Pernah
mendengar atau mengetahui ‘Totto chan’?
Nama
tokoh dalam sebuah novel ini begitu populer beberapa tahun lalu, setelah novel
tersebut dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia. Judul novelnya adalah Totto chan:
Gadis Cilik di Jendela. Sampul bukunya, meskipun sudah beberapa kali cetak
ulang dan mengalami beberapa pergantian desain, tetap berwarna merah muda
dengan gambar seorang anak perempuan mengenakan rok dan topi bulat lebar. Di
Jepang, buku ini disebut-sebut sebagai buku yang menempati peringkat satu dengan
penjualan tertinggi, yaitu 5.810.000 eksemplar.
Saya
pernah membaca novel ini. Namun taksampai tamat, hanya beberapa bab awal saja. Keputusan
saya untuk menutup dan mengembalikan buku tersebut—iya, bukunya bukan milik
saya sendiri—pun sederhana saja: ceritanya terlalu berlebihan. Bagi saya, dalam
kehidupan nyata mustahil ada bocah seajaib Totto chan, dan guru sesabar Pak
Kobayashi.
Kalau
saya lanjutkan membaca bukunya, saya hanya menjadi korban bualan si penulis
buku.
Begitu
pikir saya.
*****
Nippon
TV—yang sering disingkat NTV, sebuah stasiun teve Jepang, memiliki gelaran
akbar tahunan yang cukup terkenal: 24 jikan terebi alias siaran teve 24 jam.
Dihelat sejak tahun 1978, acara ini merupakan gerakan amal yang bertujuan untuk
mengumpulkan donasi dari masyarakat, kemudian disalurkan untuk berbagai
kegiatan. Pada gelaran ke-40 di tahun 2017 ini, sampai akhir acara pada tanggal
27 Agustus 2017, terkumpul donasi sejumlah 129.020.958 yen.
Durasi
siaran langsung selama 24 jam memberikan keseruan tersendiri, sebab ada banyak
sekali rangkaian program yang dipersiapkan, yang didukung oleh penampilan
banyak pesohor: pelaku seni peran, atlet, komedian, seniman, penyiar teve, bahkan
politisi. Salah satu mata acara yang ditayangkan kali ini adalah pagelaran
busana yang dirancang oleh para mahasiswa dari salah satu akademi mode di
Tokyo. Busana yang kemudian akan dikenakan oleh beberapa pengisi acara ini,
merupakan hasil desain ulang atas gaun-gaun milik Tetsuko Kuroyanagi.
Beberapa
bulan sebelumnya, Tetsuko, yang berusia 84 tahun, datang sebagai ‘pengajar
spesial’ di kelas mahasiswa akademi mode tersebut. Sesi khusus rupanya
dipersiapkan oleh pengajar spesial ini: sesi tanya jawab tentang kegamangan
atau apapun yang membuat para mahasiswa galau.
Tetsuko
mempersilakan mahasiswanya untuk bertanya. Beberapa mengangkat tangan
tinggi-tinggi, seakan berebutan agar ditunjuk.
Setelah
diberi kesempatan, seorang mahasiswa mengutarakan, “Saya agak tidak percaya
diri, terlebih ketika saya mulai membandingkan karya saya dengan karya orang
lain. Kalau sudah begitu, saya menjadi kecil hati dan minder.”
Tetsuko
mengangguk, dan langsung menjawab, “Membandingkan diri sendiri dengan orang
lain adalah suatu masalah besar, dan menurut saya bukanlah hal yang bijaksana.
Sesungguhnya komparasi merupakan sesuatu yang paling membosankan.”
Pembawa
acara menyela Tetsuko, “apakah Anda memiliki pengalaman saat kecil yang membuat
Anda berpikir demikian?”
“Jelas,”
jawab Tetsuko lugas, “saya yakin tak ada seorang pun yang pernah DO saat kelas
1 SD. Saya keluar dari sekolah setelah tiga bulan masuk SD.”
Tahun
1940, saat baru masuk sekolah, Tetsuko dikenal sebagai bocah yang nakal. Ini
sebab ia sering membuka-menutup tutup meja di tengah pelajaran berlangsung,
ataupun memanggil grup orkestra jalanan ke dalam kelas dan malah turut serta
berjoget bersama. Tak ayal, tiga bulan setelah masuk SD, ia di-DO dari
sekolahnya. Namun baginya, hal tersebut merupakan suatu titik balik yang besar.
“Di
sekolahnya yang baru, Totto chan bertemu dengan guru yang sangat luar biasa.
Barangkali, kalau saat itu Totto chan tidak bertemu dengan Pak Guru Kobayashi,
saya tidak akan berada di posisi ini hari ini.”
Sampai pada titik ini, saya masih belum
menemukan korelasi antara Tetsuko, si pencerita, dengan Totto chan.
Sekolah
baru Totto chan bernama Sekolah Tomoe, yang ruang kelasnya dibuat dari gerbong
kereta yang taklagi digunakan. Takketinggalan, foto ruang kelas saat itu pun
ditayangkan di teve. Juga, foto Tetsuko bersama kawan-kawannya dan Pak Guru
Kobayashi, yang juga merupakan Kepala Sekolah Tomoe. Di hari pertama sekolah,
Pak Guru Kobayashi mendengarkan Tetsuko yang bercerita selama empat jam penuh.
Sekolah ini sangat mengutamakan karakter siswanya: tempat duduk dapat dipilih
sesuka hati, tak ada pembagian jam pelajaran yang kaku, tiap pagi pelajaran
dimulai dengan siswa yang dapat memilih sendiri tema belajarnya dari beberapa
hal yang dituliskan oleh guru di papan tulis. Siang harinya, jam belajar diisi
dengan berjalan-jalan.
Senakal
apapun Tetsuko, Pak Guru Kobayashi tak pernah marah. Ia hanya terus mengulang
sebuah kalimat.
Tetsuko
mengenang, “setiap kali bertemu, beliau selalu berkata pada saya, ‘kamu anak baik.’
Bagi saya, itu sungguh merupakan ungkapan bahwa karakter, bagi manusia,
merupakan sesuatu yang lebih penting daripada apapun. Bahwa itulah yang harus
dikedepankan. Pemahaman itu timbul sejak saya bertemu Pak Kobayashi. Sungguh
saya merasa beruntung pernah bertemu beliau. Seseorang pasti memiliki
keistimewaan, apapun itu. Kitalah yang menciptakan dunia kita.”
Sembari
menunjuk mahasiswa penanya, Tetsuko berkata, “selama kau masih bisa tersenyum,
tak ada masalah.”
*****
Saya
mengulangi beberapa kali tayangan hasil unduhan dari internet ini. Beberapa
menit sesudahnya, barulah saya memahami bahwa si pencerita kali ini, Tetsuko,
adalah pelaku langsung kisah tersebut. Totto chan adalah nama kecil Tetsuko
(saya tidak begitu ingat apakah ini ada dalam novel atau tidak). Hal-hal yang
menurut saya terlalu mustahil ada dalam novel, ternyata benar adanya. Tentu
setelah melihat foto-foto yang ditampilkan, saya menjadi lebih memercayai kisah
Totto chan.
Pak
Guru Kobayashi dan Totto chan, mereka berdua luar biasa. Dibutuhkan ketelatenan
yang luar biasa untuk dapat menanamkan suatu prinsip hidup kepada seorang anak;
serta diperlukan keteguhan yang tak kalah besar untuk memegang sebuah prinsip
hidup sampai seorang anak menjadi dewasa.
Ya Tuhan semoga saya punya keinginan untuk belajar olah gambar >.<
0 comments:
Post a Comment