Thursday, September 17, 2020
Thursday, September 3, 2020
Kisah Sederhana Tentang Kaum Paisano
Judul buku : Dataran Tortilla (Judul Asli: Tortilla Flat)
Penulis : John Steinbeck
Penerjemah :
Djokolelono
Penerbit :
KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun :
2016
Tebal :
219 halaman
Krisis ekonomi besar yang melanda Amerika Serikat, dan
kemudian meluas ke seluruh dunia, pada rentang tahun 1929 hingga 1939 memberi pengaruh
luar biasa di segala bidang. Krisis yang sering disebut dengan istilah Depresi
Besar itu menyebabkan harga saham jatuh bebas, PDB turun, tingkat pengangguran
meningkat, dan jumlah tunawisma membludak.
Novel Dataran Tortilla terbit pada tahun 1935, ketika
Depresi Besar tengah berlangsung. John Steinbeck, yang memperoleh Hadiah Nobel
Sastra pada tahun 1962 “atas karyanya yang realistis dan imajinatif, yang
memadukan humor dan kritik sosial yang tajam”, tampaknya betul-betul berusaha menyajikan
humor ringan sebagai oase di tengah krisis melalui karyanya ini.
Novel ini bercerita tentang Danny dan beberapa
kawannya—Pilon, Pablo, Jesus Maria, Si Bajak Laut, dan Big Joe—, serta
kehidupan yang melingkupi mereka di sebuah rumah di wilayah bernama Dataran
Tortilla di Monterey, California. Danny dan kawan-kawannya adalah paisano:
kaum dengan darah campuran Spanyol, Indian, Meksiko, dan berbagai ras kulit
putih Eropa. Kehidupan mereka sungguh ringan, polos, tanpa beban, seringkali
hangat, minim target, dan tidak begitu memusingkan uang. Kalaupun ada satu
barang yang harus hadir dalam tiap embusan nafas mereka, itu adalah anggur.
Mereka bahkan lebih memilih menghabiskan uang untuk membeli anggur daripada
menggunakannya untuk membayar uang muka agar layanan perusahaan air minum bisa
sampai ke tempat tinggal mereka (halaman 11). Bersama-sama mereka menghadapi
masalah yang datang, saling berdiskusi, bercerita, dan bahu-membahu dengan cara
masing-masing yang menimbulkan humor dan tawa—tentu kadangkala mereka sedikit saling
berbohong dan berseteru satu sama lain.
Suatu ketika, terjadi perubahan drastis pada sikap
Danny yang membuat hidupnya berakhir, meskipun kawan-kawannya berusaha sekuat
tenaga mencegahnya. Setelah upacara penguburan Danny usai, rumah mereka—rumah
milik Danny yang ditinggali bersama—, yang menjadi jimat pemersatu pertemanan
dan atap pelindung tempat mereka menghabiskan hari dengan tidur dan minum
anggur, pada akhirnya juga hangus; habis tak berwujud menyusul pemiliknya yang
juga telah berpulang. Ketiadaan jimat pemersatu tersebut membuat kawan-kawannya
berpisah, pergi berpencar dengan tujuan masing-masing.
John Steinbeck menyematkan beberapa kalimat penghibur
agar pembacanya, barangkali, bisa sedikit lupa pada krisis ekonomi, misalnya “kebahagiaan
lebih baik daripada kekayaan” (halaman 94) serta “ada kacang polong berarti
selamat. Kacang polong merupakan atap pelindung perut, selimut hangat yang
menangkis dinginnya tekanan ekonomi.” (halaman 154). Selain itu, ada juga kalimat
yang diucapkan Danny, “senang sekali mempunyai banyak kawan. Dunia ini terasa
sunyi, bila tak ada kawan untuk diajak berbincang-bincang atau untuk
menghabiskan grappa.” (halaman 53).
Namun demikian, novel yang mengangkat nama John
Steinbeck ini bukannya bebas dari kontroversi. Dataran Torilla dianggap
rasis. Penggambaran kaum paisano melalui tokoh Danny dan kawan-kawannya
sebagai orang-orang pemalas, gemar minum, dan enggan berpikir jangka panjang
dianggap menimbulkan stereotip buruk dan melukai perasaan orang-orang Hispanik.
John Steinback memang telah meminta maaf atas hal tersebut dan menyebut
kebiasaan-kebiasaan tadi sebagai “suatu filosofi, dan tidak ada masalah atas hal
itu”. Pernyataan maaf itu dimuat di Dataran Tortilla yang diterbitkan
oleh penerbit Modern Library pada tahun 1937, tetapi tak lagi muncul pada
cetakan-cetakan selanjutnya.
**
John Steinbeck lahir pada tahun 1902 di Salinas,
California, tempat yang kelak akan menjadi latar bagi beberapa karyanya. Ia
wafat pada tahun 1968. Sepanjang hidupnya, ia kerap bermasalah dengan
kesehatannya, misalnya peradangan paru-paru pada usia 16, usus buntu pada usia
17, dan seterusnya: infeksi ginjal, operasi retina, stroke, serangan
jantung, dan cedera punggung. Penyakit-penyakit yang datang silih berganti itu
juga yang menjadi salah satu faktor yang meneguhkan niatnya untuk menjadi
penulis.
Karier menulis John Steinbeck dimulai pada tahun 1929
melalui novel debutnya, Cup of Gold. Ia juga menulis dua novel dan dua
kumpulan cerpen sebelum menerbitkan Dataran Tortilla, karya pertamanya
yang mendapat sambutan hangat dan mendulang kesuksesan. Sepanjang hidupnya, ia
telah menulis lebih dari 40 karya dan memenangi Hadiah Pulitzer (1940), Hadiah
Nobel Sastra (1962), dan United States Medal of Freedom (1964). Karya besar
yang melambungkan namanya adalah Of Mice and Men (1937), Amarah (The
Grapes of Wrath, 1939), dan Sebelah Timur Eden (East of Eden, 1952)—ketiganya
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
John Steinbeck adalah seorang pengarang jenius dengan
celanya sendiri. Dalam rangka memperingati 50 tahun kematiannya, surat kabar harian
asal Inggris, The Independent, pernah memuat artikel panjang tentang betapa unik
dan kontroversialnya penulis ini. Salah satu anekdot yang diangkat adalah
ketika ia ditanyai oleh seorang kawannya dari Vietnam tentang motto hidupnya,
dan ia menjawab, “jangan beralasan. Jangan biarkan orang-orang melihatmu
menderita. Jangan pernah terpisah dari barang-barangmu. Selalu cari tahu pukul
berapa bar mulai buka.” Keunikan pribadinya itu pula yang mungkin membuatnya
mampu memotret kondisi zaman serta menyusun penokohan dan jalan cerita luar
biasa atas kisah-kisah sederhana yang ia tulis. Karya-karyanya lalu diganjar berbagai
penghargaan, termasuk Hadiah Nobel Sastra, dan terus diminati oleh para
penikmat sastra selama hampir seabad ini.
Monday, August 17, 2020
Tradisi Unik Akutagawa Prize Ke-163
Tradisi Unik Ketika Hakyoku Mendapat Akutagawa Prize Ke-163
Oleh Tono Haruka (Peraih Akutagawa Prize Ke-163)
Begitu Hakyoku
diumumkan masuk nominasi Akutagawa Prize, pihak penerbit berencana akan menggelar
semacam 'nubar' atau nunggu bareng pada hari pengumuman pemenang. Sesuai
namanya, pertemuan itu memang hanya berisi agenda menunggu panggilan masuk
terkait hasil akhir penghargaan. Manusia-manusia yang sibuk itu berkumpul dan
menunggu sampai ponsel saya berdering. Buku saya diterbitkan oleh penerbit Kawade
Shobo Shinsha, tetapi nubar ini meluas, tidak hanya terbatas bagi pihak
penerbit saja. Menurut saya itu adalah suatu tradisi yang absurd. Tentu baik
kalau saya menang, tapi kalau tidak menang, bukankah justru jadi canggung? Selain
itu, kalau saya tidak datang nubar, saya bisa memanfaatkan waktu itu untuk
menulis naskah saya. Kalau saya datang nubar, mustahil saya bisa menulis
naskah. Tidak sopan kalau saya justru menulis naskah ketika ada orang lain di
depan saya. Tidak mungkin saya melakukannya. Saya juga mempertimbangkan untuk
absen saja di gelaran nubar ini.
Saya
akhirnya hadir karena mendengar bahwa kue-kue telah dipersiapkan. Kue lemonnya
sangat lezat--saya diberitahu kedai kue mana yang membuat, tetapi saya lupa. Karena
menunggu panggilan masuk tanpa melakukan apa pun justru menambah rasa canggung,
saya mengusulkan agar menonton Ju-On di Netflix bersama-sama. Sudah lama saya
ingin menontonnya, setelah seorang penulis sci-fi mencuit di twitter bahwa film
itu menarik. Selain itu, saya paham bahwa tingkat adrenalin yang lebih tinggi
paling efektif untuk melenyapkan deg-degan.
Editor
buku saya pernah bercerita bahwa drama Korea berjudul It's Okay To Not Be Okay
sangat menarik, lalu saya menontonnya. Saya belum sampai pada taraf gila, masih
terhitung normal. Tapi kalau misal saya gila dan itu ternyata tidak masalah,
saya merasa tenang. Sebagaimana saya yang memutuskan menonton suatu drama atau
tidak dari judulnya, apakah orang lain juga memutuskan membaca suatu novel atau
tidak dari judulnya? Saya tersadar kembali akan pentingnya suatu judul,
meskipun sampai saat ini saya terus berhati-hati dalam menentukan judul.
**
Pihak
Komite Promosi Sastra Jepang menelepon saya dengan nada suara seperti sedang
menginformasikan sesuatu yang buruk, dan itu membuat saya berasumsi bahwa saya
kalah. Memang sejak awal saya merasa bahwa saya tidak favorit dan yang akan
menang adalah Takayama Hanako, jadi saya tidak terkejut. Namun setelah saya
dengar penjelasannya, ternyata saya menang. Apa nada suaramu bisa sedikit
lebih ceria, pikir saya. Tetapi kalaupun saya kalah, menurut saya tetap
lebih baik kalau ia berbicara dengan nada yang ceria.
Saya
menaiki taksi. Di dalam taksi saya menerima satu wawancara via telepon. Ada
konferensi pers setelah pemberitahuan pemenang yang diselenggarakan di sebuah
hotal--saya lupa hotel apa--. Pada acara tersebut saya harus menjawab berbagai
pertanyaan. Saya sebetulnya tidak punya apa pun untuk disampaikan saat itu;
juga sebelumnya, dan mungkin setelahnya. Namun konferensi pers lebih mirip
seperti suatu kewajiban bagi seorang penerima penghargaan. Para wartawan pun
seolah bukan bertanya karena ingin mengajukan pertanyaan, tetapi harus bertanya
karena memang itulah pekerjaan mereka.
Ada
pertanyaan, apakah saya sudah memberi tahu keluarga tentang penghargaan ini,
lalu saya jawab bahwa saya belum melakukannya. Kemudian entah mengapa
meledaklah tawa-tawa. Saya bahkan tidak terpikir untuk menceritakannya kepada
keluarga. Apakah normalnya adalah memberi tahu? Apakah mereka tertawa karena
saya tidak normal? Kalau benar begitu, menurut saya hal itu kurang sopan. Atau
apakah mereka berpikir bahwa saya sedang bergurau lalu mereka terpaksa tertawa? Kalau
benar begitu, menurut saya mereka sungguh baik hati. Sampai sekarang pun saya
tidak berpikir bahwa saya perlu memberi tahu keluarga saya. Kalaupun mereka tertarik,
mereka akan menonton televisi atau video lucu, dan setelah itu, mereka akan
segera tahu.
**
Diterjemahkan dari sini
Thursday, August 6, 2020
Kesamaan Haruki Murakami dan Gabriel Garcia Marquez: Resensi Novel Cinta di Tengah Wabah Kolera
Judul buku:
Love In The Time Of Cholera (Cinta di Tengah Wabah Kolera)
Penulis:
Gabriel Garcia Marquez
Penerjemah: Rosemary Kesauli
Penerbit:
GPU, 2018
Tebal:
635 halaman
Gabriel Garcia Marquez memungut inspirasi untuk bahan bakar karyanya dari mana saja. Ia pernah berbincang sejak pukul 9 pagi hingga 4 sore dengan seorang perempuan yang kebetulan duduk di sebelahnya di ruang tunggu bandar Charles de Gaulle, Paris, dan dari situlah cerita “Putri Tidur dan Pesawat Terbang” lahir. Ketika menulis “Tales of Shipwreck”, ia juga memperoleh ide untuk mengangkat kisah petualangan seorang pelaut yang hilang di samudera dari sebuah detail pendek: pelaut itu hilang selama 40 hari. Dari sana, ia akhirnya menuliskan kisah itu dalam 40 bab: satu bab untuk kisah satu hari.
Gabriel
Garcia Marquez—jamak dipanggil Gabo—lahir pada 1927 di Aracataca, Kolombia, dan
meninggal pada 2014. Nicholas Shakespeare, novelis Inggris, pernah menulis begini
dalam artikelnya: Gabo meyakini bahwa suatu pertemuan, sesingkat apa pun,
memiliki kekuatan untuk mengubah kita—itulah sebab ia percaya seruannya pada
Ernest Hemingway pada suatu hari yang dibalas dengan lambaian tangan
berpengaruh besar terhadap hidupnya. Pertemuan singkat pula yang mengawali
kisah cinta dalam bentang waktu setengah abad lebih yang diceritakan dalam
novel ini.
Florentino
Ariza remaja melihat Fermina Daza gadis dari balik jendela ruang jahit, gadis
itu melihatnya balik dengan singkat, dan itulah awal dari rasa cinta abadi yang
terus bertahan dalam hati Florentino. Ia mengirimkan surat-surat puitis
buatannya setiap hari, yang pada akhirnya hanya bertepuk sebelah tangan karena
Fermina justru dinikahkan ayahnya dengan dr. Juvenal Urbino, seorang dokter
muda dari keluarga terpandang dan bereputasi baik yang besar jasanya bagi
lingkungannya. Namun toh hal itu tidak membuat cinta abadi Florentino luntur,
bahkan sampai ia mampu mencapai puncak karier sebagai direktur umum suatu
perusahaan pelayaran sungai. Perasaan itu tetap ia simpan utuh di sana,
walaupun dalam jangka waktu itu ia telah tidur dengan lebih dari 622 perempuan
dan jatuh cinta pada beberapa di antaranya. Florentino mencatat rapi seluruh
petualangannya dalam 25 buku catatan.
Lantas
pada suatu hari, dr. Juvenal Urbino meninggal di usianya yang ke-81 tahun
karena patah tulang akibat jatuh setelah memanjat dahan mangga untuk menangkap
burung nuri. Florentino datang ke upacara pemakamannya, juga pada hari-hari
berikutnya, untuk menemani Fermina yang sudah menjadi janda. Setelah waktu
bergulir 51 tahun, 9 bulan, 41 hari, sekali lagi ia mengutarakan apa yang pernah
ia ungkapkan pada Fermina, dan mereka akhirnya bersatu.
Kalau
Haruki Murakami, novelis Jepang ternama yang berkali-kali diunggulkan menerima
Nobel Sastra, menggandrungi lari, kafe, jazz, dan The Beatles sehingga
memunculkan detail-detail itu dalam karyanya, Gabo pun tidak jauh berbeda. Ia
menuangkan di sana-sini apa-apa saja yang ia sukai: cinta, keberadaannya di
dekat wanita, dan tokoh wanita berkarakter independen, tajam, tetapi tak
berdosa.
Novel
ini mengambil latar waktu antara tahun 1870—1930, saat wabah kolera terjadi di
seluruh negeri serta adanya berbagai perang saudara yang menimbulkan
ketidakstabilan pemerintahan dan politik. Gabo, yang telah menjadi jurnalis
sejak berusia 19 tahun, menyelipkan kritik sosial di karyanya ini. Salah
satunya meluncur dari bibir Paman Leo XII, paman dari Florentino Ariza. Paman
Leo XII berkata,
“Umurku hampir seratus tahun dan aku sudah
melihat segala sesuatu berubah, termasuk posisi bintang-bintang di semesta,
tapi aku belum pernah melihat perubahan apa pun di negeri ini,” kata Paman Leo
biasanya. “Di sini mereka membuat undang-undang baru, konstitusi baru, dan
perang baru setiap tiga bulan sekali, tapi kita masih terjebak di zaman
kolonial.”
Cinta
di Tengah Wabah Kolera ini adalah novel pertama Gabo yang terbit setelah ia
menerima Nobel Sastra pada tahun 1982. Karya-karyanya memiliki ciri khas berupa
penyampaian realita dan pesan yang kuat. Wajahnya dikenal di seluruh penjuru
negeri, bahkan oleh orang-orang yang belum pernah membaca tulisan-tulisannya.
Ia menjadi pahlawan yang dielu-elukan semua kalangan. Sekelompok gerilyawan
pernah menculik seseorang dan membuat tuntutan agar Gabo mau menjadi presiden
‘demi menyelamatkan tanah air’.
Cinta
Florentino Ariza abadi bagi Fermina Daza, dan karya Gabriel Garcia Marquez
abadi bagi sastra dunia.
**
Sumber bacaan tambahan:
Memikirkan Kata: Panduan Menulis untuk Semua, 2019, terbitan Galeri Buku Jakarta.