Saturday, August 12, 2017

Begitulah Kita Mengulang Kenangan (2)


Semua berpakaian putih-merah. Lengkap dengan dasi merah. Beberapa meletakkan topinya di atas meja. Saat itu kita masih hijau. Benar-benar hijau—mungkin hanya pakaian, kulit, bola mata, gigi, lidah, dan rambut yang tak hijau. Anak-anak lainnya, sejauh yang bisa kulihat, tampak komat-kamit, mungkin merapal puisi atau lirik lagu untuk tampil nanti. Di saat-saat pemilihan siswa teladan seperti itu, seluruh kemampuan memang harus dikeluarkan. Kurasa karena ada nama sekolah yang dipertaruhkan di situ. Sementara aku duduk di bangku kedua-dari-belakang menunggu giliran, kau berdiri di depan kelas, membacakan sebuah puisi yang sangat sering kudengar karena itu adalah puisi paling populer di kalangan anak sekolah dasar. 
Begitulah kita pertama kali bertemu.

Senior yang cukup menyebalkan, dengan gaya sok dan suara yang menggelegar hampir memecahkan kaca. Warna seragam mereka sudah putih-biru, sedangkan aku dan teman-temanku masih mengenakan putih-merah. Lengkap dengan atribut aneh—yang tak mungkin dikenakan di hari-hari biasa—seperti rambut dikuncir entah berapa banyak dan topi juga tas berbahan kantong plastik. Juga kegiatan yang menurutku menyebalkan: meminta tanda tangan seluruh teman sekelas dan beberapa senior—karena kupikir aku tidak mungkin mengingat semua nama teman sekelas dengan cepat hanya dengan meminta tanda tangannya. Dibayang-bayangi pelototan dan nyinyiran senior, kulakukan juga kegiatan itu. Atas alasan itulah aku memintamu menuliskan nama dan menorehkan tanda tangan di buku kegiatanku. Tapi kurasa kita pernah bertemu sebelumnya. Sosok anak yang sedang membacakan sebuah puisi di depan kelas setahun lalu itu melintas di pikiranku. Kubaca namamu dan lebih kuperhatikan wajahmu. Aku tak salah ingat. 
Begitulah kita pertama kali berkenalan.

Sore yang kelam. Selain aku, di rumah hanya ada orang-orang aneh yang hanya bisa kudengar suaranya dan kulihat fisiknya tapi tak bisa kusentuh karena mereka hanyalah aktor dan aktris di televisi. Dering telepon membuatku terpaksa meninggalkan orang-orang yang kuanggap aneh tapi tetap saja kutonton itu. Di ujung sana, seseorang menanyakan namaku. Kujawab bahwa akulah yang ia cari, tapi ia tak mau menjawab ketika kutanyakan siapa dirinya. Lantas dari suara dan gaya bicara, aku tahu bahwa ia adalah kau. Beberapa detik basa-basi dan beberapa menit membicarakan hal-hal yang menurutku sangat menyenangkan membuatku lupa pada kesendirianku dan orang-orang aneh tadi. Aku bersyukur kau tidak menghubungiku hanya untuk sekedar menanyakan PR dan tugas sekolah. 
Begitulah kita pertama kali bercakap lewat telepon.

Metode berpindah-kelas. Membutuhkan lebih banyak tenaga karena harus mengangkat tas dan semua isinya—buku-buku yang banyak dan berat—ke kelas lain setiap ganti mata pelajaran. Tak ada jaminan di mana tempat duduk yang kosong karena semua tergantung seberapa cepat seseorang mengemasi tasnya, berlari menuju kelas lain, dan memilih tempat duduk yang strategis. Saat kau masuk kelas, hanya ada empat bangku yang masih kosong. Dua bangku yang bersebelahan, satu bangku di sebelah temanku-yang-paling-pintar di baris paling depan, dan satu bangku di sebelahku di baris kedua dari belakang. Kau lantas duduk di sebelahku. Tak ada yang menarik dari penjelasan guru biologi di depan kelas karena beliau hanya menampilkan tayangan teks berbahasa Inggris sedangkan beliau sendiri tak tahu artinya sehingga lebih sering membuka kamus yang mana hal itu sangat memakan waktu. Lalu akhirnya kita mulai bercakap-cakap. Tentang jurusan apa yang ingin diambil ketika kuliah dan kenapa, universitas mana yang ingin dituju dan alasannya, juga apa yang ingin dilakukan sekian tahun lagi. 
Begitulah kita pertama kali membincangkan masa depan.

Gelak tawa hadir di antara makanan yang hampir tandas dan minuman yang hampir habis. Ia, gelak tawa itu, bisa saja hadir karena semua dinyatakan lulus, bisa juga hadir karena semua waktu yang dilewati sangat menyenangkan. Beberapa hari lagi, wajah-wajah yang ditemui di dalam kelas tak lagi sama, kota yang dituju tak lagi sama, tempat yang dipijak tak lagi sama. Saat kau menghampiri dan menyalamiku, kau tersenyum indah sekali. Seingatku itulah senyum terbaikmu yang pernah kulihat—sampai aku ikut tersenyum juga. Kurasa aku merekam senyummu itu dengan baik di kepalaku. 
Begitulah kita pertama kali berpisah.

Tak pernah ada pertemuan lagi selepas senyum itu.

“Entahlah, kenapa saat itu, ia menganggap lucu kata-kata itu. Mungkin itulah sebabnya, sering kita kangen pada saat-saat pertemuan pertama. Kita memang ingin selalu mengulang kenangan.” – Agus Noor: Cerpen Kunang-kunang di Langit Jakarta


**


Seorang kawan kita meriuhkan media sosial sebab suatu kabar yang ia dengar. Kawan kita yang lain, yang juga merupakan kawan baikmu beberapa tahun lalu sebelum kalian menjadi sangat sibuk dan begitu asyik dengan urusan sendiri, tak mendengar apapun tentangmu. Jelas, aku lebih mempercayainya dibanding kawan kita yang pertama tadi. Kuminta ia mengklarifikasi terlebih dahulu kabar yang ia dapat sebelum membagikannya kepada kami. Namun harus kuakui bahwa kemudian ada sedikit penyesalan setelah itu, sebab aku tahu bahwa kabar itu benar adanya. Sementara aku (dan beberapa kawan lain, barangkali) masih membuat pembelaan agar tak bertemu denganmu atas alasan yang sangat klise, kau mungkin sedikit berang atas tingkah laku kami yang egois. Pada hari itu, aku menyadari bahwa perpisahan tanpa pamit adalah hal yang menyakitkan, pun menyesakkan. Aku menyalahkan diriku sendiri sejak saat itu, dan terus begitu, sebab sampai sekarang aku belum juga berkunjung ke pusaramu. 
Begitulah kita selamanya berpisah.

0 comments:

Post a Comment