Bagaimana kebiasaan para penulis ketika di toko buku? Bagaimana mereka mengidentifikasikan diri mereka sebagai pembaca? Pertanyaan-pertanyaan itu kami ajukan langsung kepada penulis.
Apakah ada
sesuatu yang berubah semenjak Anda debut sebagai penulis?
Sejak debut,
saya didampingi oleh editor, kami berdiskusi juga terkait novel sehingga
pengerjaan novel saya menjadi lebih cepat. Pada satu titik, bagi saya menulis
novel sudah menjadi kebiasaan. Jadi kalau sedang sehat dan bugar, saya jadi
mudah menyesuaikan ritme aktivitas sehari-hari, dan justru jadi tidak tenang
kalau tidak menulis.
Anda lebih
sering menulis di ponsel, ‘kan? Apakah kebiasaan itu berlangsung sejak
awal-awal Anda mengirim naskah?
Saya
mengetahui ada orang-orang yang menulis novel di ponsel, baik ponsel lawas
maupun Iphone. Suatu hari tiba-tiba saya berpikiran bahwa kalau saya bisa
menulis dengan laptop, seharusnya itu juga berlaku pada ponsel. Saya ingat,
karya saya sejak setahun sebelum Ao Ga Yabureru saya kirimkan, itu saya tulis
di ponsel. Untuk Shiki dan Ai Ga Kirai memang saya tulis di laptop, tapi selain
karya itu, saya menggunakan ponsel. Ketika menulis di ponsel, saya potong-tempel
di Word, saya perbaiki di situ juga sembari saya baca ulang, lalu saya
lampirkan file Word-nya untuk saya kirimkan ke editor naskah.
Saya tadi
juga bertanya tentang kebiasaan Anda yang menulis di kamar mandi....
Saya mulai
menulis di kamar mandi sejak karya kedua. Saat dipublikasikan, judul naskah
saya adalah Suimen, tetapi ketika diterbitkan dalam buku, judulnya menjadi Boku
Wa Kitto Yasashii.
Oh, itu buku
edisi spesial yang terbit tahun ini, ya. Apakah itu karya pertama hasil menulis
di kamar mandi?
Kebetulan
saja saya saat itu sedang membaca buku karya Nakazawa Shin-ichi, lalu tiba-tiba
terpikir, ‘wah sepertinya sekarang saya bisa menulis novel’. Tapi saya merasa
terlalu repot kalau harus keluar kamar mandi, jadi akhirnya saya menulis begitu
saja dengan ponsel yang saya bawa. Begitulah awalnya. Dan saya rasa itu tidak
buruk-buruk amat.
Omong-omong,
apa yang berbeda ketika menulis di ponsel?
Yang paling
saya sukai, karena menulis di ponsel tidak membuat saya terkungkung. Kalau
pakai laptop, ukuran layarnya besar sehingga mata saya akan melirik-lirik ke
tulisan sebelumnya, rasanya agak cemas apakah tulisannya sudah baik atau belum.
Tetapi saya merasa puas ketika menulis Shiki di laptop. Saya menulisnya dengan
menggunakan sudut pandang sebagai orang ketiga. Kesadaran yang otomatis ada di
kepala saya adalah, saya menulis sebagai orang ketiga kalau pakai laptop, dan
menulis sebagai orang pertama kalau pakai ponsel. Saya menulisnya tanpa
melihat-lihat kembali bagian sebelumnya. Saya berusaha selalu menulis ketika
fisik saya sedang sehat, tapi bagaimana saya menentukan sehat atau tidaknya
tubuh saya tergantung pada apakah saya bisa mengingat bagian-bagian cerita yang
sebelumnya telah saya tulis. Dengan kata lain, biasanya saya tidak ingat.
Ketika saya bisa mengingatnya, pada waktu yang bersamaan saya jadi terbersit
apa yang akan saya tulis selanjutnya. Urutannya bisa terbalik-balik antara
depan dan belakang, misalnya ketika saya punya ide untuk menulis bagian
selanjutnya, saya justru teringat pada bagian sebelumnya. Momen-momen itulah
yang penting. Kadang saya merasa bahwa pekerjaan yang berhubungan dengan
ingatan lebih cocok bila ditulis di ponsel. Tapi untuk Shiki, tokoh-tokohnya
diceritakan dalam rentang waktu satu tahun, jadi saya perlu tahu pada waktu A,
hal ini terjadi, lalu menjadi seperti itu. Saya menikmati menulis
kisah itu di laptop.
Oh, apakah
Anda juga menulis dengan laptop di kamar mandi? Saya jadi khawatir....
Cukup sering
juga. Tapi kalau untuk saat ini, hanya di hari kerja saja (tertawa).
Akhir-akhir
ini saya merasa laptop saya bermasalah, jadi saya sudah beli yang baru.
Sebelumnya, saat saya pakai untuk bekerja, loading-nya terasa lambat sekali,
bahkan di kabelnya juga sudah terlihat serat tembaganya. Mungkin ia rusak
karena terkena air atau semacamnya. Sepertinya begitu.
Pada karya
terbaru Anda, Ai Ga Kirai, ada tiga tulisan. Betul begitu?
Ai Ga Kirai
saya tulis di laptop, sementara Shizukesa dan Ikiru Karada saya tulis di
ponsel. Bagi saya pribadi, Ai Ga Kirai punya kedudukan tersendiri. Di karya
saya lainnya, sudut pandang yang saya pakai pasti yang sedekat mungkin dengan
si pencerita; sedangkan pada Ai Ga Kirai saya berhati-hati agar tidak absurd.
Ketika
menulis, saya berusaha sadar bahwa di antara tokoh-tokoh yang muncul, ada kisah
yang hilang dari si pencerita. Saya berharap para pembaca akan menciptakan
sendiri kisah yang hilang tadi. Dalam Ai Ga Kirai, ada tokoh dewasa dan
anak-anak dengan nama yang pengucapannya sama yaitu Hiro, dan saya rasa itu
bisa menjadi penghubung untuk membuat kisah itu menjadi utuh. Mereka melihat
dunia dari sudut pandang di antara mereka berdua. Sejak awal saya sudah
menyadari bahwa saya tidak piawai menciptakan tulisan dengan kisah yang utuh.
Sebelum menulis saya tidak berpikir mengapa saya menulis cerita itu; saya baru
sadar setelah menuliskannya. Bahkan ketika memunculkan tokoh anak-anak yang namanya
sama dengan nama tokoh utama, saat itulah saya baru berpikir, ‘oh ternyata
jadinya seperti ini.’
**
0 comments:
Post a Comment