Wednesday, February 2, 2011

Cerita dari Rantau

Rasanya sudah berabad-abad saya nggak nulis di blog ini. Malu rasanya kalau kosong, jarang diperbarui. Nggak keren aja kayaknya. Haha.Sekalinya saya ngepost, isinya adalah sebuah cerita yang sudah saya tulis lebih dari setahun yang lalu. Curhat sedikit, akhir-akhir ini saya jarang menulis. Padahal sudah menjadwalkan waktu untuk itu, tapi ternyata habis menguap, nggak tau buat apa (kebanyakan sih buat main internet dan ajep-ajep dengerin lagu).

Baiklah. Monggo disimak kisah berikut ini...

Ketika sedang menonton televisi, saya menyaksikan sebuah kenyataan tak terbantahkan yang benar-benar ada di sekitar kita, kisah tentang seorang di perantauan yang menjadi melarat di rantau.Seingat saya acara televisi itu adalah Mata Kamera di tvOne. Tema episode itu kira-kira begini: tentang orang-orang daerah tanpa keahlian khusus yang mengadu nasib di ibukota Jakarta. Dari sekian banyak orang yang diwawancarai secara singkat oleh sang host, ada satu kisah yang membuat saya miris.

Sang host tengah memanggil seorang pemulung yang berjalan di depannya, dan menghentikannya. Setelah si pemulung berhenti, sang host dan kameramen langsung menodongnya untuk wawancara. Si pemulung berusia muda, kira-kira di bawah 25 tahun. Badannya tinggi, lebih tinggi daripada sang host tadi. Dengan kaos oblong kuning, celana tiga per empat warna khaki, sandal jepit, dan topi, si pemulung memanggul sebuah karung yang isinya belum ada setengah.

“Mas, mas. Sebentar mas, ganggu sebentar. Namanya siapa, mas?”
Sayang, saya lupa nama si pemulung.

“Mas asalnya dari mana?”

“Dari Medan.”

“Ooo…jadi, merantau kesini, ya?”
Si pemulung mengangguk.

“Sudah berapa lama jadi pemulung?”

“Mmm…sekitar 9 bulan lah.”

“Dulu waktu pertama kali kesini, kerjanya apa, mas?”

“Nggak dapat kerja, langsung jadi pemulung.”

“Terus di sini tinggal sama siapa? Ada keluarga?”
Si pemulung menggeleng. “Saya nggak punya tempat tinggal.”

“Jadi tinggal dimana, mas, sehari-hari?”

“Ya dimana-mana. Di stasiun, di jalan, di terminal. Gitu.”

“Ooo…. Keluarga di Medan tahu nggak kalau mas jadi pemulung?”

“Nggak ada yang tahu. Sudah 7 bulan nggak komunikasi.”

“Lho, kenapa mas?”

“Nggak ada HP. HP saya sudah dijual.”

“Jadi, dulu mas kesini bawa HP, terus HPnya dijual buat memenuhi kebutuhan hidup, gitu?”

“Iya.”

“Nggak ingin kembali ke Medan, mas?”

“Nggak.”

“Kenapa, mas?”

“Malu, di sini cuma jadi pemulung. Lagi pula nggak ada ongkos.”

Wawancara diakhiri. Sang host mengucapkan terima kasih pada si pemulung atas kesediaannya berbagi kisah dan meluangkan waktu. Kamudian, si pemulung terus berjalan meninggalkan sang host yang masih terus berbicara di depan kamera.

Mungkin bagi banyak orang kisah ini terasa hambar, biasa saja. Tapi tidak bagi saya. Betapa ibukota telah menghipnotis jutaan manusia untuk ikut mengadu nasib di sana, tak peduli bahwa dia tak memiliki bekal untuk bersaing dengan jutaan orang lainnya. Alih-alih pulang kampung membawa pundi-pundi berisi banyak uang, mobil mewah, investasi di real estate terkemuka, dan lain-lain, banyak di antaranya justru menangguk rugi dan hidup dalam keadaan yang lebih parah secara ekonomi dibandingkan dengan ketika masih di kampung halaman.

Seusai menyaksikan tayangan tersebut, saya berjanji pada diri sendiri untuk menuliskan kisah tersebut. Sekedar berbagi, dan mengingatkan pada diri saya sendiri untuk tidak hanya bermodal nekat dalam melakukan sesuatu.



Salam,
Wahyu Widyaningrum

0 comments:

Post a Comment