Tuesday, June 16, 2020

Jalan Pembacaan Para Penulis - Machida Ryohei (Volume 6)


Bagaimana kebiasaan para penulis ketika di toko buku? Bagaimana mereka mengidentifikasikan diri mereka sebagai pembaca? Pertanyaan-pertanyaan itu kami ajukan langsung kepada penulis.

Topik 6: Menulis di Kamar Mandi
(topik 5 dapat dibaca di sini)




Apakah ada sesuatu yang berubah semenjak Anda debut sebagai penulis?
Sejak debut, saya didampingi oleh editor, kami berdiskusi juga terkait novel sehingga pengerjaan novel saya menjadi lebih cepat. Pada satu titik, bagi saya menulis novel sudah menjadi kebiasaan. Jadi kalau sedang sehat dan bugar, saya jadi mudah menyesuaikan ritme aktivitas sehari-hari, dan justru jadi tidak tenang kalau tidak menulis.

Anda lebih sering menulis di ponsel, ‘kan? Apakah kebiasaan itu berlangsung sejak awal-awal Anda mengirim naskah?
Saya mengetahui ada orang-orang yang menulis novel di ponsel, baik ponsel lawas maupun Iphone. Suatu hari tiba-tiba saya berpikiran bahwa kalau saya bisa menulis dengan laptop, seharusnya itu juga berlaku pada ponsel. Saya ingat, karya saya sejak setahun sebelum Ao Ga Yabureru saya kirimkan, itu saya tulis di ponsel. Untuk Shiki dan Ai Ga Kirai memang saya tulis di laptop, tapi selain karya itu, saya menggunakan ponsel. Ketika menulis di ponsel, saya potong-tempel di Word, saya perbaiki di situ juga sembari saya baca ulang, lalu saya lampirkan file Word-nya untuk saya kirimkan ke editor naskah.

Saya tadi juga bertanya tentang kebiasaan Anda yang menulis di kamar mandi....
Saya mulai menulis di kamar mandi sejak karya kedua. Saat dipublikasikan, judul naskah saya adalah Suimen, tetapi ketika diterbitkan dalam buku, judulnya menjadi Boku Wa Kitto Yasashii.

Oh, itu buku edisi spesial yang terbit tahun ini, ya. Apakah itu karya pertama hasil menulis di kamar mandi?
Kebetulan saja saya saat itu sedang membaca buku karya Nakazawa Shin-ichi, lalu tiba-tiba terpikir, ‘wah sepertinya sekarang saya bisa menulis novel’. Tapi saya merasa terlalu repot kalau harus keluar kamar mandi, jadi akhirnya saya menulis begitu saja dengan ponsel yang saya bawa. Begitulah awalnya. Dan saya rasa itu tidak buruk-buruk amat.

Omong-omong, apa yang berbeda ketika menulis di ponsel?
Yang paling saya sukai, karena menulis di ponsel tidak membuat saya terkungkung. Kalau pakai laptop, ukuran layarnya besar sehingga mata saya akan melirik-lirik ke tulisan sebelumnya, rasanya agak cemas apakah tulisannya sudah baik atau belum. Tetapi saya merasa puas ketika menulis Shiki di laptop. Saya menulisnya dengan menggunakan sudut pandang sebagai orang ketiga. Kesadaran yang otomatis ada di kepala saya adalah, saya menulis sebagai orang ketiga kalau pakai laptop, dan menulis sebagai orang pertama kalau pakai ponsel. Saya menulisnya tanpa melihat-lihat kembali bagian sebelumnya. Saya berusaha selalu menulis ketika fisik saya sedang sehat, tapi bagaimana saya menentukan sehat atau tidaknya tubuh saya tergantung pada apakah saya bisa mengingat bagian-bagian cerita yang sebelumnya telah saya tulis. Dengan kata lain, biasanya saya tidak ingat. Ketika saya bisa mengingatnya, pada waktu yang bersamaan saya jadi terbersit apa yang akan saya tulis selanjutnya. Urutannya bisa terbalik-balik antara depan dan belakang, misalnya ketika saya punya ide untuk menulis bagian selanjutnya, saya justru teringat pada bagian sebelumnya. Momen-momen itulah yang penting. Kadang saya merasa bahwa pekerjaan yang berhubungan dengan ingatan lebih cocok bila ditulis di ponsel. Tapi untuk Shiki, tokoh-tokohnya diceritakan dalam rentang waktu satu tahun, jadi saya perlu tahu pada waktu A, hal ini terjadi, lalu menjadi seperti itu. Saya menikmati menulis kisah itu di laptop.

Oh, apakah Anda juga menulis dengan laptop di kamar mandi? Saya jadi khawatir....
Cukup sering juga. Tapi kalau untuk saat ini, hanya di hari kerja saja (tertawa).
Akhir-akhir ini saya merasa laptop saya bermasalah, jadi saya sudah beli yang baru. Sebelumnya, saat saya pakai untuk bekerja, loading-nya terasa lambat sekali, bahkan di kabelnya juga sudah terlihat serat tembaganya. Mungkin ia rusak karena terkena air atau semacamnya. Sepertinya begitu.

Pada karya terbaru Anda, Ai Ga Kirai, ada tiga tulisan. Betul begitu?
Ai Ga Kirai saya tulis di laptop, sementara Shizukesa dan Ikiru Karada saya tulis di ponsel. Bagi saya pribadi, Ai Ga Kirai punya kedudukan tersendiri. Di karya saya lainnya, sudut pandang yang saya pakai pasti yang sedekat mungkin dengan si pencerita; sedangkan pada Ai Ga Kirai saya berhati-hati agar tidak absurd.
Ketika menulis, saya berusaha sadar bahwa di antara tokoh-tokoh yang muncul, ada kisah yang hilang dari si pencerita. Saya berharap para pembaca akan menciptakan sendiri kisah yang hilang tadi. Dalam Ai Ga Kirai, ada tokoh dewasa dan anak-anak dengan nama yang pengucapannya sama yaitu Hiro, dan saya rasa itu bisa menjadi penghubung untuk membuat kisah itu menjadi utuh. Mereka melihat dunia dari sudut pandang di antara mereka berdua. Sejak awal saya sudah menyadari bahwa saya tidak piawai menciptakan tulisan dengan kisah yang utuh. Sebelum menulis saya tidak berpikir mengapa saya menulis cerita itu; saya baru sadar setelah menuliskannya. Bahkan ketika memunculkan tokoh anak-anak yang namanya sama dengan nama tokoh utama, saat itulah saya baru berpikir, ‘oh ternyata jadinya seperti ini.’

**

Diterjemahkan dari artikel ini.

0 comments:

Post a Comment