Saya bertemu dengan banyak orang! Ah, tentu saja. Selama
saya pergi ke sebuah tempat dimana orang lain juga tiggal disana, tentu saja
saya akan bertemu dengan banyak orang. Namun ketika saya berhasil
bercakap-cakap dengan banyak orang, selain merupakan sesuatu yang sangat menyenangkan,
hal tersebut bagi saya pribadi juga merupakan sebuah prestasi—karena tak jarang
saya sangat pelit bicara. Selain petugas stasiun dan polisi baik hati yang
tidak membiarkan kami tersesat, perjumpaan saya dengan orang-orang berikut
adalah hal yang patut saya kenang:
- - Kakak Sepertiga Harga
Ketika baru sampai di bandara internasional
Kansai, kami memiliki dua pilihan menuju Kobe: kapal feri atau kereta, dengan
harga yang tentu saja berbeda dan pengalaman yang juga tak sama. Saya cenderung
memilih feri, jadi saya langsung menuju loket penjualan tiket feri. Namun ternyata
harga feri tersebut belum termasuk harga kereta dari bandara Kobe ke Sannomiya,
yang merupakan tujuan kami sebenarnya. Setelah berunding plus dan minus,
akhirnya kami memutuskan untuk naik feri. Jam keberangkatan bis dari bandara ke
dermaga sudah dekat, sehingga Kakak Sepertiga Harga harus berlari-lari kecil
meminta agar bis jangan berangkat dahulu. Saat saya bertanya bagaimana dengan
paspor—tiket feri dijual dengan harga lebih murah kepada wisatawan asing dengan
syarat menunjukkan paspor—, Kakak Sepertiga Harga berkata bahwa karena waktu
yang sempit, kami tidak usah menunjukkan paspor. Ia lantas bertanya kemana
tujuan kami di Kobe. Saya jawab bahwa yang jelas kami akan berkeliling kota
terlebih dahulu. Kemudian ia berkata bahwa kami bisa membeli tiket terusan bis
City Loop dengan harga 200 yen dari harga normal 660 yen, dengan diakhiri, “Naisho de ne. Rahasia ya.” serta sebuah
senyuman. Tawaran yang langsung saya sambut dengan segera mengeluarkan selembar
uang 1000 yen untuk 5 tiket. Ah, kakak. Kepada siapa pula kami akan bercerita
bahwa kami memperoleh tiket dengan harga sepertiga dari harga normal?
- - Bidadari di Kyoto
Saya bertemu bidadari di Kyoto! Saat kami
bergerombol di depan sebuah denah stasiun untuk mencari pemberhentian bis
terdekat, Bidadari itu muncul: seorang ibu berusia awal 40-an yang cantik dan
baik hati, menginterupsi kami dengan sebuah pertanyaan, “May I help you?”
dengan logat Jepang yang sangat kental. Teman saya menjawab dengan Bahasa Inggris
yang membuat si Bidadari nampak kebingungan, yang kemudian saya jawab dengan Bahasa
Jepang bahwa kami mencari pemberhentian bis. Ia lantas mengantar kami keluar
stasiun menuju pemberhentian bis, menunjukkan bis mana yang dapat kami naiki, dan
menunggui kami sampai bis tersebut datang. Ia bertanya bagaimana kesan kami
terhadap Kyoto, namun karena saat itu kami baru saja tiba dari Kobe, kami
sampaikan apa adanya. Ia lantas mengatakan bahwa bepergian dengan bis di Kyoto
kadangkala bukanlah ide yang baik karena lalu lintas terkadang sangat padat dan
menyebabkan jadwal bis berantakan. Saat saya
bertanya apakah kami bisa menggunakan kartu prabayar yang sudah kami beli
sebelumnya, ia menanyakannya kepada orang di sebelahnya. Setelah memperoleh
jawaban, ia menyampaikan bahwa kami bisa memakai kartu tersebut. Saat bis
datang dan kami sudah duduk, saya melihat ia bahkan menanyakan hal yang sama
kepada pengemudi bis. Lantas ia memberikan tanda OK kepada saya: kartu tersebut
dapat dipakai. Setelah bis berangkat, teman saya bercerita bahwa si Bidadari
tadi baru saja masuk stasiun, sehingga mungkin saja ia tertinggal kereta demi
membantu kami. Mendengar itu, saya sedikit menyesal karena tadi saya kurang
dalam ketika menundukkan kepala saya saat berterima kasih.
- - Nenek 230 Yen
Bis sedang lengang. Saya memberikan uang
10.000 yen kepada sopir untuk membeli 5 tiket terusan bis seharga total 2.500
yen. Namun sopir menjawab bahwa ia hanya menerima uang pas. Saya mengangguk, kembali
ke tempat duduk. Lantas saya mengeluarkan dompet, mencari-cari siapa tahu ada
uang pas sejumlah 2.500 yen. Tiba-tiba nenek di samping saya mengangsurkan
sejumlah uang koin yang saya duga jumlahnya 230 yen—seharga tiket naik bis
untuk satu kali— kepada saya. Saya menolak dengan halus, Nenek 230 Yen tetap
memaksa dengan berkata, “ tidak apa-apa, ambil saja ini.” Aduh, bagaimana cara
saya menolaknya ya? Kemudian saya teringat kartu prabayar yang saya beli hari
sebelumnya, dan berkata bahwa saya sudah memiliki kartu itu, lalu basa-basi
bertanya apakah saya bisa menggunakan kartu tersebut—yang sudah saya ketahui
jawabannya. Nenek 230 Yen menjawab kartu itu dapat dipakai, lantas ia memasukkan
kembali koin-koinnya ke dalam dompetnya. Duhai, baik sekali!
- - Kakek Internasional
Setiba di gerbang masuk Kyoto Botanical
Garden, seorang kakek petugas menyapa kami. “Good afternoon!” Ia lantas menyuruh kami membeli tiket dari mesin
di dekat gerbang. Saat kami sedang mengutak-atik mesin untuk membeli 5 tiket,
si kakek bertanya kembali, “where are you
from?” Kami jawab bahwa kami dari Indonesia. Si kakek kemudian berbicara
kepada rekannya sambil tertawa, “atatta.
Tebakanku benar.” Saat saya ceritakan bahwa biasanya orang mengira kami berasal
dari Malaysia dan bertanya bagaimana si kakek menebak kami berasal dari
Indonesia, si kakek hanya berkata, “nantonaku.
Bisa saja.” Lanjutnya, “saya orang internasional,” Kakek Internasional berkata
dengan penuh kebanggaan. Ketika kami pulang, saya melihat si kakek bercakap-cakap
dengan seorang wisatawan asing dalam bahasa asing (saya menduga mereka
menggunakan Bahasa Prancis). Kakek Internasional benar-benar internasional!
- - Kakek Sopir Galak
Karena kecerobohan saya, tiket bis terusan
saya hilang. Akhirnya saya menyiapkan uang 230 yen yang saya taruh di saku
celana saya. Saat turun, saya yang tidak tahu harus memasukkan uang di sebelah
mana, rupanya salah memasukkan uang. Sopir tidak berkata apa-apa, hanya
memencet sebuah tombol dan meletakkan kembali uang saya di atas mesin. Di belakang
saya banyak yang mengantre, jadi saya berdiri agak minggir, mempersilakan
mereka turun terlebih dulu. Saya yang tetap tidak tahu harus memasukkan uang
dimana, tetap saja berdiri di situ. Kemudian sopir menunjuk-nunjuk satu lubang.
Saat saya masukkan, mesin menunjukkan uang yang saya masukkan berjumlah 130
yen, alias masih kurang 100 yen. “Makanya, kalau memasukkan uang harus
sekaligus!” katanya dengan dialek Kansai yang khas. Saya menunjuk uang 100 yen
di atas mesin yang tadi saya masukkan ke tempat yang salah, sambil berkata
bahwa itu uang saya. “Mana mungkin ini uangmu. Ini uang penumpang tadi yang cuma
memberi 100 yen!” Kemudian saya tetap berdiri, kebingungan. “Lalu bagaimana?” Tanya
saya. “Ya sudah! Ya sudah!” Kakek Sopir Galak menunjukkan ekspresi yang tidak
enak. Saya lantas turun, dan mengasihani diri saya sendiri. Seandainya saya
bertemu Nenek 230 Yen saat itu, mungkin ia akan menyelamatkan saya dari Kakek
Sopir Galak.
- - Kasir Chang
Sekitar 50 meter dari penginapan, ada
minimarket Lawson yang selalu kami sambangi tiap malam demi membeli air mineral
kemasan 2 liter seharga 98 yen. Saat saya baru saja mengambil botol saya dan
mendekati kasir, di depan saya adalah dua kawan saya yang sedang mencari-cari
uang di dalam dompet. Kemudian saya dengar kasir berkata dalam Bahasa Indonesia,
“Seratus sembilan puluh enam yen.” Saya lihat di dadanya sebelah kanan tersemat
label nama bertuliskan Chang. Saat tiba giliran saya, saya bertanya dalam Bahasa
Jepang, bagaimana Kasir Chang bisa berbahasa Indonesia. Dia menjawab, “Saya
orang Indonesia. Emm.. lebih tepatnya, keturunan Indonesia.” “Campuran?” Tanya saya.
Kasir Chang mengangguk. “Campuran mana?” Kasir Chang menjawab, “Indonesia dan
Taiwan.” Setelah saya menerima struk dan uang kembalian, saya berkata pada
Kasir Chang dalam Bahasa Indonesia, “Terima kasih.”
- - Mbak Aichi
Seorang perempuan Jepang membuka pintu
depan penginapan dan bertanya sesuatu kepada teman saya, yang dijawab dengan, “Sorry, I can’t speak Japanese.” Saya
kemudian bertanya ada apa, dan ia bertanya dimana ia bisa menemui Kousuke,
pemilik penginapan. Saya katakan bahwa Kousuke ada di lantai 4 atau ia akan
datang ke lantai 5 jika ada yang memencet bel di meja resepsionis. Tak lama,
mbak Aichi masuk lagi bersama Kousuke dan mendapat penjelasan mengenai beberapa
hal tentang penginapan, hal yang sama yang kami dapatkan ketika baru datang. Ternyata
Mbak Aichi merupakan tamu penginapan juga, ia mendapat tempat tidur di satu
dipan yang tersisa. Saat sedang menunggu giliran mandi, saya sempatkan
mengobrol dengan mbak Aichi. Sebenarnya saya tidak tahu siapa namanya—bahkan sampai
akhir percakapan saya juga tidak menanyakannnya—, namun karena ia berasal dari
Perfektur Aichi, marilah kita sebut dia dengan sebutan mbak Aichi. Saya
mengobrol cukup banyak dengannya—mulai dari untuk apa dia datang dari Aichi ke
Nara, bagaimana kisahnya menjadi seorang juru masak padahal ia mengambil
sekolah dengan keahlian membuat kimono dan tidak pernah mengambil kursus
memasak apapun, tradisi Obon yang membuat lokasi Obon jadi sangat padat, sampai
apakah saya dan teman-teman tidak kepanasan mengenakan pakaian yang tertutup di
tengah musim panas. Tentu saja saya tidak memahami semua perkataannya—dia berkata
dengan kecepatan yang luar biasa dan menggunakan kosakata yang tidak saya
mengerti—, namun beberapa yang saya ingat adalah: ia datang ke Nara demi
sebilah pisau seharga 25.000 yen yang sangat dia inginkan dan toko tempat pisau
tersebut dijual hanya ada di Nara; dan ia mengetahui hal-hal tentang Islam
dengan cukup baik—ia mengetahui bahwa Tuhan dalam Islam hanya ada satu dan
tidak ada yang menyerupai-Nya, bahwa perempuan muslim menutup kepalanya, dan
bahwa pemeluk Islam tidak boleh mengkonsumsi babi. Ketika saya ungkapkan bahwa
makanan yang paling ingin saya makan di Jepang adalah omurice, Mbak Aichi
menjawab dengan santai bahwa dengan demikian tidak ada omurice yang dapat saya
makan.
- - Kakek Berbahasa Inggris
Berbekal informasi dari petugas stasiun
bahwa kami bisa menuju Sumiyoshi Taisha dengan bis, kami naik bis dengan cukup
percaya diri. Kemudian saya baru ingat bahwa saya tidak menanyakan di halte
mana kami harus turun. Akhirnya saya bertanya kepada seorang nenek yang ternyata
juga tidak mengerti. Beliau malah bertanya pada seorang kakek yang duduk di
depannya. Si kakek juga tak mengerti, ia menyuruh saya bertanya langsung kepada
sopir. Setelah saya meminta tolong kepada sopir agar memberitahu nanti saat
kami harus turun, saya kembali duduk. Si kakek bertanya dalam Bahasa Inggris,
bagaimana kami memperoleh informasi mengenai Sumiyoshi Taisha. Awalnya saya
menjawab dalam Bahasa Jepang, namun pertanyaan-pertanyaan berikutnya ternyata juga
terlontar dalam Bahasa Inggris. Akhirnya kami bercakap-cakap dengan Bahasa inggris.
Yang cukup mengejutkan saya, pelafalan Kakek Berbahasa Inggris ini lebih baik
dari yang sering saya dengar. Tak jarang saya sampai harus terbengong beberapa
kali demi memahami apa yang dikatakan oleh petugas stasiun dalam Bahasa Inggris—saking
anehnya—, namun saya cukup sekali saja mendengar pertanyaan Kakek Berbahasa
Inggris seperti, “Where do you learn
Japanese?”, “Where will you go after
this?”, dan “Where are you from?”.
Kakek sungguh luar biasa! (dan saya agak
menyesal tidak bertanya bagaimana Bahasa Inggris si Kakek bisa sedemikian
baik).
- - Kakek Nishinari
Dengan informasi berupa nomor pintu-keluar
stasiun dan alamat, kami mencari penginapan yang sudah kami pesan di Osaka. Tepat
di pintu keluar, seorang kakek sedang duduk. Saya menyodorkan ponsel saya yang
berisi alamat penginapan sambil bertanya apakah beliau tahu lokasi tersebut. Si
kakek menggeleng, “Eigo wakaran. Saya
tidak mengerti Bahasa Inggris.” Lantas saya bacakan alamatnya, dan beliau
berkata, “Ini daerah Nishinari. Tapi saya tidak tahu tempat itu.” Setelah
mengucapkan terima kasih, perhatian saya dan teman-teman teralihkan oleh sebuah
mesin penjual minuman seharga 40 yen per botol—harga minuman termurah yang
pernah kami lihat adalah 100 yen, jadi kami cukup ndeso melihat harga 40 yen ini. “Apakah kalian mencari hotel?”
Kakek Nishinari kembali kepada kami. Saya mengangguk. “Apa nama hotelnya?”
setelah saya sebutkan, ia berkata, “kalau hotel itu, ia ada di situ.” Kakek
Nishinari menunjuk sebuah plang bertuliskan nama penginapan yang kami cari,
yang ternyata hanya berjarak 20 meter dari pintu keluar stasiun. Aha! Kakek
Nishinari, terima kasih!
Sebab orang-orang di atas, saya menjadi
cukup waras selama berada di sana. Meskipun saya hampir menangis selepas
dimarahi Kakek Sopir Galak, namun sepuluh menit kemudian saya bisa tersenyum
karena bertemu Kasir Chang. Tentang manusia-manusia, memang selalu ada-ada
saja.
15 Agustus 2015
Terlambat sehari untuk mengucapkan Selamat
Hari Pramuka!
0 comments:
Post a Comment