Bagaimana kebiasaan para penulis ketika di toko buku? Bagaimana mereka mengidentifikasikan diri mereka sebagai pembaca? Pertanyaan-pertanyaan itu kami ajukan langsung kepada penulis.
Bagaimana
dengan keputusan terkait pilihan Anda untuk tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas?
Saya hidup
tanpa tujuan, dan saat SMA saya sudah merasa malas belajar (tertawa). Sewaktu
SD saya gagal di ujian masuk SMP, saat itu keluarga saya punya tabungan untuk
mengikutkan saya kursus hingga SMA. Saya berhasil melanjutkan ke SMA, tapi
justru saya malas belajar. Hidup saya mengalir begitu saja tanpa ada gairah
sedikit pun. Bahkan keinginan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi juga tidak
ada. Memang ada sedikit kesadaran bahwa orang-orang di sekitar saya melanjutkan
ke perguruan tinggi, tapi keputusan saya untuk tidak berkuliah bukan karena ada
suatu tekad tertentu. Itulah yang membuat saya pasrah saja hidup dari hari ke
hari. Tetapi toh pekerjaan paruh waktu yang saya jalani juga menyenangkan, kok.
Kalau saya membaca buku di ruang istirahat, rekan-rekan membiarkan saja
meskipun mereka tidak ada yang suka membaca buku.
Apakah
pernah terpikir oleh Anda bahwa suatu hari akan menjadi penulis?
Ya, saya menerka-nerka
apakah saya bisa jadi penulis, sebab kalau bisa tentu saja saya senang.
Semenjak kecil saya memang tidak begitu bersemangat. Kemudian pada usia awal
20-an saya sepertinya sudah memutuskan tidak akan terbawa arus tren yang ada di
sekitar saya. Saya juga terkadang merasa putus asa dan hanya hidup dari waktu
ke waktu.
Kapan Anda
mulai mencari pekerjaan?
Ketika usia
21 tahun. Saat itu saya hanya ikut-ikutan saja karena di sekeliling saya, orang
seusia saya sudah mulai mendapat pekerjaan. Pada masa itu kami masih beruntung,
sebab setelah itu mencari pekerjaan menjadi sulit. Dari cerita yang saya dengar
dari orang-orang yang bekerja banting tulang, memiliki apa yag kita inginkan
dan bisa kita banggakan pada usia muda adalah suatu kemewahan. Orang-orang yang
mencari pekerjaan pada masa itu sungguh luar biasa.
Apakah
perusahaan tempat Anda mencari kerja saat itu adalah kantor tempat Anda bekerja
sekarang?
Bukan.
Perusahaan tersebut bangkrut, saya pindah ke kantor saya yang sekarang. Saya
termasuk beruntung bisa pindah kerja dengan lancar tanpa hambatan.
Seperti apa
Anda menghabiskan usia 20-an terkait aktivitas membaca dan menulis?
Saya sudah
mulai menulis ketika itu. di awal usia 20-an, saya baru menyadari bahwa saya
bercita-cita ke arah sastra karena saya bebas menulis topik yang saya inginkan.
Saya masih ingat judul novel yang saya tulis tersebut, dari sana juga saya tahu
tentang keberadaan majalah sastra, lalu mulai ingin mengirim karya ke sana.
Apakah ada
momen yang membuat Anda berpikir bahwa diri Anda berubah?
Yang utama
adalah mengenai kesadaran dalam diri saya bahwa seluruh tulisan atau kisah yang
pernah saya baca hanya ditulis berdasarkan cerita-cerita yang sudah ada
sebelumnya, jadi saya tahu bahwa tidak ada yang namanya ‘karya oroginal saya’.
Tetapi ketika menulis novel, saya sadar bahwa saya sendiri tetap harus
menemukan sesuatu, sekecil apapun itu, yang belum ada di dunia ini. Kalau saya bisa
memikirkan suatu impian yang mungkin membuka kesadaran atau cara pandang baru, bagi
saya itu adalah suatu hal yang besar. Karya itu saya kirimkan ke sayembara yang
diadakan oleh penerbit swa-publikasi, lolos sampai beberapa tahap, kemudian
gugur. Itu ketika usia 21 tahun. Sampai 3 tahun setelahnya, saya masih terus
mengirimkan tulisan ke majalah sastra. Majalah sastra Bun-gei punya semacam
kumpulan cerita dari penulis-penulis, beberapa penulis yang seusia dengan saya
seperti Wataya Risa atau Hada Keisuke pernah menang di sana, lalu saya terpikir
untuk mengirim karya ke lomba yang diadakan majalah Bun-gei tersebut. Untuk
bisa familiar dengan Bun-gei ini, saya perlu lebih banyak waktu dibandingkan
dengan majalah sastra lain. Saya hanya membaca karya pemenang penulis-baru
majalah Bungakukai, tapi di mata saya Bungakukai ini punya imej seperti novel Robou
no Ishi atau Hitoaki no Suna, yang membuat saya frustrasi ketika kanak-kanak.
Pemenang penghargaan Bun-gei ini, selain penulis-penulis yang seusia saya, ada
juga Yamada Eimi, yang imejnya lekat dengan novel modern.
Lalu Anda
mengutamakan untuk mengirim karya ke penghargaan di majalah Bun-gei tersebut?
Awalnya saya
mengirim ke sayembara Bun-gei yang diadakan setahun sekali. Selain lomba-lomba
kecil, semua karya saya langsung gugur pada seleksi awal, sebelum tiba-tiba
bisa sampai ke tahap seleksi akhir ketika usia saya 27 tahun. Sebelum karya
saya Ao Ga Yabureru menang penghargaan Bun-gei ketika usia saya 32 tahun,
memang kadang karya saya sampai di seleksi akhir, kemudian beberapa hanya
sampai tahap pertengahan, ada juga yang sampai ke tahap akhir penghargaan
Entame (penghargaan untuk novel tanpa batasan genre yang mengutamakan kemampuan
novel untuk dialihmediakan menjadi film, pen.), tapi kebanyakan sudah gugur di
seleksi awal. Dua tahun sebelum saya debut sebagai penulis, melalui internet
saya bertemu dengan orang-orang yang sama-sama sedang menulis novel. Kami
saling membaca dan memberi masukan atas karya masing-masing dan dari situ saya
belajar banyak hal. Dengan cara yang mirip seperti itu, saya bertemu dengan
orang-orang yang menulis novel atau meneliti sastra Rusia, saya mendapat
beragam masukan, dan itu sangat membantu saya.
Tadi Anda
sampaikan bahwa Anda juga ikut seleksi untuk penghargaan Entame. Menurut saya,
itu sangat di luar dugaan....
Saya belum
pernah menceritakan hal itu kepada siapa pun. Itu tepat sebelum karya saya, Ao
ga Yabureru, menang penghargaan Bun-gei. Saya mengubah nama pena, kemudian
mengirimnya. Lantaran sebelumnya saya selalu gugur dalam proses seleksi, saya
merasa sudah gagal di dunia sastra, lalu mencoba tulisan-tulisan bernafaskan
hiburan, dan mengirimnya. Ada anggota juri proses seleksi yang selalu mendukung
saya tapi pada akhirnya saya toh juga gagal di genre hiburan.
Ya, ada
karya-karya yang sebetulnya bagus tapi gugur karena tidak sesuai dengan
karakter penghargaan.
Waktu itu,
saya berpikir sudah habis nafas saya di dunia sastra dan hiburan. Meskipun
demkian, bahkan kalau pun saya tidak jadi novelis, saya bertekad untuk terus
menulis novel. Ketika akhirnya saya menang penghargaan Bun-Gei, saya bersyukur
bahwa hasilnya baik, tetapi di sisi lain ada perasaan campur aduk juga karena
saya dulu sempat putus asa dan frustrasi.
**
Diterjemahkan dari artikel ini.