Tuesday, March 27, 2012

Perbandingan (Mazhab) Diri


Don’t compare yourself with others, compare yourself with the person from yesterday.

Saya baca tulisan di atas beberapa hari lalu di linimasa twitter. Pas pertama kali baca, saya merasa ada yang janggal. Jadilah saya tulis tuh kalimat. Sayangnya saya lupa menyalin juga siapa yang ngetwit.

Terlepas dari siapapun yang ngetwit, saya ingin mengutarakan pendapat saya mengenai kalimat tersebut.

Tapi saya terjemahin dulu deh ke bahasa Jepang Indonesia biar kelihatan kalau kita cinta bahasa Indonesia.

Kira-kira artinya begini: Jangan membandingkan dirimu dengan orang lain, bandingkan dirimu dengan orang dari hari kemarin.

Eh bener nggak sih terjemahan Indonesianya gitu?

Yosh. Kita mulai.

 
Compare Yourself with the Person from Yesterday

Saya setuju dengan frase compare yourself with the person from yesterday. Kesetujuan saya ini tingkatnya 100% loh!

Frase itu kan gampangnya begini: membandingkan diri sendiri versi hari ini dengan diri sendiri yang versi kemarin. Nah sekarang pertanyaannya: kenapa harus dibandingkan?

Karena dengan membandingkan, maka kita akan tahu, apakah telah terjadi peningkatan atau penurunan kualitas diri.

Kalau peningkatan kualitas? Tentu itu adalah sesuatu yang patut disyukuri, karena berarti diri kita menjadi lebih baik daripada kemarin. Tapi kalau terjadi penurunan kualitas? Aduh, jangan sampai deh. Penurunan kualitas diri berarti hari ini diri kita sama saja atau malah lebih buruk dari yang kemarin. Ini adalah sesuatu yang harus dihindari. Jangan sampai lah semakin hari bukan peningkatan kualitas yang terjadi, tapi malah penurunan kualitas.

Ini sejalan dengan hadist Rasulullah saw, bahwa orang yang beruntung adalah orang yang hari ini lebih baik dari kemarin.

Lantas, apa yang harus dilakukan supaya ada peningkatan kualitas diri ketika kita melakukan pembandingan diri antara hari ini dan kemarin?

Kalau menurut saya sih, jawabnya sesederhana ini: selalu berpikir untuk menjadi manusia yang lebih bermanfaat.

Kalau dijabarkan, jawaban pendek tadi bisa jadi panjang loh!
1. Kenapa ada frase ‘selalu berpikir’?
Iya, kenapa frase itu muncul? Kenapa harus ‘berpikir’? Kenapa bukan yang lain?
Karena segala sesuatunya bersumber dari pikiran. Pikiran adalah sebab, kenyataan adalah akibat.
Contoh gampangnya nih. Ketika pelajaran olahraga di sekolah, guru meminta kita berlari 3 kilometer. Jika mendengar ‘3 kilometer’ lantas muncul pikiran, “What? Itu kan jauh bangeeeet. Pasti capek banget tuh. Bisa pingsan tengah jalan kalo gini caranya,”, maka yang akan terjadi ya apa yang dipikirkan tadi. Maka hasilnya, ketika berlari, benar-benar rasanya jadi jauh, capek, dan beneran bisa pingsan.
Coba tanya pada kawan yang sampai di garis finish pertama kali, apa yang dia rasakan selama berlari. Kemungkinan besar dia akan menjawab senang, itu bukan jarak yang jauh, pasti bisa sampai di garis finish pertama kali, dan jawaban positif lainnya.
Intinya adalah, berpikir positif dapat membuat hal-hal positif terjadi pada diri kita juga. Kalau mau cari referensi lebih lengkap tentang pikiran adalah sebab, kenyataan adalah akibat, silakan. Banyak kok ahli yang menyatakan hal tersebut. Ini berkaitan dengan pikiran bawah sadar juga, jadi bisa panjang banget kalau dijelasin di sini. Karena panjang, saya nggak mau jelasin. Cari referensi dari yang ahli aja yaaaa :D
Nah jadi, kalau kita berpikir bahwa kita akan menjadi manusia yang bermanfaat, maka insya Allah kita beneran bermanfaat.
2. Kenapa jadi manusia yang bermanfaat? Kenapa bukan ‘berpikir untuk jadi lebih baik’?
Ini juga simpel sih. Tapi kayaknya panjang juga. Hahaha
Pertama, kita merujuk pada hadist Rasulullah saw. Kata Rasul, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Tentu kita ingin masuk golongan ‘sebaik-baik manusia’ kan? Maka dari itu, kita harus jadi orang yang bermanfaat.
Kedua. Kata ‘bermanfaat’ itu cakupannya lebih luas daripada ‘lebih baik’, tapi lebih terarah. Maksudnya gini. Bermanfaat itu secara tidak langsung mengandung makna menjadi lebih baik. Kenapa? Karena untuk menjadi seorang yang bermanfaat, kita harus punya sesuatu untuk diberikan kepada orang lain kan? Entah materi, ilmu, tenaga, dan sebagainya. Mari kita ambil beberapa contoh. Misal kita ingin bermanfaat dengan harta kita. Ini berarti semakin banyak harta yang dikeluarkan untuk orang lain. Kalau ingin semakin banyak yang keluar, berarti yang masuk juga harus makin banyak, dong. Nah, di sini terjadi peningkatan kualitas diri.
Contoh lain. Misal kita ingin ilmu kita bermanfaat, jadi kita mengajar di sana-sini. Modalnya saja ilmu, berarti untuk bisa lebih bermanfaat maka kita harus meng-up grade ilmu tersebut dong? Masa zaman makin maju ilmunya nggak nambah-nambah. Nah, di sini juga terjadi peningkatan kualitas diri.
Ketiga. ‘Bermanfaat’ mengandung dimensi hubungan horizontal dengan makhluk lain, sedangkan ‘lebih baik’ cenderung menunjuk hanya pada diri sendiri.
Ini agak ribet, tapi nggak juga sih. Gini. Saya sudah bilang kan kalau bermanfaat itu lebih luas maknanya? Nah. Kalau lebih baik, peningkatan kualitas diri hanya mandek disitu saja. Nggak ke mana-mana. Kalau bermanfaat, ada peningkatan kualitas diri, dan peningkatan tersebut juga dibagi ke yang lain. Jadi nilai tambah diri kita bukan kita doang yang menikmati. Ada pihak lain juga. Siapa? Ya relatif. Intinya, bermanfaat berarti kita menjadi lebih baik DAN kebaikan tersebut tersebar ke pihak lain.

Sekian urun rembug pikiran saya tentang frase compare your self with the person from yesterday.

Ya ampun, ternyata baru satu frase. Frase satunya belum. Kenapa jadi panjang gini yak?

Baiklah, sekarang masuk ke frase don’t compare yourself with others.



 

(Don’t) Compare Yourself with Others
Di sinilah letak kejanggalannya. Maka dari itu, kalau tadi saya setuju 100% dengan compare yourself with the person from yesterday, sekarang saya nggak setuju 100% nih sama don’t compare yourself with others.


Kok bisa janggal?


Iya, soalnya seakan-akan kita nggak boleh membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Ini kan bahaya.
Mari ambil contoh lagi yang gampang. Misal saya akan ikut lomba lari cepat 100 meter. Dari klub, ada dua orang yang dikirim yaitu saya dan kawan saya. Selama latihan saya nggak pernah pakai sparing partner, jadi selalu latihan sendiri. Pertama latihan, saya sampai garis finish dalam waktu 14,5 detik. Setelah berjuta kali latihan, pada latihan terakhir menjelang lomba saya mencatat waktu 13,7 detik.
Saya pede dong, secara saya akhirnya bisa mencetak 13,7 detik padahal awalnya 14,5 detik.


Ketika hari H lomba, saya mencatat 13,6. Wuuiiih! 


Tapi ternyata saya hanya di urutan lima. Si juara ternyata sampai dalam waktu 12,9 detik. Dan si juara adalah kawan satu klub saya. 


Got it?


Yes. Mungkin kalau saya pas latihan nggak cuma sendiri tapi punya sparing partner, hasilnya bisa lebih baik. Mungkin kalau saya ajak kawan saya tadi latihan bareng, saya jadi tahu berapa kecepatan dia. Ketika tahu dia lebih cepat dari saya, saya tentu ikut termotivasi, akhirnya latihan lebih keras, dan menjadi lebih cepat dari 13,6 tentu bukan mustahil.


Ini maksud saya. Dengan membandingkan diri dengan orang lain *kok aneh ya kalimatnya*, kita jadi tahu apakah kita sudah cukup cepat, dalam bidang apapun.
Kalau tidak ada pembanding dari luar, ya begitu-begitu saja. Kalau ada, motivasi kita bisa lebih besar untuk menjadi lebih bermanfaat.
Kalau tidak ada pembanding dari luar, ya memang kita bisa lebih baik. Tapi kita tidak sadar kalau kelebihbaikan itu ternyata kurang cukup. Kalau ada pembanding, kita bisa tahu bahwa ternyata orang lain sudah lebih lebih lebih baik.
Kalau tidak ada pembanding dari luar, kita sudah merasa lebih bermanfaat hanya dengan melangkah satu langkah. Kalau ada pembanding, kita bisa tahu bahwa ternyata orang lain sudah melangkah tiga langkah, jadi kita bisa mempercepat langkah kita.

Bagaimana baiknya?


Emm… Kalau menurut saya, baiknya begini: pertama, bandingkan dirimu dengan orang dari hari kemarin. Setelah itu, bandingkan dirimu dengan orang lain.
Menurut saya ini adil. Jadi, kita introspeksi dulu nih. Melihat ke diri sendiri, apakah benar sudah terjadi peningkatan kualitas diri. Setelah bercermin, baru melihat ke orang lain. Kalau ternyata orang lain lebih cepat, ya berarti kita harus lebih cepat juga.
Begitu.


Tapi nggak jadi semacam kata mutiara lagi, karena kalau dibahasa-Inggriskan akan jadi begini: first, compare your self with the person from yesterday. After that, compare yourself with others. Agak nggak keren gitu…


Ya sudahlah.


Eh, ini saya bercuap-cuap sekian panjang ada yang paham nggak? Bahasa saya masih berantakan sih, jadi kalau kurang enak dibaca atau dipahami ya mohon maaf. Segala saran dan kritik insya Allah akan saya terima. Silakan tuliskan di kolom komentar di bawah ya.



Semangat perbaikan diri, dan ayo donor darah! *teteup*













 


16 Februari 2012 pukul 16.05. Ditulis karena koneksi internet yang terputus di kantor *kalau koneksi nggak mati saya nggak bakal nulis :p*
 

Salam,
Wahyu Widyaningrum

0 comments:

Post a Comment