Bagaimana kebiasaan para penulis ketika di toko buku? Bagaimana mereka mengidentifikasikan diri mereka sebagai pembaca? Pertanyaan-pertanyaan itu kami ajukan langsung kepada penulis.
Tanya:
Buku-buku
apa yang Anda baca ketika SMA?
Jawab:
Semasa SMA
saya cukup sering pergi ke toko buku Book Off. Ketika saya membaca Houkago no
Onpu (Key Note) karya Yamada Amy, saya merasa bisa memahami buku tersebut.
Banyak gempuran-gempuran keterkejutan di kepala saya ketika membacanya, dan
berkat karya itulah saya jadi bisa membaca buku. Ketika saya bilang kepada ibu
saya bahwa buku karya Yamada Amy sangat menarik, ibu meminjamkan setumpuk buku
karya Ekuni Kaori dari rekan kerjanya. Tetapi saat itu saya tidak membaca
buku-buku itu. Saya taruh begitu saja. Tak lama kemudian ternyata Reisei to
Jounetsu no Aida karya Ekuni Kaori menjadi sangat populer.
Tanya:
Ekuni Kaori
dan Tsuji Hitonari menulis novel romantis tentang sepasang manusia yang ditulis
masing-masing dari sudut pandang laki-laki dan sudut pandang perempuan.
Jawab:
Saya membaca
versi Ekuni ketika SMA di tengah-tengah pelajaran (tertawa). Saya tidak
berpikir macam-macam ketika membacanya. Tetapi setelah dipikir kembali, saya
merasa buku itu sangat menarik. Sampai sekarang saya cukup sering tidak paham
isi sebuah buku ketika sedang membacanya, tetapi setelah selesai barulah saya
menyadari bahwa bukunya luar biasa. Dari pengalaman itu, saya membaca buku-buku
Ekuni yang sebelumnya hanya saya taruh begitu saja, lalu dari sana saya mulai
masuk membaca karya Dazai Osamu serta Mishima Yukio. Itu pengalaman yang sangat
berkesan bagi saya mengenai novel dan budaya.
Tanya:
Apa yang
menarik dari karya-karya Ekuni Kaori selain Reisei To Jounetsu No Aida?
Jawab:
Saya suka
Holy Garden dan masih sering membacanya ulang hingga sekarang. Tentang
persahabatan, kekasih, juga hati yang berubah kepada mantan kekasih dari kedua
tokohnya, Kaho dan Shizue. Saat awal-awal membacanya, saya tidak begitu paham
isinya, mungkin karena bercerita tentang dunia yang tidak saya ketahui.
Meskipun saya tidak paham, tetapi saya tetap merasa bukunya menarik, dan itu
luar biasa.
Pada bagian catatan
penulis di akhir buku, Ekuni menjelaskan bahwa ia hanya menulis tentang hal-hal
yang tercecer karena suka. Yang menarik adalah bagaimana hal-hal yang tercecer
itu dihubungkan jadi satu dalam sebuah novel yang utuh. Saya rasa saya membaca
buku itu lebih dari 30 kali.
Tanya:
Apakah Anda
membaca karya-karya Yamada Amy selain Houkago No Onpu (Key Note)?
Jawab:
Iya, saya
juga membacanya. Saya membaca begitu ada karya terbarunya yang terbit.
Sepertinya penyebab saya tidak bisa dengan mudah masuk ke dunia sastra adalah
karena saya payah dalam menyadari latar-latar yang muncul dalam buku yang
semuanya berbentuk kalimat, hal itu sangat menyita waktu. Sementara karya Yamada
yang Houkago No Onpu (Key Note) atau Boku wa Benkyou ga Dekinai, ceritanya
berkembang dalam latar yang saya tahu dan emosi yang dipakai juga mirip dengan
orang-orang dari generasi saya, sehingga saya mudah mencernanya.
Saya sangat
suka kumpulan cerpen berjudul Hime Kun. Tokoh-tokohnya keren. Baik Yamada Amy
maupun Ekuni Kaori sering menggambarkan orang-orang berjiwa pelopor yang
agresif, yang sangat luar biasa. Terutama melalui tokoh Himeko dalam tulisan
yang menjadi judul buku ini, juga melalui salah satu tulisan berjudul MENU.
Dalam Hime Kun, ceritanya menohok lewat tokoh laki-lakinya, Mashu, yang nrimo.
Kisahnya tentang tokoh laki-laki tadi yang saling jatuh cinta dengan seorang
perempuan garang seperti Himeko, dan hubungan mereka seperti relasi antara
si bengis dan si baik. Kemudian pada satu waktu, sifat agresif dan nrimo
mereka saling tertukar. Saya, yang belum genap dua puluh tahun saat itu, merasa
sangat berdebar-debar ketika membacanya. Selain itu, gambar sampul Hime Kun
yang digambar oleh Manabe Shohei, pembuat manga Yamikin-yu Ushijimakun, juga
sangat keren. Kemudian ketika SMA saya juga cukup sering membaca novel pop
karena pengaruh ibu saya, karena ibu saya menyukai genre hard-boiled.
Tanya:
Genre
hard-boiled? Ibu Anda penyuka karya siapa?
Jawab:
Osawa
Arimasa, Kirino Natsuo, Higashino Keigo, dan Miyabe Miyuki. Saya membaca
novel-novel bertema misteri. Yang paling membekas dalam ingatan adalah buku
berjudul Kokoro de wa Omosugiru karya Osawa Arimasa, baru-baru ini saya
membacanya ulang, karena tiba-tiba ingin membacanya. Bukunya sangat bagus. Saya
juga membaca ulang karya Kirino Natsuo seperti Yawarakana Hoho dan OUT.
Jadi sembari
membaca novel pop, saya bertemu karya-karya Yamada Amy, dan sedikit demi
sedikit saya jadi bisa membaca buku-buku sastra Jepang.
Pertanyaan 5
Tanya:
Anda jadi
bisa membaca karya-karya yang dulunya tidak bisa Anda baca, misal milik Dazai
Osamu atau Mishima Yukio. Apakah itu karena Anda melakukan semacam latihan atau
pemanasan, begitu? Bahkan orang-orang yang kutu buku tidak bisa tiba-tiba
membaca semua buku dengan mudah, perlu ada kebiasaan hingga suatu tingkat
tertentu.
Jawab:
Tepat
sekali. Saya pribadi butuh pemanasan untuk latihan agar terbiasa. Apabila telah
terbiasa, kita tentu bisa membaca buku apapun, tetapi jalan menuju titik itu
tidaklah mudah. Menurut saya, urutan membaca juga hal yang penting. Seringkali
saya merasa dahulu tidak bisa membaca suatu tulisan, kemudian ketika mencobanya
sekali lagi setelahnya, ternyata tulisan tersebut sangat menarik.
Tanya:
Apa karya-karya
Dazai Osamu dan Mishima Yukio yang Anda sukai?
Jawab:
Karya Dazai Osamu
favorit saya adalah Tsugaru. Saya suka membaca catatan perjalanan atau
tulisan-tulisan yang menyenangkan. Saya menggemari keseluruhan karya Dazai
Osamu pada masa-masa itu yang emosional, tetapi saya relatif lebih suka
tulisannya yang ceria. Pada waktu itu saya juga sangat menyukai karya-karya
Mishima Yukio; saya tidak bisa mengingat ceritanya sama sekali tetapi yang
jelas saya berulang kali membacanya. Saya mungkin agak terbolak-balik
menyebutkan urutan penulis-penulis pada periode sekitar itu, tetapi saya cukup
banyak membaca naskah-naskah penulis generasi saat ini. Saya lumayan banyak juga
membaca karya-karya populer Murakami Haruki, yang memang sudah menulis sejak
dahulu, lalu Kazushi Hosaka, juga Machida Ko. Kemudian ketika mencari di
internet, saya mengetahui penulis-penulis yang juga keluarga dari penulis yang
saya senangi, seperti Furui Yoshikida dan Kojima Nobuo, lalu saya membaca karya
mereka berdua. Juga Oe Kenzaburo. Setelah dari sana, saya kemudian baru bisa
membaca naskah-naskah Natsume Soseki. Kalau diminta menyebut penulis novel
modern Jepang yang saya suka, saya akan menyebut nama Natsume Soseki.
Tanya:
Kapan kira-kira
Anda mulai menyukai Natsume Soseki?
Jawab:
Selepas
lulus SMA, sekitar usia 20-an, semasa jadi pekerja lepas lalu jadi karyawan, ya
sekitar masa-masa itu. Ketika masih jadi siswa SMA dan pekerja lepas, saya sama
sekali tidak punya teman yang suka membaca buku dan saya juga tidak tahu apakah
kutu buku benar-benar ada di dunia ini. Tetapi ketika menjadi karyawan, saya
melihat teman saya yang rak bukunya dipenuhi novel sastra karya penulis luar
negeri seperti Charles Bukowski dan Juan Rulfo, dan itu membuat saya
tercengang, bahwa ternyata di dunia ini orang yang benar-benar membaca memang
sungguhan ada. Saya meminjam karya Bukowski dan Rulfo dari teman saya itu, lalu
pelan-pelan saya mulai membaca novel-novel luar negeri. Awalnya saya yang saat
itu berusia 23 tahun merasakan adanya paradoks ketika membaca novel dari luar
negeri itu, persis seperti paradoks literasi yang saya rasakan saat masih SD,
semacam mepertanyakan siapa gerangan manusia-manusia yang mau membaca novel
sepelik itu. Tetapi begitu mengetahui bahwa teman saya sudah membacanya, saya
berubah pikiran, bahwa ternyata novel-novel itu memang bisa dibaca.
Entah apa jadinya kalau saya tidak bertemu kawan saya itu.
Tanya:
Bagaimana
kesan setelah Anda membacanya? Menarik?
Jawab:
Saat itu
awalnya saya hanya sok saja, tetapi ketika sudah mulai membaca, ternyata
bukunya menarik dan saya jadi menyukainya. Saya tidak kuliah sehingga tidak
pernah mendapat pelajaran tentang pendidikan kebudayaan atau seminar pembacaan
karya sastra, jadi bagi saya ada semacam gegar budaya ketika membacanya.
**
Diterjemahkan dari artikel ini.
Photo by Dina Nasyrova from Pexels
0 comments:
Post a Comment