Saturday, August 15, 2015

Jepang: Tentang Manusia


Saya bertemu dengan banyak orang! Ah, tentu saja. Selama saya pergi ke sebuah tempat dimana orang lain juga tiggal disana, tentu saja saya akan bertemu dengan banyak orang. Namun ketika saya berhasil bercakap-cakap dengan banyak orang, selain merupakan sesuatu yang sangat menyenangkan, hal tersebut bagi saya pribadi juga merupakan sebuah prestasi—karena tak jarang saya sangat pelit bicara. Selain petugas stasiun dan polisi baik hati yang tidak membiarkan kami tersesat, perjumpaan saya dengan orang-orang berikut adalah hal yang patut saya kenang:


-      -   Kakak Sepertiga Harga
Ketika baru sampai di bandara internasional Kansai, kami memiliki dua pilihan menuju Kobe: kapal feri atau kereta, dengan harga yang tentu saja berbeda dan pengalaman yang juga tak sama. Saya cenderung memilih feri, jadi saya langsung menuju loket penjualan tiket feri. Namun ternyata harga feri tersebut belum termasuk harga kereta dari bandara Kobe ke Sannomiya, yang merupakan tujuan kami sebenarnya. Setelah berunding plus dan minus, akhirnya kami memutuskan untuk naik feri. Jam keberangkatan bis dari bandara ke dermaga sudah dekat, sehingga Kakak Sepertiga Harga harus berlari-lari kecil meminta agar bis jangan berangkat dahulu. Saat saya bertanya bagaimana dengan paspor—tiket feri dijual dengan harga lebih murah kepada wisatawan asing dengan syarat menunjukkan paspor—, Kakak Sepertiga Harga berkata bahwa karena waktu yang sempit, kami tidak usah menunjukkan paspor. Ia lantas bertanya kemana tujuan kami di Kobe. Saya jawab bahwa yang jelas kami akan berkeliling kota terlebih dahulu. Kemudian ia berkata bahwa kami bisa membeli tiket terusan bis City Loop dengan harga 200 yen dari harga normal 660 yen, dengan diakhiri, “Naisho de ne. Rahasia ya.” serta sebuah senyuman. Tawaran yang langsung saya sambut dengan segera mengeluarkan selembar uang 1000 yen untuk 5 tiket. Ah, kakak. Kepada siapa pula kami akan bercerita bahwa kami memperoleh tiket dengan harga sepertiga dari harga normal?

-     -    Bidadari di Kyoto
Saya bertemu bidadari di Kyoto! Saat kami bergerombol di depan sebuah denah stasiun untuk mencari pemberhentian bis terdekat, Bidadari itu muncul: seorang ibu berusia awal 40-an yang cantik dan baik hati, menginterupsi kami dengan sebuah pertanyaan, “May I help you?” dengan logat Jepang yang sangat kental. Teman saya menjawab dengan Bahasa Inggris yang membuat si Bidadari nampak kebingungan, yang kemudian saya jawab dengan Bahasa Jepang bahwa kami mencari pemberhentian bis. Ia lantas mengantar kami keluar stasiun menuju pemberhentian bis, menunjukkan bis mana yang dapat kami naiki, dan menunggui kami sampai bis tersebut datang. Ia bertanya bagaimana kesan kami terhadap Kyoto, namun karena saat itu kami baru saja tiba dari Kobe, kami sampaikan apa adanya. Ia lantas mengatakan bahwa bepergian dengan bis di Kyoto kadangkala bukanlah ide yang baik karena lalu lintas terkadang sangat padat dan menyebabkan jadwal bis berantakan.  Saat saya bertanya apakah kami bisa menggunakan kartu prabayar yang sudah kami beli sebelumnya, ia menanyakannya kepada orang di sebelahnya. Setelah memperoleh jawaban, ia menyampaikan bahwa kami bisa memakai kartu tersebut. Saat bis datang dan kami sudah duduk, saya melihat ia bahkan menanyakan hal yang sama kepada pengemudi bis. Lantas ia memberikan tanda OK kepada saya: kartu tersebut dapat dipakai. Setelah bis berangkat, teman saya bercerita bahwa si Bidadari tadi baru saja masuk stasiun, sehingga mungkin saja ia tertinggal kereta demi membantu kami. Mendengar itu, saya sedikit menyesal karena tadi saya kurang dalam ketika menundukkan kepala saya saat berterima kasih.

-      -   Nenek 230 Yen
Bis sedang lengang. Saya memberikan uang 10.000 yen kepada sopir untuk membeli 5 tiket terusan bis seharga total 2.500 yen. Namun sopir menjawab bahwa ia hanya menerima uang pas. Saya mengangguk, kembali ke tempat duduk. Lantas saya mengeluarkan dompet, mencari-cari siapa tahu ada uang pas sejumlah 2.500 yen. Tiba-tiba nenek di samping saya mengangsurkan sejumlah uang koin yang saya duga jumlahnya 230 yen—seharga tiket naik bis untuk satu kali— kepada saya. Saya menolak dengan halus, Nenek 230 Yen tetap memaksa dengan berkata, “ tidak apa-apa, ambil saja ini.” Aduh, bagaimana cara saya menolaknya ya? Kemudian saya teringat kartu prabayar yang saya beli hari sebelumnya, dan berkata bahwa saya sudah memiliki kartu itu, lalu basa-basi bertanya apakah saya bisa menggunakan kartu tersebut—yang sudah saya ketahui jawabannya. Nenek 230 Yen menjawab kartu itu dapat dipakai, lantas ia memasukkan kembali koin-koinnya ke dalam dompetnya. Duhai, baik sekali!

-     -    Kakek Internasional
Setiba di gerbang masuk Kyoto Botanical Garden, seorang kakek petugas menyapa kami. “Good afternoon!” Ia lantas menyuruh kami membeli tiket dari mesin di dekat gerbang. Saat kami sedang mengutak-atik mesin untuk membeli 5 tiket, si kakek bertanya kembali, “where are you from?” Kami jawab bahwa kami dari Indonesia. Si kakek kemudian berbicara kepada rekannya sambil tertawa, “atatta. Tebakanku benar.” Saat saya ceritakan bahwa biasanya orang mengira kami berasal dari Malaysia dan bertanya bagaimana si kakek menebak kami berasal dari Indonesia, si kakek hanya berkata, “nantonaku. Bisa saja.” Lanjutnya, “saya orang internasional,” Kakek Internasional berkata dengan penuh kebanggaan. Ketika kami pulang, saya melihat si kakek bercakap-cakap dengan seorang wisatawan asing dalam bahasa asing (saya menduga mereka menggunakan Bahasa Prancis). Kakek Internasional benar-benar internasional!

-      -   Kakek Sopir Galak
Karena kecerobohan saya, tiket bis terusan saya hilang. Akhirnya saya menyiapkan uang 230 yen yang saya taruh di saku celana saya. Saat turun, saya yang tidak tahu harus memasukkan uang di sebelah mana, rupanya salah memasukkan uang. Sopir tidak berkata apa-apa, hanya memencet sebuah tombol dan meletakkan kembali uang saya di atas mesin. Di belakang saya banyak yang mengantre, jadi saya berdiri agak minggir, mempersilakan mereka turun terlebih dulu. Saya yang tetap tidak tahu harus memasukkan uang dimana, tetap saja berdiri di situ. Kemudian sopir menunjuk-nunjuk satu lubang. Saat saya masukkan, mesin menunjukkan uang yang saya masukkan berjumlah 130 yen, alias masih kurang 100 yen. “Makanya, kalau memasukkan uang harus sekaligus!” katanya dengan dialek Kansai yang khas. Saya menunjuk uang 100 yen di atas mesin yang tadi saya masukkan ke tempat yang salah, sambil berkata bahwa itu uang saya. “Mana mungkin ini uangmu. Ini uang penumpang tadi yang cuma memberi 100 yen!” Kemudian saya tetap berdiri, kebingungan. “Lalu bagaimana?” Tanya saya. “Ya sudah! Ya sudah!” Kakek Sopir Galak menunjukkan ekspresi yang tidak enak. Saya lantas turun, dan mengasihani diri saya sendiri. Seandainya saya bertemu Nenek 230 Yen saat itu, mungkin ia akan menyelamatkan saya dari Kakek Sopir Galak.

-     -    Kasir Chang
Sekitar 50 meter dari penginapan, ada minimarket Lawson yang selalu kami sambangi tiap malam demi membeli air mineral kemasan 2 liter seharga 98 yen. Saat saya baru saja mengambil botol saya dan mendekati kasir, di depan saya adalah dua kawan saya yang sedang mencari-cari uang di dalam dompet. Kemudian saya dengar kasir berkata dalam Bahasa Indonesia, “Seratus sembilan puluh enam yen.” Saya lihat di dadanya sebelah kanan tersemat label nama bertuliskan Chang. Saat tiba giliran saya, saya bertanya dalam Bahasa Jepang, bagaimana Kasir Chang bisa berbahasa Indonesia. Dia menjawab, “Saya orang Indonesia. Emm.. lebih tepatnya, keturunan Indonesia.” “Campuran?” Tanya saya. Kasir Chang mengangguk. “Campuran mana?” Kasir Chang menjawab, “Indonesia dan Taiwan.” Setelah saya menerima struk dan uang kembalian, saya berkata pada Kasir Chang dalam Bahasa Indonesia, “Terima kasih.”

-     -    Mbak Aichi
Seorang perempuan Jepang membuka pintu depan penginapan dan bertanya sesuatu kepada teman saya, yang dijawab dengan, “Sorry, I can’t speak Japanese.” Saya kemudian bertanya ada apa, dan ia bertanya dimana ia bisa menemui Kousuke, pemilik penginapan. Saya katakan bahwa Kousuke ada di lantai 4 atau ia akan datang ke lantai 5 jika ada yang memencet bel di meja resepsionis. Tak lama, mbak Aichi masuk lagi bersama Kousuke dan mendapat penjelasan mengenai beberapa hal tentang penginapan, hal yang sama yang kami dapatkan ketika baru datang. Ternyata Mbak Aichi merupakan tamu penginapan juga, ia mendapat tempat tidur di satu dipan yang tersisa. Saat sedang menunggu giliran mandi, saya sempatkan mengobrol dengan mbak Aichi. Sebenarnya saya tidak tahu siapa namanya—bahkan sampai akhir percakapan saya juga tidak menanyakannnya—, namun karena ia berasal dari Perfektur Aichi, marilah kita sebut dia dengan sebutan mbak Aichi. Saya mengobrol cukup banyak dengannya—mulai dari untuk apa dia datang dari Aichi ke Nara, bagaimana kisahnya menjadi seorang juru masak padahal ia mengambil sekolah dengan keahlian membuat kimono dan tidak pernah mengambil kursus memasak apapun, tradisi Obon yang membuat lokasi Obon jadi sangat padat, sampai apakah saya dan teman-teman tidak kepanasan mengenakan pakaian yang tertutup di tengah musim panas. Tentu saja saya tidak memahami semua perkataannya—dia berkata dengan kecepatan yang luar biasa dan menggunakan kosakata yang tidak saya mengerti—, namun beberapa yang saya ingat adalah: ia datang ke Nara demi sebilah pisau seharga 25.000 yen yang sangat dia inginkan dan toko tempat pisau tersebut dijual hanya ada di Nara; dan ia mengetahui hal-hal tentang Islam dengan cukup baik—ia mengetahui bahwa Tuhan dalam Islam hanya ada satu dan tidak ada yang menyerupai-Nya, bahwa perempuan muslim menutup kepalanya, dan bahwa pemeluk Islam tidak boleh mengkonsumsi babi. Ketika saya ungkapkan bahwa makanan yang paling ingin saya makan di Jepang adalah omurice, Mbak Aichi menjawab dengan santai bahwa dengan demikian tidak ada omurice yang dapat saya makan.

-     -    Kakek Berbahasa Inggris
Berbekal informasi dari petugas stasiun bahwa kami bisa menuju Sumiyoshi Taisha dengan bis, kami naik bis dengan cukup percaya diri. Kemudian saya baru ingat bahwa saya tidak menanyakan di halte mana kami harus turun. Akhirnya saya bertanya kepada seorang nenek yang ternyata juga tidak mengerti. Beliau malah bertanya pada seorang kakek yang duduk di depannya. Si kakek juga tak mengerti, ia menyuruh saya bertanya langsung kepada sopir. Setelah saya meminta tolong kepada sopir agar memberitahu nanti saat kami harus turun, saya kembali duduk. Si kakek bertanya dalam Bahasa Inggris, bagaimana kami memperoleh informasi mengenai Sumiyoshi Taisha. Awalnya saya menjawab dalam Bahasa Jepang, namun pertanyaan-pertanyaan berikutnya ternyata juga terlontar dalam Bahasa Inggris. Akhirnya kami bercakap-cakap dengan Bahasa inggris. Yang cukup mengejutkan saya, pelafalan Kakek Berbahasa Inggris ini lebih baik dari yang sering saya dengar. Tak jarang saya sampai harus terbengong beberapa kali demi memahami apa yang dikatakan oleh petugas stasiun dalam Bahasa Inggris—saking anehnya—, namun saya cukup sekali saja mendengar pertanyaan Kakek Berbahasa Inggris seperti, “Where do you learn Japanese?”, “Where will you go after this?”, dan “Where are you from?”.  Kakek sungguh luar biasa! (dan saya agak menyesal tidak bertanya bagaimana Bahasa Inggris si Kakek bisa sedemikian baik).

-     -    Kakek Nishinari
Dengan informasi berupa nomor pintu-keluar stasiun dan alamat, kami mencari penginapan yang sudah kami pesan di Osaka. Tepat di pintu keluar, seorang kakek sedang duduk. Saya menyodorkan ponsel saya yang berisi alamat penginapan sambil bertanya apakah beliau tahu lokasi tersebut. Si kakek menggeleng, “Eigo wakaran. Saya tidak mengerti Bahasa Inggris.” Lantas saya bacakan alamatnya, dan beliau berkata, “Ini daerah Nishinari. Tapi saya tidak tahu tempat itu.” Setelah mengucapkan terima kasih, perhatian saya dan teman-teman teralihkan oleh sebuah mesin penjual minuman seharga 40 yen per botol—harga minuman termurah yang pernah kami lihat adalah 100 yen, jadi kami cukup ndeso melihat harga 40 yen ini. “Apakah kalian mencari hotel?” Kakek Nishinari kembali kepada kami. Saya mengangguk. “Apa nama hotelnya?” setelah saya sebutkan, ia berkata, “kalau hotel itu, ia ada di situ.” Kakek Nishinari menunjuk sebuah plang bertuliskan nama penginapan yang kami cari, yang ternyata hanya berjarak 20 meter dari pintu keluar stasiun. Aha! Kakek Nishinari, terima kasih!

Sebab orang-orang di atas, saya menjadi cukup waras selama berada di sana. Meskipun saya hampir menangis selepas dimarahi Kakek Sopir Galak, namun sepuluh menit kemudian saya bisa tersenyum karena bertemu Kasir Chang. Tentang manusia-manusia, memang selalu ada-ada saja.


15 Agustus 2015
Terlambat sehari untuk mengucapkan Selamat Hari Pramuka!

0 comments:

Post a Comment