Wednesday, February 20, 2019

Pendatang Baru Daftar-Buku-Favorit: Rainbirds

Pagi itu saya agak uring-uringan.

Seharusnya saya menumpang pesawat menuju Surabaya yang berangkat pukul 09.35, tetapi sekitar pukul 09.00 terdengar pemberitahuan melalui pelantang di ruang tunggu:
Sedang ada perbaikan landasan pacu di Bandara Juanda, Surabaya, yang menyebabkan operasional bandara ditutup selama empat jam.

Artinya, saya paling cepat bisa sampai di Surabaya pukul 13.00 dan saya jadi punya waktu sekitar tiga jam sembari menunggu penerbangan.

Sialnya, saya alpa membawa bahan bacaan.

Saya memutuskan untuk mampir ke Periplus yang ada di ruang tunggu. Beberapa buku sempat menarik perhatian saya.

The Courage To Be Disliked. Saya sempat menikmati drama televisinya yang tayang di Jepang, berjudul sama: Kirawareru Yuuki. Tangan saya hanya membolak-balik buku itu, lalu saya letakkan kembali ke rak karena saya ingin membaca versi bahasa asalnya saja.

The Subtle Art Of Not Giving A F*ck. Buku yang sering mondar-mandir dalam penglihatan saya—karena ia bestseller dan warna sampulnya luar biasa mencolok—ini pun akhirnya saya letakkan kembali di tempatnya karena sejatinya saya adalah orang yang mahacuek sejak lahir. HAHAHA.

Rainbirds. Nama penulisnya tidak asing bagi saya. Ada label 30% tertempel di luarnya. Dua hal itulah yang melatarbelakangi keputusan saya untuk membeli buku ini (meskipun pada akhirnya saya harus membayar penuh karena periode potongan harga itu sudah berakhir sehari sebelumnya).

Bagi saya, Rainbirds adalah novel yang mudah dibaca, sederhana, dan menghanyutkan. Alurnya tenang sekali, tidak grasa-grusu, dan memberikan penggambaran dengan porsi yang pas untuk setiap adegan yang muncul. Dialognya juga proporsional dan sesuai dengan sikon saat kejadian, bukan tipe dialog-pendek-absurd-sok-puitis-dan-filosofis.

Di atas semuanya, yang memenangkan hati saya adalah: detailnya.

Clarissa Goenawan mengambil latar belakang Jepang untuk novel ini, dan ia menggunakan nama-nama orang Jepang, latar tempat di beberapa kota di Jepang, iklim Jepang, dan istilah-istilah Jepang (seperti zori dan osechi). Ya, ini juga yang dilakukan banyak penulis ketika menulis cerita berlatar Jepang, tapi banyak yang hanya berhenti pada hal-hal itu.

Namun, tidak demikian dengan Clarissa. Ia tidak alpa mengisahkan detail-detail yang justru menghidupkan nuansa Jepang dalam ceritanya.

Saat Ren pamit dari Yotsuba, kepala sekolah mengatakan, “thank you for your hardwork” yang merupakan terjemahan dari otsukaresamadeshita.
Saat memasuki kedai makan, pemilik warung menyambut dengan “Welcome!” yang merupakan terjemahan dari irasshaimase.
Saat akan memasuki rumah Kato, Ren diceritakan melepas alas kakinya.
Saat tertinggal bus terakhir, Ren berjalan kaki selama dua jam.
Saat memilih apartemen baru selepas pindah dari kediaman Kato, pertimbangan Ren (dan masukan Honda) adalah jarak dari stasiun atau halte bus dan swalayan terdekat.
Perubahan penyebutan nama tokoh antara nama diri dan nama keluarga, misalnya Ren dan Ishida.
Beberapa poin di atas adalah titik penting yang semakin menguatkan Rainbirds secara keseluruhan. Semuanya Jepang banget! Saking detailnya penceritaan, saya sampai merasa bahwa novel ini ditulis oleh penulis Jepang dan diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh penerjemah yang sangat baik. Bahkan saya sampai bisa membayangkan dialog-dialog itu dalam bahasa Jepang, saking nyatanya dan saking “ya memang beginilah reaksi atau diksi orang Jepang dalam kondisi ini”.
Setelah Aroma Karsa, saya belum pernah lagi membaca satu buku sampai akhir. Sampai akhirnya Rainbirds datang ke genggaman saya melalui insiden penutupan bandara. Saya kemudian berikrar memasukkan Rainbirds dalam daftar bacaan terfavorit saya. Di sana sudah ada Things Fall Apart, Of Mice And Men, Cannery Row, dan Vegetarian.
Mbak Clarissa, aku bocahmu!

130219