Kisah
ganjil—baik yang benar-benar ganjil maupun yang sepertinya ganjil—selalu ada dalam setiap buku cerita. Selalu ada.
Setidaknya satu. Sebanyak-banyaknya dapatlah dikatakan ada tiga kisah. Kalau
lebih dari tiga, maka buku itulah yang ganjil—atau sepertinya ganjil.
Seorang
anak kecil bertemu dengan malaikat. Bocah yang sangat menyayangi ayahnya itu
pergi mengendap-endap dari rumah menuju sebuah tempat di ujung kota demi
bertemu malaikat. Berdasarkan cerita yang sering diulang-ulang oleh ayahnya, di
tempat itu ia dapat bertemu malaikat dan meminta apapun yang ia ingin, namun
tentu saja bukan hal remeh macam mainan atau permen. Ketika ayahnya sedang
tertidur—mungkin akibat obat yang baru saja diminum, ia menemui malaikat dan
menyampaikan permohonannya: angkatlah penyakit ayahnya, sembuhkanlah, dan
timpakanlah penyakit itu pada ibunya yang entah berada di mana sebab pergi
bersama laki-laki lain, meninggalkan ia dan ayahnya—yang entah sakit apa sejak
dua tahun lalu, bahkan dokter mana pun tak ada yang tahu penyakit apa yang
menjangkiti ayahnya.
Kisah
ganjil mengenai pertemuan dengan malaikat itu
saya baca beberapa waktu lalu, di sebuah sobekan kertas bekas rujak yang
saya beli di tukang rujak di pinggir komplek. Ketika itu saya sedang
kekenyangan setelah melahap rujak—rujak yang saya bicarakan di sini adalah
rujak cingur, makanan kegemaran saya nomor dua setelah gado-gado—, dan iseng
saya ambil kertas alasnya—yang saya tebak pasti berasal dari sebuah buku karena
ada nomor halaman di ujung bawah—, saya buang kertas nasinya. Di situlah sebuah
kisah berjudul Bertemu Malaikat pertama kali saya baca.
Kisah
Bertemu Malaikat itu ganjil, tentu saja menurut saya. Menurut orang lain, bisa
saja tidak. Mungkin saja bagi orang lain, yang disebut kisah ganjil adalah kisah
mengenai sepasang sepatu di etalase sebuah toko bermerek yang sedang
bercakap-cakap mengenai nasib mereka: hanya dipandangi dari luar dengan tatapan
mata yang seringkali susah ditebak apa artinya oleh sebagian besar orang—karena
mereka terlalu saying jika harus membeli sepatu yang senilai dengan gaji
sebulan—yang kemudian beberapa hari atau minggu kemudian posisi mereka akan
tergeser, tergantikan oleh sepatu-sepatu lain yang juga tak kalah menawan namun
tetap hanya dipandangi saja oleh sebagian besar orang-orang yang lewat di depan
toko. Sepasang sepatu itu, dan teman-temannya, meskipun merasa bahwa mereka
adalah yang paling indah dan menarik, ternyata tak lebih hanya berperan sebagai
penghias etalase.
Menurut
saya yang hobi membacanya pas-pasan ini—omong-omong, bolehkah saya menyebut
sesuatu yang saya sukai dengan kadar pas-pasan sebagai hobi?—, kisah Bertemu
Malaikat menjadi ganjil lantaran saya baru pertama kali membaca kisah seperti
itu. Itu sebab pertama. Sebab kedua adalah, karena saya sendiri belum pernah
bertemu dengan malaikat.
Saya
percaya bahwa malaikat itu ada. Mungkin lantaran sejak kecil saya sudah pergi
langgar dan belajar mengaji pada ustad setiap sore. Di langgar, saya diajari
banyak hal, termasuk tentang malaikat itu. Bahwa saya harus mempercayainya. Dan
entah mengapa, meskipun ada beberapa hal yang begitu saya percayai ketika kecil
namun ketika saya dewasa saya tak lagi meyakininya, tetapi masalah malaikat ini
lain. Sampai sekarang, saya percaya bahwa malaikat itu ada.
Namun
sama seperti saya percaya bahwa udara itu ada meskipun saya tak bisa melihat
wujudnya, saya pun percaya akan keberadaan malaikat meskipun saya belum pernah
bertemu dengan malaikat. Sebab saya belum pernah bertemu, maka saya menganggap
ganjil kisah Bertemu Malaikat itu.
***
Siang
ini, meskipun matahari bersinar dengan sangat terang—pakaian yang saya jemur
bahkan bisa kering hanya dalam waktu dua jam, dan ini adalah rekor bagi
saya—namun udara tidak terlalu panas. Biasanya di bulan Juni begini, kipas
angin tidak pernah mati di siang hari. Namun beberapa hari terakhir, saya sampai
merasa bahwa kipas angin itu hanya sebuah benda pajangan di atas meja. Saya tak
pernah lagi menghidupkannya.
Namun
bagi saya, udara yang tidak panas ini terasa ganjil. Sama ganjilnya dengan
kisah Bertemu Malaikat. Namun kali ini, saya tak tahu apa alasan konkretnya.
Saya hanya merasa bahwa ada yang
ganjil dengan udara beberapa hari terakhir.
Rasa-rasanya
ini pertama kalinya dalam hidup saya, udara menjadi seperti ini di musin
kemarau. Rasa-rasanya juga, ini terjadi setelah saya membaca kisah Bertemu
Malaikat. Bisa saja toh, karena saya merasa kisah itu ganjil, kemudian ada
malaikat yang tidak terima lantas ingin semacam
mengerjai saya.
***
Adik
saya berteriak dari depan, katanya ada seseorang mencari saya. Selepas berkata
demikian, ia langsung kabur entah kemana. Mungkin sudah ditunggu kawan-kawannya
untuk ngopi di warung pojok jalan
seperti biasa.
Tamu
saya kali ini adalah seorang laki-laki. Tubuhnya tinggi, tidak begitu besar,
namun kokoh. Mungkin ia rajin berolahraga. Pipinya agak tirus, ada jambang
tipis yang sepertinya lantaran baru dicukur, serta rambut pendek yang hitam
lebat. Saya tidak mengenal wajahnya, dan
ketika ia menyebutkan namanya, saya juga rasanya tidak pernah memiliki ingatan
sedikitpun mengenai nama tersebut. Namun saya persilahkan juga ia masuk, karena
katanya ia mengenal saya. Selain itu, ia bilang ada yang perlu dibicarakan, dan
itu akan memakan banyak waktu sehingga saya akan kasihan jika lututnya nanti
gemetar sebab terlalu lama berdiri.
Toh
kalaupun di tengah percakapannya nanti saya menemukan ada yang ganjil, atau ia
orang yang ganjil, saya bisa pura-pura masuk untuk mengambilkan penganan dan
kembali ke ruang tamu dengan membawa senapan angin yang saya gantung di ruang
tengah dekat dapur.
Ia
mulai bercerita dengan mimik serius. “Saya adalah malaikat.” Katanya.
Ya
Tuhan, saya sedang berhadapan dengan orang ganjil. Jika dalam satu menit dia
masih begini, saya akan mengusirnya secara halus. Kalau cara itu tidak mempan,
maka saya akan menggunakan cara tadi, yaitu pura-pura masuk mengambilkan
penganan.
“Jangan
mengusir saya ataupun pura-pura masuk untuk mengambilkan penganan.” Lanjutnya
cepat, yang membuat saya kaget dan sejenak tidak bisa berpikir bagaimana dia
bisa tahu apa yang akan saya lakukan.
“Saya
malaikat,” ulangnya, “dan ini tidak ganjil. Banyak yang sebenarnya sudah
bertemu dengan malaikat, hanya saja mereka tidak pernah menceritakannya kepada
orang lain.”
Saya
tidak tahu apakah harus mempercayai omongan dia atau tidak. Saya bahkan tidak
tahu harus bereaksi seperti apa atas tiap kata yang ia keluarkan dari mulutnya.
Saya percaya bahwa malaikat itu ada, namun saya tidak percaya bahwa orang di
depan saya adalah malaikat.
“Silakan
jika Anda tidak percaya apa yang saya katakan.”
Saya
memilih untuk mengangguk saja sebagai respon atas perkataannya.
“Begini
saja,” akhirnya saya bersuara juga. Saya sendiri kaget bahwa saya akhirnya
berkata-kata juga, namun sepertinya mulut saya bekerja lebih cepat daripada
otak saya—meskipun saya ragu apakah hal tersebut bisa terjadi.
“Bagaimana
saya bisa percaya bahwa Anda adalah malaikat?” Tanya saya.
Orang
di depan saya tidak mengubah posisi duduknya. Ia hanya memutar-mutar
pergelangan tangannya sebentar.
“Nanti
ketika adik Anda pulang ke rumah, ia akan mendapati bahwa luka di kakinya yang
terkena pecahan kaca beberapa waktu lalu telah sembuh.”
Saya
hanya diam. Kejadian itu menimpa adik saya beberapa waktu lalu, semestinya
memang sekarang sudah cukup membaik kondisinya. Lagipula luka itu seingat saya
tidak terlalu parah, kalaupun sembuh mungkin hanya menimbulkan bekas.
Ketika
saya tersadar, di depan pintu sudah ada adik saya. Saya bahkan tidak menyadari
sejak kapan ia ada di situ.
“Luka
saya tiba-tiba sembuh kak. Bahkan tak ada bekas sama sekali.” Katanya datar.
Saya bingung dengan ekspresinya, ia memang tipe orang yang tidak terlalu baik
dalam menampilkan ekspresi wajahnya.
Saya
melihat kakinya. Tak ada bekas apapun di situ. Seakan-akan insiden ia terkena
pecahan kaca karena ia lengah saat mengelap kaca jendela bongkar pasang dan
kaca itu meluncur dengan suksesnya ke kakinya adalah hal yang tidak pernah
terjadi.
Saya
menyuruh adik saya masuk.
“Jadi
untuk apa Anda kesini?” Saya bertanya pada orang di depan saya, yang mengaku
malaikat.
“Saya
hanya ingin mengabarkan bahwa jatah waktu anda di dunia tidak akan lama. Nanti
sore anda akan meninggalkan keluarga dan dunia ini.” Tidak ada intonasi dalam
suaranya.
Saya
mencoba tetap tenang. “Bagaimana cara saya akan mati nanti sore?”
“Terpeleset
lalu terjatuh.” Singkat.
Sepertinya
saya akan mati konyol karena keteledoran saya.
Setelah
orang yang mengaku malaikat tadi pamit, saya sebenarnya masih tidak tahu harus
bagaimana. Saya tidak percaya perkataannya, tapi fakta bahwa luka adik saya
sembuh sama sekali juga cukup mengganggu pikiran saya.
Baiklah,
pikir saya. Saya hanya cukup membuktikan apakah perkatannya benar atau tidak.
Kalau saya akan mati karena terpeleset lalu terjatuh, saya cukup berhati-hati
melangkah agar tidak terpeleset. Dengan begitu, saya bisa tahu apakah ucapannya
benar atau tidak, termasuk mengenai apakah ia benar-benar malaikat atau bukan.
***
Baru
saja saya tidak menyadari bahwa ada sesuatu di sekitar pagar depan rumah.
Ketika saya mendorong pagar, kaki saya menginjak sesuatu yang ternyata tumpahan
minyak—entah minyak apa—tersebut, saya oleng, dan terpeleset. Terjatuh. Lalu
gelap.
Bertemu
Malaikat bukan lagi sebuah kisah ganjil bagi saya.
290515
0 comments:
Post a Comment