Judul buku :
Kelas Memasak Lillian
Pengarang :
Erica Bauermeister
Penerbit di Indonesia :
Penerbit Bentang
Tahun terbit :
2009
Tebal buku :
x + 234 halaman
Masakan ibu, kabarnya, menuruti peringkat teratas sebagai
masakan ternikmat. Sebabnya hanya satu, menurut saya: karena ia istimewa.
“Bauermeister mengungkapkan betapa di balik kenikmatan dan
keistimewaan makanan, tersimpan sebuah kisah menawan – Publishers Weekly”
*****
Berkisah tentang Lillian, seorang pemilik kedai makan yang
membuka kursus memasak berjudul Sekolah Bahan-Bahan Pokok, beserta delapan
muridnya dengan kisahnya masing-masing yang melatari alasan mereka bergabung
dalam kursus dan akhirnya dapat menemukan keindahan dan makna kehidupan lewat makanan.
Tom, misalnya. Setelah menikah dengan Charlie—wanita galak
yang menjadi seniornya di restoran tempatnya bekerja paruh waktu, tetapi
mengajarinya banyak hal tentang memasak—, ia mengetahui bahwa Charlie terkena
kanker payudara. Charlie tetap bersikap menyenangkan dan positif meskipun ia
tak lagi sama: tak bisa lagi berdiri di pancuran saat mandi, serta kulitnya
harus terus diolesi losion sebab obat-obatan menyedot kelembapannya. Sembilan
bulan setelah kepergian Charlie, seorang teman mengajak Tom ke restoran milik
Lillian untuk makan malam. Di sana, ia melihat selembar kertas berisi
pengumuman bahwa Sekolah Bahan-Bahan Pokok akan kembali dibuka. Tom menyukai
segalanya tentang restoran Lillian—suasana, atmosfer, rasa, dan
kebetulan-kebetulan lain—, dan ia memutuskan menjadi murid pada kursus yang
memberi warna baru dalam kehidupannya.
Atau tentang Chloe, yang sangat kikuk—itu pengakuannya. Tak
ada yang salah dengan hal tersebut, kecuali kekikukan itu merepotkan Chloe
dalam menjalani pekerjaannya sebagai pembersih meja di restoran. Ia sering
sekali menjatuhkan barang, termasuk pajangan serangkaian alat makan yang sangat
spektakuler. Barangkali sebab itu, ia tak bertahan lama bekerja di suatu
restoran. Bombay Grill, Green Door, Babushka, dan Satoro’s menjadi tempat kerja
Chole berikutnya; yang sayangnya tak mampu meredakan kikuknya dan keseringannya
menjatuhkan barang. Suatu hari ia bertemu Lillian di Satoro’s, diundang ke
restorannya, dan Lillian mampu menimbulkan kepercayaan diri Chloe bahwa ia bisa
‘sembuh’ dari kebiasaannya. Begitulah: Chloe terkesan, dan menjadi murid
Lillian.
Selain kisah tiap muridnya dan bagaimana tangan Lillian
secara sederhana dan tidak menggurui mampu memberi warna pada kedelapan orang
itu, saya menyukai ungkapan pengarang saat menggabungkan hal-hal tak kasat mata
dengan sesuatu yang nyata.
Misalnya, bagaimana menggambarkan aroma yang nikmat? Atau
bunyi yang khas saat suatu bahan dimasukkan ke dalam penggorengan?
Bauermeister memiliki kekhasan tersendiri untuk semuanya.
“Lillian mengambil jeruk dan mendekatkannya ke hidung lalu
menghirup baunya. Baunya seperti sinar matahari, tangan-tangan yang lengket,
daun-daun hijau yang berkilauan, dan langit biru tak berawan.”
“Batang cokelat keras berbentuk bulat itu dibungkus plastik
kuning bergaris-garis merah. Cokelat terlihat berkilau dan hitam saat Lillian
membukanya. Cokelat itu mengeluarkan bunyi keras saat diparutkan ke bagian
parutan yang tajam, lalu jatuh melayang-layang pelan ke atas meja. Selanjutnya,
keluarlah bau kamar belakang berdebu dan dipenuhi aroma cokelat yang pahit
manis dan surat-surat cinta lama, bagian bawah laci meja antik, dan daun-daun
terakhir musim gugur, almon, kayu manis, dan gula. Serpihan cokelat itu pun
masuk ke dalam susu.”
“Waktu potongan-potongan bawang bombai mulai menghilang ke
dalam mentega, Lillian segera menambahkan irisan jahe. Kemudian, muncullah
sebuah aroma baru, sebagian seperti ciuman, sebagian seperti tamparan
main-main. Setelah itu, bawang putih dimasukkan, seperti sofa lembut yang
hangat di bawah jahe, diikuti garam dan merica.”
Deskripsinya, bagi saya, terlampau manis. Saya berkali-kali
dibuat jatuh cinta lewat banyak penggambaran dalam novel ini. Namun barangkali
saya memang terlalu mudah jatuh cinta; karena selain deskripsi tadi, saya pun
senang dengan penceritaan laku Lillian yang begitu bijaksana dan mampu
menyesuaikan dengan latar belakang maupun cerita masa lalu tiap muridnya.
Lillian, melalui masakannya, mampu meyakinkan banyak orang—setidaknya delapan
siswanya—bahwa makanan tak hanya sekedar dimasak asal-asalan untuk selanjutnya
masuk mulut dan dicerna. Proses mengolah hidangan sampai tersaji di meja adalah
suatu seni yang istimewa dan personal. Seseorang sepatutnya memasukkan bahan
makanan, bumbu, dan rempah sesuai dengan hal atau pengaruh apa yang ingin ia
timbulkan, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain yang turut merasakan
masakannya.
Simak apa yang membuat Lillian begitu menghargai sebuah
proses memasak, bahkan sejak awal rantai prosesnya.
“”Ya, betul, Chloe. Ini adalah pelajaran terpenting
pertama.” Eskpresi Lillian tenang. “Kalau kalian pikir-pikir,” lanjutnya,
“setiap kali kita membuat makanan, kita mengganggu sebuah siklus kehidupan.
Kita mencabut sebuah wortel atau membunuh seekor kepiting—atau mungkin hanya
membunuh jamur yang tumbuh di seiris keju. Kita membuah makanan dengan
bahan-bahan itu dan saat melakukannya, kita memberikan kehidupan pada sesuatu
yang lain. Ini sebuah persamaan yang mendasar dan kalau kita berpura-pura ini
tidak terjadi, kemungkinan kita ketinggalan pelajaran penting lainnya, yaitu
menghormati kedua belah pihak dalam persamaan itu. Jadi, kita mulai dari sini.”
*****
Saya teringat pada sebuah tayangan teve Jepang. Seorang
lelaki tengah mengolah seekor ikan yang baru saja dipancingnya. Tiga laki-laki
lain mengerubunginya, dan bertanya, “bagaimana cara khusus agar olahan ikan
menjadi enak?”
“Dengan banyak bersyukur, karena kamu telah menerima nyawa
makhluk lain yang mati dan menjadi makananmu.”
17092017
Belum mengerjakan PR untuk besok Rabu :(
0 comments:
Post a Comment