Monday, September 18, 2017

Karena Makan Bukan Hanya Urusan Perut: Resensi 'Kelas Memasak Lillian'


Judul buku                          : Kelas Memasak Lillian
Pengarang                          : Erica Bauermeister
Penerbit di Indonesia           : Penerbit Bentang
Tahun terbit                        : 2009
Tebal buku                          : x + 234 halaman


Masakan ibu, kabarnya, menuruti peringkat teratas sebagai masakan ternikmat. Sebabnya hanya satu, menurut saya: karena ia istimewa.

“Bauermeister mengungkapkan betapa di balik kenikmatan dan keistimewaan makanan, tersimpan sebuah kisah menawan – Publishers Weekly”


*****

Berkisah tentang Lillian, seorang pemilik kedai makan yang membuka kursus memasak berjudul Sekolah Bahan-Bahan Pokok, beserta delapan muridnya dengan kisahnya masing-masing yang melatari alasan mereka bergabung dalam kursus dan akhirnya dapat menemukan keindahan dan makna kehidupan lewat makanan.

Tom, misalnya. Setelah menikah dengan Charlie—wanita galak yang menjadi seniornya di restoran tempatnya bekerja paruh waktu, tetapi mengajarinya banyak hal tentang memasak—, ia mengetahui bahwa Charlie terkena kanker payudara. Charlie tetap bersikap menyenangkan dan positif meskipun ia tak lagi sama: tak bisa lagi berdiri di pancuran saat mandi, serta kulitnya harus terus diolesi losion sebab obat-obatan menyedot kelembapannya. Sembilan bulan setelah kepergian Charlie, seorang teman mengajak Tom ke restoran milik Lillian untuk makan malam. Di sana, ia melihat selembar kertas berisi pengumuman bahwa Sekolah Bahan-Bahan Pokok akan kembali dibuka. Tom menyukai segalanya tentang restoran Lillian—suasana, atmosfer, rasa, dan kebetulan-kebetulan lain—, dan ia memutuskan menjadi murid pada kursus yang memberi warna baru dalam kehidupannya.

Atau tentang Chloe, yang sangat kikuk—itu pengakuannya. Tak ada yang salah dengan hal tersebut, kecuali kekikukan itu merepotkan Chloe dalam menjalani pekerjaannya sebagai pembersih meja di restoran. Ia sering sekali menjatuhkan barang, termasuk pajangan serangkaian alat makan yang sangat spektakuler. Barangkali sebab itu, ia tak bertahan lama bekerja di suatu restoran. Bombay Grill, Green Door, Babushka, dan Satoro’s menjadi tempat kerja Chole berikutnya; yang sayangnya tak mampu meredakan kikuknya dan keseringannya menjatuhkan barang. Suatu hari ia bertemu Lillian di Satoro’s, diundang ke restorannya, dan Lillian mampu menimbulkan kepercayaan diri Chloe bahwa ia bisa ‘sembuh’ dari kebiasaannya. Begitulah: Chloe terkesan, dan menjadi murid Lillian.

Selain kisah tiap muridnya dan bagaimana tangan Lillian secara sederhana dan tidak menggurui mampu memberi warna pada kedelapan orang itu, saya menyukai ungkapan pengarang saat menggabungkan hal-hal tak kasat mata dengan sesuatu yang nyata.

Misalnya, bagaimana menggambarkan aroma yang nikmat? Atau bunyi yang khas saat suatu bahan dimasukkan ke dalam penggorengan?

Bauermeister memiliki kekhasan tersendiri untuk semuanya.

“Lillian mengambil jeruk dan mendekatkannya ke hidung lalu menghirup baunya. Baunya seperti sinar matahari, tangan-tangan yang lengket, daun-daun hijau yang berkilauan, dan langit biru tak berawan.”

“Batang cokelat keras berbentuk bulat itu dibungkus plastik kuning bergaris-garis merah. Cokelat terlihat berkilau dan hitam saat Lillian membukanya. Cokelat itu mengeluarkan bunyi keras saat diparutkan ke bagian parutan yang tajam, lalu jatuh melayang-layang pelan ke atas meja. Selanjutnya, keluarlah bau kamar belakang berdebu dan dipenuhi aroma cokelat yang pahit manis dan surat-surat cinta lama, bagian bawah laci meja antik, dan daun-daun terakhir musim gugur, almon, kayu manis, dan gula. Serpihan cokelat itu pun masuk ke dalam susu.”

“Waktu potongan-potongan bawang bombai mulai menghilang ke dalam mentega, Lillian segera menambahkan irisan jahe. Kemudian, muncullah sebuah aroma baru, sebagian seperti ciuman, sebagian seperti tamparan main-main. Setelah itu, bawang putih dimasukkan, seperti sofa lembut yang hangat di bawah jahe, diikuti garam dan merica.”

Deskripsinya, bagi saya, terlampau manis. Saya berkali-kali dibuat jatuh cinta lewat banyak penggambaran dalam novel ini. Namun barangkali saya memang terlalu mudah jatuh cinta; karena selain deskripsi tadi, saya pun senang dengan penceritaan laku Lillian yang begitu bijaksana dan mampu menyesuaikan dengan latar belakang maupun cerita masa lalu tiap muridnya. Lillian, melalui masakannya, mampu meyakinkan banyak orang—setidaknya delapan siswanya—bahwa makanan tak hanya sekedar dimasak asal-asalan untuk selanjutnya masuk mulut dan dicerna. Proses mengolah hidangan sampai tersaji di meja adalah suatu seni yang istimewa dan personal. Seseorang sepatutnya memasukkan bahan makanan, bumbu, dan rempah sesuai dengan hal atau pengaruh apa yang ingin ia timbulkan, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain yang turut merasakan masakannya.

Simak apa yang membuat Lillian begitu menghargai sebuah proses memasak, bahkan sejak awal rantai prosesnya.

“”Ya, betul, Chloe. Ini adalah pelajaran terpenting pertama.” Eskpresi Lillian tenang. “Kalau kalian pikir-pikir,” lanjutnya, “setiap kali kita membuat makanan, kita mengganggu sebuah siklus kehidupan. Kita mencabut sebuah wortel atau membunuh seekor kepiting—atau mungkin hanya membunuh jamur yang tumbuh di seiris keju. Kita membuah makanan dengan bahan-bahan itu dan saat melakukannya, kita memberikan kehidupan pada sesuatu yang lain. Ini sebuah persamaan yang mendasar dan kalau kita berpura-pura ini tidak terjadi, kemungkinan kita ketinggalan pelajaran penting lainnya, yaitu menghormati kedua belah pihak dalam persamaan itu. Jadi, kita mulai dari sini.”

*****



Saya teringat pada sebuah tayangan teve Jepang. Seorang lelaki tengah mengolah seekor ikan yang baru saja dipancingnya. Tiga laki-laki lain mengerubunginya, dan bertanya, “bagaimana cara khusus agar olahan ikan menjadi enak?”

“Dengan banyak bersyukur, karena kamu telah menerima nyawa makhluk lain yang mati dan menjadi makananmu.”



17092017
Belum mengerjakan PR untuk besok Rabu :(








0 comments:

Post a Comment