Friday, May 15, 2020

Jalan Pembacaan Para Penulis - Machida Ryohei (Volume 3)

Bagaimana kebiasaan para penulis ketika di toko buku? Bagaimana mereka mengidentifikasikan diri mereka sebagai pembaca? Pertanyaan-pertanyaan itu kami ajukan langsung kepada penulis.

Topik 2: Buku yang Membuat Saya Bisa Membaca Buku
(topik 2 dapat dibaca di sini)



Pertanyaan 1
Tanya:
Buku-buku apa yang Anda baca ketika SMA?
Jawab:
Semasa SMA saya cukup sering pergi ke toko buku Book Off. Ketika saya membaca Houkago no Onpu (Key Note) karya Yamada Amy, saya merasa bisa memahami buku tersebut. Banyak gempuran-gempuran keterkejutan di kepala saya ketika membacanya, dan berkat karya itulah saya jadi bisa membaca buku. Ketika saya bilang kepada ibu saya bahwa buku karya Yamada Amy sangat menarik, ibu meminjamkan setumpuk buku karya Ekuni Kaori dari rekan kerjanya. Tetapi saat itu saya tidak membaca buku-buku itu. Saya taruh begitu saja. Tak lama kemudian ternyata Reisei to Jounetsu no Aida karya Ekuni Kaori menjadi sangat populer.

Pertanyaan 2 
Tanya:
Ekuni Kaori dan Tsuji Hitonari menulis novel romantis tentang sepasang manusia yang ditulis masing-masing dari sudut pandang laki-laki dan sudut pandang perempuan.
Jawab:
Saya membaca versi Ekuni ketika SMA di tengah-tengah pelajaran (tertawa). Saya tidak berpikir macam-macam ketika membacanya. Tetapi setelah dipikir kembali, saya merasa buku itu sangat menarik. Sampai sekarang saya cukup sering tidak paham isi sebuah buku ketika sedang membacanya, tetapi setelah selesai barulah saya menyadari bahwa bukunya luar biasa. Dari pengalaman itu, saya membaca buku-buku Ekuni yang sebelumnya hanya saya taruh begitu saja, lalu dari sana saya mulai masuk membaca karya Dazai Osamu serta Mishima Yukio. Itu pengalaman yang sangat berkesan bagi saya mengenai novel dan budaya.

Pertanyaan 3 
Tanya:
Apa yang menarik dari karya-karya Ekuni Kaori selain Reisei To Jounetsu No Aida?
Jawab:
Saya suka Holy Garden dan masih sering membacanya ulang hingga sekarang. Tentang persahabatan, kekasih, juga hati yang berubah kepada mantan kekasih dari kedua tokohnya, Kaho dan Shizue. Saat awal-awal membacanya, saya tidak begitu paham isinya, mungkin karena bercerita tentang dunia yang tidak saya ketahui. Meskipun saya tidak paham, tetapi saya tetap merasa bukunya menarik, dan itu luar biasa.
Pada bagian catatan penulis di akhir buku, Ekuni menjelaskan bahwa ia hanya menulis tentang hal-hal yang tercecer karena suka. Yang menarik adalah bagaimana hal-hal yang tercecer itu dihubungkan jadi satu dalam sebuah novel yang utuh. Saya rasa saya membaca buku itu lebih dari 30 kali.

Pertanyaan 4 
Tanya:
Apakah Anda membaca karya-karya Yamada Amy selain Houkago No Onpu (Key Note)?
Jawab:
Iya, saya juga membacanya. Saya membaca begitu ada karya terbarunya yang terbit. Sepertinya penyebab saya tidak bisa dengan mudah masuk ke dunia sastra adalah karena saya payah dalam menyadari latar-latar yang muncul dalam buku yang semuanya berbentuk kalimat, hal itu sangat menyita waktu. Sementara karya Yamada yang Houkago No Onpu (Key Note) atau Boku wa Benkyou ga Dekinai, ceritanya berkembang dalam latar yang saya tahu dan emosi yang dipakai juga mirip dengan orang-orang dari generasi saya, sehingga saya mudah mencernanya.
Saya sangat suka kumpulan cerpen berjudul Hime Kun. Tokoh-tokohnya keren. Baik Yamada Amy maupun Ekuni Kaori sering menggambarkan orang-orang berjiwa pelopor yang agresif, yang sangat luar biasa. Terutama melalui tokoh Himeko dalam tulisan yang menjadi judul buku ini, juga melalui salah satu tulisan berjudul MENU. Dalam Hime Kun, ceritanya menohok lewat tokoh laki-lakinya, Mashu, yang nrimo. Kisahnya tentang tokoh laki-laki tadi yang saling jatuh cinta dengan seorang perempuan garang seperti Himeko, dan hubungan mereka seperti relasi antara si bengis dan si baik. Kemudian pada satu waktu, sifat agresif dan nrimo mereka saling tertukar. Saya, yang belum genap dua puluh tahun saat itu, merasa sangat berdebar-debar ketika membacanya. Selain itu, gambar sampul Hime Kun yang digambar oleh Manabe Shohei, pembuat manga Yamikin-yu Ushijimakun, juga sangat keren. Kemudian ketika SMA saya juga cukup sering membaca novel pop karena pengaruh ibu saya, karena ibu saya menyukai genre hard-boiled.

Pertanyaan 5 
Tanya:
Genre hard-boiled? Ibu Anda penyuka karya siapa?
Jawab:
Osawa Arimasa, Kirino Natsuo, Higashino Keigo, dan Miyabe Miyuki. Saya membaca novel-novel bertema misteri. Yang paling membekas dalam ingatan adalah buku berjudul Kokoro de wa Omosugiru karya Osawa Arimasa, baru-baru ini saya membacanya ulang, karena tiba-tiba ingin membacanya. Bukunya sangat bagus. Saya juga membaca ulang karya Kirino Natsuo seperti Yawarakana Hoho dan OUT.
Jadi sembari membaca novel pop, saya bertemu karya-karya Yamada Amy, dan sedikit demi sedikit saya jadi bisa membaca buku-buku sastra Jepang.

Pertanyaan 5
Tanya:
Anda jadi bisa membaca karya-karya yang dulunya tidak bisa Anda baca, misal milik Dazai Osamu atau Mishima Yukio. Apakah itu karena Anda melakukan semacam latihan atau pemanasan, begitu? Bahkan orang-orang yang kutu buku tidak bisa tiba-tiba membaca semua buku dengan mudah, perlu ada kebiasaan hingga suatu tingkat tertentu.
Jawab:
Tepat sekali. Saya pribadi butuh pemanasan untuk latihan agar terbiasa. Apabila telah terbiasa, kita tentu bisa membaca buku apapun, tetapi jalan menuju titik itu tidaklah mudah. Menurut saya, urutan membaca juga hal yang penting. Seringkali saya merasa dahulu tidak bisa membaca suatu tulisan, kemudian ketika mencobanya sekali lagi setelahnya, ternyata tulisan tersebut sangat menarik.

Pertanyaan 6 
Tanya:
Apa karya-karya Dazai Osamu dan Mishima Yukio yang Anda sukai?
Jawab:
Karya Dazai Osamu favorit saya adalah Tsugaru. Saya suka membaca catatan perjalanan atau tulisan-tulisan yang menyenangkan. Saya menggemari keseluruhan karya Dazai Osamu pada masa-masa itu yang emosional, tetapi saya relatif lebih suka tulisannya yang ceria. Pada waktu itu saya juga sangat menyukai karya-karya Mishima Yukio; saya tidak bisa mengingat ceritanya sama sekali tetapi yang jelas saya berulang kali membacanya. Saya mungkin agak terbolak-balik menyebutkan urutan penulis-penulis pada periode sekitar itu, tetapi saya cukup banyak membaca naskah-naskah penulis generasi saat ini. Saya lumayan banyak juga membaca karya-karya populer Murakami Haruki, yang memang sudah menulis sejak dahulu, lalu Kazushi Hosaka, juga Machida Ko. Kemudian ketika mencari di internet, saya mengetahui penulis-penulis yang juga keluarga dari penulis yang saya senangi, seperti Furui Yoshikida dan Kojima Nobuo, lalu saya membaca karya mereka berdua. Juga Oe Kenzaburo. Setelah dari sana, saya kemudian baru bisa membaca naskah-naskah Natsume Soseki. Kalau diminta menyebut penulis novel modern Jepang yang saya suka, saya akan menyebut nama Natsume Soseki.

Pertanyaan 7 
Tanya:
Kapan kira-kira Anda mulai menyukai Natsume Soseki?
Jawab:
Selepas lulus SMA, sekitar usia 20-an, semasa jadi pekerja lepas lalu jadi karyawan, ya sekitar masa-masa itu. Ketika masih jadi siswa SMA dan pekerja lepas, saya sama sekali tidak punya teman yang suka membaca buku dan saya juga tidak tahu apakah kutu buku benar-benar ada di dunia ini. Tetapi ketika menjadi karyawan, saya melihat teman saya yang rak bukunya dipenuhi novel sastra karya penulis luar negeri seperti Charles Bukowski dan Juan Rulfo, dan itu membuat saya tercengang, bahwa ternyata di dunia ini orang yang benar-benar membaca memang sungguhan ada. Saya meminjam karya Bukowski dan Rulfo dari teman saya itu, lalu pelan-pelan saya mulai membaca novel-novel luar negeri. Awalnya saya yang saat itu berusia 23 tahun merasakan adanya paradoks ketika membaca novel dari luar negeri itu, persis seperti paradoks literasi yang saya rasakan saat masih SD, semacam mepertanyakan siapa gerangan manusia-manusia yang mau membaca novel sepelik itu. Tetapi begitu mengetahui bahwa teman saya sudah membacanya, saya berubah pikiran, bahwa ternyata novel-novel itu memang bisa dibaca. Entah apa jadinya kalau saya tidak bertemu kawan saya itu.

Pertanyaan 8
Tanya:
Bagaimana kesan setelah Anda membacanya? Menarik?
Jawab:
Saat itu awalnya saya hanya sok saja, tetapi ketika sudah mulai membaca, ternyata bukunya menarik dan saya jadi menyukainya. Saya tidak kuliah sehingga tidak pernah mendapat pelajaran tentang pendidikan kebudayaan atau seminar pembacaan karya sastra, jadi bagi saya ada semacam gegar budaya ketika membacanya.

**

Diterjemahkan dari artikel ini.
Photo by Dina Nasyrova from Pexels 

0 comments:

Post a Comment