Semua berpakaian
putih-merah. Lengkap dengan dasi merah. Beberapa meletakkan topinya di atas
meja. Saat itu kita masih hijau. Benar-benar hijau—mungkin hanya pakaian,
kulit, bola mata, gigi, lidah, dan rambut yang tak hijau. Anak-anak lainnya,
sejauh yang bisa kulihat, tampak komat-kamit, mungkin merapal puisi atau lirik
lagu untuk tampil nanti. Di saat-saat pemilihan siswa teladan seperti itu,
seluruh kemampuan memang harus dikeluarkan. Kurasa karena ada nama sekolah yang
dipertaruhkan di situ. Sementara aku duduk di bangku kedua-dari-belakang
menunggu giliran, kau berdiri di depan kelas, membacakan sebuah puisi yang sangat
sering kudengar karena itu adalah puisi paling populer di kalangan anak sekolah
dasar.
Begitulah kita pertama kali bertemu.
Senior yang
cukup menyebalkan, dengan gaya sok dan suara yang menggelegar hampir memecahkan
kaca. Warna seragam mereka sudah putih-biru, sedangkan aku dan teman-temanku
masih mengenakan putih-merah. Lengkap dengan atribut aneh—yang tak mungkin
dikenakan di hari-hari biasa—seperti rambut dikuncir entah berapa banyak dan
topi juga tas berbahan kantong plastik. Juga kegiatan yang menurutku
menyebalkan: meminta tanda tangan seluruh teman sekelas dan beberapa senior—karena
kupikir aku tidak mungkin mengingat semua nama teman sekelas dengan cepat hanya
dengan meminta tanda tangannya. Dibayang-bayangi pelototan dan nyinyiran
senior, kulakukan juga kegiatan itu. Atas alasan itulah aku memintamu
menuliskan nama dan menorehkan tanda tangan di buku kegiatanku. Tapi kurasa
kita pernah bertemu sebelumnya. Sosok anak yang sedang membacakan sebuah puisi
di depan kelas setahun lalu itu melintas di pikiranku. Kubaca namamu dan lebih
kuperhatikan wajahmu. Aku tak salah ingat.
Begitulah kita pertama kali
berkenalan.
Sore yang
kelam. Selain aku, di rumah hanya ada orang-orang aneh yang hanya bisa kudengar
suaranya dan kulihat fisiknya tapi tak bisa kusentuh karena mereka hanyalah aktor
dan aktris di televisi. Dering telepon membuatku terpaksa meninggalkan
orang-orang yang kuanggap aneh tapi tetap saja kutonton itu. Di ujung sana, seseorang
menanyakan namaku. Kujawab bahwa akulah yang ia cari, tapi ia tak mau menjawab
ketika kutanyakan siapa dirinya. Lantas dari suara dan gaya bicara, aku tahu
bahwa ia adalah kau. Beberapa detik basa-basi dan beberapa menit membicarakan
hal-hal yang menurutku sangat menyenangkan membuatku lupa pada kesendirianku
dan orang-orang aneh tadi. Aku bersyukur kau tidak menghubungiku hanya untuk
sekedar menanyakan PR dan tugas sekolah.
Begitulah kita pertama kali bercakap
lewat telepon.
Metode
berpindah-kelas. Membutuhkan lebih banyak tenaga karena harus mengangkat tas
dan semua isinya—buku-buku yang banyak dan berat—ke kelas lain setiap ganti
mata pelajaran. Tak ada jaminan di mana tempat duduk yang kosong karena semua
tergantung seberapa cepat seseorang mengemasi tasnya, berlari menuju kelas
lain, dan memilih tempat duduk yang strategis. Saat kau masuk kelas, hanya ada
empat bangku yang masih kosong. Dua bangku yang bersebelahan, satu bangku di
sebelah temanku-yang-paling-pintar di baris paling depan, dan satu bangku di
sebelahku di baris kedua dari belakang. Kau lantas duduk di sebelahku. Tak ada
yang menarik dari penjelasan guru biologi di depan kelas karena beliau hanya menampilkan
tayangan teks berbahasa Inggris sedangkan beliau sendiri tak tahu artinya
sehingga lebih sering membuka kamus yang mana hal itu sangat memakan waktu. Lalu
akhirnya kita mulai bercakap-cakap. Tentang jurusan apa yang ingin diambil
ketika kuliah dan kenapa, universitas mana yang ingin dituju dan alasannya, juga
apa yang ingin dilakukan sekian tahun lagi.
Begitulah kita pertama kali
membincangkan masa depan.
Gelak tawa
hadir di antara makanan yang hampir tandas dan minuman yang hampir habis. Ia,
gelak tawa itu, bisa saja hadir karena semua dinyatakan lulus, bisa juga hadir
karena semua waktu yang dilewati sangat menyenangkan. Beberapa hari lagi,
wajah-wajah yang ditemui di dalam kelas tak lagi sama, kota yang dituju tak
lagi sama, tempat yang dipijak tak lagi sama. Saat kau menghampiri dan
menyalamiku, kau tersenyum indah sekali. Seingatku itulah senyum terbaikmu yang
pernah kulihat—sampai aku ikut tersenyum juga. Kurasa aku merekam senyummu itu
dengan baik di kepalaku.
Begitulah kita pertama kali berpisah.
Tak pernah
ada pertemuan lagi selepas senyum itu.
“Entahlah,
kenapa saat itu, ia menganggap lucu kata-kata itu. Mungkin itulah sebabnya,
sering kita kangen pada saat-saat pertemuan pertama. Kita memang ingin selalu
mengulang kenangan.” – Agus Noor: Cerpen Kunang-kunang
di Langit Jakarta
**
Seorang kawan kita
meriuhkan media sosial sebab suatu kabar yang ia dengar. Kawan kita yang lain,
yang juga merupakan kawan baikmu beberapa tahun lalu sebelum kalian menjadi
sangat sibuk dan begitu asyik dengan urusan sendiri, tak mendengar apapun
tentangmu. Jelas, aku lebih mempercayainya dibanding kawan kita yang pertama
tadi. Kuminta ia mengklarifikasi terlebih dahulu kabar yang ia dapat sebelum
membagikannya kepada kami. Namun harus kuakui bahwa kemudian ada sedikit
penyesalan setelah itu, sebab aku tahu bahwa kabar itu benar adanya. Sementara
aku (dan beberapa kawan lain, barangkali) masih membuat pembelaan agar tak
bertemu denganmu atas alasan yang sangat klise, kau mungkin sedikit berang atas
tingkah laku kami yang egois. Pada hari itu, aku menyadari bahwa perpisahan
tanpa pamit adalah hal yang menyakitkan, pun menyesakkan. Aku menyalahkan
diriku sendiri sejak saat itu, dan terus begitu, sebab sampai sekarang aku
belum juga berkunjung ke pusaramu.
Begitulah kita selamanya berpisah.
0 comments:
Post a Comment