Monday, June 8, 2015

Selamat Berbahagia, Dien


"Cung, akhir Mei kamu ada acara nggak?"
"Mmm… Nggak ada kayaknya. Kenapa? Mau main ke Solo?"
"Hehe. InsyaAllah temenmu ini akan menggenapkan separuh diennya Cuung."

Saya masih ingat jelas percakapan via whatsapp tersebut, meskipun saya rutin mengosongkan riwayat percakapan—hape saya masih keluaran lama yang sering sekali memberi peringatan bahwa memori penuh kalau saya tak
menghapus riwayat percakapan.

Cung adalah panggilan kami berdua. Saya memanggil dia Cung, dia memanggil saya Cung. Untuk urusan ini, saya tidak terlalu ingat bagaimana awalnya dan apa asbabun nuzul-nya. Mungkin karena kami sama-sama berasal dari Jawa Timur. Saya Gresik, dia Malang (di daerah saya, ‘cung’ biasa digunakan untuk memanggil anak kecil). Dua kota (eh Gresik itu kabupaten ding, bukan kota) yang sangat berkebalikan dalam hal cuaca dan suhu udara, namun tidak berbeda jauh dalam hal bahasa. Karena logat yang sama-sama “lumayan kasar” itu, tak sulit bagi kami untuk berkomunikasi.

Perjumpaan kami sangat sederhana: kami satu kelompok ketika orientasi mahasiswa baru. Kalau bahasa di kampus kami: satu kelompok pas Dinamika. Setelah Dinamika usai, kami masih ditakdirkan bersama karena ternyata kami ada di kelas yang sama.

Sejak itu, tak terhitung berapa kali saya duduk sebangku, mengerjakan tugas, pergi ke suatu tempat, atau diskusi banyak hal dengannya. Namun begitu, meskipun sering belajar bersama, saya tak pernah bisa menyaingi keenceran otaknya. Saya yang memang dari sononya malas mikir dan bodoh ini, cuma manut sama buku. Kalau bukunya bilang A, ya A. Kalau bukunya bilang jurnalnya adalah Account Receivable pada Sales revenue, ya itulah yang saya ikuti. Tapi tidak dengannya. Ia selalu bertanya, kok jurnalnya begini padahal logikanya begitu, kok jumlahnya bisa sekian padahal seharusnya angka yang ini tidak dimasukkan dalam perhitungan, dan sebagainya. Dan lucunya, dia bertanya begitu pada saya. Kalau sudah begitu, saya hanya menjawab, "lha itu bukunya bilang begitu." Kemudian ia cuma diam dan cemberut. Esoknya, dia s
udah kembali dengan jawaban atas pertanyaannya.

Tak jarang saya mampir di kamar kosnya dan berlama-lama di sana. Cerita kami seakan tak pernah habis. Salah. Lebih tepatnya, ceritanya tak pernah habis. Ia, yang sanguinis dan aktif berorganisasi, memiliki banyak teman dan mengenal banyak orang. Jadwalnya selalu penuh. Seratus delapan puluh derajat berbeda dengan saya yang lebih sering di kosan dan cuma nonton drama Jepang ini. Dan seperti kebanyakan manusia sanguinis, ia sangat menyenangkan namun sedikit menyebalkan: tidak ingat hal-hal kecil namun manis, sebut saja macam tanggal ulang tahun. Jangankan ulang tahun saya—yang belum lama masuk di kehidupannya—, ulang tahun ayah, ibu, kakak, dan adiknya saja dia tak ingat.

Tahun-tahun berikutnya, kami tak pernah lagi sekelas. Ia bahkan pindah kos ke tempat yang lebih jauh. Namun toh kami masih sering belajar bersama—tentu saja ia yang mengajari saya. Kami juga tak putus keluar bersama. Seperti ketika saat itu kami berencana membeli kado untuk seorang sahabat kami, Dhiqi. Rencananya kami akan membeli kado di Taman Puring. Karena menggunakan angkutan umum adalah sesuatu yang tidak bersahabat dan sangat membuang waktu, kami putuskan untuk meminjam motor salah satu temannya. Kekhawatiran bahwa tidak ada di antara kami yang mengetahui jalan kami tepis dengan berpikir, toh nanti kami bisa mengekor metromini yang melewati Taman Puring. Bisa ditebak, perjalanan itu hanya berakhir dengan muter-muter entah di mana, sampai hari gelap dan saya terlalu takut untuk berkendara di Jakarta dengan motor pada malam hari. Akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Malam itu kami dan dua sahabat lain, Fika dan Ima, memberi kejutan pada the birthday boy, namun saya tidak ingat apa yang kami berikan sebagai kado.

Ketika sudah memasuki masa-masa bekerja, intensitas pertemuan kami menjadi jauh berkurang. Padahal cuma Kramat-Rawamangun alias Jakarta Pusat-Jakarta Timur, tapi rasanya itu sudah jauh sekali. Memang jarak bukan satu-satunya masalah. Audit sana-sini, pengajian rutin, dan bazar ini-itu yang diurusnya juga membuat jadwal akhir pekannya penuh, sehingga harus bertanya agendanya jauh-jauh hari agar bisa sekedar ngobrol ngalor ngidul atau pergi ke pameran buku.

Akhir Januari lalu, menjelang saya pindah ke Solo, kami berjanji untuk menyempatkan diri, bertemu di Thamrin City. Btw, saat itu saya sudah hampir tiga tahun di Jakarta namun belum pernah sekalipun pergi ke tempat tersebut. Tidak banyak yang saling kami ceritakan, lebih banyak malah cuma guyon yang tak jelas. Hanya sebuah pesan di akhir pertemuan tersebut: mari tetap saling berkabar.

Dan akhir Maret, itulah kabar darinya yang saya terima. Bahwa ia akan menikah di akhir Mei.

24 Mei 2015, saya datang ke Malang, menyaksikan senyum leganya setelah selesai ijab qabul, melihat ekspresi bahagianya saat menjalani prosesi adat di pelaminan, menertawai wajah malu-malunya saat bersuapan dengan suaminya, dan memandang wajahnya yang berkali-kali lipat lebih cantik dari biasanya. Hari itu ia menikah dengan seorang senior di kantor.

Ya ampun Cung, sejak lama kamu menggalaukan masalah jodoh dan ternyata jodohmu sudah di situ, duduk di ruangan yang sama denganmu, sejak tiga tahun lalu. Haha.

Selamat atas pernikahanmu, Dwi Maulid Diana. Selamat menjalani kehidupan yang sama sekali baru dengan suamimu Indra Pratama. Futari tomo itsumo shiawase ni naru you ni.



080615
Paling kiri adalah Dhiqi. Sahabat saya yang kerja di DJP tapi nggak pernah nraktir. Bye.

1 comment:

  1. CUUUNGG..nemu ini lagiii setelah beberapa kali kmrn bacaaa... hihihi.. kangeen yoo akuuhh.. tulisanmu ket jaman biyen wes apik..ngaliirr..gak koyok aku.. alay sampai isin buka blog maneh.hahaa

    ReplyDelete