Thursday, June 4, 2015

Sesuatu yang Tergantung di Paku di Pintu Kamar


Ada sesuatu yang tergantung di paku di pintu kamar kosku.

Pintu kamar kosku berwana coklat tua—warna standar untuk sebuah benda bernama pintu. Mulanya ia polos saja permukaannya, tidak ada stiker antikorupsi, stiker try out ujian, atau stiker bacalah basmalah. Hanya polos saja.

Beberapa hari pertama, aku masih tak menemukan masalah dengan pintu kamar kosku yang polos.

Sampai kemudian hujan turun dengan cukup luar biasa sehingga aku harus mengenakan mantel hujan sepulang dari kantor.  Ketika aku sampai di kos dan melepas mantel, muncullah masalah tersebut: di mana aku harus meletakkan mantel ini sampai ia kering? Aku tidak mungkin membawanya masuk ke dalam kamar karena aku tak mau kamarku basah. Aku tidak bisa menjemurnya di luar karena tempat jemuran di rumah kos ini adalah sebuah tempat lapang yang terbuka tanpa atap, yang tentu saja juga ikut ketumpahan air hujan. Aku juga tidak bisa meletakkannya begitu saja di depan kamar, karena bisa jadi ia tidak kunjung kering dan malah meninggalkan bau apek yang sangat kubenci.

Kemudian tiba-tiba aku teringat pada seikat paku yang kuletakkan di bawah jendela—aku tak ingat untuk apa menyimpan seikat paku di sana, namun aku tak pernah berkeinginan untuk membuangnya, siapa tahu ia jadi berguna seperti saat ini. Lantas aku mencari sesuatu yang padat, berat, dan tidak mudah hancur—aku teringat pada batu yang ada di pinggir tempat jemuran, yang aku juga tak pernah tahu siapa yang meletakkannya di situ dan mengapa tak pernah ada yang membuang batu tersebut.

Aku memaku pintu kamar kosku. Mantelku kupasangkan pada gantungan baju, kemudian kugantung di paku di pintu kamar kosku.

Sejak saat itu, pintu kamar kosku tidak polos lagi. Memang tetap tidak ada stiker apapun, namun telah ada sebuah paku yang menancap di tengah-tengahnya.

Bagiku, keberadaan paku di pintu kamar itu sangat bermanfaat. Tadi sudah kusebutkan bahwa ia bisa membuat mantelku menjadi kering dengan menggantungnya di sana. Kadang, ketika teman kosku telah kembali dari luar kota atau apa, mereka meletakkan sekotak bakpia, sekotak pie susu, sebungkus kuku macan, seplastik kue sagu, dua buah bros, atau sebutir apel di dalam plastik dan menggantungnya di sana. Tak jarang, ketika mereka baru pulang malam hari dan malam itu aku tidur cepat, maka ketika pagi harinya aku akan menemukan sebuah kejutan kecil yang indah dan cukup membahagiakan dengan kehadiran barang-barang tadi.

Kadang juga, kalau aku terlalu malas bertemu atau bicara dengan siapapun dan pergi ke manapun sementara perutku sedang lapar, aku melakukan ini: memanfaatkan layanan antar makanan dari sebuah kafe di dekat kosku yang bisa dilakukan cukup dengan SMS—tidak perlu telepon, karena aku sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun. Nanti mereka akan masuk ke dalam kos, menghampiri kamarku, mengambil uang pas yang kuletakkan dalam sebuah plastik bening dan kugantung di paku di pintu kamar, lalu sebagai gantinya mereka akan menggantung makanan atau minuman—atau keduanya—yang kupesan di pintu kamar.

Di lain waktu, aku sedang ingin menyenangkan diri sendiri dengan mendengarkan musik keras-keras melalui headphone. Dan orang yang mendengarkan musik melalui headphone dengan volume keras, mustahil dia akan diam saja. Mayoritas orang-orang itu akan ikut bernyanyi—meskipun mereka tahu suara mereka tidak cukup indah untuk didengarkan—dengan suara keras. Bahkan mungkin jika ada rombongan geng motor lewat dengan menyalak-nyalakkan motor mereka, niscaya para pengguna headphone tadi tidak akan mendengar apapun selain suara musik yang mereka setel. Begitu pun aku: ikut menyanyikan lagu Bokura no Eien milik band asal Jepang, Weaver, keras-keras, tak mau kalah dengan suara Yuji sang vokalis. Paginya, aku menemukan buku kumpulan cerpenku yang kupinjamkan pada salah satu teman kosku sudah tergantung dalam kantong plastik di pintu kamarku dengan kondisi terlipat sebab sudah semalaman di sana. Aku tak bisa marah pada teman kosku karena kurasa itu juga salahku yang terlalu asyik sendiri.

Kejutan-kejutan kecil yang silih berganti mampir kepadaku melalui paku di pintu kamar membuat hidupku menjadi lebih berwarna. Ketika bangun tidur, aku sering menerka-nerka apakah akan ada sesuatu yang tergantung di pintu kamarku. Apaagi jika malam sebelumnya aku tidur cepat, maka aku bisa menghabiskan beberapa menit untuk menerka-nerka hal yang belum pasti itu—baiklah, kuakui aku memang senang pada hal remeh-temeh macam itu.

Atau jika aku sedang pulang dari kantor, di atas motor aku sering membayangkan aku akan menemukan sesuatu di pintu kamarku. Lebih-lebih jika aku tahu bahwa beberapa hari sebelumnya ada temanku yang pergi ke luar kota, maka lamunanku bisa semakin menjadi-jadi. Terkadang apa yang kubayangkan bisa benar-benar terjadi, namun beberapa kali juga ia meleset.

Seperti ketika Duma, temanku di kamar paling pojok, kembali dari Balikpapan. Sehari setelahnya, ketika pulang, aku membayangkan seplastik besar kuku macan akan mampir di pintu kamarku, menungguku dengan sabar. Dan ketika aku pulang, memanglah ia sudah berada di sana. Langsung aku berlari ke kamar Duma dan berterima kasih atas dirinya yang sudah repot-repot mengisi tasnya dengan seplastik besar penganan kesukaanku itu.

Karena kejutan-kejutan yang juga bisa kutemui sepulang kantor itulah, aku seringkali mendapati diriku mengendap-endap masuk kos. Kamarku terletak di ujung, setelah belokan lorong pertama. Dari lorong, aku akan berjalan pelan-pelan, kemudian dengan lebih pelan lagi aku mengintip melalui lorong, untuk melihat apakah ada kejutan untukku di hari itu atau tidak.

Jika aku melihat sesuatu tergantung di pintu kamarku, aku langsung berteriak senang dan berlari ke arah kamarku, meskipun aku tak tahu apa yang digantung disana. Namun jika tak ada apapun, aku berjalan biasa saja ke kamar, melepas sepatu, dan masuk kamar.

***

Kemarin seorang teman kosku baru saja kembali dari Medan. Kupikir tak terlalu berlebihan jika aku membayangkan ketika aku pulang nanti aku bisa menikmati sepotog dua-potong bolu keju yang lezat itu. Atau alih-alih sepotong bolu, tidak tertutup juga kemungkinan bahwa aku akan menemukan selembar kertas yang ditempel di pintu, bertuliskan: ada pancake durian di kulkas, silakan ambil. 

Kalau benar ada tulisan seperti itu nanti, maka hari ini aku menjadi manusia paling bahagia di muka bumi karena tadi siang aku sudah meneguk segelas besar es durian di kedai dekat kantor—aku memang penyuka durian.

Seperti biasa, aku mengendap-endap  dari lorong sebelum belokan menuju kamarku. Ketika kuintip, aku melihat ada sesuatu tergantung di pintu kamarku.
“Ah, mungkin aku benar-benar bisa membuka stan ramalan di sebuah pasar malam kalau tebakanku sering tepat begini.” Pikirku.

Namun entah mengapa hari itu aku tidak berteriak, aku hanya berlari menuju kamarku demi mengambil apa yang tergantung di pintu.

Sebuah undangan pernikahan.

Tertulis nama teman kosku yang baru kembali dari Medan itu, dan nama seorang laki-laki yang tidak kuketahui.

Kubuka undangan tersebut untuk melihat tanggal berapa aku bisa menghadiri pernikahannya. Namun ternyata mataku lebih tertarik pada nama mempelai prianya.

Di situ ada satu nama lengkap yang sangat kukenal—bertolak belakang dengan nama pendek yang asing di amplop undangan. Nama orang tuanya juga. Asal daerahnya juga. Aku pernah kesini! Aku bahkan pernah diajak menginap di rumah itu dan mengobrol banyak dengan orang tuanya!

Aku memasang headphone, menyalakan lagu dengan volume maksimal, kemudian mengambil paku di bawah jendela kamar dan batu di tempat jemuran, pergi ke kamar teman kosku yang akan menikah tersebut, dan lantas memenuhi pintu kamarnya dengan paku. Rasanya seperti memaku tubuh temanku itu.

Tidak kudengar suara batu yang bertemu dengan paku berulang-ulang. Yang kudengar hanyalah suara Yuji, vokalis Weaver, yang menyanyikan lagu Kanseitou.

Dua minggu lagi kekasihku akan menikah dengan teman kosku ini.



280515

0 comments:

Post a Comment