Ada sesuatu yang
tergantung di paku di pintu kamar kosku.
Pintu kamar kosku
berwana coklat tua—warna standar untuk sebuah benda bernama pintu. Mulanya ia
polos saja permukaannya, tidak ada stiker antikorupsi, stiker try out ujian, atau stiker bacalah
basmalah. Hanya polos saja.
Beberapa hari pertama,
aku masih tak menemukan masalah dengan pintu kamar kosku yang polos.
Sampai kemudian hujan
turun dengan cukup luar biasa sehingga aku harus mengenakan mantel hujan
sepulang dari kantor. Ketika aku sampai
di kos dan melepas mantel, muncullah masalah tersebut: di mana aku harus
meletakkan mantel ini sampai ia kering? Aku tidak mungkin membawanya masuk ke
dalam kamar karena aku tak mau kamarku basah. Aku tidak bisa menjemurnya di
luar karena tempat jemuran di rumah kos ini adalah sebuah tempat lapang yang terbuka
tanpa atap, yang tentu saja juga ikut ketumpahan air hujan. Aku juga tidak bisa
meletakkannya begitu saja di depan kamar, karena bisa jadi ia tidak kunjung
kering dan malah meninggalkan bau apek yang sangat kubenci.
Kemudian tiba-tiba aku
teringat pada seikat paku yang kuletakkan di bawah jendela—aku tak ingat untuk
apa menyimpan seikat paku di sana, namun aku tak pernah berkeinginan untuk
membuangnya, siapa tahu ia jadi berguna seperti saat ini. Lantas aku mencari
sesuatu yang padat, berat, dan tidak mudah hancur—aku teringat pada batu yang
ada di pinggir tempat jemuran, yang aku juga tak pernah tahu siapa yang
meletakkannya di situ dan mengapa tak pernah ada yang membuang batu tersebut.
Aku memaku pintu kamar
kosku. Mantelku kupasangkan pada gantungan baju, kemudian kugantung di paku di
pintu kamar kosku.
Sejak saat itu, pintu
kamar kosku tidak polos lagi. Memang tetap tidak ada stiker apapun, namun telah
ada sebuah paku yang menancap di tengah-tengahnya.
Bagiku, keberadaan paku
di pintu kamar itu sangat bermanfaat. Tadi sudah kusebutkan bahwa ia bisa
membuat mantelku menjadi kering dengan menggantungnya di sana. Kadang, ketika
teman kosku telah kembali dari luar kota atau apa, mereka meletakkan sekotak
bakpia, sekotak pie susu, sebungkus kuku macan, seplastik kue sagu, dua buah
bros, atau sebutir apel di dalam plastik dan menggantungnya di sana. Tak jarang,
ketika mereka baru pulang malam hari dan malam itu aku tidur cepat, maka ketika
pagi harinya aku akan menemukan sebuah kejutan kecil yang indah dan cukup
membahagiakan dengan kehadiran barang-barang tadi.
Kadang juga, kalau aku
terlalu malas bertemu atau bicara dengan siapapun dan pergi ke manapun
sementara perutku sedang lapar, aku melakukan ini: memanfaatkan layanan antar
makanan dari sebuah kafe di dekat kosku yang bisa dilakukan cukup dengan SMS—tidak
perlu telepon, karena aku sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun. Nanti
mereka akan masuk ke dalam kos, menghampiri kamarku, mengambil uang pas yang
kuletakkan dalam sebuah plastik bening dan kugantung di paku di pintu kamar,
lalu sebagai gantinya mereka akan menggantung makanan atau minuman—atau
keduanya—yang kupesan di pintu kamar.
Di lain waktu, aku
sedang ingin menyenangkan diri sendiri dengan mendengarkan musik keras-keras
melalui headphone. Dan orang yang
mendengarkan musik melalui headphone
dengan volume keras, mustahil dia akan diam saja. Mayoritas orang-orang itu
akan ikut bernyanyi—meskipun mereka tahu suara mereka tidak cukup indah untuk
didengarkan—dengan suara keras. Bahkan mungkin jika ada rombongan geng motor
lewat dengan menyalak-nyalakkan motor mereka, niscaya para pengguna headphone tadi tidak akan mendengar
apapun selain suara musik yang mereka setel. Begitu pun aku: ikut menyanyikan
lagu Bokura no Eien milik band asal Jepang, Weaver, keras-keras, tak mau kalah
dengan suara Yuji sang vokalis. Paginya, aku menemukan buku kumpulan cerpenku
yang kupinjamkan pada salah satu teman kosku sudah tergantung dalam kantong plastik
di pintu kamarku dengan kondisi terlipat sebab sudah semalaman di sana. Aku tak
bisa marah pada teman kosku karena kurasa itu juga salahku yang terlalu asyik
sendiri.
Kejutan-kejutan kecil
yang silih berganti mampir kepadaku melalui paku di pintu kamar membuat hidupku
menjadi lebih berwarna. Ketika bangun tidur, aku sering menerka-nerka apakah akan
ada sesuatu yang tergantung di pintu kamarku. Apaagi jika malam sebelumnya aku
tidur cepat, maka aku bisa menghabiskan beberapa menit untuk menerka-nerka hal
yang belum pasti itu—baiklah, kuakui aku memang senang pada hal remeh-temeh
macam itu.
Atau jika aku sedang
pulang dari kantor, di atas motor aku sering membayangkan aku akan menemukan
sesuatu di pintu kamarku. Lebih-lebih jika aku tahu bahwa beberapa hari
sebelumnya ada temanku yang pergi ke luar kota, maka lamunanku bisa semakin
menjadi-jadi. Terkadang apa yang kubayangkan bisa benar-benar terjadi, namun
beberapa kali juga ia meleset.
Seperti ketika Duma,
temanku di kamar paling pojok, kembali dari Balikpapan. Sehari setelahnya,
ketika pulang, aku membayangkan seplastik besar kuku macan akan mampir di pintu
kamarku, menungguku dengan sabar. Dan ketika aku pulang, memanglah ia sudah
berada di sana. Langsung aku berlari ke kamar Duma dan berterima kasih atas
dirinya yang sudah repot-repot mengisi tasnya dengan seplastik besar penganan
kesukaanku itu.
Karena kejutan-kejutan
yang juga bisa kutemui sepulang kantor itulah, aku seringkali mendapati diriku
mengendap-endap masuk kos. Kamarku terletak di ujung, setelah belokan lorong
pertama. Dari lorong, aku akan berjalan pelan-pelan, kemudian dengan lebih
pelan lagi aku mengintip melalui lorong, untuk melihat apakah ada kejutan
untukku di hari itu atau tidak.
Jika aku melihat
sesuatu tergantung di pintu kamarku, aku langsung berteriak senang dan berlari
ke arah kamarku, meskipun aku tak tahu apa yang digantung disana. Namun jika
tak ada apapun, aku berjalan biasa saja ke kamar, melepas sepatu, dan masuk
kamar.
***
Kemarin seorang teman
kosku baru saja kembali dari Medan. Kupikir tak terlalu berlebihan jika aku
membayangkan ketika aku pulang nanti aku bisa menikmati sepotog dua-potong bolu
keju yang lezat itu. Atau alih-alih sepotong bolu, tidak tertutup juga kemungkinan
bahwa aku akan menemukan selembar kertas yang ditempel di pintu, bertuliskan:
ada pancake durian di kulkas, silakan ambil.
Kalau benar ada tulisan seperti
itu nanti, maka hari ini aku menjadi manusia paling bahagia di muka bumi karena
tadi siang aku sudah meneguk segelas besar es durian di kedai dekat kantor—aku
memang penyuka durian.
Seperti biasa, aku
mengendap-endap dari lorong sebelum
belokan menuju kamarku. Ketika kuintip, aku melihat ada sesuatu tergantung di
pintu kamarku.
“Ah, mungkin aku benar-benar
bisa membuka stan ramalan di sebuah pasar malam kalau tebakanku sering tepat
begini.” Pikirku.
Namun entah mengapa hari
itu aku tidak berteriak, aku hanya berlari menuju kamarku demi mengambil apa
yang tergantung di pintu.
Sebuah undangan
pernikahan.
Tertulis nama teman
kosku yang baru kembali dari Medan itu, dan nama seorang laki-laki yang tidak
kuketahui.
Kubuka undangan
tersebut untuk melihat tanggal berapa aku bisa menghadiri pernikahannya. Namun
ternyata mataku lebih tertarik pada nama mempelai prianya.
Di situ ada satu nama lengkap
yang sangat kukenal—bertolak belakang dengan nama pendek yang asing di amplop
undangan. Nama orang tuanya juga. Asal daerahnya juga. Aku pernah kesini! Aku
bahkan pernah diajak menginap di rumah itu dan mengobrol banyak dengan orang
tuanya!
Aku memasang headphone, menyalakan lagu dengan volume
maksimal, kemudian mengambil paku di bawah jendela kamar dan batu di tempat
jemuran, pergi ke kamar teman kosku yang akan menikah tersebut, dan lantas memenuhi
pintu kamarnya dengan paku. Rasanya seperti memaku tubuh temanku itu.
Tidak kudengar suara
batu yang bertemu dengan paku berulang-ulang. Yang kudengar hanyalah suara
Yuji, vokalis Weaver, yang menyanyikan lagu Kanseitou.
Dua minggu lagi kekasihku
akan menikah dengan teman kosku ini.
280515
0 comments:
Post a Comment