di pikiranku. Kubaca namamu dan lebih kuperhatikan wajahmu. Aku tak salah ingat. 
Begitulah kita pertama kali berkenalan.

Sore yang kelam. Selain aku, di rumah hanya ada orang-orang aneh yang hanya bisa kudengar suaranya dan kulihat fisiknya tapi tak bisa kusentuh karena mereka hanyalah aktor dan aktris di televisi. Dering telepon membuatku terpaksa meninggalkan orang-orang yang kuanggap aneh tapi tetap saja kutonton itu. Di ujung sana, seseorang menanyakan namaku. Kujawab bahwa akulah yang ia cari, tapi ia tak mau menjawab ketika kutanyakan siapa dirinya. Lantas dari suara dan gaya bicara, aku tahu bahwa ia adalah kau. Beberapa detik basa-basi dan beberapa menit membicarakan hal-hal yang menurutku sangat menyenangkan membuatku lupa pada kesendirianku dan orang-orang aneh tadi. Aku bersyukur kau tidak menghubungiku hanya untuk sekedar menanyakan PR dan tugas sekolah. 
Begitulah kita pertama kali bercakap lewat telepon.

Metode berpindah-kelas. Membutuhkan lebih banyak tenaga karena harus mengangkat tas dan semua isinya—buku-buku yang banyak dan berat—ke kelas lain setiap ganti mata pelajaran. Tak ada jaminan di mana tempat duduk yang kosong karena semua tergantung seberapa cepat seseorang mengemasi tasnya, berlari menuju kelas lain, dan memilih tempat duduk yang strategis. Saat kau masuk kelas, hanya ada empat bangku yang masih kosong. Dua bangku yang bersebelahan, satu bangku di sebelah temanku-yang-paling-pintar di baris paling depan, dan satu bangku di sebelahku di baris kedua dari belakang. Kau lantas duduk di sebelahku. Tak ada yang menarik dari penjelasan guru biologi di depan kelas karena beliau hanya menampilkan tayangan teks berbahasa Inggris sedangkan beliau sendiri tak tahu artinya sehingga lebih sering membuka kamus yang mana hal itu sangat memakan waktu. Lalu akhirnya kita mulai bercakap-cakap. Tentang jurusan apa yang ingin diambil ketika kuliah dan kenapa, universitas mana yang ingin dituju dan alasannya, juga apa yang ingin dilakukan sekian tahun lagi. 
Begitulah kita pertama kali membincangkan masa depan.

Gelak tawa hadir di antara makanan yang hampir tandas dan minuman yang hampir habis. Ia, gelak tawa itu, bisa saja hadir karena semua dinyatakan lulus, bisa juga hadir karena semua waktu yang dilewati sangat menyenangkan. Beberapa hari lagi, wajah-wajah yang ditemui di dalam kelas tak lagi sama, kota yang dituju tak lagi sama, tempat yang dipijak tak lagi sama. Saat kau menghampiri dan menyalamiku, kau tersenyum indah sekali. Seingatku itulah senyum terbaikmu yang pernah kulihat—sampai aku ikut tersenyum juga. Kurasa aku merekam senyummu itu dengan baik di kepalaku. 
Begitulah kita pertama kali berpisah.

Tak pernah ada pertemuan lagi selepas senyum itu.

“Entahlah, kenapa saat itu, ia menganggap lucu kata-kata itu. Mungkin itulah sebabnya, sering kita kangen pada saat-saat pertemuan pertama. Kita memang ingin selalu mengulang kenangan.” – Agus Noor: Cerpen Kunang-kunang di Langit Jakarta


**


Seorang kawan kita meriuhkan media sosial sebab suatu kabar yang ia dengar. Kawan kita yang lain, yang juga merupakan kawan baikmu beberapa tahun lalu sebelum kalian menjadi sangat sibuk dan begitu asyik dengan urusan sendiri, tak mendengar apapun tentangmu. Jelas, aku lebih mempercayainya dibanding kawan kita yang pertama tadi. Kuminta ia mengklarifikasi terlebih dahulu kabar yang ia dapat sebelum membagikannya kepada kami. Namun harus kuakui bahwa kemudian ada sedikit penyesalan setelah itu, sebab aku tahu bahwa kabar itu benar adanya. Sementara aku (dan beberapa kawan lain, barangkali) masih membuat pembelaan agar tak bertemu denganmu atas alasan yang sangat klise, kau mungkin sedikit berang atas tingkah laku kami yang egois. Pada hari itu, aku menyadari bahwa perpisahan tanpa pamit adalah hal yang menyakitkan, pun menyesakkan. Aku menyalahkan diriku sendiri sejak saat itu, dan terus begitu, sebab sampai sekarang aku belum juga berkunjung ke pusaramu. 
Begitulah kita selamanya berpisah.