Sebuah tulisan jika ditulis dengan hati, apalagi berdasarkan sebuah kejadian yang nyata, dipercaya mampu menyentuh hati pembacanya. Saya termasuk yang memercayai hal tersebut karena saya baru mengalaminya. Saya membaca sebuah tulisan, satu di antara beberapa tulisan dalam e-book Setahun Koin Keadilan: Sebuah Kenangan dan Penghargaan untuk Orang-orang yang Berkehendak Baik, yang membuat saya terharu *kalau nggak mau disebut menangis :p*.
E-book Setahun Koin Keadilan itu sendiri adalah e-book yang diterbitkan oleh Rumah Langsat pada bulan desember 2010, yang mengupas segala sesuatu tentang gerakan sosial koin keadilan bagi Prita Mulyasari. Ada sekitar 14 tulisan dalam e-book ini, berkisah dari segala sisi.
Tulisan yang saya bicarakan sebelumnya berjudul Pemulung Cilik dan Kejujuran, ditulis oleh Muhammad Zamroni. Saya tampilkan tulisan itu disini, semoga bisa diambil hikmahnya. Sungguh kita patut malu setelah membacanya. Selamat membaca :).
Pemulung Cilik dan Kejujuran
Pemulung cilik itu menunggu cukup lama sebelum mendekati tempat sampah di Langsat yang penuh dengan tumpukan kardus, kaleng, dan bekas celengan. Rupanya dia menunggu kumpulan gelas plastik minuman kemasan yang tercecer untuk diletakkan di tempat sampah itu. Begitu kardus berisi gelas-gelas plastik itu diletakkan di dekat tempat sampah (karena tempat sampah sudah tidak muat), pemulung cilik itu dengan cekatan segera menyortir dan mengumpulkan benda-benda yang sekiranya bisa dia ambil dan dijual kembali, ke dalam karung plastik besar berwarna putih kusam yang ia bawa.
Kardus, kaleng-kaleng, dan bekas celengan plastik yang telah disobek untuk dikeluarkan isinya, berkeping-keping uang logam untuk dihitung di Posko Langsat, menjadi sasaran utamanya. Selain gelas-gelas plastik bekas air minum dalam kemasan yang sepertinya sudah diincarnya sejak tadi tentunya.
Posko Koin Keadilan rupanya juga membawa berkah bagi orang lain. Contoh nyatanya adalah si pemulung cilik yang diceritakan di atas. Terjadi sebuah simbiosis mutualisme.
Tumpukan sampah yang menggunung, rupanya bisa menjadi ladang rezeki bagi orang lain. Tempat sampah Langsat pun kembali kosong dan siap menampung sampah-sampah berikutnya.
Tiba-tiba terdengar bunyi gemerincing. Koinkoin yang tercecer dan masih berada di dalam kaleng, terselip di sela-sela lipatan kardus, atau di dalam celengan yang mungkin lupa terambil oleh relawan, kembali dilemparkan si pemulung cilik ke atas karpet tempat penghitungan koin.
Kami yang melihatnya langsung terdiam, sementara si pemulung cilik seakan tidak mengetahui kami yang memperhatikan gerak-geriknya, masih sibuk mengorek-korek sampah. Tidak satu-dua kali aksinya melempar kembali koin yang ditemukannya di tempat sampah kembali ke posko penghitungan.
Bisa saja si pemulung cilik mengambil dan menyimpan koin-koin yang tercecer itu. Bila dikumpulkan pun, hasilnya cukup lumayan, walau toh tak seberapa bila dibandingkan dengan jumlah yang terkumpul yang saat itu hingga mencapai sekitar 280 juta.
Namun ini tidak dilakukannya. Si pemulung seolah bisa mengerti, mana yang menjadi haknya dan mana yang bukan haknya. Sampah adalah miliknya, namun koin itu bukan, koin itu milik Prita.
Perilaku jujurnya ini juga ditunjukkan sejak awal. Dia memilih menunggu hingga gelas-gelas plastik
yang memang tercecer di seputaran posko, ditaruh dahulu di tempat sampah, meski jika dia mengambil ceceran gelas plastik itu secara langsung pun tidak akan dianggap sebagai masalah. Seolah-olah ia ingin memastikan, bahwa gelas-gelas platik itu benarbenar menjadi haknya, berada di tempat sampah.
Kami yang melihatnya pun tergerak. Bantuan logistik untuk para relawan penghitung koin berupa makanan dan minuman begitu melimpah di Langsat. Seseorang di antara kami menawarkan si pemulung cilik untuk mengambil nasi kotak. Si pemulung menolak, dengan alasan dia sudah mengambil jatah dari sisa-sisa nasi kotak. Sontak kami yang mendengarnya langsung terdiam.
Hampir tengah malam, ketika si pemulung cilik itu kembali ke Langsat untuk meneruskan pengumpulan sampahnya, kami akhirnya harus sedikit memaksa si pemulung cilik untuk tidak menolak pemberian nasi kotak.
Kami memaksanya untuk membawa beberapa nasi kotak, untuk dibawanya pulang, untuk disantapnya bersama keluarganya.
Wednesday, February 23, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment