Di antara sekian banyak bangku di taman ini, aku paling suka
bangku yang berada di dekat patung—aku tak tahu patung ini berbentuk apa,
menurutku bentuknya seperti seorang pria yang membawa tongkat pendek yang
biasanya dibawa petugas keamanan, tapi kata teman-temanku patung itu sedang
membawa pedang—yang paling dekat dengan jalan raya. Aku suka bangku itu karena
jika aku menghadap ke luar, aku bisa melihat jalan raya yang bercabang tiga,
sedangkan jika aku menghadap dalam, aku bisa melihat seluruh taman dengan
sekali pandang, tanpa perlu menoleh-noleh.
Jika sudah menghabiskan koran daganganku, aku sering
duduk-duduk di sana. Tentu saja jika bangku itu masih kosong—faktanya, bangku
itu memang sepi peminat karena jika pagi, sinar matahari langsung menyorot ke
arahnya. Kalau sudah ada orang yang duduk di bangku itu, aku lebih memilih
untuk duduk di bangku di bawah pohon beringin di ujung selatan taman.
Tapi sudah beberapa hari aku tak bisa duduk di bangkuku. Seorang anak kecil berseragam sekolah
selalu duduk di sana. Ia mengenakan tas bergambar Power Ranger dan selalu
membawa wadah bekal makan yang diletakkan di sampingnya begitu ia duduk. Di
bangku itu ia duduk sendiri, untuk beberapa lama. Beberapa menit sebelumnya,
seorang perempuan berusia tiga-puluhan berjalan kaki menggandeng anak kecil
itu. Setelah sampai di bangkuku,
wanita—yang kurasa merupakan ibu dari anak kecil berseragam sekolah itu—itu
merapikan baju si anak, menepuk-nepuk pundaknya, lalu mengecup keningnya. Kemudian
wanita itu berlalu begitu saja ke arah utara, meninggalkan anaknya sendirian.
Beberapa hari lalu, ketika aku pertama kali melihat adegan ibu-anak
itu, aku merasa heran. Sampai saat itu aku belum pernah menyaksikan seorang
anak kecil ditinggal oleh ibunya untuk duduk sendirian di bangku taman yang
letaknya tepi jalan yang ramai. Dan aku juga tak pernah membayangkan akan pernah
menyaksikannya. Kurasa orang tua manapun tak ada yang tega meninggalkan anaknya
sendirian begitu. Bagaimana jika ada penculik, misalnya? Bukannya aku berharap
sesuatu yang buruk terjadi, tapi aku realistis saja. Kisah penculikan sudah
terlalu sering menghiasi halaman-halaman koran. Orang lain saja rela membayar seorang
pengasuh anak demi tidak meninggalkan anak mereka sendirian.
Saat itu kupikir si ibu akan kembali, tapi aku sadar
pikiranku salah ketika beberapa menit selanjutnya anak kecil itu malah didekati
oleh seorang pria. Dan sekali lagi pikiranku salah ketika kupikir anak kecil
itu akan menunjukkan reaksi takut atau bahkan kabur, tapi ternyata ia justru
mencium tangan pria yang mendekatinya dan bahkan kemudian memberikan wadah
bekal makan yang sedari tadi ada di sampingnya.
Setelah menerima wadah bekal makan itu, si pria duduk di
sebelah anak kecil tersebut. Ia membuka wadah bekal tersebut, mengeluarkan
isinya, lalu memakannya. Dari tempatku duduk saat itu aku tak bisa melihat
dengan begitu jelas apa yang ia makan. Yang jelas bukan nasi karena ia
menggenggam makanannya. Bukan juga gorengan karena warnanya bukan cokelat. Ah,
kurasa itu apel merah. Mungkin sudah dibelah, karena ada sisi berwarna putih.
Saat aku sedang meyakinkan diri bahwa memang apel yang
dimakan oleh pria itu, mereka berdua berdiri—berarti pria itu makan dengan
cepat sekali. Sambil bergandengan, berdua mereka berjalan ke arah utara. Tak ada
reaksi aneh yang ditunjukkan baik oleh anak itu—entah teriak, terkejut, atau
takut-takut—maupun oleh si pria—mungkin menarik paksa, memukul, atau
membentak—, jadi kurasa mereka saling mengenal.
Tapi sejak melihat hal tersebut pertama kali aku tak pernah
menyangka bahwa mereka berdua memiliki hubungan ayah-anak, hingga kemarin.
Kemarin, selepas mengisi perut dengan nasi pecel di warung
kecil dekat-taman sebelah-barat, aku kembali duduk di bangku di bawah pohon
beringin. Anak kecil berseragam sekolah itu telah tiba di taman dan menduduki
bangkuku.
Belum sampai sepuluh menit aku duduk, hujan turun. Tidak ada
peringatan mendung sebelumnya. Saat air langit mulai menetes, anak kecil itu
tampak panik, seperti juga orang lain yang sedang duduk ataupun lalu-lalang. Ia
berdiri memeluk wadah bekalnya. Menoleh-noleh, mungkin mencari tempat berteduh.
Aku melambai ke arahnya—bangkuku yang ini adalah satu di antara dua bangku di
taman ini yang memiliki atap. Ia melihatku, lalu segera berlari ke arahku.
Kutepuk-tepuk tempat duduk di sebelahku untuknya, sebelum diduduki oleh
orang-orang yang mulai merapat di bangku ini.
Selama hujan turun, ia terus melihat ke arah pertigaan di
ujung, sesekali menoleh ke selatan.
“Aku mencari ayah,” jawabnya saat kutanya mengapa sejak tadi
ia tak bisa tenang, “aku harus memberikan ini untuk ayah. Titipan dari ibu,” lanjutnya.
Saat itulah aku tahu bahwa pria yang setiap hari datang,
membuka wadah bekal dan memakan isinya, dan menggandeng tangan anak kecil di
sebelahku adalah ayahnya.
“Titipan?”
Ia mengangguk. “Ayah sudah tidak tinggal serumah dengan aku
dan ibu.”
Sejenak kami berdua sibuk dengan diri masing-masing.
“Sarapan?” Mataku mengarah ke wadah bekal yang ia pegang.
“Bukan. Ini apel merah. Ayah suka apel merah.”
Rupanya mataku tak salah lihat waktu itu. Memang apel merah.
“Itu Ayah!” ia menunjuk seberang jalan. Aku mengikuti
telunjuknya. Seorang pria bertopi berlari-lari kecil menyeberang jalan. Bajunya
basah.
Tiba-tiba anak kecil di sampingku berlari menuju pria itu.
Ketika itu aku sadar bahwa hujan telah reda. Lalu kulihat sepasang ayah-anak
itu berjalan bergandengan tangan ke arah utara.
---
Hari ini aku melihat anak kecil yang beberapa hari terakhir
rutin duduk di bangkuku. Di
sampingnya tetap ada wadah bekal makan. Tapi bukan seragam sekolah yang
menempel di tubuhnya. Ia mengenakan kaos oblong dan celana selutut. Ia juga
tidak menggendong tas punggung bergambar Power Ranger.
“Menunggu ayah?” sebenarnya aku sendiri juga tak tahu kenapa
pada akhirnya aku memutuskan untuk mendekatinya dan menanyakan hal itu.
Ia mengangguk.
“Apel merah?”
Sebuah pertanyaan basa-basi. Aku kemarin sudah tahu bahwa
yang ada di wadah bekal itu adalah apel merah.
Tapi ia menggeleng.
Ia berkisah, katanya ketika tadi pagi ia bangun tidur, ia
menemukan ibunya masih tidur dalam posisi duduk di kursi di depan televisi.
Karena ia tak ingin terlambat ke sekolah, ia memanggil-manggil nama ibunya. Tak
ada reaksi, ia menggoyang-goyang tubuh ibunya. Tak ada reaksi juga. Ia menangis
keras, karena biasanya, ia bilang, bila ia melakukan itu maka ibunya akan
langsung bangun dan menenangkannya. Tapi itu tak terjadi. Ibunya tetap
bergeming.
“Lalu apa yang kamu lakukan?”
Yang ia tahu, jawabnya, pagi itu ia harus mengantar apel merah
untuk ayahnya, seperti hari-hari biasanya. Ia membuka kulkas, mencari apel merah
yang memang biasanya disimpan di situ. Tapi tak ada sebutir apel merah pun di
kulkas. Apel merah juga tak ada di lemari. Ia mencari di seluruh sudut rumah.
Sayang tak ada apel merah tersisa di rumahnya.
“Aku sayang ayah. Ibu juga. Tapi ayah tidak sayang pada ibu.
Makanya sebulan lalu ayah tidak tinggal di rumahku dan ibu. Ayah juga tidak mau
bertemu ibu, cuma mau makan apel merah yang dipotong ibu saja.”
Jalan pikiran ayah dan ibu dari anak ini tak kumengerti. Pisah
rumah, tapi setiap hari masih mau makan apel yang dipotong oleh orang yang
tidak ia sayangi. Pisah rumah dan tahu bahwa orang yang ia sayangi tidak
menyayanginya, tapi masih saja memotongkan apel untuknya setiap hari. Kurasa
aku harus ada di posisi mereka untuk bisa memahami jalan pikiran unik itu.
“Aku kasihan pada ayahku.” Kata bocah di sebelahku
melanjutkan cerita, “setiap hari ia memakan apel merah yang dipotong oleh ibu.
Kalau hari ini tidak, aku takut ayah jadi marah padaku dan tidak mau bertemu denganku,
seperti ayah tidak mau bertemu ibu.”
“Jadi akhirnya aku membawa ini untuk ayah.” Ia membuka wadah
bekalnya, “biar nanti ayah yang membeli apel merah sendiri tapi tetap ibu yang
memotong apel merah itu untuk ayah.”
Aku kurang paham, tapi aku melongok ke wadah bekal yang
telah ia buka. Di dalamnya terdapat sebilah pisau dan sepotong telapak tangan
wanita.
Lapangan Banteng, 1 Oktober 2012
#Saujana
Dibuat untuk kegiatan kecil-kecilan #Saujana. Kisah-kisah lain dari @staners2008 bisa dibaca di sini
0 comments:
Post a Comment